Thursday, October 23, 2014

MASYARAKAT TOBA SETELAH KEDATANGAN MISIONARIS BURTON DAN WARD

MASYARAKAT TOBA SETELAH KEDATANGAN MISIONARIS BURTON DAN WARD
Oleh: Edward Simanungkalit




Masyarakat Toba, sebagaimana dibentangkan dalam tulisan “Masyarakat Toba Dalam Huta, Horja dan Bius”, merupakan masyarakat lembah (valley society) yang hidup dalam bertani sawah. Lahan lembah untuk bertani sawah itu tidaklah terlalu luas, sehingga mereka harus mengatur dan menata hidup sedemikian rupa agar dapat hidup berdampingan secara bersama-sama. Gambaran keadaan inilah yang  disaksikan misionaris Burton dan Ward  yang datang ke Lembah Silindung pada tahun 1824. Mereka melihat alam yang indah, teratur dan tertata dengan masyarakat yang makmur, damai dan ramah-tamah. Mereka disambut raja-raja Silindung dengan tortor dan diterima masyarakat dengan tangan terbuka dan ramah-tamah serta tinggal di sana selama 2 minggu. Meskipun Injil yang mereka beritakan itu tidak diterima, tetapi masyarakat tetap baik kepada mereka. Ketika mereka hendak meninggalkan Silindung, maka mereka tidak dilepas begitu saja, tetapi raja-raja Silindung dengan 7.000 orang rakyatnya menjamu mereka secara adat yang meriah sebagai acara pesta perpisahan. 

Bahkan Singamangaraja X mengirim surat kepada misionaris Burton (rekan sezaman dari Ward) yang mengundang Burton dan Ward untuk datang segera ke Bangkara. Permintaan Singamangaraja X ini  sehubungan dengan terjadinya musim kemarau di daerah Toba yang sudah merusak padi penduduk. Namun surat undangan yang diterima sesampainya di Sibolga ini tidak dapat dipenuhi untuk datang ke Bangkara, karena Burton menderita disentri (Sijabat, 2007:157). Demikianlah gambaran masyarakat Toba menjelang datangnya pasukan Paderi (1825) melakukan invasi ke Silindung, Humbang, Toba Holbung, dan Bangkara.

1. Tingki ni Pidari
Invasi yang dilakukan oleh pasukan Paderi di bawah pimpinan Tuanku Rao telah meluluh-lantakkan Tanah Batak termasuk daerah Toba terutama Silindung, Humbang dan Toba-Holbung (1825-1829). Dalam bahasa Toba, peristiwa ini dikenal dengan Tingki ni Pidari sebagaimana disebutkan juga di dalam Arsip Bakkara Jilid 13. Arsip Bakkara, yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Sisingamangaraja XI ini, ada menyinggung tentang invasi pasukan Paderi ini dengan menyebutnya Tingki ni Pidari, yang artinya pada masa paderi. Orang Toba juga menyebut pasukan Paderi yang melakukan invasi ini dengan sebutan: “Monjo”, maksudnya Bonjol, karena mereka berasal dari Bonjol.

Sewaktu kecil, semasih duduk di bangku SD, penulis sudah mendengarnya beberapa kali, tetapi hanya tahu Monjo tanpa memahaminya secara benar, mayat-mayat membusuk bagaikan nangka yang tewas tanpa dikubur akibat perang, dan datangnya penyakit puru yang merajalela. Cerita Monjo itu baru penulis mengerti dan tahu kekejamannya pada tahun 1990-an pada masa krisis HKBP. Kemudian pada akhir tahun 1995, penulis dengar Saut H. Sirait bercerita tentang isi buku “Tuanku Rao”. Buku tersebut terbit kembali pada tahun 2007, karya Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP), ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ diikuti dengan terbitnya buku lain dan tulisan lain dengan topik yang sama.

Basyral Hamidy Harahap mengemukakan tentang perilaku Paderi di daerah Selatan berikut ini: “Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat. Buku itu berhasil diselamatkan orang Mandailing dari kebringasan kaum Paderi yang membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal, buku-buku itu berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, pengobatan dll. … Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan tamadun Mandailing. … Rosihan (Anwar), dalam artikelnya itu, bercerita tentang kebiasaan kaum Paderi menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves).”

Basyral Hamidy Harahap melanjutkan: “‘… Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang ketidak-berperikemanusiaan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban, terus mengejar musuhnya.”. (http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog/).

Batara R.Hutagalung juga mengemukakan bagaimana perilaku pasukan Paderi ketika melakukan invasi di wilayah Toba (1825-1830) dengan mengutip juga kesaksian dua tokoh masyarakat,  bahwa tindakan membunuh secara besar-besaran, menangkap para perempuan, membakari rumah hingga tidak adanya lagi rumah adat Batak di Silindung, Humbang, dan Bakkara sekarang ini, menjarah harta-benda, dan menghancurkan kekayaan budaya hingga tidak ada lagi peninggalan budaya yang tersisa di daerah yang dilalui mereka. Pada invasi Paderi ini, Raja Singamangaraja X tewas diikuti dengan dibumi-hanguskannya Bakkara. Kemudian penyakit kolera dan epidemi pest pun berkembang dan menular hingga menewaskan sebagian besar pasukan Paderi, sehingga mereka meninggalkan wilayah Toba.  (http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/01/beberapa-catatan-mengenai-tuanku-rao.html)

Pemaparan tentang invasi pasukan Paderi ke wilayah Toba di atas bukan untuk merinci apa dan bagaimana persoalan perang tersebut. Tetapi, untuk memperlihatkan bahwa telah terjadi kerusakan di dalam tatanan dan pranata masyarakat Toba yang teratur, damai dan tenteram sebelumnya. Peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari invasi pasukan Paderi ini telah membawa kerusakan di sana-sini termasuk pada hal-hal yang bersifat fisik. Setelah mengalami kerusakan berat ditambah dengan banyaknya yang tewas, baik dibunuh oleh pasukan Paderi maupun oleh penyakit yang merajalela, masyarakat bangkit kembali. Kemudian mereka tentulah berusaha membangunnya kembali untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi sebagai akibat perang Padri hingga kemudian datangnya LI Nommensen bersama RMG di wilayah Toba pada tahun 1962

2. RMG dan Gereja Batak
Ludwig Ingwer Nommensen sampai di Silindung pada tahun 1962. Dia diutus RMG sebagai misionaris. Sebelumnya Burton dan Ward sudah pernah sampai di Silindung (1824) yang diterima sebagai tamu terhormat, tetapi pemberitaan Injil dari mereka pun ditolak menandakan pintu pemberitaan Injil belum terbuka. Sementara Munson dan Lyman gagal yang mengakibatkan kematian mereka di Lobu Pining (1834). Kematian Munson dan Lyman ini terasa sekali diperbesar-besar, karena adalah berita biasa mendengar kematian misionaris yang tewas di ladang misi-penginjilan . Itu bukan berita baru dari ladang misi-penginjilan pada suku-suku terasing apalagi gerakan penginjilan sedunia jauh lebih besar setelah perang dunia kedua berakhir. Akan tetapi, misionaris Jerman turut juga memperbesar-besar cerita ini.

Sesampainya Nommensen di Silindung, maka mulailah dia memberitakan Injil. Ada juga penentangan yang dihadapi, tetapi usaha pekabaran Injil yang dilakukannya dapat berjalan. Kemudian misionaris-misionaris RMG lainnya datang membantu tugas pelayanan Nommensen di wilayah Toba. Melalui proses waktu yang tidak terlalu lama, maka mulailah berdiri gereja-gereja di wilayah Toba. Selain gereja, berdiri juga sekolah-sekolah dan tempat-tempat pelayanan kesehatan di banyak tempat. Kesemuanya ini mendorong terjadinya perubahan di dalam masyarakat Toba. Sedang keterlibatan zending secara telanjang di medan perang berdasarkan Laporan Perang Toba dari LI Nommensen sendiri menjadi catatan tersendiri dan kedatangan Belanda tersebut adalah atas permintaan LI Nommensen, karena tidak pernah terbuka selama ini (Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2010).  

Berdirinya gereja-gereja seiring dengan berpindahnya kepercayaan para orang-orang Toba, maka hal ini dapat diperkirakan akan menimbulkan pergeseran di dalam masyarakat Toba sendiri. Perpindahan kepercayaan ini mengakibatkan mereka meninggalkan ritual-ritual pada pesta horja atau pesta bius termasuk juga mungkin sebagian acara di huta. Walaupun mungkin saja ada yang kembali mengikuti acara ritual-ritual tersebut, tetapi kebanyakan mereka tidak mau lagi ikut ritual-ritual tersebut, karena sudah berbeda kepercayaan. Ritual-ritual tersebut sesuai dengan kepercayaan di dalam agama suku dari Batak Toba kuno yang dipimpin oleh Parbaringin.

Kemudian hari gereja Batak melakukan pelarangan terhadap para anggota jemaatnya untuk mengikuti  beberapa ritual di dalam acara pesta horja dan bius. Para misionaris juga menganggap bahwa apa yang dimiliki Barat lebih baik dari apa yang dimiliki Batak Toba, sehingga orang Batak Toba didorong untuk  meninggalkan budaya leluhurnya. Misionaris RMG melakukan usaha transformasi ke dalam budaya lokal dengan peradaban Eropa. Budaya masyarakat primitif seperti budaya Batak Toba dianggap rendah, sehingga budaya leluhur yang sudah ada itu harus dihilangkan.

Gereja Batak yang berdiri mulai ditata pada masa Dr. Johannes Warneck menjabat Ephorus dan berdirilah HKBP dengan sistim pemerintahan episkopal-sinodal. Pemerintahan gereja seperti ini demikian sentralistis yang dapat kita lihat sekarang, karena tidak jauh berbeda dengan yang dulu dibangun oleh misionaris RMG. Dulu masyarakat Toba hidup di dalam huta, horja, dan bius yang pengambilan keputusannya berada di tangan si tuan na torop (suara terbanyak), tetapi kemudian berubah di tangan para pendeta  dan para parhalado (majelis jemaat). Sedang sistim bius lebih mirip kepada sistim pemerintahan kongregasional yang cenderung federal sebagaimana gereja-gereja di Amerika yang dibangun kaum puritan. Belum lagi ritualnya dengan tata ibadah yang mirip dengan gaya menonton orkestra di gedung konser di Eropa pada zaman klasik-romantik. Ritual seperti ini sangat berbeda dengan manortor-margondang di dalam ritual acara horja dan bius.

Praktik margondang, tortor dan mangokkal holi dilarang. ”…sebagian besar budaya Batak dianggap tidak penting dan malah perlu dimusnahkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya bermain musik (margondang), menari (manortor), bahkan sistem kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan na tolu ingin dihilangkan dengan mengizinkan perkawinan antar orang sesama marga (BRGM 1880:21). Setelah mendapatkan perlawanan dari orang Toba, para penginjil bersedia berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak Toba tetap dilarang dan diganti musik tiup asal Jerman.” (Kozok, 2010:73-74). Sedang horja dan bius dilarang Belanda dan diganti dengan nagari. Itulah makanya terjadi perubahan pada masyarakat Toba yang hidup di dalam huta, horja dan bius.

3. Penjajahan Belanda
Setelah para misionaris RMG bekerja di berbagai tempat di Silindung, Humbang, Toba-Holbung, dan disusul Samosir, maka pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja, kediaman misionaris LI Nommensen yang kedatangannya atas permohonan LI Nommensen sendiri. Dan, bersama-sama dengan misionaris Nommensen mereka berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Sebenarnya Belanda sudah masuk ke Silindung pada tahun 1871. Pada tahap berikutnya, Belanda masuk ke Humbang terus ke daerah Toba-Holbung dan selanjutnya ke Samosir. Kehadiran Belanda yang menganeksasi daerah Silindung dan sebagian Humbang menimbulkan reaksi keras dari Raja Singamangaraja XII yang mengakibatkan pecahnya perang Toba pada tahun 1878. Perang Toba dimulai dengan mengadakan pernyataan pulas (perang) secara resmi pada tanggal 16 Februari 1878 dan perang terus berlangsung hingga gugurnya Raja Singamangaraja XII pada 17 Juni 1907.

Perang Toba yang pertama antara Belanda dengan pihak Raja Singamangaraja XII tejadi pada Pebruari 1878 di Bahal Batu. Kemudian Perang Toba kedua terjadi lagi pada tahun 1883 di beberapa tempat seperti: Lintong ni Huta, Muara, Paranginan, Nagasaribu, Laguboti, Balige. Setiap desa yang tidak mau tunduk dan tidak mau membayar pampasan perang kepada Belanda dibumi-hanguskan. Belanda pun menyerang Bangkara dan membumi-hanguskannya pada tahun itu juga.  Dari Bakkara Singamangaraja XII mengungsi ke Lintong di dekat Tele sekarang dan melanjutkan perang dengan perang gerilya dari Lintong, tempat kediaman Ompu Babiat Situmorang. Kemudian hari pindah lagi dari Lintong ke Pea Raja, karena Lintong diserbu Balanda dan dibumi-hanguskan. Di daerah inilah kemudian Singamangaraja gugur bersama tiga anaknya dan para pejuang lainnya termasuk pejuang dari Aceh. Sejak itulah Belanda dapat lebih leluasa bergerak dan pada akhirnya dapat menduduki wilayah Toba secara keseluruhan.

Belanda di kemudian hari mengubah struktur politik Toba: Huta, Horja, dan Bius dengan struktur politik baru. Belanda menciptakan sistim pemerintahan baru yang secara administrasi berada di bawah kontrol Belanda dengan mendirikan negeri yang dipimpin Kepala Negeri yang kesemuanya menjadi 142 negeri. Banyak perubahan-perubahan dan peraturan-peraturan lainnya yang dibuat oleh Belanda hingga mengubah tanah Toba.

Demikianlah masyarakat Toba telah mengalami perubahan secara mendasar terutama oleh pengaruh misionaris RMG dan penjajah Belanda. Pasukan Padri telah membuat kerusakan baik secara fisik dan harta kekayaan budaya diikuti dengan trauma yang berat bagi orang Toba. Para misionaris pun banyak membawa kekayaan budaya Toba ke Jerman terbukti banyaknya benda-benda purbakala dari Toba di sana. Semuanya ini mengakibatkan terjadinya perubahan akibat dari tidak dapatnya berjalan sebagaimana mestinya lembaga politik selama perang Toba diikuti dengan gugurnya Singamangaraja XII.  Singamangaraja XII, yang merupakan Dewa-Raja bagi masyarakat Toba, merupakan pemersatu Toba, sehingga kematiannya menimbulkan kehilangan figur pemimpin Toba. Dilarangnya kegiatan horja dan bius yang digantikan dengan nagari, maka jelas menghancurkan sistim huta, horja, dan bius, sehingga merusak tatanan masyarakat yang menimbulkan chaos. Setelah semuanya berlangsung, maka orang Toba menerima stigma sebagai orang-orang yang tidak teratur, tidak berbudaya, suka berperang, barbar, dan kanibal. Para misionaris Jerman dan Belanda pun meninggalkan tanah Batak-Toba dengan masuknya Jepang pada tahun 1942. Kemudian disusul proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. ***



No comments:

Post a Comment