Kisah Orang Mandailing di Malaysia
MANDAILING
Antara Melayu dan Jawa atau suku-suku lain Indonesia. Semua disebut
Melayu, dan otomatis semua Islam. Bahkan keturunan Jawa di sana tampak
heran ketika dituturkan bahwa di Jawa banyak orang Jawa tak beragama
Islam. “Bagaimana mungkin ada orang Melayu yang bukan Islam?” Toh orang
kita di Malaysia bukan cuma keturunan Jawa. Ada yang lain, yang cukup
menonjol, yaitu orang Mandailing. Mereka juga Islam, tentu saja.
Seperti orang Jawa, kedatangan mereka di Malaysia yang pertama kali
pun tak diketahui benar. Sejarah tak mencatatnya. Hanva, diduga bahwa
para pemulanya adalah perantau temporer yang melakukannya karena adat.
Ketika
negara-negara Hindu berkembang di pulau-pulau Selat Malaka, orang
Sumatera merintis jalan ke Malaya. Tapi arus dua arah ini berkurang
setelah berlangsung islamisasi Malaya di bawah Kerajaan Malaka, abad
ke-15. Orang Mandailing, Tapanuli Selatan, secara budaya tak termasuk
Melayu.
Baru pada abad ke-19, selama berlangsungnya Perang Paderi (1810-1830)
di Sumatera, tatkala masyarakat Mandailing memeluk Islam, mereka “di
melayukan”.
Kejadiannya
dimulai oleh Belanda, yang dengan pelan tetapi mantap mencengkeramkan
kukunya di Sumatera. Belanda-Belanda ini dimintai bantuan oleh raja-raja
Mandailing yang waktu itu berperang melawan kaum Paderi Minang.
Belanda
mengirim pasukan, dan mereka menang. Tetapi-para raja Mandailing harus
membayar mahal setelah perang selesai, Belanda membuka kantor-kantor
pemerintahan dan menjalankan fase baru proses kolonisasi. Termasuk
meminta tenaga buruh dan hasil panen yang lebih banyak.
Bersama dengan ekonomi yang bobrok karena perang, tindakan penjajah itu
meresahkan penduduk. Maka, mulailah arus pendatang Mandailing ke
Malaya. Mereka pergi bersama para guru agama Minangkabau yang tinggal di
Mandailing setelah Perang. Orang Minang, yang sudah banyak berdiam di
Malaya sebagai penambang emas, menjadi ikutan mereka.
Jadi,
tak mengherankan jika diketahui bermukimnya orang Mandailing di
Malaysia pertama kali tahun 1870-an. Ketika itu muncul Kampung Kerinci
dekat. Apalagi dengan adanya Belanda di daerah mereka.
Untungnya, orang Mandailing telah menyerap ilmu dari penjajahnya, yaitu
mengolah perkebunan. Tanam Paksa di Sumatera, menurut Donald Tugby,
orang Australia yang meneliti masyarakat Mandailing di Malaysia, yang
diberlakukan dalam waktu singkat, telah membuat rakyat Mandailing
terlatih dalam produksi tanaman keras. Itulah yang lalu mereka
praktekkan di tanah air mereka yang baru.
Sekitar
20 tahun setelah dua perkampungan pertama di Perak itu, seorang guru
agama membentuk lagi sebuah masyarakat Mandailing. Antara 1899 dan 1916,
kembali terbentuk 24 kelompok di sebelah barat negeri. Sebagian besar
merupakan kelompok kecil di lokasi baru. Tetapi lima lainnya bergabung
dengan permukiman lama.
Sejak saat itu, sampai meletusnya PD II, di Malaya hanya terdapat lima
kelompok baru masyarakat Mandailing. Semua merupakan perpindahan dari
kampung lain yang mungkin telah penuh. Setelah berakhirnya PD II, sampai
1968, tercatat empat kelompok dipindahkan ke permukiman baru. Semuanya
dilakukan selama periode darurat perang yakni ketika perlawanan komunis
sedang hebat-hebatnya. Jadi, ini merupakan kebijaksanaan penguasa baru
untuk membawa masyarakat yang hidup jauh terpencil ke dalam pengawasan
pasukan keamanan, agar tidak sampai dipengaruhi gerilya komunis.
MASJID
JAMI REJOSARI, RENGIT, BATU PAHAT Kuala Kampar, dengan penghuni enam
atau tujuh tukang besi. Tempat lainnya di Perak, Sungai Siput, yang juga
tak jauh dari Kuala Kampar, yang terkenal dengan hasil produksinya
pisau dan parang, juga desa-desa baru dengan sawahnya di Sungai bawah
Changkat, Perak.
Menurut Leech, orang Eropa pengamat sejarah, penduduk sekitar situ
sangat tergantung pada “orang-orang Melayu asing” yang ternyata
Mandailing. Yap Ah Loy, kapitan Cina berpengaruh yang ikut
mengembangkan Kuala Lumpur menjelang akhir abad ke-19, disebut-sebut
ikut membujuk pemukim di perkampungan Mandailing dari Ulu Langat di
Selangor untuk menanam padi.
Dengan cepat orang Mandailing menjadi makmur, dan tak berminat untuk pulang ke daerah asal.
Salah satu kampung Mandailing itu adalah Krangai, 125 km sebelah
tenggara Kuala Lumpur. Sedikit pun tak terasa suasana Tapanuli di
kampung itu. Rumah mereka,. semuanya berbentuk panggung, seperti juga
rumah-rumah si Jawa Melayu. Rumah-rumah itu berjajar di sebelah kanan
jalan tunggal desa yang sudah beraspal. Ada pula rumah yang sampai
melahap punggung bukit di belakangnya.
Di
sebelah lain jalan, agak menjorok ke dalam, terbentang hutan karet
luas. Itulah sumber utama penghidupan penduduk yang berjumlah 300 jiwa.
Dari hutan itu setiap bulan setiap orang bisa menyadap sampai 400 kg
getah. Cukup untuk makan, menyekolahkan anak, dan keperluan lain.
Suasana Tapanuli baru terasa ketika mendengarkan percakapan mereka.
Semuanya menggunakan bahasa Mandailing, termasuk anak-anak yang di
sekolah berbicara Melayu. Ini sungguh berbeda dengan suku-suku Sumatera
lain yang tinggal di Malaysia suku-suku
lain itu umumnya sudah tak tahu lagi bahasa datuk-datuknya. Bahkan
ketika berbicara Melayu, lidah Mandailing ini masih terdengar tebal.
“Tentu
saja tebal lidah Bataknya,” kata Nyonya Suhaimi Nasution, yang bermukim
di Kampung Baru Kuala Lumpur dan masih warga negara Indonesia. “Mereka
bergaul hanya dengan sesama mereka.” Lebih dari itu, bahasa Mandailing
mereka konon lebih asli ketimbang yang di daerah asal mereka sendiri.
Sifat mereka yang tertutup itulah yang menyebabkan bahasa itu masih
tetap sama dengan yang dipakai kakek-kakek mereka lebih 100 tahun lalu.
Nyonya Nasution, ketika berkunjung ke Krangai dua tahun lalu,
kadang-kadang tak mengerti beberapa perkataan yang mereka ucapkan, meski
sama-sama berasal dari Mandailing Godang. Menurut dia, di daerah
aslinya itu kata-kata itu sudah tak dipakai lagi. Sudah bercampur dan
berubah mengikuti zaman.
Jika
bahasanya masih murni, sebagian kebudayaan dari daerah asal mereka
justru sebaliknya. Di Krangai, suling Batak tak pernah lagi dimainkan.
Yang tersisa hanya upacara perkawinan, yang tampaknya masih asli.
Menurut Abdulmaki Hasibuan, kopral polisi dari kampung itu, begitu
selesai upacara perkawinan, pengantin wanita bersama barang-barang
miliknya langsung diboyong ke rumah lelaki seperti biasanya adat
Mandailing. Orang tua dan keluarga kedua mempelai, seperti adat asli,
satu demi satu memberi nasihat bagi kerukunan pasangan baru itu,
sementara sanak keluarga pengantin perempuan meratap karena sang putri
akan meninggalkan mereka.
Dalam saat-saat seperti itu berbagai bunga adat dipertunjukkan. Misalnya marcilek, silat juga upah-upah, sesajen
untuk memuja semangat alias roh. Adat yang kedua ini juga dijalankan
jika ada orang sakit atau meninggalkan kampung halaman. Sebaliknya, jika
ada sanak yang datang dari jauh, upacara marjamu dilakukan.
Toh
ada pula perbedaan pada upacara perkawinan itu. Pengantin tidak lagi
duduk di tikar berlapis tiga seperti pada adat asli. Anak-anak mudanya
ternyata lebih suka duduk di kursi. Meski demikian, masih saja ada yang
membuat tikar pelaminan. Entah untuk apa.
“Orangtua
saya dulu sangat marah kalau mendengar anaknya mempunyai atau menyetel
radio,” kata Nyonya Alimudin Lubis boru Pane. Menurut pengakuan istri
ketiga kepala kampung ini, ia dan saudara-saudaranya tak takut diancam
begitu macam. Mereka, kaum muda itu, tetap saja menyetelnya. Sampai
akhirnya ayahnya bosan sendiri, dan membiarkan saja.
Di kampung Mandailing itu ada pula seorang
ISWOTO MEMILIKI TOMBAK DAN KERIS
pemuda
yang terang-terangan tak mau mengikuti petuah para sesepuh kampung.
Dia kawin dengan wanita Melayu bukan Mandailing. “Kami warga negara
Malaysia juga bangsa Malaysia. Tak boleh menutup diri dari orang luar,
karena ini negeri multirasial,” katanya dengan yakin.
Tampaknya, keterbukaan semacam ini masih susah bagi umumnya penduduk
Kampung Krangai, meski penduduknya menyatakan bahwa mereka tidak begitu.
Wanita-wanita Krangai, terutama yang tua, akan menyelinap bersembunyi
begitu melihat kemunculan seorang asing.
Bukti lain ketertutupan adalah tak adanya orang non Mandailing yang
umumnya bermarga Nasution, Lubis, Harahap, Siregar, Pulungan,
Batubara, Daulay, Hasibuan, Pane tinggal di situ. Kopral Hasibuan
sendiri punya dalih. Kata dia, faktor bahasalah penyebabnya. Masih
banyak orang tua di situ yang cuma bisa bahasa Mandailing. Pemuda yang
kawin dengan wanita Melayu tadi tak mau tinggal di Krangai. Padahal,
menurut adat, dia harus tetap tinggal di kampung
setidak-tidaknya sang istri.
Orang Kampung Krangai yang bekerja di “dunia luar” pun sedikit. Di
antaranya beberapa orang menjadi guru, dan dua orang masuk perguruan
tinggi,
seorang di antaranya wanita belajar di AS. Ini betul-betul keistimewaan
biasanya, begitu anak wanita menginjak usia sembilan tahun, ia
diharuskan mengenakan tutup kepala.
Tetapi
mewajibkan tutup kepala itu bukan adat. Di Mandailing sendiri, menurut
Ny. Suhaemi Nasution, tak ada aturan seperti itu. Mungkin itu terjadi
karena ketaatan kepada agama yang lebih terasa di Malaysia. Dalam
banyak hal, agama memang membentuk mereka. Misalnya, mereka menolak
program keluarga berencana yang dijalankan pemerintah. Kopral Abdulmaki
sendiri punya 18 anak dari dua istrinya. Yang luar
biasa, Mandailing Malaysia ini menolak untuk manortor, menari tortor, yang
sangat khas itu. Alasannya sama bertentangan dengan agama, yang
melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram bersentuhan. Meski
begitu, upah-upah toh tetap dilakukan. Menurut pengakuan H. Yusuf Nasution, sekretaris jenderal Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia (Iman), upah-upah tetap dilakukan karena dianggap hanya sebagai doa selamat dalam kenduri.
Kampung Krangai sebenarnya baru berusia sekitar 50 tahun. Kampung itu
dibuka oleh Tuan Syekh Abdul Karim, guru agama vang datang ke Malaya
bersama para pengikut. Mula-mula Tuan Syekh masuk Sungai Bil di Perak,
setelah itu pindah ke Kampung Palang, tak jauh dari istana Yang
Dipertuan Besar Negeri Sembilan di Sri Menanti. Karena kampung itu tak
begitu luas untuk berkebun, Tuan Syekh lalu minta izin mengolah tanah
lain. Diizinkan. Dan mereka memperoleh lahan di hutan perawan di daerah
bukit sekitar 25 km dari Sri Menanti. Kampung itu lalu diberi nama
Langkap.
Lama-kelamaan Tuan Syekh tak betah lagi. Tidak cuma karena terlalu jauh
dari pekan di kota, tetapi juga karena tanah makin sempit dengan
semakin bertambahnya orang Mandailing yang datang. la meminta tempat
lain lagi kepada Yang Dipertuan. Dikabulkan. Dan ia pun membuka kampung
baru itulah Krangai.
Orang
Mandailing yang tinggal di Krangai, menurut Tengku Rahim pemuka adat
yang bergelar Raja Malim Bendahara, kepala kampung dan cucu Tuanku Syekh
berasal dari Kampung Tonggabesi, Sehepeng, Rokan, yang termasuk
lingkungan Mandailing Codang. Karena Tuan Syekh terbilang pelopor, di
samping menjadi guru agama, keturunannya diangkat sebagai kepala kampung
mulai dari Tengku Alias, ayah Tengku Rahim.
Tetapi tak seorang pun tahu asal-usul gelar tengku yang dipakai keturunan Tuan Syekh. Gelar itu di Malaysia berarti keturunan raja atau bangsawan.
TEMPAT PEMROSESAN GETAH KARET DI KRANGAI, NEGERI SEMBILAN
KEBUN KELAPA MASYARARAT JAWA DI REJOSARI
Yusuf Nasution, Sekjen Iman, juga tak bisa menerangkannya. Hanya, ada dugaan, gelar itu berasal dari tuanku, yang di Tapanuli Selatan dan Aceh biasa dipakai para guru agama. Tengku
Alias dikenal sebagai pembuka ranting Organisasi Kebangsaan Melayu
Bersatu (UMNO) di kampung itu. Jabatan ketua kemudian diwariskannya
kepada putranya, ketua yang sekarang, Tengku Rahim. Keanggotaan UMNO ini
konon membawa keberuntungan. Misalnya meski kampung ini terpencil,
beberapa kemudahan diperoleh dari pemerintah. Jalan raya beraspal,
listrik, air minum, kredit, pupuk, langgar, masjid. Saat ini sebuah
masjid jami yang lumayan besar sedang dibangun dengan biaya pemerintah.
Di Malaysia jumlah orang Mandailing kira-kira 35.000. Semuanya
terdaftar dalam Iman. Mereka tinggal di Cubadak Selayang, Sungai Cincin
di Gombak Selangor, Kedah, Perak, dan Pahang. Hanya yang di Negeri
Sembilan yang belum terpengaruh tradisi luar.
Kampung
lain, Tambah Tin, yang terletak tak begitu jauh dari kampung Tuan Syekh
yang pertama, Langkap, yang kini tak dihuni lagi. Kampung ini
bertetangga dengan Krangai. Penduduknya cuma sekitar 100 jiwa. Karena
itu, kampung itu digabungkan dengan Krangai di bawah satu kepala
kampung.
Yang luar biasa, penduduk Tambah Tin sangat dihargai penduduk
Melayu di sekitarnya, terutama karena ketekunan mereka. Ny. Saadiah H.
Ali, misalnya, yang rumahnya di Kampung Talang, sekitar 20 km di
bawah Langkap, mengakui orang-orang Mandailing ini sangat besar jasanya
dalam menyediakan bahan pangan bagi penduduk sekitar. Ibu hajjah itu
sendiri bukan orang Mandailing, ia keturunan Pagaruyung, Minangkabau.
Lebih jauh Ny. Saadiah berkisah “Kalau ada sawah kami yang kurang
subur, kami biasanya mengupah orang Mandailing untuk mengerjakannya.
Dalam waktu singkat sawah kami menjadi cantik.” Soalnya, menurut ibu
hajjah tadi, kalau sudah bekerja, orang Mandailing hanya beristirahat
untuk makan dan sembahyang. Baik pria maupun wanitanya, semuanya pekerja
yang kuat dan rajin, tak suka membuang waktu. Senjatanya cuma cangkul
dan beliung.
Mereka, menurut Nyonya Saadiah lagi, juga sangat tertarik pada penemuan
baru. “Seorang wanita Mandailing pernah menanyakan kepada saya tempat
membeli beras ketan kuning.
Katanya dia pernah makan ketan seperti itu, dan rasanya sangat lezat,”
kata Ny. Saadiah. Setengah ketawa sang nyonya memberitahu bahwa ketan
semacam itu tak ada. Yang ada ketan biasa, cuma dimasak dengan santan
dan kunyit. Orang Mandailing itu manggut-manggut paham, dan dengan
cepat mencobanya bahkan kemudian menjadikannya tradisi.
Bahkan tradisi yang seperti punya merekalah yang dipakai Iman untuk
melestarikan kebudayaan Mandailing di Malaysia. H. Yusuf Nasution, sang
sekjen, malah tak berhenti sampai di sini. la juga berusaha
mengembalikan adat istiadat yang telah punah, dengan jalan memasukkan
lagi ketentuan adat asli yang di daerah asal tidak lagi berlaku.
Pemerintah Malaysia memang menyokong usaha semacam itu. Pemerintah
kebetulan sedang berusaha menghidupkan kembali kebudayaan suku-suku
Melayu. Mereka takut, kalau dibiarkan saja, kebudayaan itu akan hilang
atau tercemar kebudayaan lain. Seorang
peneliti Australia, Donald Tugby, berpendapat bahwa kebudayaan
Mandailing di Malaysia ternyata “sudah luntur”. Donald, yang pernah
tinggal di daerah Mandailing pada 1955-1956, mulai mengadakan survei di
permukiman Mandailing di Malaysia tahun 1962, dan diulangi tahun 1968,
1971, 1972, 1973, dan 1974. Penelitian itu ditulisnya dalam buku Cultural Change and Identity: Mandailing Immigrants in West Malaysia.
Dia tadinya berharap akan menemukan sistem sosial Mandailing pra-PD II
masih berlaku pada masyarakat Mandailing di Malaysia. Ternyata, dari 32
KOMPLEKS PERUMAHAN MODEL BIN, MUKIM AMPANG, KUALA LUMPUR
Itu tentang Tambah Tin. Ada pula desa lain yang masih tergolong murni
pula. Namanya Lanjut Manis. Penduduknya juga sangat dihargai rakyat
sekitar.
Yang
agak berbeda adalah sejarahnya. Kampung itu dibuka setelah perlawanan
komunis sesaat setelah Jepang pergi. Laskar komunis ini, yang terkenal
dengan nama Gerakan Bintang Tiga, sempat berkuasa di Malaysia selama
tiga hari. Setelah Inggris masuk lagi, mereka ditumpas. Banyak komunis
yang lari ke hutan sekitar Kampung Langkap, yang susah dijangkau
komunikasi. Mereka mengancam penduduk kampung dan minta disediakan bahan
makanan.
Tak ada pilihan lain penduduk
memenuhinya. Maka, pemerintah, yang mendapat info, segera memindahkan
orang-orang Mandailing itu ke perkampungan baru. Lahirlah Kampung Lanjut
Manis. Tradisi mereka pun masih asli.
kelompok
masyarakat yang diselidikinya, tak satu pun yang masih melaksanakan
sistem itu. Bahkan ternyata mereka telah betul-betul “kehilangan
kebudayaan” yang dibawa dari daerah asal.
Perubahan ini, menurut Tugby, terjadi karena berbagai sebab. Yang
pertama, kemauan penduduk sendiri. Berikutnya, karena pembangunan
ekonomi, seperti pembukaan tambang-tambang timah. Dan terakhir, karena
kegiatan pemerintah, terutama dalam pembangunan pedesaan.
Tugby
menilai, cuma tinggai beberapa kelompok Mandailing yang tak begitu
berubah. Mereka tinggal di daerah-daerah sawah basah dan perkebunan
karet, misalnya Krangai, Tambah Tin, dan Lanjut Manis.
Karena itu, tiga kampung ini agaknya kampung Mandailing yang istimewa di Malaysia. Selebihnya baraneka sudah melebur.
( Sumber: Majalah TEMPO, 19 Januari 1985, “Selingan” yang berjudul “Orang Kita di Semenanjung’ halaman 33 – 43).
http://tambeh.wordpress.com/2014/03/03/kisah-orang-mandailing-di-malaysia/
http://tambeh.wordpress.com/2014/03/03/kisah-orang-mandailing-di-malaysia/
No comments:
Post a Comment