Sunday, October 19, 2014

Ketidakberdayaan Budaya Karo

Ketidakberdayaan Budaya Karo

Oleh: Joey Bangun
Ninta (bukan nama sebenarnya), 23 tahun, beru Karo, suatu kali mengejutkan saya dengan sms yang dikirimnya ke telepon genggam saya. Bagaimana tidak, sms itu bertuliskan, "Menurut lo kapan sih budaya Karo itu yang betul-betul murni?". Saya mencoba memutar otak. Daripada salah menjawab saya balik membalas smsnya, "Kemurnian yang gimana yanglo maksud?". Tidak sampai dua menit dia balik membalas, "Maksud gue, budaya Karo yang asli. Dan betul-betul asli!". Sepuluh menit saya terhenyak di kamar dengan pikiran berputar-putar. Pertanyaan gadis ini mencoba menguji saya atau malah menjebak saya.
Kebetulan Ninta adalah teman baru saya. Dia kenal saya melalui sebuah milis Karo. Dia banyak bertanya tentang budaya Karo pada saya karena memang dia tidak paham.Kebetulan gadis manis ini lahir dan besar di Jakarta. (walau sayabelum pernah ketemu dengannya, saya tahu dia manis dari fotonya di friendster ketika mengadd friendster saya). Akhirnya saya menjawab dengan kepastian, "Sejak kolonial belum menduduki Karo." Langsung dia membalas lagi, "Gue tunggu besok lo di YM jam biasa." YM maksudnya disini adalah koneksi chatting dengan Yahoo Messenger. Pertanyaan yang diutarakan Ninta adalah pertanyaan ringan tapi malah menyeret kita pada peradaban masa lalu. Kapan sebenarnya kebudayaan Karo itu betul-betul asli? Pasti tidaklah sekarang. Kebudayaan telah terseret pada perkembangan zaman.
Tapi satu kesimpulan yang harus menjadi acuan adalah, keaslian kebudayaan Karo itu diawali dari lahirnya peradaban sampai datangnya kolonialisme. Mengapa sampai datangnya kolonialisme? Kolonialisme telah mengintimidasi kebudayaan dengan kultur barat. Kebudayaan diceraiberaikan demi kepentingan politik imperialisme. Awal kolonial menduduki Karo Jahe dan Karo Langkat mulailah timbul larangan untuk begini dan begitu. Dan di awal abad 20 mulailah kolonial merengsek ke Karo Gugung, maka para Sibayak, Raja Urung, dan Pengulu diperalat oleh satu pernyataan adat yang berkembang adalah keputusan dan hukum pimpinan adat. Satu doktrin yang diharamkan oleh adat Karo dengan kebiasaan runggu dengan tatanan Sa2ngkep Nggeluh. Hal ini semakin berkembang dengan dominasi kolonialisme.
Masyarakat Karo tidak berdaya membela kebudayaannya. Kebudayaan yang ada diharamkan. Dan di era keluarnya kolonialisme dari negeri pertiwi, kebudayaan Karo sudah tidak lagi utuh dalam menjalan fungsinya. Nah disinilah era dimana kebudayaan Karo tidak asli lagi. Memasuki abad 21 kecondongan dari orang Karo adalah memakai adat simpel, ringkas dan hemat. Terutama di kota-kota besar yang tidak lagi menjunjung tinggi pola keaslian kebudayaan. Bisa dimaklumi, selain alasan biaya dan efektifitas, multikultur masyarakat perkotaan telah menyeret masyarakat Karo pada arus modernisasi pola hidup. Hal ini sedikit demi sedikit mengikiskebudayaan Karo itu sendiri.
Budaya Karo sudah tidak berdaya lagi dalam mengarungi perkembangan jaman. Ada kecendrungan dua sampi tiga generasi ke depan malah adat dan budaya sudah tidak dipakai lagi sebagai akhlak kehidupan. Jadi kembali kepada pertanyaan Ninta yang dikaitkan pada keaslian kebudayaan Karo. Bagaimana menanggulanginya?"Kembali ke alam pikir Karo," kata Malem Ukur Ginting dari Goteborg,Sweden, dalam satu tulisannya. Hal ini tidak bisa dikaitkan dengan animisme dan dinamisme kepercayaan Karo tempo dulu. Dan jika sampai disana, tentu akan timbul pertanyaan pada agama yang kau dan aku anut. Manakah adat yang harus dipakai dan mana yang harus diharamkan. Dan sejak itu pula kebudayaan Karo sudah tidak asli lagi.

Sumber:
http://artikel.sabda.org/ketidakberdayaan_budaya_karo

No comments:

Post a Comment