Kisah Rumah Adat Karo Berusia 154 Tahun
detikTravel Community -
Karo tak hanya terkenal dengan kawasan Brastagi saja. Desa Lingga yang ada di sana memiliki Rumah Adat Karo yang sudah ada sejak tahun 1860 dan berusia 154 tahun. Rumahnya masih terawat baik dan jadi daya tarik turis mancanegara.
Desa Lingga di Kabupaten Karo adalah sebuah perkampungan yang menyimpan peninggalan budaya dan sejarah Karo. Di desa ini traveler bisa singgah ke Rumah Adat Karo usianya lebih dari 150 tahun dan bangunannya masih asli. Keren!
Seharusnya pukul 11.00 WIB kami telah tiba di Desa Lingga, sayangnya teman-teman yang telat berkumpul hingga 2 jam dan ditambah sepeda motor salah seorang teman kami mogok. Meski sudah lebih pukul 13.00 WIB kami belum juga sampai di Desa Lingga.
Berhubung perut sudah keroncongan, kami pun singgah di sebuah rumah makan muslim yang berada di jalan lintas Berastagi-Desa Lingga. Asyiknya, rumah makan ini berlatarkan Gunung Sinabung yang puncaknya sedikit tertutup kabut dan asap.
Selesai mengisi tenaga, perjalanan kami lanjutkan. Akhirnya gapura dengan tulisan Majuah-juah menyambut kami. Kami langsung memarkirkan sepeda motor di halaman Rumah Adat Karo itu.
Rumah Adat Karo di Desa Lingga ini didirikan tahun 1860 dan bangunannya masih asli hingga saat ini. Rumah Adat Karo mempunyai ciri serta bentuk yang sangat khusus.
Di dalamnya terdapat ruangan yang besar dan tidak mempunyai kamar-kamar. Satu rumah dihuni 8 atau 12 keluarga. Tetapi saat ini rumah adatnya hanya dihuni 1 keluarga saja.
Rumah adat berupa rumah panggung, tingginya kira-kira 2 meter dari tanah yang ditopang oleh tiang dari kayu ukuran besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak.
Rumah ini mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat yang disebut ture. Atap rumah dibuat dari ijuk.
Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut Ayo-ayo. Pada puncak Ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah.
Saat kami berkunjung ke rumah adat ini, kami tidak bertemu wisatawan lain kecuali turis dari Jerman dan Perancis. Mereka cukup antusias mendengarkan penjelasan dari pemandu. Ironisnya, peninggalan budaya dan sejarah seperti ini lebih diminati oleh para turis ketimbang masyarakat kita sendiri.
Desa Lingga di Kabupaten Karo adalah sebuah perkampungan yang menyimpan peninggalan budaya dan sejarah Karo. Di desa ini traveler bisa singgah ke Rumah Adat Karo usianya lebih dari 150 tahun dan bangunannya masih asli. Keren!
Seharusnya pukul 11.00 WIB kami telah tiba di Desa Lingga, sayangnya teman-teman yang telat berkumpul hingga 2 jam dan ditambah sepeda motor salah seorang teman kami mogok. Meski sudah lebih pukul 13.00 WIB kami belum juga sampai di Desa Lingga.
Berhubung perut sudah keroncongan, kami pun singgah di sebuah rumah makan muslim yang berada di jalan lintas Berastagi-Desa Lingga. Asyiknya, rumah makan ini berlatarkan Gunung Sinabung yang puncaknya sedikit tertutup kabut dan asap.
Selesai mengisi tenaga, perjalanan kami lanjutkan. Akhirnya gapura dengan tulisan Majuah-juah menyambut kami. Kami langsung memarkirkan sepeda motor di halaman Rumah Adat Karo itu.
Rumah Adat Karo di Desa Lingga ini didirikan tahun 1860 dan bangunannya masih asli hingga saat ini. Rumah Adat Karo mempunyai ciri serta bentuk yang sangat khusus.
Di dalamnya terdapat ruangan yang besar dan tidak mempunyai kamar-kamar. Satu rumah dihuni 8 atau 12 keluarga. Tetapi saat ini rumah adatnya hanya dihuni 1 keluarga saja.
Rumah adat berupa rumah panggung, tingginya kira-kira 2 meter dari tanah yang ditopang oleh tiang dari kayu ukuran besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak.
Rumah ini mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat yang disebut ture. Atap rumah dibuat dari ijuk.
Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut Ayo-ayo. Pada puncak Ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah.
Saat kami berkunjung ke rumah adat ini, kami tidak bertemu wisatawan lain kecuali turis dari Jerman dan Perancis. Mereka cukup antusias mendengarkan penjelasan dari pemandu. Ironisnya, peninggalan budaya dan sejarah seperti ini lebih diminati oleh para turis ketimbang masyarakat kita sendiri.
Sumber:
http://travel.detik.com/read/2014/03/19/131000/2509938/1025/kisah-rumah-adat-karo-berusia-154-tahun
No comments:
Post a Comment