Kiras Bangun & Kolonalisme di Tanah Karo
Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat
dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin
memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di
sekitar Binjai telah habis ditanami. Tanah Karo telah diketahui Belanda
karena kerbau sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari
Tanah Karo. Di samping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota
yang didiami tuan-tuan kebun Belanda, banyak didatangi orang-orang Karo
dari Karo Tinggi dan ada diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun
maupun mandor.
Kepopuleran Kiras Bangun / Garamata
telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi
dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu
timbul keinginan Belanda menjalin persahabatan dengan Garamata agar
dibenarkan memasuki Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan.
Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang,
pangkat dan senjata. Tawaran Belanda demikian
mengandung maksud-maksud tersembunyi yang sukar ditebak apalagi Tanah
Karo tidaklah cukup luas untuk jadi perkebunan.
Utusan Belanda Nimbang Bangun telah bolak-balik dari Binjai ke Tanah
Karo namun keinginan Belanda memasuki Tanah Karo tetap ditolak.
Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan Raja-Raja
Tokoh Karo sebagai berikut :
- Keinginan Belanda untuk bersahabat dengan rakyat Karo dapat diterima asal saling menghargai dan menghormati.
- Keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo ditolak.
- Belanda tidak perlu campur dalam soal pemerintahan di Tanah Karo sebab rakyat Karo selama ini sudah dapat mengatur diri sendiri menurut peradatannya sendiri.
Keinginan Belanda masuk Tanah Karo diwujudkan pada tahun 1902, dengan
mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya
ke Tanah Karo setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala
Urung lain.
Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah
Karo tetapi Guillaume tidak mau berangkat. Kemudian Garamata bekerja
sama dengan beberapa Urung berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan
bermukim di Kabanjahe. Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan
dengan Belanda.
Perkembangan situasi yang sudah menegang disampaikan kepada tokoh-tokoh
Aceh Tenggara dan Aceh Selatan sebagai daerah tetangga yang sehaluan.
Kemudian Garamata menugaskan beberapa orang untuk mengetahui informasi
tentang keinginan Belanda ke Tanah Karo dengan dalih membuka perkebunan,
yang merupakan tindakan memaksakan kehendaknya. Dari tokohtokoh Aceh
Tenggara dan Aceh Selatan ini diperoleh jawaban akan membantu Garamata.
Situasi yang berkembang di Tanah Karo sudah semakin memanas semenjak
Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki
Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap
kekuatan. Pertemuan Urung/Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana
yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada
segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana.
Melalui pertemuan Urung, Garamata dalam pengarahannya membentuk pasukan
Urung dan mengadakan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung. Persenjataan
pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam
jumlah terbatas) yang tersedia di Urung masing-masing. Dengan demikian
upaya menghimpun kekuatan, mengobarkan semangat perlawanan gigih dan
bersatu sembari kewaspadaan tidak dilengahkan merupakan tekad Garamata
dan pengikut-pengikutnya yang setia.
Kenyataan membuktikan bahwa pertemuan Urung di Tiga Jeraya mampu
mengerahkan ribuan orang pria dan wanita mengangkat “Sumpah setia
melawan Belanda” yang pengucapannya dilakukan secara serempak yang
menggemuruh. Pertemuan Urung dilakukan sebanyak 6 kali dan yang terbesar
pertemuan Jeraya Surbakti.
Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo
Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah
Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi
perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung
Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung dan pasukan
Urung tewas 20 orang.
Perisitiwa berdarah di beberapa tempat merupakan petunjuk bagi tokoh
Karo bahwa Belanda telah mulai menginjak-injak kedaulatan rakyat Karo.
Kecurigaan Garamata demikian terbukti bahwa maksud kedatangan Belanda ke
Tanah Karo adalah menjajah seperti di Langkat. Garamata memastikan
bahwa perang pasti terjadi dan karena itu menugaskan beberapa orang ke
Alas dan Gayo memperoleh bantuan sebagaimana disepakati setahun lalu.
Karena kedudukan musuh di Kabanjahe maka disusun benteng pertahanan
terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan
Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan
Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos
Komando) Garamata berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk
memudahkan pelaksanaan komando.
Ultimatum Garamata kepada Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe untuk
kedua kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan marsuse
Belanda lebih banyak lagi. Serdadu pengawalnya sudah diperkuat lagi dari
sebelumnya.
Patroli-patroli Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung
mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Dimaklumi bahwa daya tempur
pasukan Simbisa/Urung terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok
lari”, kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Begitu pula
benteng-benteng pertahanan dengan senjata pedang, parang, tombak, bedil
locok dan senapan petuem yang terbatas tidak mendukung untuk bertahan
lama. Adapun tembak menembak terjadi tidak seimbang dan pihak Belanda
memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak Simbisa/Urung
mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan lawan.
Satu demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai
musuh, seperti benteng pertahanan LIngga Julu, meminta korban jiwa,
termasuk pemimpin pasukannya tewas tertembak. Sementara benteng
pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke
garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, (15/9/1904)
dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai
beralepalep merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan
Urung terpaksa membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak
mati, seorang diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung
menyingkir ke Negeri, 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang
yang bertebing terjal.
Negeri sebagai tempat menyingkir Garamata dan pasukannya jadi sasaran
serangan mendadak oleh pasukan Belanda, seusai Batukarang diduduki, Nd.
Releng br Ginting isitri Garamata menderita luka tembak sembari Garamata
dan pasukannya menduduki Singgamanik dan sekitarnya.
Garamata dalam pengarahannya kepada pasukan Simbisa/Urung membuat pesan
dari pedalaman antara lain, teruskan perjuangan melawan Belanda di mana
saja semampu yang dimiliki dengan motto: “namo bisa jadi aras, aras bisa
jadi namo” (namo=lubuk, aras=arus air yang deras). Artinya sekarang
kita kalah, besok kita menang.
Pada kesempatan lain Garamata berangkat ke Singkil dengan tujuan menemui
teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi tidak bertemu. Tidak ada
keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara sudah
dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus.
Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali di tengah jalan ketemu
dengan marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar
sebagai pengail.
Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar,
tidak lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata
dalam bahaya dan diatur bersembunyi dalam satu rumah. Sementara itu
Garamata dipersiapkan menyamar seperti seorang perempuan yang baru
melahirkan dengan muka disemburi pergi kepancuran, dengan demikian
loloslah Garamata dari serangan Belanda. Pendudukan Belanda atas
Batukarang dengan mengerahkan sebanyak 200 orang marsuse Belanda
bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan. Patroli Belanda
tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal.
Betapapun usaha yang diupayakan untuk menangkap tokoh-tokoh Urung
terutama Garamata tidak berhasil sehingga semua rencana Belanda
memperkuat kedudukannya seperti membuka jalan dari Kabanjahe ke Alas,
mengutip pajak, menjalankan roda pemerintahan selalu terganggu/tidak
dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits beginsiel terhadap
Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.
Mengingat banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang
semakin membabi buta seperti peristiwa di Kuta Rih di samping itu
disadari bahwa pasukan tidak dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan
yang sudah parah, terutama disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo,
Singkil sudah tertutup, pada saat mana Belanda menawarkan opportinuteits
maka Garamata bersama anak buahnya berunding untuk mengambil keputusan.
Dengan pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat korban
lebih banyak maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel
diterima dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga
pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.
Sumber:
http://silima-merga.blogspot.com/2014/07/kiras-bangun-kolonalisme-di-tanah-karo.html
No comments:
Post a Comment