Thursday, May 17, 2012

Kajian Antropologi : Orang Mandailing Adalah Etnis Batak


Kajian Antropologi : Orang Mandailing Adalah Etnis Batak




MANDAILING - BATAK
Analisis Mandailing Adalah Bagian Batak (Suku-Bangsa) Secara Luas Dalam Wacana Antropologi

Avena Matondang[1]

Wilayah dalam pandangan antropologi dilihat sebagai suatu kesatuan wilayah yang didiami oleh sebentuk komunitas atau suku, sehingga dalam suatu wilayah bisa terdapat hanya satu komunitas atau suku maupun satu wilayah yang didiami oleh beberapa komunitas atau suku, konsep wilayah dalam pandangan antropologi pertama sekali diungkapkan oleh antropolog Amerika , M.J. Herskovits[2] kemudian konsep wilayah kebudayaan dikenal dengan istilah culture area, antropolog G.P. Murdock menyusun suatu sistem terhadap daerah-daerah kebudayaan di Afrika serta mengklasifikasikan daerah-daerah kebudayaan tersebut melalui unsur perbedaan bahasa dan perbedaan sisten kekerabatan.
Melalui konsep culture area yang hendak didapatkan adalah untuk menarik satu garis merah yang menjadi persamaan bagi penduduk suku-suku bangsa yang mendiami wilayah tersebut.

Tulisan ini ditujukan untuk turut memberikan jawaban atas satu pertanyaan yang “menggelitik”, yaitu : Mandailing Tidak Sama Dengan Batak, bagi sebahagian orang yang beranggapan bahwa Mandailing tidak sama dengan Batak, sebelumnya definisi tentang suku Batak[3] adalah terdiri dari enam sub-group, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan ‘orang Batak Toba’. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola.

Anggapan bahwa Mandailing bukan Batak didasarkan keadaan dilapangan bahwa pada umumnya etnis Mandailing memiliki agama yang berbeda dengan etnis Batak, dalam hal ini agama Islam dan Kristen baik Kristen Protestan maupun Katolik. Apabila anggapan tersebut yang menjadi dasar anggapan maka telah terjadi pengkerdilan terhadap proses berfikir secara kritis karena sebagaimana diketahui agama muncul setelah kebudayaan muncul dari suatu masyarakat dan diadopsi dalam kehidupan masyarakat tersebut, dalam kebudayaan Mandailing maupun Batak kedua agama tersebut muncul dan dianut setelah mengalami proses yang lama, konsep agama pada dahulunya didasarkan pada dinamisme dan animisme.

Perkembangan masyarakat Sipirok di Tapanuli Selatan diperkirakan baru muncul lebih kurang sembilan abad setelah pengaruh Islam mulai berkembang di Barus atau pantai barat Tapanuli Tengah[4]. Secara geografis Tapanuli Selatan merupakan basis daerah Mandailing dan hal ini dipertegas dengan pernyataan bahwa sejak sekitar abad ke-16 pengaruh agama Islam belum masuk kedaerah Tapanuli Selatan[5] hal ini kemudian didukung dengan tulisan oleh Parlindungan[6] yang menyatakan bahwa penyerbuan laskar Paderi dari Sumatera Barat ke Sipirok terjadi sekitar tahun 1816. sebelum mereka memasuki kawasan Sipirok, mereka sudah lebih dahulu menaklukkan seluruh daerah Mandailing, Angkola dan Padang Lawas. Berdasarkan hala tersebut maka diperoleh bahwa pada daerah Mandailing Tapanuli Selatan telah ada sebelum pengaruh Islam karena sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti peninggalan sejarah yang menunjukkan adanya perkembangan Islam yang meluas baik di Tapanuli Tengah maupun di Tapanuli Selatan sejak abad ke-7[7], sedangkan agama Kristen masuk kedaerah Sumatera Utara dimulai sejak masuknya para misionaris yang ikut dengan rombongan penjajah Belanda dan misionaris ini salah satunya adalah Nomensen.
Dari keterangan yang telah dipaparkan maka dapat dianggap pupus anggapan yang menyatakan bahwa Mandailing bukan Batak karena faktor agama.

Hal lain yang menganggap bahwa Mandailing bukan batak didasarkan karena Mandaling memiliki perbedaan bahasa dengan bahasa Batak, anggapan ini runtuh dengan jawaban bahwa bahasa atau linguistik pada awalnya sama namun karena dipengaruhi faktor lingkungan, kebiasaan dan hal lain maka terjadi pergeseran dari bahasa semula namun pergeseran ini tidak menimbulkan perbedaan yang berarti, sebagai bahan acuan adalah adanya perbandingan antara beberapa kosa kata bahasa Sipirok dan bahasa Sansekerta[8], dalam perbandingan tersebut kata “huta” yang dalam bahasa Sansekerta “kota” yang memiliki arti sebagai kampong dan kosa kata ini juga digunakan dalam masyarakat Batak, kosa kata lainnya adalah “debata” yang dalam bahasa Sansekerta “devta” memiliki arti dewata, dalam masyarakat Batak dalam hal ini Toba menyatakan Tuhan atau yang memiliki Kuasa dengan kata “debata”, Tuhan atau “debata” digunakan dalam “Somba Debata” yang berarti sembah/sujud kepada tuhan atau pencipta alam. Faktor bahasa yang menjadi pembeda antara Mandailing dan Batak juga bukanlah faktor yang memiliki perbedaan signifikan antara Mandailing dan Batak.

Perbedaan-perbedaan yang menjadi landasan anggapan bahwa Mandailing dan Batak hilang dengan sendirinya apabila dikaji secara mendalam, usaha-usaha pembedaan yang mengarah pada pemisahan antara Mandailing dan Batak merupakan taktik strategi bangsa penjajah (Belanda) pada dahulunya untuk memecah persatuan dan keutuhan NKRI, sampai saat ini masih ada orang, kelompok yang mempertahankan anggapan bahwa Mandailing bukan bagian dari Batak secara luas.

Dalam suatu klasifikasi yang dilakukan Van Vollenhoven[9] terhadap wilayah Indonesia yang mengklasifikasi berdasarkan dari aneka warna suku-bangsa di Wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat, dan pengklasifikasian ini membagi wilayah Indonesia kedalam 19 daerah, yaitu :

1. Aceh                        11. Sulawesi Selatan
2. Gayo-Alas dan Batak 12. Ternate
2a. Nias dan Batu          13. Ambon Maluku
3. Minangkabau            13a. Kepulauan Baratdaya
3a. Mentawai                14. Irian
4. Sumatera Selatan      15. Timor
4a. Enggano                  16. Bali dan Lombok
5. Melayu                      17. Jawa Tengah dan Timur
6. Bangka dan Biliton    18. Surakarta dan Yogyakarta
7. Kalimantan                19. Jawa Barat
8a. Sangir-Talaud
9. Gorontalo
10. Toraja

klasifikasi yang dibuat oleh Van Vollenhoven ini kemudian diadopsi oleh Koentjaraningrat walaupun karya Van Vollenhoven ini masih terdapat keragu-raguan pada daerah Kalimanta, Sulawesi, Indonesia Timur dan Sumatera, Koentjaraningrat menyatakan bahwa mengenai lokasi sesuatu suku-bangsa di Indonesia biasanya ada selisih antara berbagai pengarang bahkan untuk menyatakan batas-batas wilayah suku-bangsa Aceh ada enam orang pengarang yang memiliki perbedaan antara satu sama lain[10].

Koentjaraningrat yang merupakan bapak antropologi Indonesia dalam bukunya "Pengantar Antropologi 1, 1980) tidak menyinggung sama sekali tentang perbedaan antara Mandailing dan Batak kalaupun ada hanyalah perbedaan batas-batas wilayah suku-bangsa Aceh.

Anggapan bahwa Mandailing bukan Batak merupakan tindakan “kekonyolan pemikiran” yang kemungkinan menyebabkan destruct knowledge, menurut hemat penulis keinginan “anggota etnis Mandailing” untuk tidak menyamakan Mandailing dengan Batak karena Mandailing bukan bagian Batak merupakan strategi yang didasari oleh rasa superior, primordialisme, emosi keagamaan berlebih. Sejatinya seorang antropolog dilarang memasukkan unsur-unsur superior, primordialisme dan emosi keagamaan berlebih dalam menyikapi satu masalah, mudah-mudahan tulisan ini dapat membuka cakrawala pemikiran terhadap pandangan yang ada.
Mandailing masuk kedalam bagian Batak secara luas hal ini karena Batak secara luas merupakan representasi suku-suku Batak yang memiliki akar budaya dan wilayah yang sama. Kerugian tidak timbul dari hanya sekedar peletakan Mandailing bagian dari Batak, pemikiran umum telah terdoktrin stereotipe Batak “kasar”, “kurang beradab” namun hal ini muncul dari pandangan orang-orang yang berada diluar lingkaran kebudayaan Batak secara luas.

Kata akhir tulisan ini untuk membuka diri terhadap proses perkembangan namun dengan memperhitungkan aspek perkembangan tersebut, marilah kita bersatu dalam Batak secara luas dan tidak mengkotak-kotakkan diri dalam pemikiran yang sempit.


Daftar Bacaan :

Koentjaraningrat (1980). Pengantar Antropologi 1. Jakarta. Aksara Baru

Koentjaraningrat (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta. UI-Press

Lubis Pangaduan. Z dan Zulkifli Lubis (1998). Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Medan. Badan Pengkajian Pembangunan Sipirok dan USU Press

Purba Mauly (2005). Pluralitas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan. Pusat Dokumentasi Dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen



NB : Tulisan ini diutamakan untuk membuka cakrawala terhadap etnis Batak sebagai suatu kesatuan Holistik.

Kutipan kaki :

[1] Penulis adalah alumnus Departemen Antropologi stambuk 2003 FISIP-USU dan bagian dari etnis Mandailing secara luas
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 299
[3] Mauly Purba, Pluralitas Musik Etnik ; Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, 2005 : 50-51
[4] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 30
[5] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[6] Dalam Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[7] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31
[8] Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 28
[9] Dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 315
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 1980 : 316- 318

No comments:

Post a Comment