Monday, October 20, 2014

Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak: Orang Batak Keturunan Bangsa Manchuria Tiongkok

Minggu, 17 November 2013 | 11:57 WIB

Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak: Orang Batak Keturunan Bangsa Manchuria Tiongkok

Budiman Pardede
Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak saat diwawancarai MartabeSumut, Sabtu siang (16/11/2013) di Taman Budaya Medan. (Foto: MartabeSumut).
MartabeSumut, Medan

Suku etnis Batak yang tersebar mendiami wilayah bona pasogit (kampung halaman) seperti Tapanuli Utara (Taput), Dairi, Tanah Karo, Tobasa, Humbahas, Simalungun, Samosir, Pematang Siantar, Tapsel, Tapteng hingga daerah lain di penjuru Provinsi Sumatera Utara (Sumut), ternyata keturunan bangsa Manchuria (Mansyuria) yang berasal dari daerah Utara Tibet, Timur Laut Tiongkok, berbatasan dengan Korea Utara dan Rusia.

Pernyataan itu disampaikan Guru Besar Sosiologi Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak (72) kepada Jurnalis MartabeSumut Budiman Pardede, Sabtu sore (16/11/2013) di gedung Taman Budaya Jalan Perintis Kemerdekaan Medan. Disela-sela menghadiri acara peringatan HUT ke-3 DPP Kesatuan Bangso Batak se-Dunia (KBBD) dan memberikan ceramah singkat bertajuk "orang Batak dalam sejarah kuno dan modern", Prof Antonius menegaskan, selain menyisakan populasi keturunan orang Batak di Sumut, bangsa Manchuria juga merupakan nenek moyang dari penduduk Gayo, Alas dan Singkil di Provinsi Aceh. Kemudian warga Bugis di Sulawesi Selatan (Sulsel), Toraja di Sulawesi Utara (Sulut) hingga masyarakat Komering di Sumatera Selatan (Sumsel). Menariknya lagi, imbuh Prof Antonius, sebagian warga negara pada beberapa daerah tertentu di Thailand, Kamboja, Filipina dan Tanah Genting Kera Semenanjung Melayu Malaysia, itu pun memiliki historis yang sulit diragukan sebagai keturuan bangsa Manchuria. "Saya mengatakan ini berdasarkan penelitian ilmiah. Baru 2 tahun lalu ditemukan fosil arkeolog manusia berusia 5.000 tahun di Danau Laut Tawar Dataran Tinggi Gayo, Kab Aceh Tengah Provinsi Nanggröe Aceh Darussalam. Sedangkan di pusuk buhit dan bona pasogit (kampung halaman orang Batak di Sumut) fosil tertua manusia baru ditemukan sekira 200-300 tahun lalu. Belum lagi hasil penelitian ilmiah terkait Danau Toba yang ada sekarang sama persis dengan danau Toba Tartar di sekitar pegunungan Tibet. Suku Manchuria-lah yang memberikan nama danau itu untuk mengenang peristiwa pengusiran suku Barbar Tartar," ungkap Prof Antonius.

Istilah Sebutan Batak dan Migrasi Bangsa Manchuria

Sejak kapan Anda ketahui sebutan "Batak" dan siapa peneliti yang memunculkan ke permukaan? Prof Antonius justru terlihat mengerutkan kening. Seraya memperbaiki cara duduk, Prof Antonius terlihat berfikir keras. Bagi dia, hingga kini  belum ada satu penelitian ilmiah yang dapat menjawab asal mula sebutan "Batak". "Memang sedang kita teliti juga sampai sekarang. Bisa jadi ada missing link (kehilangan data pendukung terkait). Namun orang Manchuria itu umumnya hidup di pegunungan dengan menunggang kuda. Nah, yang saya amati berdasarkan beberapa hasil penelitian ilmiah, kata Batak diidentikkan penunggang kuda," ujarnya menduga-duga.

Mengacu fakta-fakta dan sejumlah hasil penelitian yang dilakukan Elisabet Seeger dalam buku "Sejarah Tiongkok Selayang Pandang" dan Edmund Leach melalui buku "Rethingking Anthropology" mengambil kajian mempertegas hubungan vertikal kebudayaan Suku Manchuria dengan Suku Batak, lanjut Prof Antonius, suku Manchuria adalah Ras Mongolia yang hidup sekira 7.000 tahun lalu di daerah Utara Tibet, Timur Laut Tiongkok berbatasan dengan Korea Utara dan Rusia. Pada masa itu, suku Manchuria diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran pun mengakibatkan mereka bermigrasi ke pegunungaan Tibet melalui Tiongkok (China). "Sekali lagi, peristiwa migrasi di pegunungan Tibet tersebut memunculkan penemuan danau dengan nama Toba Tartar. Suku Manchuria yang memberikan nama danau Toba Tartar itu. Mari kita amati dan selidiki secara ilmiah lagi keberadaan Danau Toba yang ada sekarang," ucapnya dengan rona sangat serius.

Dari Tibet ke Utara Burma

Prof Antonius membeberkan, setelah dari pegunungan Tibet, suku Manchuria bergerak ke Utara Burma atau perbatasan Thailand. Hasil penelitian dan fakta kekinian yang berkembang di Thailand diakuinya menunjukkan bahwa ada budaya Dongson di sana. Budaya itu dibawa suku Manchuria dan lestari di sana sampai sekarang. "Kebudayan asli suku bangsa Thailand ini sangat mirip dengan budaya Batak kita di Sumut - Indonesia," timpalnya. Dari pelarian ke Thailand, suku Manchuria migrasi ke arah Timur Kamboja dan Indocina. Kemudian berlayar menuju Fhilipina hingga akhirnya terdampar di Sulawesi Utara (Toraja). "Hiasan kerbau pada Rumah Adat Toraja merupakan tradisi suku Manchuria," katanya. Kemudian mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan yang ditandai dengan kesamaan logat bicara maupun sikap seperti orang Batak. Lantaran merasa belum aman juga, sisa-sisa suku Manchuria yang masih bertahan melanjutkan perjalanan ke Barat hingga sampai di  Lampung Sumatera Selatan. Dari sinilah mereka diperkirakan mulai bergerak ke pusuk buhit, Danau Toba Sumatera Utara. Perlu diketahui, kata Prof Antonius, ketika berlayar dari Indocina, sebagian kecil suku Manchuria diyakini ada yang tersesat atau terdampar ke Tanah Genting Kera Semenanjung Melayu Malaysia. Selanjutnya orang-orang Manchuria ini berlayar hingga sampai di Pantai Timur Sumatera. Mereka pun tiba di Kampung Teluk Aru salah satu wilayah di Provinsi Aceh. Tak puas sampai di Teluk Aru, suku Manchuria migrasi lagi ke Tanah Karo dan meneruskan perjalanan hingga ke Tapanuli Utara (Taput), Dairi, Tanah Karo, Tobasa, Humbahas, Simalungun, Samosir, Pematang Siantar, Tapsel, Tapteng dan berbagai wilayah di Provinsi Sumatera Utara. Dijelaskan Prof Antonius, keturunan suku Manchuria, yang kemudian diduga kuat adalah nenek moyang orang Batak ini, hidup di dataran tinggi dan berperilaku nomaden alias berpindah-pindah. Penyebabnya tidak lain karena mematuhi pesan leluhurnya untuk menghindari suku Barbar Tartar. "Tempat tinggal oarang Batak sejak lama sama dengan pola orang Manchuria. Harus di wilayah dataran tinggi. Tujuannya agar gampang mengetahui kehadiran musuh. Ini bisa dibuktikan langsung melalui penelitian bersama 2 rekan saya asal Belanda dan Thailand," terangnya. 

Bukti Arkeolog Peti Mati dan Kekerabatan Manchuria dan Batak

Menelisik fakta penelitian yang ada, Prof Antonius memastikan, dirinya bisa membuktikan secara Anthropology fisik bahwa suku Batak yang ada sekarang, termasuk di daerah lain Indonesia maupun beberapa negara tertentu, adalah benar keturunan bangsa Manchuria yang sudah bermigrasi dalam rentang waktu antara 5.000-7.000 tahun lalu. "Tahun 1988 saya ke Thailand dan melihat peti mati mereka mirip dengan peti mati milik orang China. Bahkan peti mati yang ada di Silaen maupun Porsea juga sama bentuknya. Saya  sudah ke Komering Sumsel. Di sana tulisan mereka mirip Aksara Batak. Dan kalau sekarang orang Gayo mengklaim dirinya merupakan penduduk asli Aceh, ya sebenarnya penemuan fosil arkeolog ilmiah 2 tahun lalu yang berusia 5.000 tahun itu tidak mungkin diingkari. Karena ras warga Aceh itu ada sejak tahun 1.600 hasil migrasi orang Arab, China, Eropa dan Hindustan," cetus Prof Antonius.

Terkait budaya Dongson yang dibawa bangsa Manchuria dalam perjalanan migrasinya, Prof Antonius menilainya sebagai warisan kekerabatan yang dilestarikan orang Batak sampai saat ini. Dongson yang bermakna kommemoratif atau mengenang kebiasaan dan warisan nenek moyang, dipercayainya tidak bisa dinafikan ada karena telah menjadi hukum wajib untuk dilakukan generasi penerus keturunan Batak pada era kekinian. "Kita orang Batak mempraktikkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun ritual pesta adat. Kapasitas hula hula, kalimbubu atau tondong selalu dalam posisi dihormati walau dalam kondisi apapun. Demikian juga posisi boru tetap mendapat porsi tinggi untuk dikasihi, disayangi dan dilindungi," ucap Prof Antonius. Lalu, adakah obsesi Anda untuk "mencium" jejak-jejak suku Manchuria berdasarkan tempat-tempat yang mereka singgahi sejak turun dari pegunungan Tibet ? Setelah diwawancarai serius sekira 2 jam lebih, kini Prof Antonius tampak menorehkan senyum sumringah. "Itu obsesi penelitian saya lho, tapi dari mana duitnya ya," tutup Prof Antonius tertawa, sembari menggerakkan dan menggesek 3 jarinya menandakan fulus.

Kategori 6 Etnis Batak

Data dihimpun MartabeSumut berdasarkan tulisan Prof Dr Bungaran Antonius Simanjuntak tentang "Orang Batak dalam Sejarah Kuno dan Modern", suku Batak saat ini dikategorikan kepada Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Masing-masing memiliki salam khas kendati secara umum mengenal kata "Horas". Berikut penjelasan salam khas ke-6 etnis Batak: Toba : "Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna", Pakpak : "Njuah-juah Mo Banta Karina", Karo : "Mejuah-juah Kita Krina", Simalungun : "Horas Banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona", Mandailing dan Angkola : "Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung".

Pola Kekerabatan Orang Batak

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Falsafah dalam perumpamaan bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul, merupakan filosofi agar senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga atau orang-orang di sekitar. Sebab merekalah teman terdekat, walau dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga. Tetapi pada dasarnya tetangga atau orang-orang sekitar tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan adat atau kehidupan apapun.

Falsafah Dalihan Natolu 6 Etnis Batak

Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan Natolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut ke-6 etnis Batak: Dalihan Natolu (Toba) : 1. Somba Marhula-hula, 2. Manat Mardongan Tubu dan 3. Elek Marboru. Dalian Natolu (Mandailing dan Angkola) : 1. Hormat Marmora, 2. Manat Markahanggi, 3. Elek Maranak Boru. Tolu Sahundulan (Simalungun) : 1. Martondong Ningon Hormat, Sombah, 2. Marsanina Ningon Pakkei, Manat, 3. Marboru Ningon Elek, Pakkei. Rakut Sitelu (Karo) : 1. Nembah Man Kalimbubu, 2. Mehamat Man Sembuyak, 3. Nami-nami Man Anak Beru. Daliken Sitelu (Pakpak) : 1. Sembah Merkula-kula, 2. Manat Merdengan Tubuh, 3. Elek Marberru.

Perlu digarisbawahi, Dalihan Natolu bukan bermakna ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan Natolu bersifat general, semua masyarakat Batak pasti akan dan pernah menjadi Hulahula, sebagai Dongan Tubu dan juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak diwajibkan berperilaku "raja". Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru. (BUDIMAN PARDEDE)


Sumber:
http://www.martabesumut.com/berita-2563-prof-dr-bungaran-antonius-simanjuntak-orang-batak-keturunan-bangsa-manchuria-tiongkok.html

No comments:

Post a Comment