Musisi dan Komponis "Na Bonggali" Bernama Nahum Situmorang
Minggu, 23 Maret 2014 | 23:09:17
Sangat tepat jika ayahandanya, Guru Kilian membuat sosok komponis besar itu bernama Nahum. Sebab dalam bahasa batak “na hum” artinya orang yang berani. Kelak dengan keberanian dan kemampuannya, dia mampu menembus ruang hingga melampaui sekat-sekat genre musik dunia. Simak saja sederetan komposisi musiknya yang beraliran etnik, jazz, rumba bahkan musik keroncong, yang semuanya disajikan dengan harmoni melodi yang amat menakjubkan. Wajar dan sangat wajar jika kemudian dia menjadi Tarbonggal (termasyhur, buah pembicaraan). Lirik lagu yang sarat dengan kedinamisan dan diksi yang memuat makna filosofi yang adi luhung, mampu meretas dan memicu kesadaran akan keterbelakangan manusia Batak masa ketika itu.
Selain darah seni yang mengalir dalam pribadinya, Nahum juga menyadari betapa pentingnya pendidikan untuk mobilitasnya kelak. Sehingga pada tahun 1928 momen bangkitnya kesadaran berbangsa dan pentingnya persatuan saat itu, dia telah lulus dari sekolah guru Kwekschool di Lembang-Bandung. Setamat dari Lembang, Nahum sempat mengabdi menjadi guru di sekolah Batak Studentfonds di Sibolga, dan satu tahun kemudian bersama abangnya Sopar Situmorang, berhasil mendirikan sekolah HIS di Tarutung.
Lelaki perlente yang gemar mengenakan celana putih itu, gemar nongkrong dan memainkan gitarnya di lapo tuak. Rasanya memang paradoks, sebab ia bukanlah penikmat bahkan peminum tuak seperti kebanyakan orang yang mangkal di kedai tuak. Ia mengidap penyakit alergi semacam penyakit kulit yang secara kesehatan tidak baik untuk mengkonsumsi alkohol. Dia hanya memesan lemon minuman kesukaannya. Di kota Medan kesehariannya, pagi menjelang siang kerap nongkrong di bawah pohon seri yang ada di Jalan Sutomo dekat Jalan Sindoro. Kemudian menjelang senja, beranjak ke salah satu kedai tuak sekitar Jalan Bambu, dan pengagumnya telah menantinya di tempat itu. Penggemarnya dari berbagai kalangan, mulai dari aparat pemerintahan, kalangan militer bahkan rakyat biasa.
Nahum adalah sosok yang kukuh terkait idialisme dan nasionalisme, namun adaptif terhadap lingkungan sosial. Dengan idealisme itu pula Nahum lebih memilih ranah partekelir ketimbang mengabdi untuk bekerja di pihak penjajah. Selain itu, ia sadar betul bahwa lewat kesenian survive ekonomi belum tentu ia dapatkan, sehingga sembari nongkrong di kedai tuak dan dan bermain gitar yang menjadi hobbynya, dia juga mengurusi bisnisnya. Pasang surut bisnis yang dia geluti membuat dia terkadang harus banting stir untuk bisnis yang lain, misalnya sebagai pedagang permata dari satu kota ke kota lain termasuk pada tahun 1942-1945 membuka restoran Jepang sekaligus sebagai pemusik.
Nahum juga sesekali mengisi acara di RRI Medan. Ketika mengisi acara di RRI ia memunculkan grupnya dengan nama acara “Solu Bolon” bersama rekannya Walter Sirait, Ungkap Situmeang dan Domi Marpaung. Namun ketika group Nahum diundang untuk mengisi acara di tempat lain seperti undangan di instansi pemerintah dia menggunakan nama “Nahum Band”. Dicatat, ketika itu ada dua grup yang eksis di Kota Medan yakni Grup Nahum dan Dolok Tolong Melodi pimpinan Ismail Hutajulu. Kedua kelompok musik ini bisa dikatakan kompetitif, sebab kedua grup ini berlomba-lomba untuk menghasilkan karya yang akan disuguhkan ke masyarakat. Puncak masa- masa berkarya Nahum adalah ketika lagu ciptannya direkam dalam bentuk piringan hitam di perusahaan negara, Lokananta.
Lagu lagu bertema Kebatakan:
Nahum adalah legenda hidup dalam penciptaan lagu-lagu Batak di jamannya. Bakatnya yang luar biasa di bidang mencipta lagu ibarat sumur tanpa dasar. Lirik lagunya sarat makna. Nahum sebagai anak zaman mampu merajut lirik lagu dengan kosa kata yang cukup arkaik namun sarat makna; didaktis, persuasif, filosifis, romantis-melankolis namun tidak cengeng. Untaian diksi lirik lagunya dibingkai dengan balutan estetika dan etika yang sangat kompleks sebagai rekaman terhadap realitas geliat kehidupan yang up date dan tidak lapuk dimakan zaman. Dia begitu terampil memainkan imajinasi yang berempati terhadap realitas kehidupan secara umum. Sesekali Nahum menyadur notasi lagu dari mancanegara, namun Nahum bukanlah plagiator sebab jika demikian dia akan mengakui itu dalam riwayat penciptaanya.
Sebut saja syair Anakhon Hi do Hamoraan di Au, dia secara jelimet menggambarkan apa yang menjadi cita-cita kebanyakan keluarga Batak walaupun syair lagu itu bukan sebagai refresentasi dirinya sebab dia tidak punya anak bahkan tidak menikah. Lagu ini amat visioner dan provokatif dalam arti positif, sebab mampu memicu kesadaran akan pentingnya aspek pendidikan untuk menghadapi zaman yang semakin maju. Dan secara filosofi lirik itu menyiratkan jika seorang anak berpendidikan tinggi tentu akan lebih mudah menggapai cita-cita; hagabeon, hamoraon dan hasangapon. (kepemilikan; keturunan, kekayaan dan kemuliaan)
Di sisi lain, Nahum juga sebagai pelestari tradisi andung sebagai bagian dari sastra lisan batak. Pilihan kata yang khas dalam hata ni andung yang sarat dengan ungkapan metafora disajikan dalam mengungkapkan kegundahan hati dan meratapi parsorion (nasib hidup yang kurang beruntung). Simak saja lagu yang berjudul 'Na hinali Banghudu'. Lagu ini adalah merupakan sepenggal otobiografi dirinya yang berisi ratapan yang memilukan sebagai seorang lajang yang meninggal, dalam istilah antropologi Batak dikenal dengan mate di paralang alangan. Dalam lirik lagu ini dia sangat piawai dalam hal diksi dan metafora dirinya dengan cukup terukur ; songon boniaga so laos (dagangan yang tidak laku), mate diparalang alangan (tingkatan kematian yang tak diinginkan, mati lajang) di paraung aungan (tempat kematian yang tidak layak, seperti di hutan), songon buruk-buruk ni rere (tikar yang tidak layak digunakan karena sudah sangat buruk)
Ketika kita menyimak lagu, modom ma damang Uccok, secara imajinatif dan empatif dia bisa menggambarkan seorang ibu yang telah ditinggalkan suami dan secara didaktis menggambarkan sang ibu yang harus tetap menumpahkan kasih sayang buat si buah hati, anak laki-lakinya. Pada lagu Boasa saonari ho hutanda, mengisahkan kegundahan hati karena jatuh hati kepada seorang perempuan, yang mana perempuan tersebut sudah terikat perkawinan dengan laki-laki lain, lagi-lagi seolah olah dia pernah mengalaminya.
Lagu Mar Ombus-ombus (sebagai panganan dan oleh-oleh khas dari Siborong-borong), salah satu bukti bahwa dia juga peka terhadap aspek ekonomi yang menjadi mata pencaharian masyarakat lokal. Entah motivasi apa ia mencipta lagu itu, apakah karena penggemar ombus-ombus atau dia punya riwayat percintaan dengan boru Hombing? Entah. Namun yang pasti dari sekitar dua ratusan lagu yang diciptakan Nahum, hampir semua mampu merekam aspek sosiologi-antropolgis tradisi Batak mulai dari yang bertemakan kecintaan pada alam, kerinduan kampung halaman nasehat, filosofi, sejarah marga dan sisi-sisi kehidupan batak yang unik dan khas.
Takdir yang diterimanya, hingga ajal menjemput sang maestro guru Nahum tetap melajang.
Nahum telah tiada, namun hingga kini karya-karyanya tetap melekat di hati sanubari masyarakat Batak. Lewat karya Nahum, banyak pihak yang sudah diuntungkan secara ekonomi dan sosial budaya. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menghargai jasa yang luar biasa itu ? ....Anggo Bangke ku di si Tanomonmu di si udeanku sarihon ma! (namun jasadku di situ kamu kebumikan, pikirkan itu !) Salah satu pesan beliau; tentu buat saya, kamu dan kepada kita semua. Mari kita jawab bersama!!
(Penulis: adalah Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Univ. HKBP Nommensen/ r)
Sumber:
http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=8760
No comments:
Post a Comment