Melongok Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu di Kaki Gunung Sinabung
Bisnis.com, MEDAN - Keanekaragaman budaya Indonesia memang tidak ada habisnya untuk dikagumi dan dipelajari.
Keanekaragaman suku bangsa dan bahasa dapat dilihat dari hasil-hasil budaya yang memiliki ciri khas masing-masing dan telah menjadi identitas budaya yang mampu dipertahankan hingga kini.
Seperti suku-suku lainnya yang memiliki rumah adat, di Suku Karo yang terdapat di Kabupaten Karo, Sumatra Utara, juga terdapat rumah adat, dimana rumah adat Karo bernama Rumah Siwaluh Jabu.
Rumah Adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen-ornamennya yang kaya akan nilai-nilai filosofis.
Bentuk, fungsi dan makna Rumah Adat Karo menggambarkan hubungan yang erat antara masyarakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Pemilihan bahan untuk membangun Rumah Adat Karo serta proses pembangunannya yang tanpa menggunakan paku besi atau pengikat kawat, melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan Rumah Adat Karo.
Keberadaan Rumah Adat Karo juga tak terlepas dari pembentukan Kuta (kampung) di Tanah Karo yang berawal dari Barung, kemudian menjadi Talun, dan menjadi Kuta dan di dalam Kuta yang besar terdapat Kesain.
Pada sebuah Barung biasanya hanya terdapat sebuah rumah sederhana, ketika sebuah Barung berkembang dan sudah terdapat 3 rumah di dalamnya disebut dengan Talun dan bila telah terdapat lebih dari 5 Rumah Adat disebut sebagai Kuta.
Ketika Kuta sudah berkembang lebih pesat dan lebih besar maka Kuta dibagi atas beberapa Kesain (halaman/pekarangan), disesuaikan dengan merga-merga yang pertama manteki (mendirikan) Kuta tersebut.
Pembangunan Rumah Adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah Adat menggambarkan kebesaran suatu Kuta (kampung). Sebab, dalam pembangunan sebuah Rumah Adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakan waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu pembangunan Rumah Adat dilakukan secara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan. Kegiatan gotong-royong ini terutama digerakkan oleh Sangkep Sitelu (sukut, kalimbubu dan anak beru) yang dibantu oleh Anak Kuta (masyarakat kampung setempat).
Hal ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan sebuah Kuta menggambarkan struktur sosial dan tatanan organisasi yang tinggi pada masyarakat Karo, yang terdiri dari pihak Simantek Kuta (pendiri kampung), Ginemgem (masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Simantek Kuta) dan Rayat Derip (penduduk biasa).
Rumah adat ini disebut dengan rumah Siwaluh Jabu karena di dalam rumah adat Karo memiliki delapan ruang dan ditempati oleh delapan keluarga atau Jabu yang berada dalam satu rumah. Namun, terkadang ada juga rumah adat yang terdiri dari empat ruang maupun enam belas ruang.
Di dalam rumah Siwaluh jabu memiliki ciri khas yang unik. Keunikan di dalam rumah Siwaluh Jabu bisa dilihat dari atap bangunan yang ditandai dengan hiasan kepala kerbau lengkap dengan tanduk-tanduknya pada setiap sisi ujung-ujung atap rumah.
Adanya kepala kerbau dan tanduk-tanduk kerbau ini mempunyai makna tersendiri yaitu sebagai lambang kesuksesaan pemilik rumah ataupun sebagai penangkal marabahaya.
Dalam Rumah Siwaluh Jabu, ketentuan adat juga berlaku seperti dalam proses pendirian rumah adat tersebut sampai kehidupan di dalam rumah, dan juga penempatan ruang atau jabu juga diatur oleh ketentuan adat.
Selain itu pendirian suatu rumah adat Karo atau Rumah Siwaluh Jabu, harus ditentukan berdasarkan arah hilir (Kejahe) dan hulu (Kejulu) sesuai dengan aliran air sungai yang terdapat di suatu kampung yang mendirikan rumah adat tersebut.
Salah satu desa yang masih memiliki Rumah Adat Karo adalah Desa Dokan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Selain di Dokan, ada juga di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo yang semuanya berada tidak jauh dari Gunung Sinabung.
Boru Sembiring, nenek berusia 83 tahun ini menghuni salah satu rumah adat yang ada di Desa Dokan. Dia bahkan tidak mengetahui tepat berdirinya rumah yang telah didiami secara turun temurun itu.
Dia mengaku dilahirkan di Siwaluh Jabu milik keluarganya itu. Sejak saat itu, rumah peninggalan nenek moyangnya hampir belum pernah direnovasi total. Hanya ada renovasi akibat kebocoran atap dan penggantian lantai kayu.
Siwaluh Jabuh yang didiami Boru Sembiring bernama Rumah Mbelin. Di Desa Dokan pada awalnya terdapat sekitar 15 Siwaluh Jabu. Namun, kini hanya tersisa sekitar 5 Rumah Adat Karo yang tetap bertahan dimakan usia.
"Saya lahir di sini, sekarang saya berusia 83 tahun, rumah ini sudah lebih dari itu umurnya. Pembuatan rumah ini tanpa ada paku dan baja, semua dari kayu dan tali," ungkapnya dengan bahasa Karo.
Di dalam rumah itu, ada 8 keluarga dengan 4 dapur yang saling berhadapan. Tidak ada ruangan khusus untuk memisahkan keluarga-keluarga itu. Mereka hanya dipisahkan oleh tirai kain yang bahkan pada zaman dahulu tidak pernah menggunakan tirai.
Suami Sembiring telah meninggal beberapa tahun silam. Dia memiliki 3 orang anak dan 13 cucu yang kesemuanya mendiami Rumah Siwaluh Jabu. Tak jarang orang bule meneliti rumah adat tersebut untuk keperluan ilmiah.
"Sejak dulu sampai sekarang, rumah ini tidak pernah roboh karena gempa bumi karena semuanya menggunakan unsur kayu. Banyak yang penelitian di sini, mereka mau belajar bagaimana cara membuat rumah Siwaluh Jabu," paparnya.
Desa Budaya Dokan terletak di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Berjarak 98 Km dari Medan dan 14 Kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. Desa ini dihuni oleh 385 kepala keluarga dengan 1.487 jiwa.
Rumah Adat Karo yang masih aktif digunakan di Desa Dokan antara lain Rumah Mbaru, Rumah Tengah, Rumah Sendi, Rumah Mbelin, dan Rumah Ketek. Material untuk membuat rumah ini hanya menggunakan kayu pengkih, ijuk, dan buluh belangkai.
Editor : Sutarno
Sumber:
http://m.bisnis.com/quick-news/read/20131106/78/184785/melongok-rumah-adat-karo-siwaluh-jabu-di-kaki-gunung-sinabung
No comments:
Post a Comment