Si Beru Dayang: Asal Mula Padi
Si
Beru Dayang adalah istilah masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara, untuk
menyebut nama tanaman padi. Konon, padi atau beras yang kini menjadi
makanan pokok masyarakat Tanah Karo merupakan penjelmaan seorang anak
laki-laki yang bernama Si Beru Dayang. Bagaimana Si Beru Dayang dapat
menjelma menjadi tanaman padi? Ikuti kisahnya dalam cerita Si Beru Dayang berikut ini!
* * *
Alkisah,
di Tanah Karo, Sumatera Utara, Indonesia, berdiri sebuah negeri yang
dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Saat itu, penduduk
negeri itu belum mengenal tanaman padi. Makanan pokok mereka adalah buah
kayu yang banyak terdapat di sekitar mereka. Meski hanya menggantungkan
hidup pada buah kayu tersebut mereka dapat hidup makmur dan sejahtera.
Suatu
ketika, kemarau panjang melanda negeri tersebut sehingga pepohonan yang
baru saja mulai berbuah menjadi layu. Malapetaka itu pun menyebabkan
seluruh penduduk negeri menderita kelaparan. Tubuh mereka tampak lemah
dan kurus karena kekurangan makanan. Di antara penduduk tersebut tampak
seorang anak laki-laki yang sudah yatim bernama si Beru Dayang sedang
menangis di pangkuan ibunya. Tubuh bocah itu kurus kering dan wajahnya
sangat pucat. Bocah itu kemudian merengek-rengek minta makan kepada
ibunya.
“Ibu, aku lapar... Aku mau makan Bu,” rengek anak itu.
Tangisan
si Beru Dayang benar-benar menyayat hati ibunya. Namun, sang ibu tak
dapat menolongnya. Ia hanya bisa meneteskan air mata sambil merangkul
anak semata wayangnya. Semakin lama tubuh si Beru Dayang semakin lemas
hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dalam pangkuan sang
ibu. Melihat anaknya tidak bernyawa lagi, sang ibu seketika menangis
histeris.
“Anakku, jangan tinggalkan Ibu nak!” tangis sang ibu sambil merangkul erat anaknya.
Para
warga yang mengetahui hal itu segera mengubur si Beru Dayang di makam
perkampungan. Sejak kepergian anaknya, kesedihan sang ibu semakin
bertambah karena hidupnya semakin sepi. Orang-orang yang ia cintai dan
sayangi semuanya telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
“Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Semua yang aku miliki telah sirna,” kata ibu itu dengan putus asa.
Ibu
si Beru Dayang pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dengan tubuh
yang lemah, ia berjalan menuju ke sungai yang berada di ujung kampung.
Setiba di tepi sungai, ia berdoa kepada Dewata agar segera merenggut
nyawanya.
“Ya, Dewata Yang Maha Agung! Hilangkanlah kesedihan dan nestapa hamba untuk selamanya!” pinta ibu itu.
Usai
berucap demikian, ibu si Beru Dayang langsung terjun ke dalam sungai
yang dalam. Sungguh ajaib, begitu tubuhnya menyentuh air, tiba-tiba ia
menjelma menjadi seekor ikan. Tak seorang pun warga yang menyaksikan
peristiwa ajaib itu karena mereka semua hanya memperdulikan diri sendiri
yaitu bergelut melawan rasa lapar.
Sudah
beberapa bulan telah berlalu, namun musim kemarau belum juga berakhir.
Semua tumbuh-tumbuhan telah mengering bagaikan habis terbakar. Korban
pun semakin banyak yang berjatuhan. Hampir setiap hari terdengar isak
tangis kematian yang memilukan di negeri itu.
Sementara
itu, warga yang masih kuat bertahan berupaya mencari makanan untuk
sekadar pangganjal perut. Di tengah padang yang kering kerontang tampak
dua orang anak kecil sedang mengais-ngais tanah untuk mencari
umbi-umbian. Setelah beberapa saat mengais tanah, salah seorang dari
mereka menemukan buah berbentuk bulat sebesar buah labu.
“Hai, lihat! Buah apa yang aku temukan ini?” tanya salah seorang dari anak itu.
Anak
yang satunya segera mendekati temannya. Ia hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala setelah mengamati buat itu pertanda tidak
tahu karena ia sendiri belum pernah melihat buah seperti itu.
Akhirnya,
kedua anak tersebut membawa pulang buah itu untuk ditunjukkan kepada
orang tua mereka. Ternyata orang tua mereka juga tidak tahu mengenai
buah itu karena baru kali itu melihatnya. Penemuan buah yang asing oleh
kedua anak tersebut membuat gempar seluruh penduduk negeri. Sang Raja
yang mendapat laporan dari salah seorang warga pun berkenan datang untuk
melihatnya. Saat raja dan para penduduk berkumpul melihat buah itu,
tiba-tiba terdengar suara dari angkasa.
“Wahai
penduduk negeri! Buah yang ada di hadapan kalian adalah penjelmaan
seorang anak laki-laki kecil yang bernama Si Beru Dayang.
Potong-potonglah buah itu hingga halus dan kemudian tanamlah hingga
tumbuh menjadi subur. Jika buah penjelmaan Si Beru Dayang itu kalian
pelihara dengan baik, kelak akan berbuah dan menjadi makanan kalian.
Anak itu sangat merindukan ibunya. Pertemukanlah ia dengan ibunya yang
telah menjelma menjadi ikan di sungai! Niscaya kalian tidak akan
kelaparan lagi,” ujar suara ajaib itu.
Tanpa
berpikir panjang, sang raja segera memerintahkan rakyatnya untuk
melaksanakan semua pesan yang disampaikan oleh suara itu. Para warga pun
segera memotong-motong buah itu hingga halus, kemudian mereka tanam dan
rawat dengan baik. Bersamaan dengan itu, kemarau pun berakhir. Hujan
deras pun mulai turun sehingga potongan-potongan buah itu tumbuh dengan
subur menjadi tanaman yang menyerupai rumput.
Dua
bulan kemudian, tamanan itu berbunga dan berbuah. Buahnya berbulir atau
bergerombol dalam setiap tangkai. Setelah genap tiga bulan, buah
tanaman itu pun menguning dan siap untuk dipanen. Sang raja bersama
seluruh rakyatnya pun segera memanen buah itu dengan suka ria. Setelah
dipanen, buah itu kemudian mereka jemur dan tumbuk untuk memisahkan
kulit dengan isinya. Isinya itulah kemudian mereka masak dan cicipi
bersama-sama.
“Hmmm... rasanya enak dan gurih,” kata sang raja setelah mencicipi masakan itu.
Sejak itulah, penduduk Tanah Karo membibit dan memelihara tanaman yang kemudian mereka sebut Beru Dayang. Makanan pokok mereka yang semula dari buah kayu pun beralih ke Beru Dayang.
Untuk mempertemukan Si Beru Dayang dengan ibunya, masyarakat Tanah Karo
menyantap makanan itu bersama dengan ikan yang dipercaya sebagai
penjelmaan dari ibu Beru Dayang.
Ternyata, buah tanaman yang sering mereka sebut Beru Dayang itu adalah padi. Meski demikian, masyarakat Tanah Karo tetap menyebut buah padi itu dengan istilah Beru Dayang. Bahkan, mereka memiliki beberapa nama untuk menyebut Beru Dayang tersebut seperti si Beru Dayang Merengget-engget yaitu ketika tanaman padi masih berumur enam hari, dan si Beru Dayang Meleduk yakni ketika tanaman padi sudah berumur satu bulan.
* * *
Demikian cerita Si Beru Dayang
dari daerah Tanah Karo yang mengisahkan tentang asal mula padi. Cerita
di atas termasuk kategori legenda yang di dalamnya terkandung
pesan-pesan moral. Salah satunya adalah pentingnya sikap saling
kerjasama dalam mengatasi masalah. Hal ini terlihat pada sikap dan
perilaku sang raja dan para warganya bersama-sama untuk menanam dan
merawat buah yang ditemukan oleh dua orang anak kecil itu. Berkat
kerjasama tersebut, mereka pun terbebas dari bencana kelaparan.
(Samsuni/sas/213/11-10)
Sumber:
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/224-Si-Beru-Dayang-Asal-Mula-Padi-#
No comments:
Post a Comment