Saturday, May 19, 2012

Menengok Peradaban Batak

Menengok Peradaban Batak

Diresmikannya Museum Batak oleh Presiden Yudhoyono pada hari Selasa (18/1) lalu, telah menyiratkan kesadaran baru akan identitas Batak. Melalui museum ini, peradaban Batak yang tak banyak diketahui orang, mulai coba diperkenalkan. Terkikisnya kesadaran berbudaya di tengah-tengah masyarakat Batak, telah menjadi kegundahan para tetua adat. Menurut mereka, saat ini banyak anak-anak muda yang tak lagi memahami adat istiadat Batak. Beberapa orang yang berdomisili di rantau, bahkan malu mengaku sebagai keturunan Batak, sehingga menanggalkan marga di belakang namanya.

Kesadaran akan identitas Batak memang menjadi suatu hal yang baik, di tengah-tengah derasnya arus westernisasi dan globalisasi yang menerjang bangsa ini. Namun kesadaran itu terasa agak berlebihan dan cenderung primordial. Bahkan sampai meletup dan mencederai kebersamaan di antara sub-sub etnis Batak. Kasus terhangat ialah pembentukan Propinsi Tapanuli yang akhirnya dibekukan oleh pemerintah. Dalam pembentukan propinsi tersebut akhirnya kebersamaan itu kandas, dan berujung dengan wafatnya Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Azis Angkat. Majalah Tempo yang melakukan investigasi atas kasus tersebut melaporkan, bahwa pembentukan propinsi itu hanya kemauan komunitas tertentu saja. Dalam hal ini adalah masyarakat Toba, yang mendiami eks-Kabupaten Tapanuli Utara. Kerasnya keinginan mereka nampak dari penentuan ibu kota propinsi yang sebelumnya telah diputuskan di Sibolga, malah dialihkan ke Siborong-borong.

Terminologi Batak dikembangkan oleh etnograf Barat pada akhir abad ke-19. Merujuk kepada masyarakat pedalaman yang membedakannya dengan orang-orang Melayu di pesisir timur, serta masyarakat Minangkabau di pantai barat. Belanda pulalah yang merekonstruksi batas-batas peradaban Batak, dan melepaskannya dari pengaruh dua kekuatan politik di utara (Aceh) dan selatan (Minangkabau). Walaupun hingga tahun 1906, Belanda memasukkan wilayah Tapanuli ke dalam Gouvernement Sumatra’s Westkust yang berpusat di Padang.

Batas-batas ini sebenarnya agaklah kabur dan kurang berdasar. Sebagian orang bahkan tidak puas dengan terminologi tersebut, dan lebih memilih untuk disebut sebagai bangsa Mandailing atau Karo atau Angkola saja. Kasus Pekuburan Sungai Mati yang terjadi pada tahun 1922 di Medan, menjadi contoh persoalan tersebut. Dimana orang-orang Mandailing menolak untuk disebut sebagai Batak, dan memilih untuk disebut sebagai Mandailing. Dengan penolakan tersebut, komunitas Mandailing-pun melarang orang-orang Batak untuk dikuburkan di tanah wakaf Sungai Mati. Persoalan ini sempat mencuat hingga ke pengadilan, yang akhirnya dimenangkan oleh masyarakat Mandailing. Kasus lainnya ialah pembentukan Syarikat Mandailing (1921) yang kemudian disusul oleh Handel Maatschappij Batak (1922), dua perusahaan yang masing-masing didominasi oleh puak Mandailing dan Toba.


Beragam versi asal-usul Batak

Kasus-kasus yang terjadi sebelum masa kemerdekaan itu, ternyata belum menyelesaikan perbedaan di antara masyarakat Batak. Hingga saat inipun perbedaan masih sering terjadi, terutama jika menyangkut pembahasan asal usul bangsa Batak. Dalam forum-forum di dunia maya, perbedaan itu sering mengemuka. Sebagian orang Batak Toba berpendapat, bahwa teori tunggal yang menyatakan bahwa semua bangsa Batak berasal dari Pusuk Buhit serta memiliki pertalian darah dengan Si Raja Batak, sudahlah final. Namun teori ini banyak disanggah oleh komunitas lain, khususnya dari suku Mandailing. Beberapa orang Mandailing, terutama yang berdomisili di Malaysia, menyatakan bahwa bangsa Mandailing berasal dari India atau Timur Tengah, dan bukan Pusuk Buhit. Sebagian lain malah berpendapat, masyarakat Mandailing merupakan orang-orang yang desersi dari kerajaan selatan. Namun semua itu haruslah dibuktikan segala kebenarannya.

Perlu dikemukakan disini, teori mengenai asal usul bangsa Batak telah mendapatkan tempat yang cukup besar di kalangan peneliti Barat. Salah seorangnya ialah ilmuwan sekaligus penjabat gubernur jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles. Dalam bukunya History of Java, Raffles mengemukakan bahwa Sisingamangaraja adalah seorang keturunan wakil yang ditempatkan oleh raja Pagaruyung di wilayah vassal mereka. Dalam sepucuk surat yang dikirimkannya kepada William Marsden, Raffles mendapatkan keterangan dari pemimpin Batak bahwa Sisingamangaraja adalah keturunan “ras Minangkabau” dan bahwa di Silindung terdapat arca batu berbentuk manusia kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Dua misionaris Burton dan Ward yang datang ke daerah Silindung pada awal abad ke-19, mendengar kisah para pemimpin disana bahwa Sisingamangaraja diangkat oleh sultan Minangkabau. Sultan tersebut dianggap sebagai penguasa daerah mereka, dan hingga awal abad ke-20 Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui Barus di pesisir barat.

Argumen ini kembali diperkuat oleh William Marsden dalam bukunya History of Sumatera. Dalam buku itu dinyatakan bahwa pada abad ke-13, ketika Kerajaan Pagaruyung berkuasa atas Pulau Sumatera, raja dari pedalaman Minangkabau itu menempatkan orang-orangnya di seluruh pulau termasuk dataran tinggi Batak, untuk mengumpulkan upeti atau semacam pajak yang diterapkan saat ini. Barus yang saat itu telah diduduki oleh saudagar Minangkabau pasca kekalahan para pedagang Tamil, menjadi pos penerima upeti tersebut. Ulang-aliknya masyarakat pesisir barat ke pedalaman Batak pada masa-masa tersebut, menunjukan adanya mobilitas masyarakat pantai ke pedalaman dan bukan hanya satu arah saja.

Kajian lain datang dari Daniel Perret lewat bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia : Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Dalam buku tersebut Daniel berpendapat, bahwa beberapa masyarakat Karo, banyak berasal dari orang-orang Tamil yang terusir dari pantai barat Sumatera. J. Tideman menduga larinya orang-orang India itu ke pedalaman, disebabkan oleh serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk mencoba menguasai Barus. Besarnya unsur India dalam masyarakat Karo, terlihat dari nama-nama marga Karo yang banyak menyerap kosa-kata Bahasa Tamil.

Selain itu dari Prasasti Lobu Tua di Padang Lawas, bisa pula disimpulkan bahwa orang-orang Angkola dan Mandailing yang menetap di Tapanuli Selatan, banyak yang berasal dari India dan Timur Tengah. Situs Lobu Tua menerangkan bahwa wilayah di sekitar Sungai Barumun dan Batang Pane, dibuka oleh pedagang-pedagang dari kedua negeri tersebut. Dan diperkirakan orang-orang India dan Timur Tengah itu, telah menetap sejak pertengahan abad ke-9. Disamping peninggalan candi, penelitian arkeologis juga menemukan keramik-keramik Cina. Walau keberadaan masyarakat Cina di wilayah itu mungkin sangatlah sedikit, jika dibandingkan dengan orang-orang India dan Timur Tengah.

Situs Kota Cina juga memperkuat teori bahwa besarnya migrasi orang-orang India ke dataran tinggi Batak, pada masa kejayaan Kerajaan Chola. Kota Cina yang terletak di pesisir Sumatera Timur Laut, melengkapi pendapat yang berkembang selama ini, bahwa Meurah Silu si pendiri Pasai juga berkebangsaan Tamil. Teori yang menyatakan bahwa Mandailing berasal dari dataran tinggi Minangkabau, belum terbukti kebenaraannya hingga saat ini. Meski beberapa anggota marga Nasution mengaku sebagai keturunan Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sati, putra dari Raja Pagaruyung yang diangkat menjadi pemimpin di Mandailing.

Pengaruh Aceh tak bisa pula diabaikan dalam perkembangan masyarakat Batak. Setelah naiknya Sultan Iskandar Muda ke tampuk tahta kerajaan, kekuasaan Aceh meluas hingga mencapai daratan subur Sumatera Timur. Selain orang-orang Melayu, di wilayah ini dijumpai pula etnis Karo dan Simalungun. Kehebatan tempur orang-orang Aceh, beberapa kali menjadi andalan untuk menyelesaikan konflik di antara masyarakat pedalaman. Orang-orang Aceh pula yang memprovokasi Sisingamangaraja XII untuk menentang pemerintah kolonial, hingga pecahnya Perang Batak di akhir abad ke-19. Perang ini sebenarnya merupakan taktik Aceh untuk menahan semakin meluasnya kekuasaan Belanda ke tanah rencong. Tanah Batak dijadikannya sebagai bufferstate, hingga kematian Sisingamangaraja terakhir pada tahun 1907. Meluasnya wilayah Kesultanan Aceh ke selatan, diikuti pula dengan migrasi masyarakat Aceh ke tanah Batak. Walau perpindahan orang-orang Aceh tak berjumlah besar, namun kehadiran mereka mampu mempengaruhi pranata-pranata adat masyarakat Karo dan Simalungun.


Orang Batak Kontemporer

Menukil ucapan penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer, T.B Silalahi inisiator sekaligus pemilik Musuem Batak, angkat topi atas perkembangan yang dicapai orang-orang Batak saat ini. Dalam waktu kurang dari 100 tahun sejak diperkenalkannya pendidikan-pendidikan misionaris, masyarakat Batak telah banyak yang tampil ke muka. Di antara yang paling menonjol adalah para advokat Batak yang sering menjadi selebritis dalam pentas penegakan hukum di Indonesia. Namun begitu, kritikan keras dan cibiran masyarakat acap pula ditujukan kepada mereka. Yang banyak membela para koruptor dan sering mempermainkan hukum. Hanya beberapa nama di antara mereka yang bisa dipercaya dan menjadi panutan masyarakat. Di antara yang sedikit itu adalah Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, serta Luhut Pangaribuan.

Dalam kasus mafia pajak belakangan ini yang menyedot perhatian publik cukup besar, nampak beberapa aktor datang dari kalangan Batak. Mereka saling berdebat, menafikan satu sama lain, mengeluarkan jurus-jurus hukum yang mereka kuasai, hingga kita tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Beberapa aktor itu antara lain Gayus Tambunan, yang sudah dijatuhkan hukuman 7 tahun penjara plus denda Rp 300 juta subsider 3 bulan penjara, pengacara Haposan Hutagalung, Adnan Buyung Nasution, dan Juniver Girsang, jaksa Cirus Sinaga, serta mafia pajak lainnya Maruli Pandapotan Manurung. Sedangkan yang menjadi aktor figuran adalah Johnson Panjaitan dan Neta S. Pane, keduanya dari lembaga Indonesian Police Watch, yang sering kali ribut-ribut di televisi mengomentari penanganan kasus tersebut.

Munculnya politisi-politisi Batak juga mewarnai ranah perpolitikan Indonesia. Mereka terafiliasi ke beberapa partai besar, utamanya parta-partai nasionalis sekuler. Beberapa nama politikus Batak yang cukup populer adalah Sabam Sirait (PDI Perjuangan), Sudi Silalahi (Demokrat), Luhut Panjaitan (Golkar), serta tak ketinggalan sosok yang cukup kontroversial, Ruhut Sitompul. Profesi kewartawanan masih menjadi pilihan bagi sebagian cerdik pandai Batak dewasa ini. Nama-nama beken seperti Rosiana Silalahi dan Elman Saragih, telah menjadi ikon media massa Indonesia saat ini. Sejak wafatnya Iwan Simatupang pada tahun 1970, tak ada lagi karya sastra anak-anak Batak yang menggigit. Supernova-nya Dewi Lestari Simangungsong yang terbit pada permulaan milenium ini, mungkin menjadi satu-satunya karya mereka yang laku di pasaran. Satu lagi yang patut diapresiasi adalah besarnya minat anak-anak muda Batak untuk meniti bisnis dari tangga yang terbawah. Di kota-kota besar terutama Jakarta, okupansi usaha masyarakat Batak Toba banyak berkisar pada jasa perbengkelan, sedangkan puak Angkola dan Mandailing lebih menekuni perdagangan kelontong. Sekarang ini, banyak pula komunitas Batak yang terjun ke perdagangan buku, aksesoris, serta jasa pengangkutan, walau usaha ini masih dalam jumlah yang terbatas. Sedangkan orang-orang Batak terpelajar, lebih memilih sebagai ambtenaar, berkarier di perusahaan swasta ataupun menjadi pegawai negeri.

Di bidang lain, nama-nama Batak belum banyak yang terdengar. Padahal jika kita membandingkan dengan fase awal pasca kemerdekaan, jumlah Batak terkemuka justru lebih banyak dari yang sekarang. Siapa yang tak kenal dengan Merari Siregar, Armijn Pane, dan Sanusi Pane, sastrawan terkenal yang berjaya pada masa 1920-1940. Di ranah politik ada Amir Sjarifuddin dan Burhanuddin Harahap yang berhasil menjabat sebagai perdana menteri. Ada lagi Todung Sutan Gunung Mulia, Ferdinand Lumbantobing, serta Arifin Harahap, yang menduduki pos kementerian di era kepresidenan Bung Karno. Frederich Silaban yang merancang mesjid raya Istiqlal, menjadi arsitek kebanggaan Indonesia. Dja Endar Moeda, Mochtar Lubis, serta Parada Harahap, muncul sebagai wartawan kenamaan. Di bidang kesenian, lahir kelompok musik Panjaitan Bersaudara, Rinto Harahap, serta komposer terkenal Cornel Simanjuntak. Tak lupa untuk disebutkan adalah T.B Simatupang, serta Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, yang menjadi panglima ABRI pada era 1960-an.


Sumber:
http://afandriadya.com/2011/01/24/menengok-peradaban-batak/

No comments:

Post a Comment