Tuesday, May 1, 2012

Menjenguk Pesanggrahan Raja Uti di Barus


Menjenguk Pesanggrahan Raja Uti di Barus

 
Tak jauh dari Simpang Tiga Bukit Desa Patu Pangan, menuju Kota Barus, terdapat pesanggrahan Raja Uti. Di Barus ia dikenal sebagai Raja Hatorusan yang memimpin sampai beberapa dinasti. Raja Uti dalam mitologi penciptaan masyarakat Batak adalah putra sulung Guru Tatea Bulan, anak dari Raja Batak.
Dalam kosmologi Batak (Toba) Raja Uti dikenal sebagai sosok sakti, yang perannya berfungsi sebagai pengantara manusia dengan Mulajadi Nabolon (Sang Pencipta). Secara lengkap, arketip Raja Uti beserta orangtua dan saudara-saudaranya ada di kaki Gunung Pusuk Buhit, Sianjurmulamula, Samosir. Pusuk Buhit sendiri oleh masyarakat Batak tradisional, dianggap sebagai kiblat spiritual masyarakat Batak. Jadi, jika Barus merupakan sumber peradaban, Pusuk Buhit adalah muasal spiritual bagi orang Batak. Kehadiran Raja Uti di kedua tempat ini, seperti menyempurnakan keduanya. Sekedar catatan, profil Raja Uti termasuk banyak disebut oleh masyarakat di berbagai tempat di Sumatera Utara, terutama yang ada jejaknya dengan historis Batak. Selain Barus, Pusuk Buhit dan di sejumlah wilayah di daratan Batak. Konon Raja Uti juga disebut dalam literatur sejarah Aceh dan dianggap sebagai leluhur orang Batak di Tanah Rencong.

Masyarakat Batak meyakini Raja Uti mampu menjelma menjadi 7 rupa. Ketujuhnya terlihat jelas di pesanggerahan yang ada di Pusuk Buhit. Tak heran jika ada 7 penyebutan pula yang diberikan untuknya, yakni; Ompu Raja Uti, Ompu Raja Pusuk Buhit, Ompu Raja Gumelleng-gelleng, Ompu Raja Biak-biak, Ompu Raja Parhata, Ompu Raja Hasaktian dan Ompu Raja Hatorusan.

Tetapi yang terpenting, bagi Parmalim, Raja Uti tak sekedar leluhur orang Batak. Bagi Parmalim, Raja Uti adalah muara spiritual mereka. Raja Uti merupakan sosok suci, sang peletak dasar kebatakan, Raja Hatorusan, raja yang tak penah mati dan perantara manusia kepada Mulajadi Nabolon. Menurut Sitor Situmorang, dalam Toba Na Sae, Raja Uti, terlahir tak sempurna: tanpa tangan dan kaki. Orangtuanya mengasuh ia secara sembunyi-sembunyi di salahsatu gua di lereng Gunung Pusuk Buhit. Baru, ketika Mulajadi Na Bolon, menyempurnakan fisiknya, Raja Uti kemudian pergi ke barat, yang diistilahkan sebagai tempat matahari terbenam (hasundutan) yakni Barus. Konon di sana ia membuka perkampungan di hilir Barus, yang kelak berkembang menjadi kerajaan. Di situ ia lebih dikenal sebagai Raja Hatorusan. Ia pun memerintah di sana untuk beberapa dinasti.

Dikisahkan, bahwa Sisingamangaraja I, harus menempuh perjalanan jauh dari Bakkara menuju Barus guna menemui Raja Uti yang adalah hula-hula (tulang-paman)nya sendiri. Seperti diketahui, dalam genealogis Batak, Raja Uti adalah putra Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan sendiri anak sulung dari Raja Batak. Adik Guru Tatea Bulan adalah Raja Isumbaon. Karena situasi, ada kebiasaan, bahwa keturunan Raja Isumbaon selalu memperistri anak perempuan dari keturunan Guru Tatea Bulan. Ini mengakibatkan pihak Raja Isumbaon menjadi pihak parboru bagi pihak Guru Tatea Bulan yang menjadi hula-hula. Dalam konsep Dalihan Na Talu, parboru wajib menghormati pihak hula-hula dan biasanya selalu akan memohon berkat kepada hula-hulanya itu, jika hendak melakukan sesuatu pekerjaan besar. Demikian, kebiasaan ini diteruskan sampai pada Sisingamangaraja I yang merupakan keturunan Raja Isumbaon. Mendengar kabar, bahwa ada seorang pamannya yang sakti, bernama Raja Uti, yang bermukim di Barus, ia langsung menuju kesana. Setelah menghadapi berbagai rintangan ia pun berhasil menjumpai pamannya itu. Oleh Raja Uti, Sisingamangaraja I diberi pusaka, berupa Piso Gaja Dompak, yang menjadi semacam regalia untuk mendirikan dinasti kerajaan. Konon yang memiliki Piso Gaja Dompak, layak untuk diangkat menjadi raja.

Raja Na 44
Dalam konsep religiusitas Parmalim ada dikenal sebutan Raja Na Opat Puluh Opat. Biasa ditulis Raja 44. Raja 44 bagi Parmalim adalah para malim (suci) yang menebarkan jalan kebaikan bagi masyarakat di dunia. Menurut Raja Marnangkok Naipospos, dalam satu diskusi dengan penulis, Raja 44 tak terbatas dengan orang di lingkungan Parmalim, tetapi siapapun yang dianggap membawa kemaliman (kesucian) bahkan yang dari kalangan Islam sekalipun. Konsep Raja 44 bersumber dari kosmologi Parmalim yang menyebut bahwa bumi (banua tonga) disanggah oleh 4 sudut dari atas (banua ginjang) dan 4 sudut (banua toru). Dengan begitu proses kehidupan bumi (banua tonga) mirip konsep yin-yan. Menurut Parmalim, para Raja 44 inilah yang berperan dalam menjaga keseimbangan kehidupan itu. Namun dalam upacara keagamaan Parmalim, Raja 44 tak diuraikan satu persatu namaya, tetapi cukup disebut secara kelembagaan saja. Dalam tonggo-tonggo (doa) Parmalim setidaknya disebutkan beberapa nama, yakni: Raja Uti, Si Boru Deak Parujar, Si Boru Saniang Naga, Raja Sisingamangaraja, Raja Nasiakbagi dan Raja Na 44.

Menurut keyakinan Parmalim, Raja Uti adalah pewaris “harajaon” (kerajaan) Batak yang diberikan oleh Mulajadi Nabolon (sang pencipta). (jones gultom)

Sumber:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/08/07/49236/menjenguk_pesanggrahan_raja_uti_di_barus/#.Tli7pmPmmyA

No comments:

Post a Comment