Friday, October 24, 2014

Sistem Demokrasi dalam Kebudayaaan Masyarakat Batak Toba

Sistem Demokrasi dalam Kebudayaaan Masyarakat Batak Toba

Selasa, 22 November 2011 
Banyak kalangan meyakini bahwa sistem demokrasi berasal dari belahan dunia Barat (Eropa). Dimulai dengan kemunculan polis state di Athena, Yunani, sekitar abad ke 5 sebelum Masehi, hingga akhirnya meletus Revolusi Perancis tahun 1789 yang mengakhiri  monarki absolut dan merintis kelahiran sistem demokrasi liberal di Eropa. Tidak jarang pula sistem demokrasi liberal-parlementer ala Eropa Barat menjadi rujukan para aktivis pro demokrasi, juga para akademisi dan intelektual yang memang lahir dari ‘rahim’ dunia pendidikan Barat. Tidak mereka sadari bahwa sistem demokrasi yang berbasiskan pengorganisiran sosial dan pengambilan keputusan yang melibatkan orang banyak dalam suatu komunitas (masyarakat) sejatinya telah menjadi tradisi dalam kebudayaan banyak suku di Indonesia. Salah satu suku yang memiliki tradisi demokrasi dalam sistem sosialnya adalah Batak Toba.

Sistem  Harajoan
Batak Toba merupakan salah satu sub suku dari suku Batak yang berdomisili di Provinsi Sumatra Utara. Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai kebudayaan unik, diantaranya; terlihat dalam  sistem sosial mereka yang disebut dengan harajoanHarajoan dapat didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat  Batak Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta. Harajoan tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun huta, tetapi juga mengatur  mengenai luas teritori dan pola serta otorisasi  kepemimpinan dalam suatu suku dan huta (Vergouwen, 1986).

Dalam sistem Harajoan, kepemimpinan dalam satu suku dinamakan Raja Maropat. Posisi Raja Maropat ini erat kaitannya dengan kelompok kekerabatan yang disebut marga. Hal ini terkait juga dengan mitologi suku Batak yang meyakini bahwa seluruh orang Batak dari berbagai sub suku adalah keturunan Si Raja Batak yang kemudian melahirkan banyak keturunan. Keturunan Si Raja Batak inilah yang mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tertentu guna memperjelas identitas genealogis mereka. Kelompok-kelompok itulah yang disebut marga. Penentuan pemimpin dalam kelompok suku itu berdasarkan pada silsilah marga atau tarombo dari masing-masing anggota suku. Bila berdasarkan tarombo tersebut ada seseorang yang silsilahnya mendekati garis keturunan terdekat dari Si Raja Batak, maka orang itu dapat diangkat sebagai pemimpin.

Ketika beberapa suku telah sepakat untuk tinggal bersama dalam suatu daerah, maka di daerah tersebut akan didirikan suatu kampung atau huta. Huta dapat didefinisikan sebagai persekutuan terkecil masyarakat Batak (Vergouwen, 1986). Huta dipimpin oleh seorang Raja Huta. Biasanya yang dipilih oleh penduduk huta untuk menjadi Raja Huta adalah pendiri huta yang bersangkutan.

Makin lama huta makin dipenuhi oleh penduduk dari berbagai suku di Batak Toba. Akhirnya beberapa penduduk pindah dan membentuk huta  baru. Hasilnya, banyak terbentuk huta di daerah kebudayaan Batak Toba. Beberapa diantara huta tersebut kemudian membentuk federasi atau persekutuan guna mewujudkan tujuan bersama diantara mereka. Persekutuan tersebut dinamakan Horja. Horja dipimpin oleh seorang Raja Horja yang dipilih dari para raja huta yang bergabung dalam federasi horja. Namun pemilihan Raja Horja ini tidaklah melalui voting, melainkan musyawarah secara terbuka.

Musyawarah untuk mufakat pun menjadi bagian dari perencanaan pendirian huta baru. Di tingkat huta, ada mekanisme musyawarah yang  membahas niat beberapa suku untuk mendirikan satu perkampungan atau huta baru. Mekanisme tersebut tonggo raja atau marria raja. Dalam tonggo raja, setiap raja suku ataupun penduduk berhak menyampaikan aspirasinya masing-masing. Musyawarah tersebut membahas persetujuan suku-suku lain terhadap pembangunan huta baru. Apabila hasil dari musyawarah itu tidak memberikan peluang bagi terbentuknya huta baru, maka pendirian huta harus dibatalkan atau ditunda. Pihak yang merasa keberatan dengan hasil musyawarah dapat menyampaikan aspirasinya ke tingkat horja untuk dibahas kembali. Tampak adanya mekanisme banding seperti yang terdapat pada pranata hukum modern.

Dalam huta maupun horja tidak ada pranata yang mengatur aspek religiusitas masyarakat Batak Toba. Aspek religiusitas baru dikelola dalam suatu lembaga yang secara struktural lebih tinggi dari horja. Lembaga itu adalah Bius. Bius merupakan perserikatan yang terdiri dari kelompok-kelompok marga yang ada di beberapa  horja.  Perserikatan bius ini dipimpin oleh  raja bius yang terdiri dari terdapat empat orang (raja na opat), yaitu Raja Parmalim (religi), Raja Adat (hukum adat), Raja Parbaringin (sosial, politik dan keamanan), Raja Bondar (ekonomi). Raja Parmalim merupakan bagian dari Raja Bius yang memiliki otoritas dibidang agama, dalam hal ini agama Parmalim (agama asli Batak).

Masing-masing dari Raja bius itu dipilih oleh wakil-wakil dari kelompok marga. Raja Parbaringin, misalnya,  dipilih oleh penduduk dari tiap-tiap  marga dalam bius melalui suatu musyawarah.
Terdapat hal menarik dari bius. Dalam lembaga tersebut ada pemimpin perempuan yang disebut Paniaran. Panjaran berfungsi sebagai “penyambung lidah” kaum perempuan dalam bius. Paniaran dapat diistilahkan pula sebagai cerminan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat luas (khususnya kaum perempuan) di tingkat bius.

Refleksi Demokrasi Indonesia
Demokrasi harajoan ala Batak Toba merefleksikan betapa kayanya masyarakat nusantara akan nilai-nilai demokrasi yang muncul sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia Indonesia jauh sebelum datangnya pengaruh asing di negeri ini. Ilmuwan sosial dari Universitas Leiden, Belanda, Dr. Johann Angerler, berkesimpulan bahwa masyarakat Batak Toba telah mengenal demokrasi jauh sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Justru kolonialisme Belanda lah yang telah menghancurkan pranata demokratis dalam masyarakat Batak Toba seiring dengan penyebaran Zending Kristen yang memarjinalkan agama Parmalim. Sebelum kedatangan pihak Belanda, upaya penghancuran budaya demokratis masyarakat Batak Toba juga dilakukan oleh kaum fundamentalis Paderi dari Minang yang terpengaruh mazhab asing yang berasal dari Arab Saudi, Wahabi. Pasca kemerdekaan, tepatnya di era Orde Baru, penghancuran sistem demokrasi Batak Toba berjalan secara lebih sistematis melalui penerapan UU Desa tahun 1974.

Sistem harajoan yang merupakan sistem kemasyarakatan Batak Toba adalah cerminan demokrasi Indonesia atau sosio demokrasi yang berbasiskan pada musyawarah untuk mufakat. Hal ini membuka mata kita bahwa bangsa ini memiliki kearifan lokal yang kongruen dengan spirit demokrasi yang melibatkan orang banyak dalam pengambilan keputusan pada suatu masyarakat. Namun liberalisasi politik pasca reformasi justru menjerumuskan bangsa ini pada demokrasi voting khas Barat yang berbasiskan kekuatan pemodal. Sekiranya kita sebagai bangsa menyadari bila suatu hal yang datang dari luar belum tentu baik bagi bangsa ini, bahkan mungkin akan membawa bencana.  Jangan sampai kisah “Kuda Troya” terjadi berulang kali pada bangsa dan negara ini.

Hiski DarmayanaKader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropoloogi Universitas Padjajaran (Unpad)

No comments:

Post a Comment