Thursday, October 9, 2014

Wisata Tanah Karo Simalem

Wisata Tanah Karo Simalem

Ketika Gunung Sinabung meletus, tanah Karo pun berduka. Sudah lebih empat abad mereka hidup damai di sana. Berkah Sinabung terus mereka raup. Kesuburan tanahnya sungguh dapat menjadi gantungan hidup selama ini. Tiba-tiba gunung setinggi 2451 meter dpl ini memuntahkan laharnya. Tanpa pertanda yang jelas, hanya ada sedikit hujan abu dua hari sebelumnya.

Sinabung memberi warna pada kehidupan orang Karo, yaitu suku yang wilayahnya meliputi Gunung Sinabung-Sibayak, Medan, Binjai, sebagian Kabupaten Dairi, hingga ke Aceh Tenggara. Setidaknya ada 5 marga yang dikenal Orang Karo, yaitu Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Paranginangin. Setiap marga memiliki sub-marga, misalnya ada Karo-karo Kaban, Sembiring Meliala, Ginting Munthe, Paranginangin Uwir, Tarigan Tuakampong, dan lainnya.
pasar bunga berastagi kala gerimis

Orang Karo adalah orang pegunungan, yang memiliki hubungan yang erat dengan alam. Tanah yang subur membuat orang Karo hidup berkecukupan sebagai petani. Sayur, buah, seperti kubis, wortel, kentang, bunga kol, jeruk, markisa, tumbuh dengan lebat dan dapat dipanen dengan hasil berlimpah. Siapa sih yang tak kenal dengan markisa dan timun belanda? Di Karo-lah kedua buah itu ditanam.

Bagi pemerintah propinsi Sumatra Utara, Sinabung dan Tanah Karo menjadi aset wisata yang berharga. Siapa yang tak kenal Berastagi, Kabanjahe, Taman Hutan Liar atau Tahura, Lau Debuk-Debuk, Gundaling, Desa Lingga, juga Danau Lau Kawar. Kalau Anda pernah singgah ke Medan, nama yang disebut di atas tentulah tak asing lagi. Itu adalah beberapa tujuan wisata utama Sumut. Mengenal lebih dekat wisata Tanah Karo, bisa menebalkan kecintaan akan tanah air.


Berastagi
Bukan orang Medan namanya jika belum menginjakkan Berastagi. Kota sejuk di lereng Sinabung ini menjadi tujuan wisata utama orang Medan. Bisa ditempuh dengan satu jam berkendara, kota yang berjarak 66 km dari Medan ini menjadi tujuan utama wisata akhir pekan. Mirip kawasan Puncak bagi orang Jakarta, atau Selecta buat orang Surabaya.

Di Berastagi kita bisa berbelanja sayur dan buah dengan harga murah. Markisa dan timun Belanda segar selalu tersedia di pasar. Berjalan sepanjang pasar memanjakan mata. Buah-buahan segar dipajang berderet, dengan harga yang menggiurkan. Di pasar pula bisa kita jumpai bunga-bunga segar, yang siap dirangkai untuk acara pesta atau hajatan.

Saya bayangkan ketika Sinabung meletus, tentulah pasokan sayur-mayur dan buah buat kota Medan menurun drastis. Harga kedua komoditi ini bisa melangit. Ada juga sih beberapa daerah yang menanam sayur dan buah, misalnya sekitar Tongging dan Sipiso-piso, tapi hasilnya tak sebanyak di Berastagi.

Tak banyak yang tahu kalau Berastagi pernah menjadi tempat pembuangan Bung Karno paska agresi militer Belanda  22 Desember 1948. Namun Bung Karno tak lama disembunyikan Belanda di sini. Awal Januari 1949 presiden pertama RI ini segera dipindahkan ke Parapat. Rupanya Belanda takut diserbu Laskar Rakyat, pejuang Karo yang pendukung berat BK.

Sebelum memasuki Berastagi akan kita lewati papan nama bertuliskan ‘Tahura’. Itulah Taman Hutan Rakyat yang menyajikan wisata di udara bebas yang menyenangkan. Di hari Minggu atau hari-hari besar, Tahura ramai oleh pengunjung. Umumnya mereka adalah yang merindukan kesejukan dan hijau pemandangan.

Gundaling
Bosan ke Pasar Beratagi, kita bisa berkuda menaiki bukit Gundaling. “Goodbye Darling,” kata teman, artinya di puncak bukit ini kerap sepasang anak manusia sejenak memadu kasih, lalu berpisah. Kini mendaki Gundaling tak perlu naik kuda, banyak oto yang siap mengantarkan kita kapan saja.

Dalam perjalanan ke Gundaling, kerap kita jumpai kedai bertuliskan ‘Di sini tersedia susu kuda liar!’. Maksudnya bukan susu kuda liar ala Sumbawa, karena kuda di sini tak lagi hidup liar. Tapi secangkir kopi susu yang nikmat. Itu saja.

Sepanjang perjalanan bisa kita saksikan hamparan kebun sayur dan buah, diselang-selingi rumah penginapan, mulai hotel kelas atas hingga losmen sederhana. Gundaling memang tempat yang strategis buat menghabiskan akhir petang. Di beberapa hotel kerap diadakan pementasan tari tradisional Karo yang diiringi gendang Karo, yaitu seperangkat alat musik terdiri dari sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, gendang penganak, dan gung. Sepintas suaranya mirip gamelan Sunda.
pemandian air panas lau debuk-debuk

Lau Debuk-Debuk
Kalau kita berkendara dari Berastagi menuju Medan, ada pertigaan di kiri jalan dengan papan nama bertuliskan “Lau Debuk-Debuk’. Menempuh jalan beraspal sekitar 300 m, lalu menurun lewat jalan setapak, kita akan dituntun memasuki kawasan kolam-kolam berwarna biru keruh. Beberapa pengunjung nampak berendam di situ.

Lau itu sebutan sungai atau sumber air dalam bahasa Karo. Lau Debuk-debuk adalah sumber air panas yang mengandung belerang. Konon sumber air ini berasal dari kawah Gunung Sibayak. Lau Debuk-Debuk memang berada di pertemuan lereng antara Gunung Sinabung dan Sibayak.

Lau Debuk-Debuk dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit, baik penyakit kulit maupun organ dalam. Di sini kerap pula dilakukan upacara bagi pemeluk kepercayaan Parmalim. Tak jauh dari sumber air panas ini, terdapat makam tua yang dipercaya sebagai makam pemuka Parmalim.

Parmalim merupakan kepercayaan yang dianut suku Karo maupun Batak sebelum masuknya agama resmi negara seperti Kristen, Islam, atau Hindu. Ajaran ini pernah dilarang sebelum era reformasi. Kini pemeluk Parmalim bebas menjalankan ibadahnya.

Kabanjahe
Sepanjang perjalanan dari Berastagi menuju Kabanjahe, Sinabung Jaya akan melalui areal pertanian yang subur. Kadang terhampar kebun jeruk yang buahnya bergelantungan siap dipanen, kadang kebun kubis, asparagus, bahkan juga kebun bunga. Sesekali kita akan menjumpai para petani berjalan menuju kebunnya. Yang perempuan mengenakan jujung, kain yang diletakkan di atas kepala dengan bentuk kas. Yang lelaki memikul cangkul dan keranjang bambu.

Satu dua gereja dengan arsitektur tradisional bermunculan. Sungguh tempat yang mempesona. Sudah subur tanahnya asri pula pemandangannya. Nampak kuat  penduduknya memegang tradisi.

Setengah jam kemudian sampailah kita di Kabanjahe, ibukota Kabupaten Tanah Karo.. Kabanjahe tidaklah sedingin Berastagi. Di sini terdapat Makam Pahlawan, lalu kedai kopi susu yang sangat nikmat. Ada juga pasar kecil yang menjual kerajinan uis gara –semacam ulos bagi orang Karo—yang harganya bisa ditawar. Penghuni kota ini sangat ramah dan halus gaya bicaranya. Serupa orang Solo atau Jogja kalau di Jawa.

Di Kabanjahe nampak toleransi beragama antara muslim-nasrani. Tidak seperti Batak Toba yang mayoritas nasrani, atau orang Mandailing yang mayoritas muslim, di Karo jumlah muslim dan nasrani berimbang.
sebuah rumah adat di desa lingga
Desa Lingga
Mudah mencapai Lingga, cukup naik angkot 06 dari terminal Kabanjahe. Desa di  Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo, ini cukup unik. Terletak di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut, Lingga merupaka satu dari sedikit desa di Karo yang menyisakan rumah adat Karo. Desa lainnya adalah Dokan, Peceren, Serdang, Barus Jahe, Juhar, Gurusinga dan Cingkes.

Ada beberapa jenis rumah adat di sini. Ada jambur, waluh jabu, geriten, lesung, dan sapo page. Geriten adalah tempat menyimpan tulang belulang, biasanya bentuknya tertutup. Sedang lesung merupakan tempat menyimpan lesung yang akan digunakan untuk menumbuk padi. Padi disimpan di sapo page.

Ada belasan waluh jabu yang tersisa di Lingga. Yang paling tua berumur sekitar 200 tahun. Dinding waluh jabu ini terbuat dari kayu, sementara atapnya dari rumbia. Banyak atap rumbia itu berlumut tebal, menunjukkan betapa tua umurnya. Di bagian atas rumah terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga  yang disebut ayo.

Biasanya sebuah waluh jabu di Lingga memiliki dua atau empat ayo, menghadap ke arah yang berbeda. Di atas ayo baru diletakkan kepala kerbau yang berfungsi untuk menolak bala.  Sayang banyak rumah adat yang rusak atau kurang perawatan.

Pada Revolusi Sosial tahun 1946, banyak rumah adat yang dirusak dan dibakar rakyat.  Mereka takut waluh jabu bakal direbut dan didiami Belanda kembali. Rumah adat  menjadi tempat tinggal Sibayak dan keuarganya.

Bangunan semacam pendopo, Djambur Lingga namanya. Jambur merupakan tempat berkumpulnya para tetua adat dan lelaki. Ketika Sinabung meletus, Jambur menjadi tempat penampungan para pengungsi karena tempatnya yang luas.

Sambil berkeliling Lingga akan kita saksikan para pengrajin sagak, umumnya lelaki. Sagak atau bambu biasanya dianyam untuk dibuat keranjang. Keranjang ini kerap digunakan untuk mewadahi sayur dan buah yang dipanen. Selain berkebun, menjadi pengrajin sagak merupakan pekerjaan penduduk desa.

Kalau ingin mengetahui lebih jauh tentang budaya Karo, jangan lupa berkunjung ke  Museum Karo Lingga. Walau koleksinya tak banyak, tapi museum ini cukup informatif menyajikan pakaian adat Karo, alat musik tradisional, perangkat rumah tangga, dan aneka topeng yang digunakan dalam perayaan tradisional. Di depan museum ada Gereja St Petrus, lumbung padi Ginting, dan kompleks kuburan Sibayak dulu.

Lau Kawar
Di hari biasa, cukup sulit mendapatkan angkot yang langsung menuju ke Danau Lau Kawar dari Berastagi. Minimal kita harus berganti dua kali angkot, jurusan ke Desa Perteguhan, lalu menuju ke Lau Kawar. Itupun mesti mencarter sopir agar mau mengantarkan kita masuk ke lokasi danau. Itulah sebabnya, banyak pengunjung yang memilih berwisata ke Lau Kawar di hari libur.

Ada sebuah legenda yang dihubungkan dengan danau ini. Legenda tentang Desa Kawar. Konon desa ini tanahnya subur, penduduknya pun hidup makmur, karena hasil panen berlebih. Suatu hari diadakan pesta menyambut panen.  Seluruh penduduk diundang untuk mengikuti jamuan makan, musik, dan tarian. Namun ada seorang nenek yang tak bisa hadir karena dia lumpuh. Sendiri dia terbaring di ranjangnya.

Ketika orang sedang berpesta, makan makanan  enak sepuasnya, nenek itu justru kelaparan di rumahnya. Anak dan menantunya lupa siapkan makanan buat sang ibu. Baru sore menjelang ketika cucunya datang membawa makanan yang dititipkan ibunya untuk si nenek. Betapa kecewa hati nenek itu saat tahu bahwa makanan yang dibawa cucunya adalah sisa-sisa makanan. Rupanya si cucu telah memakan sebagian nasi tersebut. Nenek itu lalu menangis dan berdoa agar orang di desa dikutuk Tuhan. Tak berapa lama turun hujan lebat. Desa Kawar pun tenggelam, menjelma jadi Danau Lau Kawar.

Di hari biasa Lau Kawar amat sunyi. Bentangan airnya berlekuk dan memantulkan biru laut dan hijau pepohonan lebat di seberang danau. Danau ini luasnya sekitar 200 ha, berada di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Danau ini adalah satu dari dua danau di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Danau satunya adalah Danau Marpunge.

Di sekeliling danau ada rumah makan, bangunan berbentuk rumah adat yang berfungsi sebagai penginapan, dan jalan yang tertata rapi. Di musim liburan sekolah, bisa puluhan tenda berjajar di sini. Danau ini merupakan salah satu pos pendakian favorit menuju Gunung Sinabung. Butuh waktu sekitar 6 jam untuk menggapai puncak Sinabung. Kalau kita hanya punya waktu pendek, cukup mendaki Deleng  Lancuk, puncak bukit terdekat.

Aset wisata ini sayangnya kurang digarap serius oleh pemda Tanah Karo. Keterbatasan transportasi menjadi salah satu kendala. Belakangan banyak warga Karo yang berharap pemda mulai memberi perhatian khusus pada ekowisata. Bukankah Tanah Karo kaya akan pertanian sayur dan buah? Itu bisa menjadi daya tarik yang potensial. Semoga letusan Sinabung kali ini bisa menggugah pemda untuk lebih memperhatika aset tanah Karo.

*pernah dimuat di sebuah blog wisata, sayang blognya ‘mati’. hiiik ..


Sumber:
http://othervisions.wordpress.com/2011/12/01/wisata-tanah-karo-simalem/

No comments:

Post a Comment