Latar Belakang Pekabaran Injil
Sejak permulaan abab ke XIX Pekabaran injil telah tiba di
Sumatera Utara dibawa oleh Badan-Badan Zending seperti Zending Babtist, Ermelo
(Belanda). Pekerjaan itu baru berhasil sebesar-besarnya setelah Rheinisch
Mission Gesellschaft (RMG) sejak tahun 1861 menyebarkan Injil ke
pedalaman tanah Batak. RMG telah menetapkan seluruh Tapanuli, Nias dan
simalungun menjadi wilayah pelayanannya. Dengan Demikian hanyalah wilayah Karo
yang belum dilayani.
J.Th. Cremer, bekas Direktur Maskapai Deli (1873-1884) yang
pada waktu itu adalah anggota Parlemen Rendah Belanda mengemukakan kepada
sidang Parlemen tentang keadaan orang Karo yang masih terbelakang dan yang
sampai saat itu belum mendapat pendidikan Barat seperti saudara-saudaranya
orang Batak Toba di Tapanuli. Ia juga mengemukakan bahwa, sekarang
wilayah ini sudah terbuka dan dikunjungi oleh suku-suku bangsa indonesia lain.
Orang Karo perlu dididik supaya kelak dapat ikut dalam arus kemajuan yang
dibawa oleh Pemerintah Kolonial , dan injil perlu segera diberitakan kepada
mereka sebelum mereka beralih agama kepada agama yang lain. Ia juga menambahkan
bahwa pekerjaan ini telah lebih mudah dijalankan, sebab jalan-jalan sudah
dibuka maskapai Perkebunan sampai ke kaki-kaki Bukit Barisan.
Mengingat Kenetralan Pemerintah Belanda dalam agama, maka
tugas itu tidaklah menjadi beban Pemerintah, dan juga tugas pendidikan belum
dapat dijalankan Pemerintah oleh sebab itu belum seluruhnya wilayah Karo berada
dibawah kekuasaan Belanda.
Akhirnya Cremer mendekati Nederlands Zenedeling Genootschap
(NZG) dan mengusulkan agar NZG mengambil tanggung jawab penginjilan terhadap
orang Karo dan ia sendiri bersedia mencari dana untuk maksud tersebut. Usul
Cremer ini dipandang baik oleh NZG. Mengingat keterbatasan NZG dalam keuangan,
maka NZG bersedia menerima bantuan dana yang akan diusahakan Cremer.
Permulaan Perkabaran Injil 1890-1900
NZG mengutus H.C. Kruyt untuk memulai perkabaran injil ditengah-tengah orang Karo. Ia adalah anak Pdt. J.Kruyt salah satu pelopor Perkabaran Injil di Mojowarno Jawa Timur. Sewaktu ia diminta oleh NZG memulai perkabaran injil diantara orang-orang Karo, ia bertugas sebagai Kepala Sekolah di Tomohon Minahasa. Ia dan isterinya menerima tugas ini dengan senang hati.
Pada tanggal 18 April ia bersama-sama dengan pembatunya
Nicolas Pontoh tiba di Medan dengan kapal laut sedang isterinya masih tinggal
di Mojowarno. Setelah mengadakan perjalanan peninjauan sebanyak tiga kali maka
ia menetapkan Buluh Awar sebagai pangkalan pertama Perkabaran Injil.
Pemilihan tempat ini adalah dengan beberapa pertimbangan :
1.Desa ini terletak ditepi jalan yang dilalui para pejalan
kaki dari Dataran Tinggi Karo ke Belawan.
2.Jumlah penduduknya ada sebanyak 200 jiwa.
3. Desa dekat dengan desa-desa lain sekitarnya, khusunya
desa Ketangkuhen. Didesa Ketangkuhen ada seorang Guru atau Dukun Besar yang
oleh Kruyt diharapkan dapat mengajarinya tentang adat dan kepercayaan orang
Karo.
4.Jalan-jalan perkebunan mudah dicapai dari desa ini.
H.C. Kruyt mulai menetap di Buluhawar sejak tanggal 2 juli
1890 dengan menyewa sebuah rumah reot milik penduduk dengan sewa 16 dollar per
bulan.
Ia mulai pelayanannya dengan bercakap-cakap dengan penduduk
desa mulai dengan bahasa melayu dan membuka poliklinik dirumahnya. Orang-orang
segera berdatangan kerumahnya meminta obat dan ada yang hanya ingin tahu.
Dengan itu Kruyt juga segera mahir berbahasa karo dan menjalin persahabatan
dengan penduduk dan pejalan kaki dari gunung, diantaranya Pengulu Seberaya. Ia
diundang oleh Pengulu Seberaya mengadiri pesta Pekuwaluh ( Penghanyutan Abu
Jenazah). Kruyt tidak jadi pergi karena tidak diijinkan oleh Pemerintah.
Hasratnya berkunjung kesana begitu besar, sehingga akhirnya terlaksana pada
tahun 1891.
Kruyt telah yakin bahwa injil akan dapat berkembang diantara
orang-orang Karo. Oleh sebab perasaan optimis ini , maka kruyt pun mendatangkan
4 orang guru Minahasa yang akan membantunya. Tapi sebelum guru-guru itu sempat
ditempatkan di desa-desa , ia minta berhenti dari dinas NZG dengan alasan bahwa
ia ingin melanjutkan studi Sekolah Tinggi Teologia. Demikianlah ia meninggalkan
Buluhawar pada tahun 1982 sebelum seorangpun dibaptiskan.
Sebagai gantinya tibalah Pdt.J. Wijingaarden pada bulan
Desember 1892 yang sebelumnya telah bekerja di Savu. Wijingaarden dan Nyoya
tidak mengenal letih dan tidak membuang kesempatan yang ada. Oleh sebab itu ia
segera menempatkan para guru-guru Minahasa di desa-desa, yaitu B.Wenas di
Salabulan, H.Pesik di Tanjungberingin, J.Pinontoan di Sibolangit, Richard
Tampenawas di Pernengenen sedang N.Pontoh tetap tinggal di Buluhawar.
Penempatan guru-guru ini sebenarnya atas undangan
kepala-kepala desa,sebab mereka mengerti akan manfaat pendidikan Barat. Oleh
sebab itu sekolah dan tempat tinggal guru-guru tersebut dibangun penduduk
dengan cara bergotong royong. Sekolah di Salabulan kemudian ditutup dan
dipindahkan ke Bukum pada tahun 1896. Diluar jam-jam sekolah guru-guru
ini mengabarkan injil kepada penduduk desa dengan mendatangi mereka ke
rumah-rumahnya, ladang-ladang dan jambur atau balai desa.
Tuhan memberkati pelayanan mereka. Pada tanggal 20 Agustus
1893 terjadilah pembaptisan pertama terhadap orang Karo, yaitu : Sampai Bukit
dengan isterinya Ngurupi Br Sembiring, Beserta anak mereka yang bernama
Pengarapen Bukit, Nuan Barus , Tala Barus keduanya bersaudara dan masih muda,
dan Tabar Bukit.
Tak lama kemudian wijingaarden jatuh sakit diwaktu
perjalanannya ke Pernengenen. Setelah Berobat beberapa hari ia meninggal dunia
di Rumah Sakit Perkebunan di Medan. Sebelum Menghembuskan nafas terakhir , ia
meminta isterinya untuk supaya tetap tinggal di Buluhawar meneruskan
Pelayanannya sampai penggantinya tiba. Nyonya Wijingaarden menepati amanah ini,
dan ia tinggal di Buluhawar sampai beberapa bulan lagi sampai pekerjaan dapat
diteruskan M.Youstra yang tiba pada bulan Februari 1894.
Youstra sangat berbakat dalam bahasa. Ia menyusun tata
bahasa Karo, mengalih bahasakan istilah-istilah teologi, menterjemahkan
104 Ceritera Alkitab ke dalalm bahasa Karo dan mengarang bahan bacaan anak
-anak sekolah minggu dan lain-lain. Ia menggerakkan gotong royong membangun
sawah untuk Buluhawar.
dari perkunjungannya ke Tanah Tinggi Karo, ia memutuskan
agar Perkabaran Injil segera dapat dijalankan disana, meskipun wilayah itu
belum sepenunhya dikuasai oleh Belanda. Ia meminta Ijin kepada Badan Zending
untuk mengadakan pendekatan ke RMG untuk meminta bantuan tenaga. Ia berangkat
ke Toba pada tahun 1898. Sebagai hasil perkunjungan ini, maka tahun 1899 RMG
mengutus Pdt. H.Guillaume membantu NZG untuk wilayah Tanah Tinggi Karo. Oleh
sebab ijin mengabarkan injil kesana belum diperoleh, maka buat semetara
Guillaume bertempat tinggal di Bukum, sambil menjadi peserta Resort Bukum yang
wilayahnya sampai ke Serdang. Dalam kurun waktu 1899-1904 ia berpuluh kali
mengunjungi Tanah Tinggi Karo. Pada tahun 1902 sudah keluar ijin mengabarkan
injil di Tanah Tinggi Karo, dan sibayak Pa Pelita dari Kabanjahe juga memberi
ijin kepadanya bertempat tinggal di Kabanjahe. Ia pun segera merencanakan
membangun rumah di Kabanjahe pada akhir tahun 1902 . Tetapi sayang bahan papan
yang telah tersedia, pada suatu malam dirampas orang. Dengan sedih Guillaume
menulis surat kepada kantor Zending di Belanda tentang peristiwa tersebut, ia
menutup suratnya dengan :" Kiranya papan itu kelak menjadi permulaan dari
gereja-gereja diwilayah ini ".
Bersama Guillaume tiba dua guru injil yaitu M.L. Siregar
yaitu putera dari Pendeta Batak pertama dan Nahum Tampubolon. M.L.Siregar
melayani ditengah-tengah orang karo dari Buluhawar, Bukum, Pancur Batu dan
Kutajurung, Sibolangit sampai pensiun pada tahun 1938, sedang Nahum Tampubolon
segera pulang ke daerah asalnya.
Pendeta J.H.Neumann tiba pada tahun 1900. Beberapa waktu ia
tinggal di Buluhawar tetapi kemudian ia memilih Sibolangit menjadi tempat
kedudukannya. Pemilihan tempat ini adalah karena sudah agak pasti bahwa jalan
akan dibuka melalui Sibolangit ke Bandar Baru dan selanjutnya ke Kabanjahe.
Selain mengabarkan injil dari desa ke desa dan membangun sekolah-sekolah ,
Neumann membuka klinik di Sibolangit. Ia dibantu oleh Pa Ngamper Tarigan yang
sebelumya juga bertugas sebagai penginjil. Kemudian Neumann terkenal dengan
tulisan-tulisannya mengenai kepercayaan kristen,kebudayaan karo dan
menterjemahkan Perjanjian Baru dan Perjanjian lama kedalam bahasa Karo. Sejak
Neumann di Sibolangit peranan Buluhawar sebagai pangkalan pelayanan menjadi
berkurang. Akhirnya seluruh dusun dilayani dari Sibolangit, Dan terbentuklah
Klasis Sibolangit kurang lebih tahun 1920
Perkembangan PI 1905-1915
Dalama kurun waktu ini terdapat dua perkembangan . Pertama adalah waktu untuk mengkabarkan Injil ke Tanah Tinggi Karo yang telah lama dinanti-nantikan terwujud dengan menetapkan Pdt.E.J. Van den Berg di Kabanjahe pada tanggal 10 April 1905. Ia dibantu oleh guru-guru lulusan Sekolah Guru Cepat yang dipimpin Youstra di Buluhawar dan oleh Neumann di Sinbolangit sejak tahun 1900. Segera setelah bertempat tinggal di Kabanjahe, ia membuka sekolah dan mengabarkan injil. Sekolah pertama di Kabanjahe dibuka pada tahun 1905, gurunya bernama Tuhan Purba dan kemudian Renatus. Dengan pertolongan Sampai Bukit yang telah dibaptis di Buluhawar, ia memulai pekabaran injil dan membuka sekolah di Bukit. Gurunya adalah Ngendes Tarigan (Pa Dina). Kemudian ia juga membuka sekolah di Dokan, gurunya bernama Menteri Ketaren, yang sebelumnya dibawah bimbingan Neumann telah menjalankan perkabaran injil di Resort Sibolangit. Sekolah juga dibuka di Cingkes, gurunya bernama Deman Ginting. Pada tahun 1908 berlangsung pembabtisan pertama di Kabanjahe. Antara tahun 1908-1915, Bukit dan Dokan. Yang dibabtis pada tahun 1910 terdapat Sibayak Pa Mbelgah, terkenal sebagai pemberani.
E.J van den Berg membuka sekolah-sekolah dibanyak tempat,
antara lain di Lingga, Naman, Berastagi, Ajibuhara,Barusjahe, Batukarang dan
Sarinembah. Ia membuka poliklinik umum dan lepra yang kemudian berkembang
menjadi Rumah Sakit Zending dan R.S Kuta Lau Simomo.
Van den Berg sangat tekun bekerja dan pandai bergaul dengan
penduduk maupun raja-raja. Untuk memenuhi kebutuhan guru-guru, maka NZG membuka
Sekolah Guru yang lebih tinggi tarafnya yang telah dibuka oleh Youstra di
Berastagi. Guru-gurunya adalah G.Smit merangkap kepala sekolah, H.Pesik, G.C.
Rompas dan Moningka, ketiganya berasal dari Minahasa. Sebelum ditutup pada tahun
1920,sekolah sempat menerima murid 4 kali.
Perkabaran injil juga dikembangkan kedaerah Serdang dengan
penempatan L.Boadaan di Kotajurung, pada tahun 1910. Di Kutajurung dibuka
sekolah Zending. Seperti halnya Neumann diangkat pemerintah mengawasi sekolah-sekolah
Pemerintah di Deli hulu, demikian juga Bodaan diangkat menjadi pengawas
sekolah-sekolah pemerintah di Serdang. Setelah 5 tahun melayani di Kutajurung
L.Bodaan pindah ke Kabanjahe dan ia digantikan oleh van den Berg(1917-1919).
Berdasrkan statistik keanggotaan maka dalam 10 tahun masa
kerja di Tanah Tinggi jumlah yang dibaptis hampir sama dengan 25 tahun
masa kerja didusun. Seluruh anggota jemaat setelah 25 tahun baru 962 orang,
terdiri dari resort Sibolangit 337 orang, resort Kutajurung 174 orang, sedang
Resort Kabanjahe 451 orang.
Kemandekan Pekabaran Injil 1915-1925
Setelah mengalami perkembagan yang baik antara tahun 1900-1915 maka terjadi kemandekan 10 tahun lamanya. Menurut laporan E.J. van den Berg yang melayani di Resort Serdang dari tahun 1917-1919, hampir semua yang telah dibaptis pada kurun waktu 1893-1918 tidak ada yang aktif ke Gereja. Bersamaan dengan itu, murid-murid sekolah juga berkurang secara menyolok. Sebab-sebab kemunduran ini :
1.Orang mulai kurang percaya ajaran moral dan pendidikan
yang dikembangkan Belanda, sebab orang Eropah sendiri berperang satu dengan
yang lain dalam Perang Dunia I
2.Orang tidak melihat kegunaan menjadi Kristen.
3.Orang Belanda hanya menyuruh orang lain menjadi
Kristen,menghormati hari minggu, tetapi mereka sendiri tidak ke Gereja.
4.Pada waktu itu timbul gerakan Si Parhudamdam, yaitu satu
gerakan nasional yang religius yang berasal dari Toba, memasuki Karo melalui
Serdang. Gerakan ini anti Belanda, anti pajak, anti pengobatan Belanda
dan anti sekolah dan juga anti gereja.
Pikiran rakyat yang berkembang ini, membuat anak-anak
menarik diri dari sekolah-sekolah. Dalam pada itu Pemerintah Belanda tidak
memberikan subsidinya, jika jumlah murid tidak memenuhi ketentuan Pemerintah.
Oleh sebab jumlah murid kurang dari ketentuan, maka sekolah Zending akhirnya
ditutup pada tahun 1920. Pada bulan-bulan pertama tahun 1918 tidak ada orang
yang mau berobat ke Rumah Sakit Zending di Sibolangit. Gerakan itu tidak sampai
ke Tanah Tinggi Karo , Namun pikiran kritis terhadap Orang Barat terasa
dimana-mana.
Pertumbuhan Baru 1925-1940
Para pendeta NZG ,melalui konfrensi-konfrensinya berusaha mengembalikan perkembangan dan pelayanan Gereja dengan :
1.Penataan ulang penempatan Pendeta. Dalam rangka ini Resort
Kutajurung dipindahkan ke Gunung Meriah. ada dugaan bahwa hubungan Bangun Purba
- Seribu Dolok akan sama seperti Medan-Kabanjahe. Kutajurung dijadikan tempat
kedudukan Guru jemaat yaitu Guru Julius Raintung dari Minahasa(1918-1925).
2.Membatalkan Resort Sarinembah dan mengembalikannya ke
Resort Kabanjahe, serta menutup Resort Barusjahe dan jemaan Barusjahe
digembalakan oleh Guru Jemaat Siam Ketaren dan selanjutnya oleh Juai Sembiring
Meliala.
3.Memulai lagi penempatan guru-guru agama baru bekas siswa
Sekolah Guru di Raya.
4.Menempatkan sebagian dari mereka menjadi Guru-guru sekolah
swasta, yang mulai bermunculan 1920-an.
Kendati usaha ini sangat lamban. Barulah pada tahun
1925-1940 terjadi lagi perkembangan baru timbul di seluruh daerah. Jemaat juga
berkembang di Langkat Hulu sejak Perkabaran Injil dimulai dimasa pada 1922.
Ada beberapa hal yang perlu kita catat dalam proses
perkembangan ini :
1.Tanah Tinggi Karo mengalami kemakmuran dibanding kurun
waktu sebelumya. Kemakmuran ini terjadi oleh karena wilayah itu menjadi sumber
sayur-sayuran, buah-buahan dan bunga. Beberapa daerah muncul sebagai penghasil
beras oleh sebab sistem irigasi yang dijalankan Pemerintah.
2.Semangat mencari pendidikan muncul kembali. Dalam kaitan
ini dibukakan sekolah yang berbahasa Belanda di Kabanjahe pada tahun 1922 oleh
Raja-raja Berempat sedang pelopornya E.J van den Berg dan selanjutnya S.D
Keristen berbahasa Belanda ditahun 1933.
3.Rumah sakit Zending di Kabanjahe dan Sibolangit, mulai
pula mendirikan klinik-klinik dibanyak tempat dataran Tinggi Karo dan Deli
Hulu.
4.Kedatangan John Mott ke Indonesia (1925) mendorong
Pendeta-pendeta NZG mengadakan pelayanan terhadap pemuda dan wanita. Dapat
dikatakan sejak tahun 1930-an Gereja telah melayani pemuda-pemuda dan
wanita-wanita melalui sepakbola , musik, kerajinan tangan dan dengan mendirikan
asrama pria dan asrama wanita di Kabanjahe dan Medan.
Pelopor-pelopor pelayanan dibidang Kategorial dikalangan
Wanita, adalah Nyoya van den Berg, Nyonya de Kleijen dan zuster Meyer, sedang
dari anggota jemaat dalah Pertumpuan br Purba, Nimai br Purba dibantu oleh
guru-guru pengasuh yang dinamai guru-guru CMCM(Christelyk Meijes Chub Madju)
yaitu Bakul br Suka, Dina, Perembahen br Barus, Hanna br Munte, Nungkun br
Manik, Nawari br Tarigan Tua, Martha br Munthe, Megiken br Sinuraya, Rehulina
br Ketaren, Christina br Meliala, Tenteng br Sinulingga dan Lemah br
Sinulingga. Pelopor dibidang pria oleh Pdt.W.A Smit yang mendirikan BKDK (Bond
Kristen Dilaki Karo ). Diluar BKDK bergerak Pdt. Jansen Schoonhoven,
Pdt.H.Vuurmans, pendeta Resort Kabanjahe dalam sepakbola dan Penelaah Alkitab.
Dari orang karo yang bergerak di BKDK terdapat guru agama Ngikut Ketaren,J.A.
Sebayang dan lain-lain. Ketua BKDK di Sibolangit adalah G.Siregar. Dibidang
musik terkenal penggeraknya adalah Bilik Purba, Rumpia Bukit dan Rumani Barus
dan Adniel Layari Surbakti.
Untuk menampung perkembangan ini NZG membuka Sekolah Guru
Agama pada tahun 1924, 1929 dan selanjutnya 1935 yang dipimpin Pdt. J.H.
Neumann dan kemudian oleh Pdt.J.van Muylwijk.
Melihat perkembangan yang menggembirakan itu dan mengingat
pula kemungkinannya terjadi Perang Dunia II, maka mulailah dibicarakan
pembentukan suatu organisasi untuk jemaat-Jemaat Karo dalam Bentuk Synode.
Besarlah peranan DR.H.Kraemee yang turut mendorong Pendeta-pendeta ,Guru-guru
jemaat dan pendeta-pendeta mencapai kemufakatan pada pertemuan yang diadakan di
Kabanjahe 1939. Selanjutnya Pendeta W.A.Smit mempersiapkan sebuah tata gereja.
Demikianlah pada Sidang Synode pertama di Sibolangit pada
tanggal 21-23 Juli 1941 terbentuklah Synode Gereja Batak Karo Protestan. Dan
pada waktu itu juga dibaptiskan dua Putera Karo setelah mereka mengakhiri
studynya di Seminari Sipaholon, bernama Palem Sitepu dan Thomas Sibero. Ketua
Synode ialah Pdt.J.M van Muylwijk, sedang sekretarisnya Gr.Agama Lucius Tambun
Masa Sulit Pendudukan Jepang dan Perjuangan Kemerdekaan
1940-1950
Pertumbuhan Kembali terhalang waktu tentara Jepang menduduki Indonesia, sejak tahun 1942 sampai tahun 1945. Dalam masa ini terjadi kesulitan-kesulitan hidup, sebab tidak ada tersedia cukup keperluan-keperluan pokok seperti makanan, pakaian dan obat-obatan.
Pada pihak lain tentara Jepang sering melakukan tindak
kekerasan menembak,menahan dan menyiksa serta mengadakan kerja paksa membuat
benteng-benteng pertahanan. Rakyat diadu supaya saling mencurigai. Dalam
keadaan inilah Gereja yang baru saja mengadakan Synode hidup dan melayani.
Selain dari masalah-masalah yang dihadapi masyarakat umumnya, gereja menghadapi
:
1.Lemahnya organisasi yang seyogyanya mengatur pelayanan
secara keseluruhan.
2.Tidak ada lagi kas umum.
3.Kurangnya tenaga pelayan oleh sebab Pendeta Belanda telah
ditangkap, dan beberapa Guru Injil tidak bersedia lagi melayani.
4.Kecurigaan Jepang terdahap umat Kristen.
Sungguhpun demikian dalam kurun waktu ini terjadi dua kali
Sidang Synode, yaitu Juli 1942 dan September 1943. Dalam sidang Synode 1943
dipihlah Pdt Th. Sibero menjadi Ketua Synode.
Sungguhpun kesulitan-kesulitan tersebut jumlah pengunjung
gereja tetap banyak dan sakramen tetap dijalankan. Setelah berakhir
pemerintahan Jepang, keadaan bukan makin tenteram karena Republik Indonesia
yang baru di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 diserang oleh tentara
Belanda. Sebahagian besar penduduk Karo meningggalkan desa asalnya mengungsi ke
Alas dan Dairi.
Dalam suasana perang ini orang-orang Kristen tetap setia
mengadakan kebaktian dimana mungkin. Kalau dibaca statistik baptisan maka dalam
masa pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia terdapat kira-kira
1000 orang yang dibaptis.
1950-1965
Setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui kemerdekaan Indonesia maka terbuka pula kehidupan baru bagi orang-orang Karo. Ada benerapa yang perlu dicatat dalam perkembangan ini :
1.Orang Karo mengadakan transmigrasi lokal dengan menduduki
bekas tanah perkebunan di dataran rendah. Terbentuklah desa-desa baru ditempat
tersebut.
2.Pejuang-pejuang kemerdekaan mendapat jabatan resmi militer
maupun pemerintah.
3.Makin banyak orang berani berwiraswasta dalam perdagangan.
4.Hasrat bersekolah pria dan wanita tidak terbendung.
Dalam perkembangan ini orang-orang tidak puas lagi dengan
agama pribumi. GBKP sadar akan masalah dan berusaha melayani mereka dan sebagai
akibatnya terbentuklah jemaat-jemaat di kota-kota dan di daerah-daerah
pemukiman baru. Pada tahun 1953 satu Batalyon TNI yang kebanyakan anggotanya
orang Karo minta belajar agama Kristen, mereka pun dibaptis secara masal di
Aceh pada tahun 1953.
Mereka ini memilih agama Kristen, sebab di masa usia sekolah
mereka telah menerima pelajaran agama Kristen di sekolah-sekolah Rakyat,
ditambah pula dengan pengalaman kegerejaan mereka sewaktu mengadakan operasi
militer di Sulawesi Utara dan tempat-tempat lain di Indonesia Timur. Tidak
kurang juga usaha-usaha perwira yang beragama Kristen dalam Batalyon tersebut
membuat mereka secara masal memasuki Kristen.
Perkembangan yang terjadi antara tahun 1950-1953 ditunjang
pula oleh pertambahan pendeta dan guru-guru agama yang diasuh oleh Pdt. J.H. de
Rider dan D.Solinger, keduanya adalah utusan Zending Belanda.
Antara tahun 1950-1965 pengembangan Injil dan pembinaan
jemaat Kota dan daerah pemukiman baru di proritaskan. Akibatnya jemaat-jemaat
kota seperti Medan, Binjai, Lubuk Pakam, Pematang Siantar, Pancur Batu,
Berastagi, Kabanjahe kemudian dapat menjadi tulang punggung penginjilan ke
desa-desa. Untuk membina jemaat Kota Medan, khususnya pemuda, Zending Belanda
mengutus Pdt. N.W van den Bent. Ia berangkat pulang karena masalah politik
anatar Pemerintah Indonesia dengan Belanda yaitu masalah Irian Barat. Dalam
kurun waktu ini OMF ( Overseas Missionary Fellowship) memperbantukan tenaga
kepada GBKP dimulai dengan M.Goldsmith, berikut M.Dunn dan dua tenaga lainnya.
Pada tahun 1963 terjalin pula hubungan dengan Rheinisch
Mission, yang sekarang dinamai VEM ( Vereinigte Evangelische Mission). Utusan
pertamanya adalah Pdt. W. Grothous.
GBKP mendapat manfaat yang besar sekali dengan
kehadiran Pdt. W. Grothous ini, khusunya dibidang Musik Gereja dan
Pembinaan untuk Pertua dan Diaken. Sejalan dengan itu, RMG membatu pengadaan
rumah-rumah para pejabat GBKP dan dana-dana program. Kemudian Zending Belanda
juga meningkatkan bantuan dana untuk program-program.
Perlu dicatat bahwa orang karo yang selama ini (1910)
didalam jemaat HKBP di Tingga Lingga, Tanah Pinem, bergabung dalam GBKP pada
tahun 1957 melalui pemufakatan.
Pada tahun 1965 dirayakan Jubelium 75 Tahun GBKP di Medan,
dengan meriah sekali. Jumlah pengunjung kira-kira 20.000 . Diantara tamu-tamu
adalah Panglima Komando Antara Daerah Militer Sumatra, Walikota Medan, Wakil
DGI Dr.W.B.Sijabat dan Dr.A.de Kuyper mewakili Gereja Belanda. Mantan Ephorus
HKBP G.H.M. Siahaan mewakili HKBP yang pada waktu itu adalah Dekan Fakultas
Teologi Nommensen.
Setelah Jubelium 75 tahun ini timbul kesadaran baru
dikalangan anggota Jemaat, yaitu bahwa :
1.Tidak boleh lagi terlalu jauh dari adat dan kehidupan
masyarakat Karo.
2.Bahwa kaum terkemuka anggota GBKP merasa terpanggil untuk
lebih berperan dalam mengembangkan injil dan membina jemaat-jemaat.
3.Ada semacam kerinduan agar mayoritas orang Karo hendaknya
menjadi anggota GBKP.
Ada tiga peranan yang dianggap mungkin dilakukan oleh
anggota-anggota jemaat :
1.Mengumpulkan dana bagi keperluan pembangunan
gereja-gereja.
2.Mengadakan Perkabaran Injil.
3.Membantu gereja dalam masalah sosial, ekonomi dan politik.
Sejak itu GBKP lebih terbuka terhadap adat yang masih hidup.
Synode GBKP tahun 1966 memutuskan bahwa Gendang Karo dapat dipakai secara resmi
dalam pesta-pesta Gereja. Keputusan ini disambut jemaat-jemaat dengan gembira.
sejak itu GBKP dalam pesta-pesta memasuki gereja, ulang tahun, dan evangelisasi
sering dimeriahkan dengan gendang.
1965-1975
Lima bulan setelah Jubelium 75 tahun terjadi peristiwa G 30 S yang membawa goncangan politis, sosial, dan religius dalam masyarakat. Orang merasakan bahwa sesuatu dapat terjadi secara tiba-tiba diluar perkiraan manusia, dan banyak merasakan kehilangan pegangan hidup. GBKP menawarkan pegangan hidup yang baru yaitu Injil Yesus Kristus. Kesadaran anggota jemaat untuk berpartisipasi dalam pelayanan gereja yang timbul setelah Jubelium tersebut, kini diwujudkan dalam perkabaran Injil dan membangun gereja-gereja di kota dan desa. Pada pihak lain, orang-orang yang merasakan kekosongan rohani menyambut pemberitaan Injil dan bersedia belajar agama Kristen. Terjadilah pembaptisan masal mulai Tigalingga, kemudian menyusul dibanyak tempat seperti Munte, Tiganderket, Barusjahe, Aji Siempat, Cinta Rakyat, Sibolangit, Namoukur, Gunung Meriah, Kutabuluh, Serbajadi, Namorih dan lain-lain. Tokoh-tokoh masyarakat seperti T.M.sinulingga, Koran Karo-karo, R.O.Sembiring, Kok Karo-karo Sitepu, Pertua Pa Rajamen Bangun giat dalam pengabaran Injil ke Desa-desa. Dalam hal ini, tidaklah dapat kita lupakan bantuan dan kesetiakawanan gereja-gereja tetangga dibawah koordinator Dewan Gereja di Indonesia turut dalam kegiatan ini. Diantara tokoh-tokohnya yang dapat kita sebut : A.J. Ferdinandus, M.L. Siagian, Pdt. M.A. Simanjuntak Sekretaris Umum DGI Wilayah, dan beberapa tokoh dari kepolisian dan Militer. HKBP meminjamkan pendeta-pendetanya beberapa bulan untuk melayani di desa-desa Tanah Karo. Melalui DGI datang pula dua orang tenaga utusan dari GMIM dan dua orang dari GPM. Demikian juga BNKP mengutus seorang pendeta senior untuk membantu GBKP.
Pemuda-pemuda anggota Permata dan GMKI secara
berkesinambungan mengunjungi desa-desa dan tinggal disana dalam beberapa bulan
dan ada pula yang mengadakan perkunjungan setiap akhir pekan. Hampir 4 tahun
lamanya gerakan Pekaran Injil berlangsung menggebu-gebu. Jumlah anggota jemaat
ditahun 1970 sampai 78.500.000 orang. Jadi terdapat kenaikan 100%.
Sayang bahwa perkembangan jemaat yang mendadak ini sulit
dibarengi dengan pelayanan yang memadai. Ternyata banyak anggota-anggota
jemaat, khusunya Dairi, Tiga Binanga, Tiganderket dan sekitar langkat tidak
lagi hadir dalam kebaktian Minggu. Sebab utama karena kekurangan pendeta, dan
guru jemaat sedang Penetua dan Diaken yang telah ditahbiskan di jemaat-jemaat
yang baru belum mampu melayani Firman Tuhan. Demikian juga GBKP tidak mempunyai
kemampuan untuk membangun rumah-rumah gereja. Untuk mengatasi ini GBKP
mengadakan pembinaan terhadap pelayan-pelayan gereja dan kursus-kursus
pengajaran dan mengutus calon-calon pendeta ke Sekolah Teologi di Ujung
Pandang, Jakarta, dan Fakultas Teologi Nommensen di Pematang Siantar.
Bersama-sama dengan gereja-gereja tetangga GBKP membuka Pendidikan Guru Injil
dan Guru Agama dalam Perguruan Abdi Sabda pada tahun 1969. Demikian juga GBKP
membuka sendiri Sekolah Injil di Kabanjahe.
Dalam program pembinaan wanita dan Kebaktian Anak dan Remaja
besarlah sumbangan dari dua suster yang diutus RMG yaitu Elisabet Zoller
dan Erika Rolker. Pdt.H.Kustermann dari RMG, L.Eyres dan Bruce Warner, keduanya
dari Gereja Methodist Amerika, Dr.Diana Dunn dari OMF mengembangkan pembinaan
pelayanan dan keterampilan melayani yang diperolehnya dari kursus-kursus
tersebut, akhirnya GBKP dapat mencairkan kemandekan berjemaat.
Namun semangat perkabaran Injil sudah mereda. Antara tahun
1970-1975 tidak ada lagi terjadi pembaptisan masal. Banyak orang menafsirkan,
bahwa orang-orang sudah merasa berevangelisasi, dan juga klasis-klasis sibuk
mengembalakan dan menghidupi jemaat-jemaat. ada pula berpendapat bahwa
peralihan pikiran masyarakat menyongsong Pemilihan Umum tahun 1971 juga turut
mempengaruhi suasana. Setelah pemilu penyiaran agama Islam menggebu-gebu ke
Tanah Karo.
1975-1990
Kemandekan tersebut berangsur pulih kembali. GBKP mendapat
kekuatan baru setelah calon-calon pelayanan yang telah disekolahkan telah
menamatkan pelajarannya. Setelah menjalani praktek beberapa tahun mereka
dipercayakan untuk melayani jemaat. Jumlah anggota Jemaat yang datang berbakti,
makin bertambah lagi dengan berdirinya pula dengan keuangan GBKP semakin baik.
Sidang Synode tahun 1975 menekankan tiga prioritas yaitu :
1. Pembinaan Jemaat.
2.Pelayanan Pembinaan Masyarakat.
3.Perkabaran Injil.
Ketiga program ini adalah saling kait mengait dalam
Moderamen diangkat pejabat menangani ketiga program tersebut.
Pdt.N.Keliat bersama Pdt.A.Doram mengembangkan Pembinaan
warga gereja yang diarahkan kepada pembinaan jemaat, sedang Pdt. Selamat Barus
dibantu Pdt.Borong Tarigan dan Leon Rich mengembangkan Pelayanan Pembangunan
sedang Pdt.E.P Gintings mengkoordinir Perkabaran Injil. Ketiga Departemen
ini bersama Diakonia GBKP yang di ketuai Dk.P. Sinuraya berusaha mengembangkan
dan meningkatkan pelayanan Gereja. Pembinaan warga gereja, meneruskan
peningkataan keterampilan melayani, menyediakan brosur-brosur, dan
mengembangkan pembinaan di Klasis-klasis . Pelayanan Pembangunan menjalankan
usaha-usaha penyadaran untuk membangun dan usaha-usaha padat karya. Dalam
kaitan GBKP mengadakan kursus-kursus penyadaran tentang potensi yang dimiliki
oleh setiap desa,masalah-masalah yang dihadapi, dan bersama memikirkan usaha
penyelesaiannya. Dari sinilah muncul program pembuatan sarana air bersih,
pembuatan jalan, jembatan, penyuluhan pertanian dan peternakan, pemasaran,
listrik desa dan Credit Union. semuanya program-program ditujukan kepada
masyarakat tanpa memandang agama dan suku.
Diakonia GBKP bergerak dalam usaha meningkatkan kehidupan
ekonomi anggota jemaat dalam usaha Diakonia Usaha Bersama (DUB). Pelayanan
diakonia terutama ditujukan bagi anggota Jemaat. Mereka mulai usahanya melalui
pembahasan Alkitab dikaitkan dengan keprihatinan bersama. dari sana lahir
program-program sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dalam kurun waktu ini kembali digalakkan Perkabaran Injil
sambil meningkatkan pembinaan jemaat-jemaat sesuai kebutuhan mereka. Cara-cara
yang ditempuh :
1. Anggota Jemaat mengadakan penginjilan terhadap
keluarganya dan anak-anak desanya. Untuk ini anggota-anggota Jemaat tertentu
berkunjung ke desa asalnya mengadakan percakapan serta kekeluargaan.
2.Anggota jemaat yang mempunyai profesi dibidang yang
diperlukan masyarakat seperti dokter, ahli pertanian dan peternakan digerakkan
untuk melayani.
3.Jemaat kota membantu jemaat yang lemah dalam pembinaan
jemaat,perkabaran injil, dan pembangunan gereja.
4.Mendorong tokoh-tokoh masyarakat ikut melaksanakan
evangelisasi ke desa-desa yang ada hubungan historisnya.
5.Menempatkan tenaga-tenaga sukarela di desa tertentu untuk
mengabarkan Injil. Tugasnya berakhir jika ditempat itu sudah banyak
menjadi kristen.
6. Membangun jemaat-jemaat GBKP diluar Sumatra Utara, jika
hal ini diperlukan untuk pemeliharaan anggota jemaat dan pengembangan berita
injil.
Penggalakan penginjilan ini diadakan secara masal didaerah
si Empat Teran pada tahun 1978 dengan mengadakan perkunjungan ke desa-desa dan
diakhiri dengan pesta pengumpulan dana gereja Berastepu. tokoh-tokoh yang
terlibat dalam pekerjaan ini adalah Roga Ginting SH, Kol.Pur.E.K.Ginting,
G.Sitepu dan Drs. J.M. Sitepu. Hal yang sama juga dilakukan Drs. Missi Barus
dan sebagai hasilnya terbentuklah Jemaat Serdang. Dokter R.M Kaban yang
sebenarnya anggota Gereja Methodist mengabarkan injil ke desanya Pernantin.
Inilah permulaan jemaat GBKP Pernantin sekarang. Antara 1974-1984 Moderamen
GBKP memusatkan PI ke daerah Klasis Tigabinanga.
Klasis Medan Delitua menggerakkan jemaat-jemaat Kota Medan
mengabarkan Injil ke desa-desa secara intensif. Tokoh masyarakat Langkat
seperti Ngasami Br Sinagarimbun, Dokter Masang sitepu, Tammat Sitepu, Drs.
Janggun Sitepu bersama Klasis GBKP Langkat secara berkesinambungan menajalankan
Perkabaran Injil di daerah Langkat.
Untuk menampung semangat Perkabaran Injil maka pada thun
1983 dibentuklah Badan Penunjang Perkabaran Injil(BPPI). Badan ini berusaha
mencari dana-dana Perkabaran Injil dan juga ikut campur mengatur dan mengawasi
pelaksanaan Perkabaran Injil, khususnya terhadap tenaga-tenaga sukarela yang
dibiayainya. Pada Awalnya BPPI dipimpin oleh Drs.rupati Perangin-angin kemudian
digantikan oleh Pt.Kantor Tarigan . Dengan BPPI rencana pemusatan PI ke daerah
Langkat(1984-1989) dapat terlaksana.
Dalam kurun waktu ini tercatat pula pengembangan
jemaat-jemaat GBKP di Jakarta, bendirinya GBKP di Pontianak, Lampung, Surabaya,
Semarang, Pekan Baru, Padang, tarutung, Sibolga, Padangsidempuan dan Nias.
Kehadiran jemaat-jemaat GBKP disana membangun semangat
berjemaat yang selama ini hampir-hampir padam. Sebenarnya dari pihak GBKP tidak
ada desakan bagi anggota-anggotanya yang telah menjadi anggota jemaat gereja
lain untuk masuk GBKP, tetapi semata-mata keinginan sendiri.
Khusnya di Sumatera Utara Perkabaran Injil juga dikaitkan
dengan pembangunan masyarakat desa, dalam usaha membagun manusia memdapatkan
hidup yang bermartabat. Walaupun pemberitaan Firman tidak dilakukan secara
langsung, pelayanan pembangunan juga merupakan ungkapan Injil secara nyata.
Mengingat lulusan Sekolah Teologi baik kurikulum dan tujuan
pendidikan tidak terarah untuk memberitakan Injil ke tempat-tempat dimana
gereja belum ada, maka Synode tahun 1979 memutuskan untuk menbuka Sekolah
Evangelis. Direkturnya adalah Pdt. J. Brahmana. Kurikulum sekolah dibagi atas
praktek dan pengetahuan teoritis. Maksudnya, supaya mereka selama sekolah juga
mampu menghubungkan masalah jemaat dengan pengetahuan teologi. Setelah mereka
lulus, mereka ditempatkan di jemaat-jemaat pedesaan yang baru mulai berkembang.
Perkembangan jemaat dalam kurun waktu ini mengharuskan GBKP
mengutus calon pendeta ke Sekolah Pendeta rata-rata 3-5 orang setiap tahun.
Untuk ini diterima bantuan beasiswa dari Zending Belanda dan sebagian dari VEM.
Pelayanan Kebaktian Anak dan Remaja (K.A.K.R) dikembangkan
oleh Suster Tabean Muller, Nora Pdt.Mac Quenn, Nora Pdt.M.Sinulingga, Liwen Br
Sembiring, Pdt. Pestanta Surbakti dan Nora, dan Pdt. Matius P.Barus dan Nora.
Program-program mereka adalah membuat buku bimbingan K.A.K.R,
Kursus-kursus Guru K.A.K.R mengadakan Pekan Anak-anak dan lain-lain.
Kesulitan yang dijumpai adalah, di banyak jemaat guru-guru K.A.K.R nya
terlalu sering berganti-ganti. Sudah dicoba menggiatkan partisipasi kaum Ibu
(Moria) tetapi sampai sekarang ide ini belum mendapat sambutan.
Pelayanan Wanita (Moria) makin berkembang baik lembaga
maupun program dan pelaksanaannya. Moria juga mempelopori pendirian Taman
Kanak-Kanak (TK) di beberapa jemaat dan bekerja sama P3W di Brastagi dalam
program pedesaan. Besarlah peran Nora Pdt.J.P. Sibero yang telah mengetuai
Moria sejak tahun 1960-an, beserta Zuster Moria Elisabet Zoller yang kemudian
diganti oleh Edelgaard Abram pada tahun 1978. Diantara ibu-ibu yang yelah lama
melayani Moria adalah Nd. Felix Br Sembiring, Nd. Persadaan, Pt.Dra.K.Muham.
Synode tahun 1989 telah memutuskan pengangkatan Pendeta Moria dari kalangan
Pendeta Wanita GBKP yang ada sekarang.
Pelayanan terhadap pemuda (Permata) dilakukan bersama-sama
dengan Pengurus Permata. Setelah Pdt.van den Bent (1956-1959), Pdt.W.Moning
dari VEM dan Pdt.Benar Tarigan Ditugaskan menjadi pendeta pemuda dalam kurun
waktu ini. Umumnya pendeta-pendeta yang melayani pemuda kurang merasa puas
terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Mungkin sekali oleh karena
pendeta-pendeta tidak dalam struktur Permata, seperti kedua Suster ( Elisabet
Zoller dan Edelgard Abram ) ikut dalam kepengurusan pusat Moria. Kemungkinan
kedua adalah sifat kesementaraan tokoh-tokoh pemuda dalam suatu jemaat,sebab
sering pindah tempat karena studi atau pekerjaan dan kebanyakan setelah menikah
tidak aktif dalam Permata. Kekecualian kita temukan dalam diri tokoh pemuda
seperti Dr. Melky Tarigan, Drs. Josia Munte, M.Pd., Drs. Tarigan,
Drs.Johnson Pinem, Drs Semyon Sinulingga dan J.Sinulaki.
Dalam Sidang Synode GBKP XXIX di Cibubur Jakarta diputuskan
bahwa Permata dan Moria yang selama ini berada dalam posisi ganda,yaitu
organisasi intra dan ekstra gerejawi, telah dijadikan lembaga GBKP bersama
dengan K.A.K.R dan Diakonia. Pelembagaan ini mengisyaratkan bahwa sebagai
lembaga Permata dan Moria adalah bagian dari kehidupan gereja dalam semua
jajarannya. Dari pihak gereja, hal ini berarti bahwa jemaat,Klasis dan
Moderamen berkewajiban membimbing lembaga-lembaga sebagai perpanjangan
tangannya dalam pelayanan. Pada pihak lain Permata dan moria harus mengarahkan
pelayanannya dalam derap langkah dari kehidupan dan pelayanan gereja. Yang
patut dijaga, agar gereja tidak menghambat keprakarsaan yang mungkin timbul
dalam lembaga-lembaga. Hal ini berarti perlu dijaga keseimbangan antara
kebebasan dan keterikatan.
- See more at:
http://www.gbkp.or.id/index.php/tentang-gbkp/sejarah-gbkp#sthash.Sz7sO0Gp.dpuf
No comments:
Post a Comment