Friday, October 10, 2014

Kisah Orang Mandailing di Malaysia


Kisah Orang Mandailing di Malaysia


MANDAILING
        Antara Melayu dan Jawa atau suku-suku lain Indone­sia. Semua disebut Melayu, dan otomatis semua Islam. Bahkan keturunan Jawa di sana tampak heran ketika dituturkan bahwa di Jawa banyak orang Jawa tak beragama Islam. “Bagaimana mungkin ada orang Melayu yang bukan Islam?” Toh orang kita di Malaysia bukan cuma keturunan Jawa. Ada yang lain, yang cukup menonjol, yaitu orang Mandailing. Mereka juga Islam, tentu saja.
          Seperti orang Jawa, kedatangan mereka di Malay­sia yang pertama kali pun tak diketahui benar. Sejarah tak mencatatnya. Hanva, diduga bahwa para pemulanya adalah perantau temporer yang melakukannya karena adat.
Ketika negara-negara Hindu berkembang di pulau-pulau Selat Malaka, orang Sumatera merintis jalan ke Malaya. Tapi arus dua arah ini berkurang setelah berlangsung islamisasi Malaya di bawah Kerajaan Malaka, abad ke-15. Orang Mandailing, Tapanuli Selatan, secara budaya tak termasuk Melayu.
           Baru pada abad ke-19, selama berlangsungnya Perang Paderi (1810-1830) di Sumatera, tatkala masyarakat Mandailing memeluk Islam, mereka “di melayukan”.
Kejadiannya dimulai oleh Belanda, yang dengan pelan tetapi mantap mencengkeramkan kukunya di Sumatera. Belanda-Belanda ini dimintai bantuan oleh raja-raja Mandailing yang waktu itu berperang melawan kaum Paderi Minang.
Belanda mengirim pasukan, dan mereka menang. Tetapi-para raja Mandailing harus membayar mahal setelah perang selesai, Belanda membuka kantor-kantor pemerintahan dan menjalankan fase baru proses kolonisasi. Termasuk meminta tenaga buruh dan hasil panen yang lebih banyak.
                Bersama dengan ekonomi yang bobrok karena perang, tindakan penjajah itu meresahkan penduduk. Maka, mulailah arus pendatang Mandailing ke Malaya. Mereka pergi bersama para guru agama Minangkabau yang tinggal di Mandailing setelah Perang. Orang Minang, yang sudah banyak berdiam di Malaya sebagai penambang emas, menjadi ikutan mereka.
Jadi, tak mengherankan jika diketahui bermukimnya orang Mandailing di Malaysia pertama kali tahun 1870-an. Ketika itu muncul Kampung Kerinci dekat. Apalagi dengan adanya Belanda di daerah mereka.
           Untungnya, orang Mandailing telah menyerap ilmu dari penjajahnya, yaitu mengolah perkebunan. Tanam Paksa di Sumatera, menurut Donald Tugby, orang Australia yang meneliti masyarakat Mandailing di Malaysia, yang diberlakukan dalam waktu singkat, telah membuat rakyat Mandailing terlatih dalam produksi tanaman keras. Itulah yang lalu mereka praktekkan di tanah air mereka yang baru.
Sekitar 20 tahun setelah dua perkampungan pertama di Perak itu, seorang guru agama membentuk lagi sebuah masyarakat Mandailing. Antara 1899 dan 1916, kembali terbentuk 24 kelompok di sebelah barat negeri. Sebagian besar merupakan kelompok kecil di lokasi baru. Tetapi lima lainnya bergabung dengan permukiman lama.
          Sejak saat itu, sampai meletusnya PD II, di Malaya hanya terdapat lima kelompok baru masyarakat Mandailing. Semua merupakan perpindahan dari kampung lain yang mungkin telah penuh. Setelah berakhirnya PD II, sampai 1968, tercatat empat kelompok dipindahkan ke permukiman baru. Semuanya dilakukan selama periode darurat perang yakni ketika perlawanan komunis sedang hebat-hebatnya. Jadi, ini merupakan kebijaksanaan penguasa baru untuk membawa masyarakat yang hidup jauh terpencil ke dalam pengawasan pasukan keamanan, agar tidak sampai dipengaruhi gerilya ko­munis.

MASJID JAMI REJOSARI, RENGIT, BATU PAHAT Kuala Kampar, dengan penghuni enam atau tujuh tukang besi. Tempat lainnya di Perak, Sungai Siput, yang juga tak jauh dari Kuala Kampar, yang terkenal dengan hasil produksinya pisau dan parang, juga desa-desa baru dengan sawahnya di Sungai bawah Changkat, Perak.
          Menurut Leech, orang Eropa pengamat sejarah, penduduk sekitar situ sangat tergantung pada “orang-orang Melayu asing” yang ternyata Man­dailing. Yap Ah Loy, kapitan Cina berpengaruh yang ikut mengembangkan Kuala Lumpur menjelang akhir abad ke-19, disebut-sebut ikut membujuk pemukim di perkampungan Mandailing dari Ulu Langat di Selangor untuk menanam padi.
Dengan cepat orang Mandailing menjadi makmur, dan tak berminat untuk pulang ke daerah asal.
           Salah satu kampung Mandailing itu adalah Krangai, 125 km sebelah tenggara Kuala Lumpur. Sedikit pun tak terasa suasana Tapanuli di kampung itu. Rumah mereka,. semuanya berbentuk panggung, seperti juga rumah-rumah si Jawa Melayu. Rumah-rumah itu berjajar di sebelah kanan jalan tunggal desa yang sudah beraspal. Ada pula rumah yang sampai melahap punggung bukit di belakangnya.
Di sebelah lain jalan, agak menjorok ke dalam, terbentang hutan karet luas. Itulah sumber utama penghidupan penduduk yang berjumlah 300 jiwa. Dari hutan itu setiap bulan setiap orang bisa menyadap sampai 400 kg getah. Cukup untuk makan, menyekolahkan  anak,  dan  keperluan lain.
          Suasana Tapanuli baru terasa ketika mendengarkan percakapan mereka. Semuanya menggunakan bahasa Man­dailing, termasuk anak-anak yang di sekolah berbicara Melayu. Ini sungguh berbeda dengan suku-suku Sumatera lain yang tinggal di Malaysia suku-suku lain itu umumnya sudah tak tahu lagi bahasa datuk-datuknya. Bahkan ketika berbicara Melayu, lidah Mandai­ling ini masih terdengar tebal.
“Tentu saja tebal lidah Bataknya,” kata Nyonya Suhaimi Nasution, yang bermukim di Kampung Baru Kuala Lumpur dan masih warga negara Indo­nesia. “Mereka bergaul hanya dengan sesama mereka.” Lebih dari itu, bahasa Mandailing mereka konon lebih asli ketimbang yang di daerah asal mereka sendiri.
            Sifat mereka yang tertutup itulah yang menyebabkan bahasa itu masih tetap sama dengan yang dipakai kakek-kakek mereka lebih 100 tahun lalu. Nyonya Nasution, ketika berkunjung ke Krangai dua tahun lalu, kadang-kadang tak mengerti beberapa perkataan yang mereka ucapkan, meski sama-sama berasal dari Mandailing Godang. Menurut dia, di daerah aslinya itu kata-kata itu sudah tak dipakai lagi. Sudah bercampur dan berubah mengikuti zaman.
Jika bahasanya masih murni, sebagian kebudayaan dari daerah asal mereka justru sebaliknya. Di Krangai, suling Batak tak pernah lagi dimainkan. Yang tersisa hanya upacara perkawinan, yang tampaknya masih asli. Menurut Abdulmaki Hasibuan, kopral polisi dari kampung itu, begitu selesai upaca­ra perkawinan, pengantin wanita bersama barang-barang miliknya langsung diboyong ke rumah lelaki seperti biasanya adat Mandailing. Orang tua dan keluarga kedua mempelai, seperti adat asli, satu demi satu memberi nasihat bagi kerukunan pasangan baru itu, sementara sanak keluarga pengantin perempuan meratap karena sang putri akan mening­galkan mereka.
            Dalam saat-saat seperti itu berbagai bunga adat dipertunjukkan. Misalnya marcilek, silat juga upah-upah, sesajen untuk memuja semangat alias roh. Adat yang kedua ini juga dijalankan jika ada orang sakit atau meninggalkan kampung halaman. Sebaliknya, jika ada sanak yang datang dari jauh, upacara marjamu dilakukan.
Toh ada pula perbedaan pada upacara perkawinan itu. Pengantin tidak lagi duduk di tikar berlapis tiga seperti pada adat asli. Anak-anak mudanya ternyata lebih suka duduk di kursi. Meski demikian, masih saja ada yang membuat tikar pelaminan. Entah untuk apa.
“Orangtua saya dulu sangat marah kalau mendengar anaknya mempunyai atau menyetel radio,” kata Nyonya Alimudin Lubis boru Pane. Menurut pengakuan istri ketiga kepala kampung ini, ia dan saudara-saudaranya tak takut diancam begitu macam. Mereka, kaum muda itu, tetap saja menyetelnya. Sampai akhirnya ayahnya bosan sendiri, dan membiarkan saja.
Di   kampung   Mandailing   itu   ada   pula   seorang
ISWOTO MEMILIKI TOMBAK DAN KERIS
pemuda yang terang-terangan tak mau mengikuti petuah pa­ra sesepuh kampung. Dia kawin dengan wanita Melayu bu­kan Mandailing. “Kami warga negara Malaysia juga bangsa Malaysia. Tak boleh menutup diri dari orang luar, karena ini negeri multirasial,” katanya dengan yakin.
        Tampaknya, keterbukaan semacam ini masih susah bagi umumnya penduduk Kampung Krangai, meski penduduknya menyatakan bahwa mereka tidak begitu. Wanita-wanita Krangai, terutama yang tua, akan menyelinap bersembunyi begitu melihat kemunculan seorang asing.
           Bukti lain ketertutupan adalah   tak   adanya   orang   non Mandailing yang umumnya  bermarga Nasution, Lubis, Harahap, Siregar, Pulungan, Batubara, Daulay, Hasibuan, Pa­ne tinggal di situ.  Kopral Hasibuan sendiri punya dalih. Kata dia, faktor bahasalah penyebabnya.  Masih  banyak orang tua di situ yang cuma bisa bahasa Mandailing. Pemuda yang kawin dengan wanita Melayu tadi tak mau tinggal di Krangai. Padahal, menurut adat, dia   harus   tetap   tinggal   di   kampung  setidak-tidaknya sang istri.
         Orang Kampung Krangai yang bekerja di “dunia luar” pun sedikit. Di antaranya beberapa orang menjadi guru, dan dua orang masuk perguruan tinggi, seorang di antaranya wanita belajar di AS. Ini betul-betul keistimewaan biasanya, begitu anak wanita menginjak usia sembilan tahun, ia diharuskan mengenakan tutup kepala.
Tetapi mewajibkan tutup kepala itu bukan adat. Di Mandailing sendiri, menurut Ny. Suhaemi Nasution, tak ada aturan seperti itu. Mungkin itu terjadi karena ketaatan kepada agama yang lebih terasa di Malay­sia. Dalam banyak hal, agama memang membentuk mereka. Misalnya, mereka menolak program keluar­ga berencana yang dijalankan pemerintah. Kopral Abdulmaki sendiri punya 18 anak dari dua istrinya.                   Yang luar biasa, Mandailing Malaysia ini menolak untuk manortor, menari tortor, yang sangat khas itu. Alasannya sama bertentangan dengan agama, yang melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram bersentuhan. Meski begitu, upah-upah toh tetap dilakukan. Menurut pengakuan H. Yusuf Na­sution, sekretaris jenderal Ikatan Kebajikan Mandai­ling Malaysia (Iman), upah-upah tetap dilakukan karena dianggap hanya sebagai doa selamat dalam kenduri.
             Kampung Krangai sebenarnya baru berusia sekitar 50 tahun. Kampung itu dibuka oleh Tuan Syekh Abdul Karim, guru agama vang datang ke Malaya bersama para pengikut. Mula-mula Tuan Syekh masuk Sungai Bil di Perak, setelah itu pindah ke Kampung Palang, tak jauh dari istana Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan di Sri Menanti. Karena kampung itu tak begitu luas untuk berkebun, Tuan Syekh lalu minta izin mengolah tanah lain. Diizinkan. Dan mereka memperoleh lahan di hutan perawan di daerah bukit sekitar 25 km dari Sri Menanti. Kampung itu lalu diberi nama Langkap.
             Lama-kelamaan Tuan Syekh tak betah lagi. Tidak cuma karena terlalu jauh dari pekan di kota, tetapi juga karena tanah makin sempit dengan semakin bertambahnya orang Mandailing yang datang. la meminta tempat lain lagi kepada Yang Dipertuan. Dikabulkan. Dan ia pun membuka kampung baru itulah Krangai.
Orang Mandailing yang tinggal di Krangai, menurut Tengku Rahim pemuka adat yang bergelar Raja Malim Bendahara, kepala kampung dan cucu Tuanku Syekh berasal dari Kampung Tonggabesi, Sehepeng, Rokan, yang termasuk lingkungan Man­dailing Codang. Karena Tuan Syekh terbilang pelopor, di samping menjadi guru agama, keturunannya diangkat sebagai kepala kampung mulai dari Tengku Alias, ayah Tengku Rahim.
           Tetapi tak seorang pun tahu asal-usul gelar tengku yang dipakai keturunan Tuan Syekh. Gelar itu di Malaysia berarti keturunan raja atau bangsawan.


TEMPAT PEMROSESAN GETAH KARET DI KRANGAI, NEGERI SEMBILAN
KEBUN KELAPA MASYARARAT JAWA  DI REJOSARI

        Yusuf Nasution, Sekjen Iman, juga tak bisa menerangkannya. Hanya, ada dugaan, gelar itu berasal dari tuanku, yang di Tapanuli Selatan dan Aceh biasa dipakai para guru agama. Tengku Alias dikenal sebagai pembuka ranting Organisasi Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO) di kampung itu. Jabatan ketua kemudian diwariskannya kepada putranya, ketua yang sekarang, Tengku Rahim. Keanggotaan UMNO ini konon membawa keberuntungan. Misalnya meski kampung ini terpencil, beberapa kemudahan diperoleh dari pemerintah. Jalan raya beraspal, listrik, air minum, kredit, pupuk, langgar, masjid. Saat ini sebuah masjid jami yang lumayan besar sedang dibangun dengan biaya pemerintah.

           Di Malaysia jumlah orang Mandailing kira-kira 35.000. Semuanya terdaftar dalam Iman. Mereka tinggal di Cubadak Selayang, Sungai Cincin di Gombak Selangor, Kedah, Perak, dan Pahang. Hanya yang di Negeri Sembilan yang belum terpengaruh tradisi luar.
Kampung lain, Tambah Tin, yang terletak tak begitu jauh dari kampung Tuan Syekh yang pertama, Langkap, yang kini tak dihuni lagi. Kampung ini bertetangga dengan Krangai. Penduduknya cuma sekitar 100 jiwa. Karena itu, kampung itu digabungkan dengan Kra­ngai di bawah satu kepala kampung.
              Yang luar biasa, penduduk Tambah   Tin   sangat   dihargai penduduk Melayu di sekitarnya, terutama karena ketekunan mereka. Ny. Saadiah H. Ali, misalnya,  yang   rumahnya di Kampung   Talang,  sekitar 20 km di bawah Langkap, mengakui  orang-orang Mandailing ini sangat besar jasanya dalam menyediakan bahan  pangan bagi  penduduk sekitar. Ibu hajjah itu sendiri bukan orang Mandailing, ia keturunan Pagaruyung, Minangkabau. Lebih jauh Ny. Saadiah berkisah “Kalau ada sawah kami yang kurang subur,  kami biasanya mengupah orang Mandailing untuk mengerjakannya. Dalam waktu singkat sawah kami menjadi cantik.” Soalnya, menurut ibu hajjah tadi, kalau sudah bekerja, orang Mandailing hanya beristirahat untuk makan dan sembahyang. Baik pria maupun wanitanya, semuanya pekerja yang kuat dan rajin, tak suka membuang waktu. Senjatanya cuma cangkul dan beliung.
              Mereka, menurut Nyonya Saadiah lagi, juga sangat tertarik pada penemuan baru. “Seorang wanita Mandailing pernah menanyakan kepada saya tempat membeli beras ketan kuning. Katanya dia pernah makan ketan seperti itu, dan rasanya sangat lezat,” kata Ny. Saadiah. Setengah ketawa sang nyonya memberitahu bahwa ketan semacam itu tak ada. Yang ada ketan biasa, cuma dimasak dengan santan dan kunyit. Orang Mandai­ling itu manggut-manggut paham, dan dengan cepat mencobanya bahkan kemudian menjadikannya tradisi.
            Bahkan tradisi yang seperti punya merekalah yang dipakai Iman untuk melestarikan kebudayaan Man­dailing di Malaysia. H. Yusuf Nasution, sang sekjen, malah tak berhenti sampai di sini. la juga berusaha mengembalikan adat istiadat yang telah punah, dengan jalan memasukkan lagi ketentuan adat asli yang di daerah asal tidak lagi berlaku.
           Pemerintah Malaysia memang menyokong usaha semacam itu. Pemerintah kebetulan sedang berusa­ha menghidupkan kembali kebudayaan suku-suku Melayu. Mereka takut, kalau dibiarkan saja, kebu­dayaan itu akan hilang atau tercemar kebudayaan lain.  Seorang peneliti Australia, Donald Tugby, berpendapat bahwa kebudayaan Mandailing di Malaysia ternyata “sudah luntur”. Donald, yang pernah tinggal di daerah Mandailing pada 1955-1956, mulai mengadakan survei di permukiman Mandailing di Malaysia tahun 1962, dan diulangi tahun 1968, 1971, 1972, 1973, dan 1974. Penelitian itu ditulisnya dalam buku Cultural Change and Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia.
           Dia tadinya berharap akan menemukan sistem sosial Mandailing pra-PD II masih berlaku pada masyarakat Mandailing di Malaysia. Ternyata, dari 32


KOMPLEKS PERUMAHAN MODEL BIN, MUKIM AMPANG, KUALA LUMPUR
        Itu tentang Tambah Tin. Ada pula desa lain yang masih tergolong murni pula. Namanya Lanjut Manis. Penduduknya juga sangat dihargai rakyat sekitar.
Yang agak berbeda adalah sejarahnya. Kampung itu dibuka setelah perlawanan komunis sesaat setelah Jepang pergi. Laskar komunis ini, yang terkenal dengan nama Gerakan Bintang Tiga, sempat berkuasa di Malaysia selama tiga hari. Setelah Inggris masuk lagi, mereka ditumpas. Banyak komunis yang lari ke hutan sekitar Kampung Langkap, yang susah dijangkau komunikasi. Mereka mengancam penduduk kampung dan minta disediakan bahan makanan.
         Tak ada pilihan lain penduduk memenuhinya. Maka, pemerintah, yang mendapat info, segera memindahkan orang-orang Mandailing itu ke perkampungan baru. Lahirlah Kampung Lanjut Manis. Tradisi mereka pun masih asli.
kelompok masyarakat yang diselidikinya, tak satu pun yang masih melaksanakan sistem itu. Bahkan ternyata mereka telah betul-betul “kehilangan kebu­dayaan” yang dibawa dari daerah asal.
               Perubahan ini, menurut Tugby, terjadi karena berbagai sebab. Yang pertama, kemauan penduduk sendiri. Berikutnya, karena pembangunan ekonomi, seperti pembukaan tambang-tambang timah. Dan terakhir, karena kegiatan pemerintah, terutama da­lam pembangunan pedesaan.
Tugby menilai, cuma tinggai beberapa kelompok Mandailing yang tak begitu berubah. Mereka tinggal di daerah-daerah sawah basah dan perkebunan karet, misalnya Krangai, Tambah Tin, dan Lanjut Manis.
Karena itu, tiga kampung ini agaknya kampung Mandailing yang istimewa di Malaysia. Selebihnya baraneka sudah melebur.

( Sumber: Majalah TEMPO, 19 Januari 1985, “Selingan” yang berjudul “Orang Kita di Semenanjung’ halaman 33 – 43).
http://tambeh.wordpress.com/2014/03/03/kisah-orang-mandailing-di-malaysia/

No comments:

Post a Comment