Friday, October 24, 2014

Sistem Sosial dan Spiritualitas, Modal Utama Geopark Toba

Sistem Sosial dan Spiritualitas, 
Modal Utama Geopark Toba
Oleh: Jones Gultom.
Image
Produk tertinggi kebudayaan suatu kelompok etnis terlihat dari sistem sosial yang mendasarinya, sekaligus memperlihatkan tinggi-rendahnya peradaban masyarakat yang mendiaminya. Sistem sosial itu sendiri tak lain merupakan rangkuman dari berbagai nilai yang dianut. Di dalamnya ada bahasa, aksara, sistem politik dan pemerintahan, ekonomi, lingkungan, budaya serta kesenian. Semunya berkorelasinya untuk mencapai keharmonisan. Inilah syarat penting dalam konsep Geopark Toba, yang dalam beberapa tahun terakhir santer dibicarakan.
Pada masyarakat Batak (Toba) ciri-ciri itu, sampai kini masih diterapkan. Sistem sosialnya, bahkan telah teruji sampai ribuan tahun. Konsep Dalihan Na Tolu (DNT) yang diduga bercikal pada Suhi Na Ampang Opat, (empat sudut talam) misalnya, masih tetap dipraktikkan sampai sekarang. Barangkali inilah sistem sosial tertua yang masih eksis di abad modern ini.
Memang ada silang pendapat yang menyebut bahwa DNT baru muncul pada tahun 1950-an, seperti yang dikemukakan Peneliti Universitas Leiden Belanda, Johann Angerler. Menurut Johann konsep itu telah digunakan pada institusi Bataks Studiensfonds yang merupakan perhimpunan Batak di Kotanopan. Tetapi pada saat itu, konsep tersebut masih kurang akrab dengan orang Toba. Barulah setelah era kemerdekaan konsep itu sangat populer. Demikian pula dengan penggunaan konsep Tarombo (silsilah) yang diduga baru muncul pada tahun 1920-an yakni berupa adanya pencatatan silsilah orang Batak Toba.
Tetapi tesis itu segera terpatahkan. Dari catatan sejarah, ternyata leluhur masyarakat Batak sudah lama menerapkannya. Yang termuda dapat dilihat dari sejarah dinasti Sisingamangaraja yang dimulai abad ke-16. Lebih jauh, praktik itu telah terekam dalam mite Si Raja Batak kurang lebih abad ke-13.
Jika menggunakan standart waktu itu, sistem sosial itu diduga baru berusia 700 tahunan, Namun bila ditelusuri berdasarkan jejak-jejak spiritual dan catatan sejarah yang ditinggalkan, bukan tidak mungkin, ia telah berusia ribuan tahun. Kerajaan Barus sendiri, sudah mengalami masa kejayaan di abad ke-6. Artinya sebelum abad ke-6 itu, pasti telah tumbuh sebuah peradaban di daerah itu. Dari buku “Raja-Raja Barus” karangan Jane Drakard, malah disebutkan adanya interaksi yang intens antara masyarakat pesisir Barus dengan kelompok masyarakat Batak di hulu (sekarang masuk wilayah Humbanghasundutan). Interaksi ini berkaitan dengan transaksi ekonomi (kemenyan dan kapur barus). Kelompok masyarakat di hulu itu kemudian disebut Batak. Disebutkan bahwa masyarakat hulu itu telah cukup beradab. Tesis ini sangat memungkinkan, mengingat mereka telah mengenal sistem perdagangan dengan baik. Dijelaskan juga bahwa telah terjadi relasi antara raja-raja setempat yakni Raja Barus Hulu dan Barus Hilir.
Di masa-masa abad ke-6 itu pula, seperti disinggung Drakard, nama tokoh spiritual Batak, yakni Raja Uti, sudah disebut-sebut. Raja Uti dianggap sosok perintis kerajaan Barus mula-mula. Tokoh ini kemudian berdinasti sampai dengan Raja Uti 12. Jika kemudian, Raja Uti, yang menurut keyakinan sebagian besar orang Batak adalah anak si Raja Batak, maka bisa disimpulkan mite Raja Batak hadir belakangan jika dibandingkan dengan fakta-fakta sejarah. Artinya, keberadaan orang Batak dengan segala peradabannya itu, jauh sudah lebih ada daripada mite penciptaannya sendiri.
Sementara jika ditilik dari spiritualitasnya, makrokosmos masyarakat Batak, didasarkan atas keyakinan adanya hubungan banua ginjang-tonga-toru. Konsep itu kemudian direpresentasikan melalui DNT. Yakni manifestasi spiritualitas Si Boru Deak Parujar, yang diyakini sebagai pencipta “Tano Batak”. Trinitas Batara Guru, Bala Bulan dan Sori Sohaliapan, sebagai 3 dewa utama dalam ajaran Batak juga menganut sistem kekerabatan itu. Dimana posisi Batara Guru, dianggap sebagai hula-hula (pemberi anak perempuan) kepada kedua lainnya.
Jika merujuk pada keyakinan Parmalim, DNT sebenarnya sudah lama ada, yang dirintis oleh Raja Uti. Cikalnya berasal dari konsep “Suhi Na Ampang Na Opat.” Dalam Suhi Na Ampang Na Opat” ditambahkan satu unsur lagi dari DNT, yakni “Hormat Maraja”. Menurut keyakinan Parmalim, seperti tertulis dalam buku “Agama Malim di Tanah Batak” oleh Prof. Ibrahim Gultom, pencopotan unsur “Hormat Maraja” itu dilakukan oleh Belanda untuk mengurangi kekuasaan raja sehingga mempermudah kolonialisasi.
Terlepas silang pendapat itu, sebagaimana sebuah ajaran, DNT mengandung nilai-nilai yang universal. DNT adalah sistem demokratis yang didasari semangat “sapargondangan.” “Sapargondangan” berarti kebersamaan dalam pelaksanaan hak dan tanggungjawab. Penerapannya tak melulu fungsional, namun lebih menekankan keberadaan seseorang yang ketika dengan sadar mengikatkan diri pada satu sistem sosial yang ditandai dengan pernikahan. Bahwa ketika seseorang mendapatkan haknya, maka ia mesti pula melakukan kewajiban-kewajiban yang berkolerasi di dalamnya.
Menuju Keharmonisan
Seperti kebanyakan suku bangsa, Batak mengajarkan keharmonisan. Keberadaan makhluk hidup didudukkan sebagai penyeimbang keselarasan alam. Eksistensinya diakui. Setiap yang bernyawa berarti memiliki roh. Setiap yang mempunyai roh, berarti memiliki peran di dalam alam. Karenanya, Batak tidak mengenal istilah eksploitasi. Pemanfaatan alam disesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan. Keharmonisan itu juga terlihat dari konsepsi mereka terhadap dunia astronomi-astrologi. Dalam hal ini, Batak meyakini adanya aturan baku yang menjamin ketetapan alam. Kejadian alam direspon secara reflektif. Hal itu terwujud dalam berbagai ritus penting, antara lain, Horja Bius, Mangalahat Horbo sampai Pamelean Bolon.
Usaha menuju keharmonisan itu, juga dimanifestasikan dalam ajaran Batak, ekspresi seni, merupakan manifestasi penghormatan terhadap alam dan Sang Pencipta. Tidak hanya dalam bentuk reportoar, namun juga secara fisik. Gondang misalnya. Seperangkat alat musik pentatonik yang terdiri atas, taganing, ogung, sarune bolon, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Secara fisik, seperangkat gondang sendiri merupakan perwujudan akan nilai-nilai spiritual. Sarune contohnya, adalah untaian doa yang di dalamnya terdapat permohonan
Meski begitu, masing-masing instrumentnya mengandung simbol tersendiri. Batak tak mengenal konsep seremoni dalam ekspresi seninya. Ekspresi keseniannya merupakan doa. Tak heran jika pemain gondang yang disebut pargoncci itu, dianggap representasi Batara Guru (salah satu dewa orang Batak) yang bertugas penyampai doa kepada Sang Pencipta.
Geopark Sebagai Habitus Baru
Masyarakat Batak telah mengalami sejumlah persoalan yang kompleks sebagai imbas dari kemelut ekonomi, politik dan agama yang terjadi, jauh sebelum masa kolonialisme. Menurut dugaan, tekanan yang dialami masyarakat Batak di berbagai fase sejarahnya itu, menyebabkan kelompok masyarakat ini kemudian bergegas mencari kehidupan baru. Merosotnya Barus di kemudian hari, akibat intervensi politik-ekonomi oleh Kerajaan Aceh maupun Pagaruyung, setelah abad ke -6 itu, menyebabkan kelompok masyarakat ini hijrah mencari tempat dan penghidupan baru. Saya menduga mereka pergi melalui jalur Pantai Barat hingga sampai ke Dolok Sanggul dan bergabung dengan masyarakat yang ada di sana. Sementara dari Pantai Timur, mereka menuju Silindung. Di kedua wilayah ini, mereka kemudian menemukan sentralnya di Balige. Simpang siur muasal ini, boleh jadi mendorong sejumlah pemikir kebudayaan membuat semacam regalia.,
Dua syarat yang diajukan sebagai penanda Batak yakni konsep DNT dan tarombo, tak lain adalah model untuk mewujudkan konsep geopark Toba. Mengingat falsafah yang terkandung dalam DNT itu, merupakan manifestasi spiritual masyarakat Batak dalam memaknai ruang gerak hidupnya, terhadap alam. Dari sisi itu, masyarakat Batak sebenarnya sudah terlibat langsung dalam konsep-konsep pemeliharaan alam dan kehidupan yang berkelanjutan, seperti yang dicita-citakan penggagas geopark Toba. ***
* Penulis adalah budayawan. Aktif di Jendela Toba, untuk mewujudkan Geopark Toba

Sumber: Analisa Daily, 22/3/'13
http://jendelatoba.wordpress.com/2013/04/02/sistem-sosial-dan-spiritualitas-modal-utama-geopark-toba/

No comments:

Post a Comment