Friday, May 18, 2012

Prof Uli Kozok Mengungkap Rahasia antara Nommensen dan Sisingamangaraja XII

Surat-surat Sisingamangaraja XII Setelah 100 Tahun
Prof Uli Kozok Mengungkap Rahasia antara Nommensen dan Sisingamangaraja XII

Prof. Dr.Uli Kozok, profesor dari Universitas Hawaii di Manoa, USA, barangkali telah membuat seratusan mahasiswa dan akademisi merasa terguncang pada hari Kamis 27 November 2008 di Ruang VIP Gedung Serbaguna Unimed. Sejarah Batak Toba yang selama ini diwarnai kepahlawanan Sisingamangaraja XII dan “kesucian” misionaris Nommensen, ia ungkap dalam perspektif yang sangat berbeda dari versi sejarah resmi selama ini. Ia membawa serta naskah surat-surat Sisingamangaraja yang tersimpan selama 100 tahun di Jerman dan menulis terjemahannya untuk mengungkap siapa dan apa sebenarnya Sisingamangaraja XII dan Nommensen.

Dari hasil penelitian Uli Kozok terhadap 3 lembar surat Sisingamangaraja kepada Nommensen, terungkap bahwa raja yang mengklaim diri sebagai penguasa Batak dan Sumatera itu, tidak pernah menulis sendiri surat-suratnya. Surat-surat tersebut ditulis oleh dua juru tulisnya yang merupakan bekas murid sekolah guru yang didirikan misionaris di Tanah Batak. Keduanya adalah orang yang kemungkinan kecewa karena tidak diluluskan menjadi guru (ini menurut perkiraan Prof. Bungaran Simanjuntak), lalu menyeberang memihak Sisingamangaraja XII yang saat itu berseteru dengan Pemerintah Belanda. “Kemungkinan paling logis, Sisingamangaraja XII tidak bisa menulis dan membaca dalam aksara Batak. Pada saat itu, aksara Batak memang hanya beredar di antara datu-datu (orang sakti), jadi bukan hal yang aneh keluarga bangsawan tak belajar aksara Batak,” jelasnya.

Dalam surat-suratnya kepada Nommensen, Sisingamangaraja XII menganggap misionaris utusan Rheinische Missions-Gesselschaft (RMG) dari Jerman itu adalah bawahan atau kaki tangan Pemerintah Belanda yang ia anggap tidak sopan karena datang ke Tanah Batak tanpa melapor dulu padanya. Surat-surat itu selalu dibubuhi cap yang berbeda antara satu surat dengan surat yang lain. Bentuknya bulat dengan sisi luar yang dihiasi gerigi. Setiap cap memiliki jumlah gerigi yang berbeda, masing-masing 10, 11 dan 12. “Inti dari surat-surat Sisingamangaraja XII adalah merintis upaya perdamaian dengan pihak Belanda, di mana Nommensen sebagai perantaranya. Di dalam surat-surat itu, ia tidak pernah setuju untuk tunduk pada Belanda karena ia merasa sebagai Raja Batak dan mengklaim diri sebagai penguasa Sumatera,” kata Uli Kozok.

Islam atau Parmalim
Uniknya, cap di surat Sisingamangaraja XII menggunakan kata-kata “tahun hijrah nabi” yang merujuk pada istilah Islam, tapi angka tahun yang dibubuhkannya tidak terlalu jelas. Selain memakai aksara Batak di bagian tengah, cap itu juga berisi tulisan Arab Melayu. Meski berisi simbol-simbol Islam yang kental, tapi Uli Kozok tidak lantas menyimpulkan bahwa Sisingamangaraja XII sebagai pemeluk Islam. Menurutnya, Parmalim sebagai agama asli orang Batak memang banyak dipengaruhi oleh Islam dan Kristen. “Parmalim adalah agama yang berkembang dan sangat sinkretis. Orang Batak Toba sejak lama mendapat banyak inspirasi dari Barus dan Minangkabau. Kedua tempat itu berulang-ulang disebut dalam pustaha Batak atau dalam tonggo-tonggo (doa),” papar Uli Kozok.

Prof Uli Kozok juga mengkritisi buku sejarah “Ahu Sisingamangaraja” yang disusun Prof. Dr. WB. Sidjabat yang selama ini menjadi pegangan utama sejarah Batak. “Almarhum Sidjabat adalah penulis sejarah Batak yang detil, tapi sepertinya beliau meninggalkan fakta-fakta penting yang berkaitan dengan Nommensen. Saya tidak tahu apakah itu disengaja atau tidak. Saya pernah berupaya untuk mewawancarai beliau di Jakarta, tapi rupanya ia sudah meninggal dunia sebelum kami bertemu. Beliau tidak pernah mengungkapkan bahwa Nommensen-lah sebenarnya yang meminta militer Belanda untuk menyerang Sisingamangaraja untuk keleluasaan tugas misionarisnya di Tanah Batak. Padahal ini informasi penting. Untuk tindakannya tersebut, suratkabar Belanda pada saat itu telah menyalahkan sikap Nommensen terhadap orang Batak. Mereka menyebut Nommensen meninggalkan orang Batak, yakni umat yang seharusnya dilayaninya. Dan ini tidak tertulis dalam buku Profesor Sidjabat,” katanya. Uli Kozok lebih jauh juga mengungkapkan bahwa misionaris di Tanah Batak telah bekerjasama dengan Belanda untuk menghalang-halangi orang Batak melakukan kontak dengan luar, sebab mereka khawatir pengaruh Islam dari pesisir akan masuk ke Tanah Batak. Kontak dagang diminimalisir, dan bagi pihak Belanda sendiri, ini dapat mengisolir Tanah Batak dari informasi gerakan-gerakan pemberontakan kepada Belanda seperti di Aceh dan daerah-daerah lain di Nusantara. Sebelumnya, Nommensen telah gagal menyebarkan misi Gereja Lutheran di Tapanuli Selatan karena mayoritas penduduk di sana memeluk Islam. Setelah berkali-kali memohon izin dari Pemerintah Belanda, akhirnya ia diperbolehkan mendirikan pos di Silindung, Tapanuli Utara. Dari sana, ia memperluas misionaris ke Danau Toba, tapi terhalang oleh perlawanan Sisingamangaraja XII yang bermukim di Bakkara. Itulah sebabnya, untuk menciptakan stabilitas di Tanah Batak, ia mengundang aksi militer Belanda, meski sebenarnya sebagian besar pasukan itu terdiri dari prajurit suku Jawa dan Ambon (atau sering disebut Belanda Hitam). Bagi penduduk Jerman sendiri, Nommensen bukanlah sosok yang terlalu istimewa. Ia hanyalah salah satu dari sekian banyak misionaris utusan RMG ke seluruh pelosok dunia. Tapi di kalangan RMG sendiri, namanya memang cukup harum. Stephen Neill, ahli sejarah misionaris, menempatkan Nommensen sebagai satu dari sederetan nama besar misionaris sepanjang masa. Dalam Calendar of Saints, namanya diperingati setiap 7 November di kalangan Gereja Lutheran Jerman bersama John Christian Frederick Heyer dan Bartholomaeus Ziegenbalg. Bukan Aksara Batak Toba Masih dari hasil penelitian Uli Kozok terhadap surat-surat Sisingamangaraja XII, ditemukan perbedaan yang mendasar antara aksara Batak yang tertera di surat dengan aksara yang ditemukan di pustaha-pustaha Batak. Aksara yang digunakan dalam surat Sisingamangaraja XII adalah aksara Mandailing yang tidak begitu persis dengan aksara Batak Toba. Menurut Uli Kozok, kemungkinan besar semua surat itu ditulis oleh kedua juru tulisnya yang juga bertindak sebagai kurir. “Kedua juru tulis itu belajar aksara Batak secara formal di sekolah misionaris. Di sekolah itu, yang mereka ajarkan adalah aksara Mandailing karena huruf-huruf Batak Mandailing sudah terlanjur mereka cetak selama mendirikan pos di Tapanuli Selatan. Kemungkinan besar, misionaris tidak mencetak aksara Batak asli lagi karena biayanya dianggap terlalu mahal. Nah, aksara Mandailing inilah kemudian sekarang yang dianggap orang Batak Toba sebagai aksara Batak yang asli,” ungkapnya. Adapun analisisnya terhadap aksara Melayu yang tercantum dalam cap surat, berujung pada kesimpulan bahwa cap itu bukanlah pemberian Sultan Aceh. “Beberapa cap lain yang diberikan Sultan Aceh kepada raja-raja di Sumatera, selalu ada pernyataan bahwa penerima cap itu adalah khadam atau wakil dari Sultan Aceh dan tunduk pada kekuasaan Aceh. Sedangkan pada cap yang digunakan Sisingamngaraja XII, kata-kata itu tidak ditemukan. Aksara Melayu dalam cap-cap Sultan Aceh juga biasanya ditulis dengan indah dan jelas, tidak seperti cap Sisingamngaraja XII yang tidak rapi dan tidak jelas. Jadi, saya tidak menemukan fakta yang mendukung bahwa Sisingamangaraja XII dan Sultan Aceh bekerjasama antar kerajaan,” simpulnya. Uli Kozok mengaku, penelitiannya tentang sejarah Batak masih terus berlanjut. Ia juga berjanji akan meneliti satu lagi surat Sisingamangaraja XII yang terdapat di Belanda. Dalam surat itu tercantum bagaimana negosiasi Sisingamangaraja XII dengan Kerajaan Belanda. Ia menyatakan siap tunduk pada Kerajaan Belanda asalkan Raja Belanda bersedia menikahkan putrinya, Wilhelmina, kepadanya. Menurut sosiolog Bungaran Antonius Simanjuntak, itu adalah cara adat Batak dalam menegakkan ketentuan Dalihan Natolu. Dengan mengawini putri dari Kerajaan Belanda, maka Sisingamangaraja XII otomatis akan menjadi “anak boru” yang secara adat tunduk pada “hula-hula” (atau mora dalam Mandailing). Tapi surat itu dibalas dengan menyakitkan oleh Raja Belanda. Isinya kira-kira, “Bagaimana mungkin kami mengawinkan putri kami kepada suku yang masih kanibal?”.


Sumber:
http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=751&cat=10

No comments:

Post a Comment