Tuesday, May 22, 2012

... Meruntuhkan “Batak” ...


... Meruntuhkan “Batak” ...




1316219219649935822


Judul Buku      : Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut
Penulis            : Daniel Perret
Penerbit          : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta
Cetakan          : April 2010
Isi                     : 448 Halaman
ISSBN             : 978-979-91-0238-6
Peresensi       : Yasser Asturanawa


Sejak lama, Sumatra Timur Laut -kini Sumatra Utara- dipandang sebagai kawasan hunian dua masyarakat utama yang terpisah; Batak dan Melayu. Batak dianggap sebagai suku pedalaman, kanibal, kasar, pemakan babi, dan tak beradab(uncivilized). Berkebalikan dengan Melayu yang dianggap makhluk pesisir, melek budaya, dan beradab (civilized). Definisi pengkor atas kedua masyarakat ini telah terpatenkan dalam naskah-naskah ilmiah dan aksioma sosial. Tak ganjil, opini minor atas orang Batak kerap menjengul di tengah masyarakat kita.

Padahal, menurut Daniel Perret, penulis buku ini, “Batak” sebagaimana didefinisikan di atas sejatinya adalah label kabur yang datang dari luar. Bahkan, sebagai identitas, ia merupakan ciri-ciri kultural yang ditemukan (invented), didefinisikan, dibentuk, dan dirawat oleh kaum kolonial. Sejak 1990-1993, di bawah bimbingan penulis buku legendaris Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu (Gramedia Pustaka Utama, 1996), Denys Lombard, Perret terjun langsung ke kawasan Sumatra Timur Laut -kini Sumatra Utara- untuk meriset hal itu. Jangan heran jika semua kata “Batak” di buku ini tertulis dalam tanda kutip.

Identitas Kabur
Selain mengendus bau keringat kolonialisme di tubuh “Batak”, Perret juga menemukan fakta bahwa pada awalnya “Batak” dan “Melayu” itu tak terpisah. Mereka merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari beragam asal dan terbuka pada segala pusparupa budaya (kosmopolitan). Meskipun mereka terkelompokkan dalam topografi hulu-hilir/darat-pantai/pedalaman-pesisir, tapi makna “hulu/darat/pedalaman” samasekali tak mengacu pada tabiat kebiadaban atau keterbelakangan budaya. Sebab merekalah penonggak sistem perdagangan daerah, antar daerah, dan internasional sejak era prakolonial (hal. 78).

Melalui analisis ruang dan jejaring sosial-politik-ekonomi-kultural-religi di Sumatra Timur Laut era prakolonial (hal. 81-257), Perret samasekali tak menjumpai musabab penakdir identitas “Batak”. Faktanya, “Batak” sendiri adalah istilah garib yang tak tertera dalam berbagai literatur tradisional pedalaman. Baik pustaha Toba maupun Simalungun, Syair Putri Hijau (1924), Pustaka Kembaren (1927), dan Pustaka Ginting (1930). Dalam Hikayat Deli, “Batak” hanya sekali digunakan tanpa didahului oleh kata “orang”. Sedangkan di stempel Sisingamangaraja, hanya ada kalimat “Ahu Raja Toba”, bukan “Ahu Raja Batak”.

“Batak” dan -otomatis- “Melayu” muncul sebagai efek silaturahmi ekonomi-politik-budaya-agama (Islam) antara pesisir Sumatra dengan semenanjung Melayu sejak abad ke-16. “Melayu” dibarut oleh para pedagang Malaka yang mengubah nama Deli menjadi Tanah Melayu (hal. 170-171) untuk membahasakan narasi besar kebudayaan saat itu. Sementara “Batak” dieja oleh “ruang-ruang Melayu” secara sembarangan sebagai narasi pelengkap untuk memindai orang yang bukan Melayu, tak berpengetahuan, berperilaku kasar, dan kanibal.

Meski begitu, tak sekutilpun ada ganjalan dalam resiprokalitas antara pedalaman dan pesisir karena kesesatan pelabelan ini. Ketika krisis ekonomi menjangkit, kekacauan politik di kesultanan Aceh meriuh, dan permintaan lada pasar dunia meningkat di pangkal abad ke-19, elit-elit pesisir (para sultan) malah mengembangkan ruang budi-daya pertanian lada, kopi, gambir, dan kapas di pedalaman-pegunungan. Tentu intimitas pesisir dan pedalaman semakin memucuk karenanya. Bahkan para sultan pesisir pun mengambil istri dari kalangan warga pedalaman demi kelancaran pengolahan lahan mereka (hal. 121). Tidakkah ini menunjukkan betapa beradabnya orang “Batak”?

Etnitisasi
Jika “Batak” di era prakolonial cuma sekedar label, maka “Batak” sebagai identitas mulai terbentuk seturut ekspansi kolonial pekebun-pekebun Barat ke kawasan Sumatra Timur Laut pada tahun 1863. Bagi para kapitalis-kolonialis itu, orang pedalaman adalah hijab untuk memperoleh konsesi lahan perkebunan dari para sultan pesisir. Maka mereka sengaja menunaikan misi etnitisasi untuk memutilasi buhul kemesraan pesisir-pedalaman sekaligus menyekat ruang sosial keduanya. Sejak itu, mereka mulai menyiagakan para kontrolir yang bertugas untuk menata urusan masyarakat di setiap blok pedalaman.

Para kontrolir bersama aparatus kolonial lainnya seperti pejabat perkebunan, residen, asisten residen, hingga misionaris, tak hanya menyuntikkan perasaan kekomunitasan dan kesadaran etnis di tubuh sosial warga pedalaman, tapi juga menguatkan ruang sosio-geografis, menggali bahasa dan nilai-nilai adat-budaya, serta mendakwahkan agama (Kristen). Perlahan-lahan “Batak” pun ditemukan. Pada tahun 1910, dalam laporan akhir tugasnya, seorang kontrolir bernama Kok telah menginventarisasi daftar ciri-ciri budaya dan psikologi orang “Batak” untuk diwariskan kepada kontrolir penerusnya (hal. 298).

Satu lagi, peran ilmuwan kolonial sangat besar dalam penemuan “Batak” ini. Terutama sejak berdirinya Bataksch Instituut di Leiden pada tahun 1908 dengan cabangnya di Medan, Bataksch Vereeniging (hal. 299-300), yang memusatkan kegiatannya untuk memfolder jibunan data tentang Bataklanden di semua bidang. Lembaga ini pun sempat menerbitkan sejumlah hasil penelitian ihwal “bangsa Batak” yang hingga kini masih diacu untuk mendefinisikan “Batak”. Benarlah apa yang ditulis oleh Edward W. Said. Bahwa Barat menyaring dan mengerangkeng Timur dalam teori maupun praktek yang sengaja diciptakannya hingga menjadi sebuah sistem ilmu (Orientalism: 1977: 14).

Efek Eksplosif
Selain menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan, etnitisasi ala kaum kolonial itu juga berbuntut eksplosif. Perang Sunggal (1872-1895), perang saudara antara pesisir dan pedalaman yang disebut Belanda sebagai Batak Oorlog adalah salahsatunya. Tak hanya itu, di bagian Selatan Tapanuli tiba-tiba muncul sekelompok komunitas yang menyebut diri mereka sebagai “bangsa Mandailing” (hal. 315-330). Mereka enggan disebut “Batak”. Sebab sejak lama mereka merasa telah beradab (civilized) dan beragama Islam.

Sayangnya buntut eksplosif termutakhir etnitisasi tak dicacah oleh buku yang semula merupakan disertasi doktoral Perret di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, ini. Sehingga bobot kekinian buku ini agak berkurang. Ia akan lebih berbunyi jika saja Perret berkenan membicarakan tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang menyeruak belakangan ini di Sumatera Utara. Setakat dengan itu, rasanya perang terselebung antara “Batak”, “Melayu”, dan “Mandailing” dalam “politik rekrutmen” punggawa birokrasi di Sumatra Utara pun perlu dibahas di sini.

Tapi kegigihan Perret untuk meruntuhkan “Batak” dan menggodam sakralitas konsep etnis justru membuka kemungkinan riset ilmiah yang lebih menantang. Apakah pembaca tergerak untuk menyoal satuan etnisitas di wilayah lain Nusantara yang memiliki struktur geo-etnis seperti Sumatra Timur Laut dengan menggunakan kerangka “Perretian” ini? Jika iya, maka keterpisahan etnis Jawa-Sunda di Jawa dan Melayu-Dayak di Kalimantan hanya tinggal menunggu jadwal pemakaman. Dengan begitu, akan jelas bahwa “Batak” dan semua raut etnisitas itu bukanlah takdir. Melainkan cuma label budaya saja.


Sumber:

1 comment:

  1. Saya tidak percaya dengan itu si Perret.
    Hanya teori, bukan fakta.

    ReplyDelete