Mobil Sinabung Jaya yang saya naiki tiba-tiba berhenti.  Saya membuka mata dan melihat suasana di luar dari balik jendela. Astaga, saya tiba di Kabanjahe. Padahal dari awal saya naik mobil di Medan saya sudah bertekad harus turun di Brastagi, kota kecil sekitar setengah jam sebelum  Kabanjahe, ibukota kabupaten Karo. Rencana awal jalan-jalan ke bukit Gundaling harus saya balik dengan mengunjungi desa Lingga di dekat Kabanjahe terlebih dulu.
Tanpa berpikir lama saya segera turun.  Sambil menunggu masuk waktu sholat Jumat, saya mengisi perut di sebuah warung nasi muslim. Sambil makan saya ngobrol dengan sang penjual yang rupanya seorang Jawa. Sekaligus saya menanyakan mobil menuju desa Lingga. Akan tetapi si ibu tidak bisa membantu saya karena belum pernah kesana.
Menjelang waktu sholat Jumat tiba, saya segera masuk ke masjid agung Kabanjahe. Masjid ini cukup besar untuk sebuah kota yang mayoritas penduduknya bukan Muslim. Penduduk asli kabupaten Karo adalah suku Batak Karo atau suku Karo yang sebagian besar menganut agama Kristen Protestan. Sebagian yang lain adalah penganut Islam dan Katholik.
       
Selepas sholat Jumat saya menunggu mobil ke arah pajak (pasar) Kabanjahe. Menurut petunjuk seorang bapak-bapak yang saya tanyai habis sholat, untuk menuju desa Lingga saya harus ke pajak dulu baru naik mobil ke Lingga. Saya lalu naik mobil dan turun di tugu bambu runcing dekat pasar. Di dekat situ terdapat sebuah gereja yang cukup unik. Gereja Batak Kristen Protestan (GBKP) Kabanjahe Kota merupakan tempat ibadah utama masyarakat Batak Protestan di Kabanjahe. Gereja berwarna cokelat tua ini arsitekturnya sepintas mirip dengan gereja-gereja di Eropa. Saya perlu menunggu beberapa saat sampai akhirnya saya melihat sebuah angkot jurusan Lingga. Saya naik.
Perjalanan dari Kabanjahe menuju Lingga yang berjarak sekitar lima kilometer saya tempuh selama sepuluh menit. Saya satu mobil dengan anak-anak sekolah asal Lingga yang bersekolah di Kabanjahe. Sepanjang perjalanan saya melihat indahnya kebun-kebun sayur dan buah yang memang menjadi komoditas utama kabupaten Karo.
Lingga saya pilih sebagai tujuan wisata karena merupakan satu dari tiga desa budaya Karo yang masih lestari. Dua desa lainnya adalah desa Peceren di Brastagi dan desa Dokan di Merek. Namun, tempat yang paling banyak dikunjungi adalah desa Lingga karena aksesnya paling mudah dan jumlah rumah adat Karonya masih banyak.
Desa Lingga merupakan perkampungan Batak Karo yang memiliki rumah-rumah adat berumur antara 60 sampai 100 tahun, tetapi kondisinya masih kokoh. Sebuah rumah bisa dihuni oleh 6-8 keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Rumah adat Karo ini hanya memiliki sebuah ruangan yang tidak dipisahkan oleh pembatas apapun. Namun, terdapat garis batas imajinatif sebagai pembatas ruangan.
Dulu desa Lingga terbagi dalam beberapa sub desa yang disebut kesain. Satu kesain dihuni oleh sekelompok warga dengan merga yang sama. Sehingga nama kesain diambil dari nama merga yang menghuni kesain tersebut. Ada dua belas kesain di Lingga yang terdiri dari sembilan kesain sebagai sub-submerga Sinulingga yang merupakan bagian dari merga Karokaro dan ada tiga kesain dari Ginting Manik, Ginting Munte dan Tarigan.
     
Saat saya ke Lingga kebetulan sedang diadakan upacara kematian di sebuahjambur. Takut mengganggu kehidmatan acara, saya memilih menjauhi jamburdan mengamati dari jauh.
Desa Lingga dulu merupakan bekas kerajaan Lingga yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sibayak Lingga. Istilah raja disini bukan raja yang berdaulat atas sebuah kerajaan tetapi berdaulat hanya untuk sebuah kuta atau kampung. Sebagai sebuah kuta Lingga masih memiliki beberapa bangunan bersejarah seperti beberapa rumah adat, jambur, geriten, lesung, sapo page (sapo ganjang) dan museum Karo Lingga.
Semua bangunan di Lingga kecuali jambur dan museum berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap ijuk. Berikut ini beberapa bangunan yang terdapat di desa Lingga.
   
                                                          Bekas rumah raja Lingga
Siwaluh jabu (rumah adat)
Rumah adat Karo  unik karena  didalamnya hanya terdapat satu ruang yang besar tanpa kamar. Satu rumah bisa dihuni 8 sampai 10 keluarga. Rumah adat berbentuk panggung, terbuat dari kayu, dibangun tanpa paku dan hanya diikat dengan pasak dan tali. Tinggi rumah kira-kira 2 meter dari tanah yang ditopang oleh tiang, umumnya berjumlah 16 buah dari kayu ukuran besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak. Rumah ini mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat (disebut ture). Ture ini digunakan untuk tempat bertenun, menganyam tikar atau pekerjaan lainnya, pada malam hari ture atau serambi ini berfungsi sebagai tempat perkenalan para pemuda dan pemudi.
Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut ayo-ayo. Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah.
Dapur bagi masyarakat Karo juga mempunyai arti mendalam. Tungku tempat menaruh alat memasak, terdiri atas lima buah batu. Kelima batu menandakan adanya lima merga dalam suku Karo yakni Karokaro, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Peranginangin.
                                       Beberapa rumah adat di Lingga
Jambur
Bentuk bangunan ini mirip dengan rumah adat, tetapi jambur bukan merupakan bangunan berpanggung dan tidak berdinding. Digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pesta bagi masyarakat juga sebagai tempat musyawarah, tempat mengadili orang-orang yang melanggar perintah raja dan adat yang berlaku. Jambur juga merupakan tempat tidur bagi pemuda-pemuda selain sapo ganjang. Hampir semua desa di kabupaten Karo memiliki jambur. Saat Sinabung meletus, banyak warga mengungsi ke jambur-jambur di kota Kabanjahe dan Brastagi.
Kantur-kantur
Kantur-kantur merupakan kantor raja pada saat itu yang berfungsi sebagai balai pertemuan antara raja dengan pemuka-pemuka masyarakat desa.
Sapo ganjang atau sapo page (padi)
Sapo ganjang bentuknya hampir sama dengan kantur-kantur, tapi dalam ukuran sedikit lebih kecil lagi. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas mempunyai dinding untuk menyimpan padi. Sapo ganjang adalah lumbung padi milik bersama yang berbentuk rumah. Lumbung padi milik tiap-tiap keluarga berbentuk silinder besar diletakkan di bawah lantai tiap-tiap rumah.
Geriten
Geriten
Geriten berbentuk seperti kantur-kantur. Geriten berdiri di atas tiang, mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding berfungsi sebagai tempat berkumpul bagi sebagian warga, terutama kaum muda. Lantai atas yang berdinding berfungsi untuk menyimpan kerangka anggota keluarga yang telah meninggal.
Lesung
Lesung adalah bangunan yang biasa digunakan oleh penduduk zaman dulu untuk menumbuk padi dan menumbuk beras menjadi tepung.
Sayangnya beberapa rumah di Lingga kondisinya rusak berat karena ditinggalkan pemiliknya atau tidak ada lagi ahli waris yang mengurusi. Ditambah lagi dengan sifat kayu dan bambu sebagai bahan utama pembuatan rumah adat yang mudah rusak oleh pengaruh cuaca dingin dataran tinggi Karo. Rumah-rumah ini amat membutuhkan perhatian pemerintah karena biaya untuk merenovasi rumah adat Karo sangat besar. Selain itu di desa ini pengunjung sepertinya harus mencari informasi sendiri akan rumah-rumah adat Karo karena pemandu nyaris tidak ada. Namun, justru hal ini bisa membuat Anda untuk lebih berinteraksi kepada warga sekitar.
Puas berkeliling, saya meninggalkan tempat ini menuju tempat selanjutnya yaitu museum Karo Lingga. Letaknya hanya sekitar dua kilometer dari desa Lingga ke arah Kabanjahe.
Desa Budaya Lingga
Desa Lingga, Kec. Simpang Empat, Kab. Karo
Buka setiap hari
Harga tiket masuk : Rp 2.000,-
Lihat juga : Museum Karo Lingga

Sumber:
http://djangki.wordpress.com/2012/10/27/lingga-desa-budaya-karo-yang-tersisa/