SISTEM PEMERINTAHAN ADAT MANDAILING
Fungsionaris Sistem Adat Mandailing terdiri dari:
- Raja.
- Namora Natoras.
- Pembantu-pembantu Raja lainnya.
Raja.
Struktur Kepala Pemerintahan dan Raja Adat menurut penelitian Commissie Kruese Stibbe:
- Raja Panusunan (Koeriahoofd).
Raja yang tertinggi dari kesatuan beberapa Huta dan sekaligus sebagai Raja Huta di dalam Hutanya sendiri.
- Raja Ihutan (Onderkoeria).
Raja dari kumpulan Huta (kampung) yang berada di bawah Raja Panusunan.
- Raja Pamusuk (Kampoenghoofd).
Raja yang memimpin satu huta (kampung) yang berada dibawah Raja Ihutan dan Raja Panusunan.
- Raja Sioban Ripe.
Yang berada di bawah Raja Pamusuk yang berdiam bersama-sama di satu Huta.
- Suhu.
Yang berada dibawah Raja Pamusuk dan Raja Sioban Ripe.
Pada tahun 1906 Jabatan Raja Ihutan (Onderkoeria) dan RajaSioban Ripe dihapuskan oleh Pemerintahan Belanda dan Jabatan Ihutan (Onderkoeria) ditetapkan menjadi Kepala Kuria(Koeriahoofd).
- Raja Panusunan.
Raja panusunan adalah penguasa tertinggi dari kesatuan beberapa kampung (Huta) mempunyai wewenang membawahi beberapa orang Raja Pamusuk (Kepala Kampung).
- Raja Pamusuk.
Raja Pamusuk adalah bawahan dari Raja Panusunan dan tunduk kepada Raja Panusunan baik segi adat maupun dari segi pemerintahan. Raja Pamusuk dalam melaksanakan tugasnya bersifat otonom di dalam kampungnya sendiri.
Daerah kawasan Mandailing yang dipimpin Raja-Raja Panusunan adalah :
- Daerah Mandailing Godang yang bermarga Nasution berasal dari keturunan Sutan Diaru menjadi Raja Panusunan di 10 (sepuluh) kerajaan, antara lain:
· Penyabungan Tonga .
· Huta Siantar.
· Pidoli Dolok.
· Gunung Tua.
· Gunung Baringin.
· Penyabungan Julu.
· Maga.
· Aek Nangali.
· Muara Soma.
· Muara Parlampungan.
- Daerah Mandailing Julu, bermarga Lubis dari keturunan Namora Pande Bosi menjadi Raja Panusunan di 7 (tujuh) kerajaan, antara lain:
· Tamiang
· Singengu.
· Manambin.
· Tambangan.
· Pakantan Dolok.
· Pakantan Lombang.
· Sayur Maicat.
Menurut pendapat H. Pandapotan Nasution, SH dalam Buku Uraian Singkat Tentang Adat Mandailing Serta Tata Cara Perkawinannya adalah :
· Reorganisasi yang diadakan Pemerintahan Belanda tahun 1840, yang menghapuskan Raja Panusunan dengan menggantikannya dengan Kepala Kuria.
Kepala Kuria tersebut mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu :
a. Kepala Kuria sebagai Kepala Pemerintahan yang merupakan bagian dari sistem Pemerintahan Kolonial Belanda, yang salah satu tugasnya memungut belasting(pajak).
b. Kepala Kuria sebagai Raja Adat.
· Raja Panusunan itu masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya, apabila dalam peradatan mereka masih menghormati dari mana ia turun dan ini bukan berarti Raja Panusunan yang menurunkannya terlebih dahulu lebih tinggi dari Raja Panusunan yang lahir belakangan. Raja-Raja Panusunan bertemu dalam peradatan sebagai Raja-Raja Mardomu Daro.
Di Kerajaan Tamiang Mandailing, dimana sistem pemerintahan Kepala Kuria sudah suksesi/berganti/berlangsung sebanyak 6 (enam) kali :
Kepala Kuria Pertama
|
Soetan Naparas III
|
1840-1848
|
Kepala Kuria Kedua
|
Soetan Panoesoenan
|
1849-1875
|
Kepala Kuria Ketiga
|
Patoean Dolok II
|
1875-1903
|
Kepala Kuria Keempat
|
Soetan Goeroe Panoesoenan
|
1903-1915
|
Kepala Kuria Kelima
|
Soetan Koemala Boelan
|
1915-1932
|
Kepala Kuria keenam
|
Patuan Dolok III (Partomuan Lubis)
|
1932-1946
|
Menurut Hukum Adat Tradisional yang dipilih atau diakui menjadi Raja Panusunan dan Kepala Kuria berdasarkan atas dasar hukum waris dengan pilihan di dalam permusyawaratan rapat adat, biasanya anak lelaki yang tertua dari Raja Panusunan dan Kepala Kuria yang meninggal. Jika tidak ada anak lelakinya, maka ahli waris lelaki yang paling dekat dari garis keturunan dari pihak Bapak (Kahanggi Ni Raja).
Dalam Buku Soetan Koemala Bulan hal. 22 bahwa, setelah abangnya Sutan Guru Panusunan meninggal dunia, maka Soetan Koemala Bulan pada tanggal 28 Juni 1915 dalam pemilihan Kepala Kuria memperoleh suara mayoritas mutlak sebanyak 22 suara yang diberikan oleh kepala-kepala kampung yang berhak memilih secara demokrasi
Jadi sistem pemerintahan Kepala Koeria dari sejak +/- tahun 1830 sampai dengan tahun 1946 ,maka sudah berlangsung selama +/- 116 tahun di Tamiang Mandailing. Dimana Kepala Kuria dan juga Raja Panusunan memegang puncak pemerintahan, adat dan hukum di daerah kekuasaannya.
Namora Natoras.
Namora Natoras berfungsi sebagai pendamping raja di dalam mengambil keputusan saat membahas atau menyelesaikan suatu peradatan yang menyangkut kepentingan kesatuan huta yang dipimpinnya, serta mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahannya.
Namora Natoras tersebut, terdiri dari:
· Namora.
Orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja, yang merupakan Kahanggi Raja, yang tidak dibedakan apakah ia setaraf nenek ayah, adik atau saudara tua dari Raja.
· Natoras.
Seorang yang tertua dari satu parompuan (satu nenek atau satu marga) yang oleh suatu kerapatan adat suatu Huta diangkat dan disyahkan sebagai urutan mewakili kerabatnya pada setiap kerapatan adat.
· Suhu.
Mereka yang semarga dengan Raja Panusunan atau Raja Pamusuk, tapi bukan satu turunan dari Raja tersebut atau mereka yang bukan semarga dengan Raja tapi berjasa terhadap Huta tersebut.
· Bayo-Bayo Nagodang.
Mereka yang tidak semarga dengan Raja yang datang bersama-sama atau datang kemudian ke Huta tersebut. Mereka ini adalah dari cabang-cabang yang tertua dari Natoras-Natoras.
Raja dan Namora Natoras memegang peranan penting dalam suatu peradatan untuk mengambil suatu keputusan yang disebut: Domu Ni Tahi.
Tugas masing-masing dari Namora Natoras adalah:
· Anggi Ni Raja, tugasnya membantu Raja dalam melaksanakan tugas pemerintahan sebagai wakil Raja.
· Imbang Raja, tugasnya memberikan saran-saran yang diperlukan dalam memajukan kesejahteraan Hutanya.
· Suhu Ni Raja, tugasnya memberikan nasehat-nasehat dan pertimbangan-pertimbangan kepada Raja.
· Lelo Ni Raja, tugasnya menjaga keamanan Raja (security).
· Sibaso Ni Raja, tugasnya menjaga keamanan Raja dalam pelaksanaan tugasnya dengan memberikan pasu-pasu dan doa, agar dalam menjalankan tugasnya Raja selalu dilindungi oleh Sang Pencipta (tokoh spiritual)
· Bayo-Bayo Nagodang, tugas Bendahara Raja, yaitu: mengatur keuangan Raja.
· Gading Ni Raja, tugasnya ikut serta membuat kebijakan pelaksanaan pemerintahan (policy thinker).
· Goruk-Goruk Hapinis, tugasnya mempertahankan kerajaan dari gangguan-gangguan keamanan.
Staf Raja.
Staf Raja terdiri dari:
· Jombeng Ni Raja (telinga raja) dengan tugas melakukan inteligent.
· Tanduk Raja dengan tugas memimpin pasukan (panglima).
· Tungkat Ni Raja sebagai penasehat.
· Mananti Raja dengan tugas mendampingi dan menunggu raja setiap saat diperlukan.
Kehidupan bersama di dalam masyarakat Mandailing tradisional bercorak kemasyarakatan dan bercorak kommunal. Dimana manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat, seperti pepatah:Ndang mangoloi hata ni Raja”. Pemerintahan adat Raja Panusunan merupakan persekutuan bersifat kekeluargaan, merupakan kesatuan hidup bersama (levensgemeenschap) dari suatu golongan manusia yang satu sama lain kenal mengenal sejal waktu kanak-waktu hingga menjadi orang tua, suatu golongan manusia yang sejak zaman dahulu tinggal bersama di tempat kediaman mereka dan berkepentingan bersama akan kebahagian perseketuan seluruhnya. Raja Panusunan adalah bapak masyarakat yang mengetuai suatu keluarga besar dan pemimpin pergaulan hidup di dalam persekutuan. Suasana Pemerintahan Adat Raja Panusunan bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu dengan golongan seluruhnya dan tugas Raja Panusunan terutama memelihara keseimbangan lahir dan batin antara golongan dan lingkungan alam hidupnya (levensmilleu). Menurut kepercayaan leluhur dalam menjaga keseimbangan hidup masyarakat tetap bahagia ,maka diperlukan tondi(kesaktian).
Tugas utama Raja Panusunan bertugas memelihara tegaknya hukum di dalam persekutuan dan menjaga supaya hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya dan aktifitas raja Panusunan dibantu Namora Natoras meliputi seluruh lapisan masyarakat seperti: jalan-jalan desa, pengairan, lumbung desa, perkawinan, keamanan, kesejahteraan, keadilan dan lain-lain. Raja Panusunan dalam hal mencegah adanya pelanggaran hukum (preventive rechtszorg) dan memulihkan hukum (rechtsherstel) bersifat keputusan, dimana suatu ketetapan raja maka berlaku suatu peraturan hukum adat. Dengan keputusan itu Raja Panusunan melakukan secara konkrit, memberi bentuk konkrit kepada apa yang hidup di dalam masyarakat kampung adat sebagai rasa keadilan dan kepastian hukum.
Raja Panusunan dibantu Namora Natoras memegang adat di dalam segala tindakan-tindakannya dan di dalam memegang adat itu ia selalu memperhatikan adanya perubahan-perubahan, adanya pertumbuhan hukum, ia selalu memperhatikan lahirnya kebutuhan-kebutuhan baru, adanya perubahan-perubahan keadaan, timbulnya perasaan-perasaan berhubungan dengan kebutuhan hukum baru, sehingga di bawah pimpinan dan pengawasan kepala rakyat hukum adat bertumbuh dan berkembang.
Persekutun JANJIAN/Panusunan adalah berdasarkan pertama atas peristiwa, bahwa di dalam persekutuan-persekutuan yang bersifat genealogis dan territorial ia adalah anggota yang tertua dari famili yang tertua atau yang berkuasa di dalam daerah persekutuan dan di dalam persekutuan-persekutuan yang hanya bersifat teritorial belaka, Raja Panusunan atau Pamusuk biasanya dipilih dari keturunan pembuka kampong. Apabila ada lowongan jabatan Raja Panusunan, maka penggantinya atas dasar hukum waris dengan pilihan di dalam permusyawaratan di Rapat Adat Kampung. Yang dipilih atau diakui sebagai Raja Panusunan adalah ahli waris pertama dari Raja Panusunan lama, asal saja tidak ada hal-hal yang menurut rapat adat tersebut, yang menyebabkan, bahwa ia tidak akan cakap (ahli/skill) dan atau tidak patut untuk menjabat Raja Panusunan. Jika ada hal demikian, maka ahli waris yang berikut akan dipertimbangkan oleh Rapat Adat Kampung untuk diangkat menjadi Raja Panusunan yang baru. (Prof. DR. R. Soepomo, SH, Bab Tentang Hukum Adat, 60 72)
Tugas Utama Raja Panusunan adalah:
- Menetapkan hukum dan menegakkan keadilan dan semua orang harus mematuhinya tanpa terkecuali.
- Menjalankan pemerintahan kerajaan menurut adat-istiadat yang berlaku setempat dan mempunyai kekuasaan dalam wilayahnya mengenai agama, pengadilan, dll.
- Pemimpin adat dan pemerintahan yang melayani rakyatnya.
- Memajukan kesejahteraan rakyat.
- Melaksanakan ketertiban umum.
- Melindungi usaha-usaha.
- Kepolisian.
- Semua Raja-Raja (Kepala-Kepala Kuria, Kepala-Kepala Luhat, Kepala-Kepala Negeri dan Kepala-Kepala Kampung), diberhentikan dengan hormat dari jabatannya masing-masing, karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman serta Pemerintahan yang demokratis, dengan ucapan terima kasih kepada mereka itu selama memangku jabatannya masing-masing.
- Sebagai pengganti mereka dalam jabatan-jabatan tersebut dibentuklah suatu Dewan yang bernama Dewan Negeri yang dipilih oleh rakyat negeri yang bersangkutan. Dari anggota Dewan Negeri itu, diangkat 3 atau 5 orang sebagai anggota Eksekutif. Seorang dari anggota Eksekutif itu diangkat sebagai pengganti kepala kampung yang berfungsi sebagai Raja Pamusuk dan dipilih oleh rakyat kampung itu seorang Ketua Kampung..
- Wewenang Dewan Negeri dan Ketua Kampung itu adalah khusus dalam bidang Pemerintahan saja. Mengenai urusan adat akan dipegang dan dilaksanakan oleh mereka yang berhak menurut kebiasaan dalam masyarakat hukum adat setempat.
Menurut pendapat penyusun Surat Ketetapan Residen Tapanuli (Dr. F.L. Tobing), dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Tapanuli dengan ketetapan tanggal 14 Maret 1946 No. 274 dan tanggal 11 Januari 1947 No1/D.P.T dalam menata perubahan zaman untuk menemukan jati diri sebagai negara ideal, memiliki identitas serta kebangsaan nasional bersifat revolusi, (artinya semua yang lama harus dihancurkan) bukan bersifat restorasi (pemulihan kembali) terhadap cara hidup dari sebuah masyarakat seperti: nilai-nilai, praktik hidup, simbol, lembaga dan hubungan antar manusia (cliffort geertz), karena budaya dapat menjadi faktor dominan dalam mendorong kemajuan, seperti terciptanya hubungan yang saling menguntungkan di antara berbagai kelompok dan mampu menguraikan benang kusut dalam kehidupan modern sampai saat ini.
Pada saat Kemerdekaan Republik Indonesia, dimana sistem pemerintahan Raja Panusunan dan Kepala Kuria di seluruh Mandailing berakhir. Dan Banyak bekas Raja Panusunan dan Kepala Kuria menjadi pejabat pemerintahan daerah sesuai dengan pendidikan, talenta dan pengalaman masing-masing dan banyak juga menjadi kepala desa atau secara informal menjadi ketua adat.
Menurut M.D. Harahap (1986:24) mengatakan bahwa beberapa daerah ternyata memiliki sejumlah mekanisme kepemimpinan dan kearifan sebagai bagian dari nilai adat budaya. Dalam konsep adat budaya daerah terdapat beberapa kearifan lokal dan sejumlah kepemimpinan lokal yang semuanya potensial dalam menata masyarakat damai dengan identitas dan integritas bangsa yang kuat.
Menurut pendapat penulis bahwa Masyarakat Adat sebaiknya diberi kesempatan dalam era kemerdekaan ini untuk memperkuat nilai-nilai tradisi-budaya lokal, karena manfaat dari nilai-nilai tradisi budaya lokal yang sudah mendarah daging di dalam masyarakatnya, antara lain :
· Akan lebih mudah menginternalisasi nilai-nilai etik dan moral,
· Akan lebih mudah mengembangkan social control, sehingga berguna menciptakan masyarakat yang baik dan bermoral tinggi,
· Mampu menjadi benteng menghadapi budaya luar yang tidak fungsional atau pengaruh negatif
Menurut Weber bahwa tindakan manusia memang tidak hanya bersifat rasional murni: hanya untuk mempertimbangkan untung rugi semata (rational action oriented to rational goal) tetapi bisa juga rational namun diorientasikan pada nilai-nilai tertentu yang dijunjung tinggi (rational action oriented to values), manusia juga bias bertindak hanya berdasarkan tradisi tanpa mempertanyakan tujuan (traditional action) atau bahkan hanya didorong oleh emosi semata (emotional action) .
Menurut George S. Patton; jangan pernah berkata kepada rakyat tentang bagaimana cara mengerjakan sesuatu, tetapi katakan kepada mereka apa yang kamu inginkan untuk dapat mereka capai, dan kamuakan terkejut oleh kemampuannya
Sumber Referensi:
1. H. Mohamad Said, Soetan Koemala Boelan (Flora), Raja, Pemimpin Rakyat, Wartawan, Penentang
2. Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005
Sumber:
http://patuandolok.blogspot.com/2010/02/sistem-pemerintahan-raja-panusunan-di.html
No comments:
Post a Comment