MASYARAKAT TOBA SETELAH KEDATANGAN MISIONARIS
BURTON DAN WARD
Oleh: Edward Simanungkalit
Masyarakat Toba,
sebagaimana dibentangkan dalam tulisan “Masyarakat Toba Dalam Huta, Horja dan Bius”, merupakan masyarakat lembah (valley society) yang hidup dalam bertani sawah.
Lahan lembah untuk bertani sawah itu tidaklah terlalu luas, sehingga mereka
harus mengatur dan menata hidup sedemikian rupa agar dapat hidup berdampingan
secara bersama-sama. Gambaran keadaan inilah yang disaksikan misionaris Burton dan Ward yang datang ke Lembah Silindung pada tahun
1824. Mereka melihat alam yang indah, teratur dan tertata dengan masyarakat
yang makmur, damai dan ramah-tamah. Mereka disambut raja-raja Silindung dengan
tortor dan diterima masyarakat dengan tangan terbuka dan ramah-tamah serta
tinggal di sana selama 2 minggu. Meskipun Injil yang mereka beritakan itu tidak
diterima, tetapi masyarakat tetap baik kepada mereka. Ketika mereka hendak
meninggalkan Silindung, maka mereka tidak dilepas begitu saja, tetapi raja-raja
Silindung dengan 7.000 orang rakyatnya menjamu mereka secara adat yang meriah sebagai
acara pesta perpisahan.
Bahkan
Singamangaraja X mengirim surat kepada misionaris Burton (rekan sezaman dari
Ward) yang mengundang Burton dan Ward untuk datang segera ke Bangkara.
Permintaan Singamangaraja X ini sehubungan dengan terjadinya musim kemarau di
daerah Toba yang sudah merusak padi penduduk. Namun surat undangan yang
diterima sesampainya di Sibolga ini tidak dapat dipenuhi untuk datang ke Bangkara, karena Burton
menderita disentri (Sijabat, 2007:157). Demikianlah gambaran masyarakat Toba
menjelang datangnya pasukan Paderi (1825) melakukan invasi ke Silindung,
Humbang, Toba Holbung, dan Bangkara.
1. Tingki ni Pidari
Invasi yang
dilakukan oleh pasukan Paderi di bawah pimpinan Tuanku Rao telah
meluluh-lantakkan Tanah Batak termasuk daerah Toba terutama Silindung, Humbang
dan Toba-Holbung (1825-1829). Dalam bahasa Toba, peristiwa ini dikenal dengan Tingki
ni Pidari sebagaimana disebutkan juga di dalam Arsip Bakkara Jilid 13. Arsip
Bakkara, yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Sisingamangaraja XI ini, ada
menyinggung tentang invasi pasukan Paderi ini dengan menyebutnya Tingki ni Pidari, yang artinya pada masa paderi. Orang Toba juga menyebut pasukan Paderi yang melakukan invasi ini dengan
sebutan: “Monjo”, maksudnya Bonjol, karena mereka berasal dari Bonjol.
Sewaktu kecil,
semasih duduk di bangku SD, penulis sudah mendengarnya beberapa kali, tetapi
hanya tahu Monjo tanpa memahaminya secara benar, mayat-mayat membusuk bagaikan
nangka yang tewas tanpa dikubur akibat perang, dan datangnya penyakit puru yang
merajalela. Cerita Monjo itu baru penulis mengerti dan tahu kekejamannya pada
tahun 1990-an pada masa krisis HKBP. Kemudian pada akhir tahun 1995, penulis
dengar Saut H. Sirait bercerita tentang isi buku “Tuanku Rao”. Buku tersebut
terbit kembali pada tahun 2007, karya Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP),
‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ diikuti
dengan terbitnya buku lain dan tulisan lain dengan topik yang sama.
Basyral Hamidy Harahap mengemukakan tentang perilaku Paderi di daerah Selatan berikut ini: “Perang
Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah
Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di
luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra
serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang
arif dan terhormat. Buku itu berhasil diselamatkan orang Mandailing dari
kebringasan kaum Paderi yang membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal,
buku-buku itu berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi,
pengobatan dll. … Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan
tamadun Mandailing. … Rosihan (Anwar), dalam artikelnya itu, bercerita tentang
kebiasaan kaum Paderi menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian
mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves).”
Basyral Hamidy Harahap melanjutkan: “‘…
Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di
dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang
ketidak-berperikemanusiaan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia
juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan,
sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sementara itu
pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala
manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban,
terus mengejar musuhnya.”. (http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog/).
Batara R.Hutagalung juga mengemukakan bagaimana perilaku pasukan Paderi ketika melakukan
invasi di wilayah Toba (1825-1830) dengan mengutip juga kesaksian dua tokoh
masyarakat, bahwa tindakan membunuh
secara besar-besaran, menangkap para perempuan, membakari rumah hingga tidak
adanya lagi rumah adat Batak di Silindung, Humbang, dan Bakkara sekarang ini,
menjarah harta-benda, dan menghancurkan kekayaan budaya hingga tidak ada lagi
peninggalan budaya yang tersisa di daerah yang dilalui mereka. Pada invasi
Paderi ini, Raja Singamangaraja X tewas diikuti dengan dibumi-hanguskannya
Bakkara. Kemudian penyakit kolera dan epidemi pest pun berkembang dan menular
hingga menewaskan sebagian besar pasukan Paderi, sehingga mereka meninggalkan
wilayah Toba. (http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/01/beberapa-catatan-mengenai-tuanku-rao.html)
Pemaparan
tentang invasi pasukan Paderi ke wilayah Toba di atas bukan untuk merinci apa
dan bagaimana persoalan perang tersebut. Tetapi, untuk memperlihatkan bahwa
telah terjadi kerusakan di dalam tatanan dan pranata masyarakat Toba yang
teratur, damai dan tenteram sebelumnya. Peristiwa yang terjadi sebagai akibat
dari invasi pasukan Paderi ini telah membawa kerusakan di sana-sini termasuk
pada hal-hal yang bersifat fisik. Setelah mengalami kerusakan berat ditambah
dengan banyaknya yang tewas, baik dibunuh oleh pasukan Paderi maupun oleh
penyakit yang merajalela, masyarakat bangkit kembali. Kemudian mereka tentulah berusaha
membangunnya kembali untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi sebagai
akibat perang Padri hingga kemudian datangnya LI Nommensen bersama RMG di
wilayah Toba pada tahun 1962
2. RMG dan Gereja Batak
Ludwig Ingwer Nommensen sampai di Silindung pada tahun 1962. Dia diutus RMG sebagai
misionaris. Sebelumnya Burton dan Ward sudah pernah sampai di Silindung (1824)
yang diterima sebagai tamu terhormat, tetapi pemberitaan Injil dari mereka pun
ditolak menandakan pintu pemberitaan Injil belum terbuka. Sementara Munson dan
Lyman gagal yang mengakibatkan kematian mereka di Lobu Pining (1834). Kematian
Munson dan Lyman ini terasa sekali diperbesar-besar, karena adalah berita biasa
mendengar kematian misionaris yang tewas di ladang misi-penginjilan . Itu bukan
berita baru dari ladang misi-penginjilan pada suku-suku terasing apalagi
gerakan penginjilan sedunia jauh lebih besar setelah perang dunia kedua
berakhir. Akan tetapi, misionaris Jerman turut juga memperbesar-besar cerita
ini.
Sesampainya Nommensen
di Silindung, maka mulailah dia memberitakan Injil. Ada juga penentangan yang
dihadapi, tetapi usaha pekabaran Injil yang dilakukannya dapat berjalan. Kemudian
misionaris-misionaris RMG lainnya datang membantu tugas pelayanan Nommensen di
wilayah Toba. Melalui proses waktu yang tidak terlalu lama, maka mulailah
berdiri gereja-gereja di wilayah Toba. Selain gereja, berdiri juga
sekolah-sekolah dan tempat-tempat pelayanan kesehatan di banyak tempat. Kesemuanya
ini mendorong terjadinya perubahan di dalam masyarakat Toba. Sedang
keterlibatan zending secara telanjang di medan perang berdasarkan Laporan Perang Toba dari LI Nommensen
sendiri menjadi catatan tersendiri dan kedatangan Belanda tersebut adalah atas
permintaan LI Nommensen, karena tidak pernah terbuka selama ini (Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2010).
Berdirinya
gereja-gereja seiring dengan berpindahnya kepercayaan para orang-orang Toba,
maka hal ini dapat diperkirakan akan menimbulkan pergeseran di dalam masyarakat
Toba sendiri. Perpindahan kepercayaan ini mengakibatkan mereka meninggalkan
ritual-ritual pada pesta horja atau pesta bius termasuk juga mungkin sebagian
acara di huta. Walaupun mungkin saja ada yang kembali mengikuti acara
ritual-ritual tersebut, tetapi kebanyakan mereka tidak mau lagi ikut
ritual-ritual tersebut, karena sudah berbeda kepercayaan. Ritual-ritual
tersebut sesuai dengan kepercayaan di dalam agama suku dari Batak Toba kuno yang
dipimpin oleh Parbaringin.
Kemudian hari
gereja Batak melakukan pelarangan terhadap para anggota jemaatnya untuk
mengikuti beberapa ritual di dalam acara
pesta horja dan bius. Para misionaris juga menganggap bahwa apa yang dimiliki
Barat lebih baik dari apa yang dimiliki Batak Toba, sehingga orang Batak Toba
didorong untuk meninggalkan budaya
leluhurnya. Misionaris RMG melakukan
usaha transformasi ke dalam budaya lokal dengan peradaban Eropa. Budaya
masyarakat primitif seperti budaya Batak Toba dianggap rendah, sehingga budaya
leluhur yang sudah ada itu harus dihilangkan.
Gereja Batak yang berdiri
mulai ditata pada masa Dr. Johannes Warneck menjabat Ephorus dan berdirilah
HKBP dengan sistim pemerintahan episkopal-sinodal. Pemerintahan gereja seperti
ini demikian sentralistis yang dapat kita lihat sekarang, karena tidak jauh
berbeda dengan yang dulu dibangun oleh misionaris RMG. Dulu masyarakat Toba
hidup di dalam huta, horja, dan bius yang pengambilan keputusannya berada di
tangan si tuan na torop (suara terbanyak), tetapi
kemudian berubah di tangan para pendeta dan para parhalado
(majelis jemaat). Sedang sistim bius lebih
mirip kepada sistim pemerintahan kongregasional yang cenderung federal
sebagaimana gereja-gereja di Amerika yang dibangun kaum puritan. Belum lagi
ritualnya dengan tata ibadah yang mirip dengan gaya menonton orkestra di gedung
konser di Eropa pada zaman klasik-romantik. Ritual seperti ini sangat berbeda
dengan manortor-margondang di dalam ritual acara horja dan bius.
Praktik margondang,
tortor
dan mangokkal
holi dilarang. ”…sebagian besar budaya Batak dianggap tidak penting
dan malah perlu dimusnahkan. Penginjil Nommensen misalnya melarang jemaatnya
bermain musik (margondang),
menari (manortor),
bahkan sistem kekerabatan orang Batak yang dikenal sebagai dalihan
na tolu ingin dihilangkan dengan mengizinkan perkawinan antar orang
sesama marga (BRGM 1880:21). Setelah mendapatkan perlawanan dari orang Toba, para penginjil bersedia
berkompromi, tetapi gondang dan tortor Batak Toba tetap dilarang dan diganti musik tiup asal Jerman.” (Kozok,
2010:73-74). Sedang horja dan bius dilarang Belanda dan diganti dengan nagari. Itulah makanya terjadi
perubahan pada masyarakat Toba yang hidup di dalam huta, horja dan bius.
3. Penjajahan Belanda
Setelah para
misionaris RMG bekerja di berbagai tempat di Silindung, Humbang, Toba-Holbung,
dan disusul Samosir, maka pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di
Pearaja, kediaman misionaris LI Nommensen yang kedatangannya atas permohonan LI
Nommensen sendiri. Dan, bersama-sama dengan misionaris Nommensen mereka
berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Sebenarnya Belanda
sudah masuk ke Silindung pada tahun 1871. Pada tahap berikutnya, Belanda masuk
ke Humbang terus ke daerah Toba-Holbung dan selanjutnya ke Samosir. Kehadiran
Belanda yang menganeksasi daerah Silindung dan sebagian Humbang menimbulkan
reaksi keras dari Raja Singamangaraja XII yang mengakibatkan pecahnya perang
Toba pada tahun 1878. Perang Toba dimulai dengan mengadakan pernyataan pulas (perang)
secara resmi pada tanggal 16 Februari 1878 dan perang terus berlangsung hingga
gugurnya Raja Singamangaraja XII pada 17 Juni 1907.
Perang Toba yang
pertama antara Belanda dengan pihak Raja Singamangaraja XII tejadi pada Pebruari
1878 di Bahal Batu. Kemudian Perang Toba kedua terjadi lagi pada tahun 1883 di
beberapa tempat seperti: Lintong ni Huta, Muara, Paranginan, Nagasaribu,
Laguboti, Balige. Setiap desa yang tidak mau tunduk dan tidak mau membayar
pampasan perang kepada Belanda dibumi-hanguskan. Belanda pun menyerang Bangkara
dan membumi-hanguskannya pada tahun itu juga. Dari Bakkara Singamangaraja XII
mengungsi ke Lintong di dekat Tele
sekarang dan melanjutkan perang dengan perang gerilya
dari Lintong, tempat kediaman Ompu Babiat Situmorang. Kemudian hari pindah lagi
dari Lintong ke Pea Raja, karena Lintong diserbu Balanda dan dibumi-hanguskan.
Di daerah inilah kemudian Singamangaraja gugur bersama tiga anaknya dan para
pejuang lainnya termasuk pejuang dari Aceh. Sejak itulah Belanda dapat lebih leluasa
bergerak dan pada akhirnya dapat menduduki wilayah Toba secara keseluruhan.
Demikianlah masyarakat
Toba telah mengalami perubahan secara mendasar terutama oleh pengaruh
misionaris RMG dan penjajah Belanda. Pasukan Padri telah membuat kerusakan baik
secara fisik dan harta kekayaan budaya diikuti dengan trauma yang berat bagi
orang Toba. Para misionaris pun banyak membawa kekayaan budaya Toba ke Jerman
terbukti banyaknya benda-benda purbakala dari Toba di sana. Semuanya ini
mengakibatkan terjadinya perubahan akibat dari tidak dapatnya berjalan
sebagaimana mestinya lembaga politik selama perang Toba diikuti dengan gugurnya
Singamangaraja XII. Singamangaraja XII,
yang merupakan Dewa-Raja bagi masyarakat Toba, merupakan pemersatu Toba, sehingga
kematiannya menimbulkan kehilangan figur pemimpin Toba. Dilarangnya kegiatan
horja dan bius yang digantikan dengan nagari, maka jelas menghancurkan sistim
huta, horja, dan bius, sehingga merusak tatanan masyarakat yang menimbulkan chaos. Setelah semuanya berlangsung,
maka orang Toba menerima stigma sebagai orang-orang yang tidak teratur, tidak
berbudaya, suka berperang, barbar, dan kanibal. Para misionaris Jerman dan
Belanda pun meninggalkan tanah Batak-Toba dengan masuknya Jepang pada tahun
1942. Kemudian disusul proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. ***
No comments:
Post a Comment