Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam
pada Etnis Mandailing, Sumatera Utara
Pendahuluan
Ketika hasil pembangunan telah dirasakan oleh masyarakat dan sulit diingkari bahwa sebagian besar masyarakat terbuai oleh kenikmatan yang berhasil diperoleh dari pembangunan tersebut. Sementara itu, dampak negatif dari pembangunan kurang diperhatikan, seperti kerusakan fisik lingkungan, tataran sosial dan cultural, berubahnya hubungan pola-pola sosial lama dan hilangnya pengetahuan-pengetahuan penting yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang sebelumnya sangat besar sumbangan bagi kehidupan masyarakat tersebut.
Berbagai bentuk dampak negatif melahirkan berbagai macam keprihatinan terhadap semakin dilupakannya berbagai pengetahuan lama, pengetahuan tradisional, yang ada dalam masyarakat. Pengetahuan-pengetahuan itu dianggap tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat yang telah berubah atau ingin mencapai tingkat yang lebih maju, bahkan tidak jarang dianggap menghambat proses pembangunan.
Proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya selalu terjadi secara terus- menerus sehingga memunculkan sederetan pengalaman yang kemudian diabstraksikan menjadi konsep, teori, dan pendidikan atau pedoman-pedoman tingkah laku masyarakat. Manusia merupakan bagian dari lingkungannya, antara manusia dengan lingkungannya terjadi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi yang melahirkan keseimbangan.
Bagaimana lingkungan berfungsi dan memberi petunjuk tentang apa yang diharapkan manusia dari lingkungannya, baik secara alamiah maupun sebagai hasil dari tindakannya, serta apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh. Kearifan dan akal budi manusia sebagai sumber daya utama pembuka rahasia dan hikmah alam semesta. Oleh karena itu, dalam tulisan singkat ini dijelaskan secara umum kearifat tradisional Mandailing dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Mandailing
Mandailing salah satu nama etnis di Sumatera Utara, sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Madina. Etnis Mandailing pada umumnya penganut agama Islam, sehingga nilai-nilai ajaran Islam sangat berpengaruh dalam segala aspek kehidupan. Hal itu seperti terungkat dalam falsafah Mandailing Hombar do adat dohot ibadat (adat dan ibadat tidak dapat dipisahkan), dan adat tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam kehidupan masyarakat, orang-orang yang mengatur dan menjaga supaya adat dapat terlaksana dan terpelihara dengan baik, mereka itu ialah raja, namora natoras dan pembantu raja. Raja terdiri atas Raja Panusunan, yaitu raja yang tertinggi, Raja Ihutan, raja dari kumpulan huta dan berada di bawah Raja Panusunan, Raja Pamusuk, berada di bawah raja Ihutan, memimpin satu huta. Raja Sioban Ripe, berada di bawah raja pamusuk. Suhu, berada di bawah raja pamusuk dan raja sioban ripe.[1]
Pembantu raja, terdiri atas Anggi ni raja, imbang raja, suhu ni raja, lelo ni raja, gading ni raja, sibaso ni raja, bayo-bayo nagodang, dan goruk-goruk. Selain itu ada juga semacam staf raja, yaitu jombeng raja (semacam intelijen), tanduk raja (semacam panglima), tongkat raja (semacam penasihat), dan mananti raja (orang yang mendampingi raja).[2]
Konsep Penguasaan Wilayah dan Sumberdaya
Tanah dan sumberdaya mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi setiap orang yang dalam hokum adapt disebutkan bahwa tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan tempat tinggal para dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.[6]
Setiap huta juga memiliki kawasan hutan yang terlarang untuk aktivitas pertanian, berburu maupun meramu hasil-hasil hutan. Areal hutan yang terlarang yang demikian disebut harangan rarangan (hutan larangan). Keberadaan areal hutan terlarang biasanya dilegitimasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan, misalnya kepercayaan penduduk bahwa tempat-tempat tertentu di dalam kawasan hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus (begu) yang dapat mengganggu manusia. Tempat-tempat seperti itu dinamakan naborgo-borgo dan biasanya kawasan mata air.
Masyarakat Mandailing membagi wilayah vertikal yang ada di lingkungan mereka menjadi beberapa tingkatan, yaitu napa (daratan), untuk (tanah bergelombang), tor (bukit), dolok (anak gunung) dan sorik (gunung). Mereka juga mengenal taksonomi aliran air, yaitu mual (mata air), rura (ranting sungai), aek (anak sungai) dan batang (sungai besar).
Sedangkan yang terkait proses interaksi dengan kawasan hutan mereka mengenal rubaton, yaitu kawasan hutan belantara yang jarang dimasuki manusia. Tombak, yaitu kawasan hutan lebat yang kepadatannya berada di bawah tombak. Apabila suatu kawasan hutan sudah dibuka oleh penduduk untuk dijadikan lahan pertanian, maka pada tahap pertama hutan bukaan tersebut berubah kategori menjadi auma (lahan perladangan), apabila tidak ditanami beberapa kali tanam menjadi gasgas (semak belukar) dan apabila semak belukar itu terus dibiarkan maka lahan itu menjadi hutan sekunder (harangan). Lahan ladang (auma) yang terus diolah dan ditanami dengan tanaman keras akan berubah kategori menjadi kobun (kebun).[10]
Demikian juga dalam pemanfaatan binatang yang ada di dalam kawasan hutan. Penduduk huta bebas memanfaatkan binatang sepanjang bukan hewan piharaan seseorang, sebuah keluarga, atau hewan ternak yang ada di kawasan jalangan (lahan pengembalaan) milik kerajaan karena pada dasarnya semua hewan yang hidup di hutan adalah milik masyarakat. Akan tetapi, hewan yang diburu kemudian tertangkap di wilayah huta lain, maka ketentuan adat mengatur bahwa orang yang menangkap hewan buruan tersebut harus memberikan bungo ni padang (semacam restribusi) kepada pimpinan huta lain tersebut.
Aliran sungai beserta kekayaan yang terdapat di dalamnya juga dikategorikan sebagai sumberdaya yang dimiliki secara komunal. Pada zaman dahulu setiap orang berhak menangkap ikan di sungai, mengambil batu dan pasir, mendulang emas, dan sebagainya. Aliran sungai sering kali dijadikan sebagai tanda batas alamiah untuk perbatasan sebuah huta dengan huta lain. Namun, kemudian berkembang suatu pranata baru yang tergolong bentuk kearifan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya sungai. Akses penduduk terhadap sungai khususnya untuk menangkap ikan dibatasi untuk jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun, dan hasil ikan yang dipelihara selama jangka waktu tersebut digunakan untuk pendapatan desa atau biaya pembangunan berbagai fasilitas sosial di desa.[11]
Warga persekutuan mempunyai hak atas tanah dan sumberdaya, sedangkan orang-orang di luar persekutuan tidak dibenarkan ikut memanfaatkan tanah hak ulayat persekutuan, kecuali atas persetujuan persekutuan dan wajib memberikan uang pemasukan. Oleh karena itu, terjadi perhubungan perseorangan antara seorang warga persekutuan dengan tanah atau sumberdaya. Apabila perhubungan terputus maka hak perorangan hilang.[12]
Setiap huta memiliki tanah ulayat. Selain tanah, tumbuhan yang hidup di atas tanah ulayat juga dianggap sebagai milik suatu huta. Sistem kepemimpinan terkait erat dengan kelompok klen (marga) yang dianggap sebaga huta, sehingga tanah ulayat hampir identik dengan tanah milik kelompok klen. Namun aturan-aturan adat mengatur pemanfaatan tanah dan sumberdaya lainnya di lingkungan sebuah huta. Penegasan mengenai batas wilayah biasanya dengan tanda-tanda alamiah seperti bukit atau gunung, aliran sungai, jenis pohon tertentu, dan juga melalui tanda-tanda yang diberikan oleh hewan melalui suaranya atau jenis habitatnya.
Penetapan batas wilayah antarhuta biasanya didasarkan pada alasan-alasan ideologis, historis dan sosio-politis. Batasan biasanya saling berhimpitan, menyilang, atau justru terpisah oleh suatu geografis yang belum pernah dijamah manusia. Dalam konteks seperti itu keberadaan persekutuan antarhuta yang disebut janjian menjadi penting untuk mengintegrasikan seluruh wilayah yang diklaim menurut acuan ideologis, historis, dan sosio-politis yang relatif sama.
Berdasarkan kenyataan tersebut, klaim terhadap tanah ulayat belum tentu dan tidak selalu berhimpitan dengan tanah yang sudah diusahakan secara konkrit oleh penduduk di dalam suatu huta. Wilayah yang sudah dikelola oleh komunitas huta untuk kepentingan ekonomi dalam menunjang kehidupan warganya. Wilayah-wilayah demikian pada umumnya berbatasan langsung dengan permukiman, meliputi areal persawahan, lahan pengembalaan dan juga hutan yang sudah dibuka untuk perladangan dan kebun, serta bagian-bagian lainnya dari hutan yang sudah dimasuki manusia untuk mencari sumber-sumber penghidupan, misalnya areal hutan tempat mencari kayu, madu, damar, kapur, berburu, mengembala dan sebagainya.[13] Di luar wilayah itu, yang sudah diklaim sebagai wilayah penguasaan sebuah huta, sepanjang belum dikelola dan belum ada investasi manusia baik secara pribadi maupun kelompok, maka wilayah tersebut berada di luar kategori tenure (penguasaan suatu bagian wilayah huta dengan cara mengusahakannya). Luas wilayah yang dapat dikategorikan tenure sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk suatu huta. Yang memerlukan lahan untuk mendukung kehidupan ekonominya. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk yang semakin besar biasanya berbanding lurus dengan perluasan kawasan tenure. Dalam perkembangan sebuah huta, sangat dimungkinkan terjadinya himpitan antara wilayah tenure dengan wilayah teritoriti.
Penguasaan suatu bagian wilayah huta dengan cara mengusahakannya (tenure) menjadi awal bagi tumbuhnya kepemilikan pribadi atau keluarga. Namun demikian, klaim penguasaan individu itu tidak serta merta berlaku bagi penduduk huta yang ingin membuka hutan di luar wilayahnya. Bagi penduduk yang datang dari luar, ada ketentuan adat yang mengatur cara mereka mendapatkan izin atau hak mengelola lahan di huta lain, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari raja dan lembaga kepemimpinan di huta tersebut.[14] Hak milik terjadi jika seseorang mengusahakan tanah secara terus-menerus bahkan samapai turun-temurun atau jika tanah itu ditanami dengan tanaman keras. Tanah itu dapat hilang hak apabila tidak diusahakan lagi sehingga menjadi semak belukar kembali.[15]
Meskipun kearifan tradisional merupakan suatu kenyataan yang sulit diingkari, hal itu tidak berarti bahwa kearifan tersebut dapat digunakan untuk memecahkan semua persoalan sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Ada kenyataan lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan, yakni bahwa setiap masyarakat pada dasarnya selalu mengalami perubahan-perubahan. Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan yang cepat, sehingga kearifan tradisional seringkali terasa tidak relevan lagi, bahkan menimbulkan kesan keterbelakangan.
Di tengah perubahan sosio kultural yang cepat, perangkat pengetahuan yang selama itu menjadi pegangan hidup pada umumnya berubah lebih lamban, sehingga muncul kesenjangan antara perangkat pengetahuan tersebut, antara kearifan tradisional tersebut, dengan realitas fisik yang dihadapi dan dialami oleh pemilik kearifan tersebut. Di sini seringkali kearifan tidak lagi dapat membantu atau digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi, tetapi seringkali malah justru menjadi salah satu kendala bagi upaya-upaya penyelesaian persoalan, sehingga istilah kearifan menjadi tidak tepat lagi.
Untuk itu, kearifan tradisional seyogyanya jangan terlalu disanjung-sanjung, sebab hal itu dapat membuat kita terpeleset de dalam sikap konservatif yang menolak perubahan atau pembaharuan-pembaharuan dalam masyarakat. Kearifan tradisional perlu dipahami dengan baik agar dapat mengambil manfaat darinya, dan terhindar dari kelemahan-kelemahan yang dikandungnya.
[1] H. Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, 2005, hlm. 25.
[2] Ibid., hlm.34-36.
[3] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Alumni Bandung, 1971, hlm. 112.
[4] Ibid., hlm. 38.
[5] Ibid., hlm. 57-58.
[6] Ibid., hlm. 249,270.
[7]Zainuddin Lubis, “Pemimpin Tradisional Mandailing”, Skripsi Sarjana Antropologi, Fakultas Sastra USU, 1988, hlm. 92.
[8] Zulkifli B. Lubis, “Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya di Tapanuli Selatan” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Vol 29, No. /2005, hlm. 243.
[9] Ibid., hlm. 243.
[10] Ibid., hlm. 245.
[11] Ibid., hlm. 246.
[12] Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1958, hlm. 83.
[13] Pandapotan Nasution, op.cit., hlm.450.
[14]Ibid., hlm. 248.
[15] Ibid., hlm. 451.
Sumber:
http://dirmanmanggeng.blogspot.com/2009/02/mandailing.html
No comments:
Post a Comment