Sejarah dan Objek Wisata Mompang Julu
Oleh: Yusfil Khoir Pulungan
Sejarah awal Mompang Julu tidak diketahui dengan pasti. Secara Hipotesis, kampung ini mungkin didirikan tidak jauh berbeda dengan Pidoli (abad ke-13), walaupun peninggalan-peninggalan sejarah yang mendukung hipotesis tersebut tidak ditemukan seperti di kawasan Pidoli seperti batu-batu bata kuno yang disusun menyerupai tiang-tiang vihara (di Saba Biara). Pada salah satu buku “ Turi-turian ni raja Gorga di Langit” disebutkan bahwa pada tahun 1600-an di Mompang Julu telah lama berdiri sebuah kerajaan dan mungkin bukan bermarga Nasution seperti yang ada sekarang. Ketika terjadi perselisihan antara kerajaan Panyabungan Tonga dengan Lumban Kuayan (Sayur Matinggi Angkola Jae), pihak Mompang dengan rajanya Sutan Perampuan membantu Lumban Kuayan.
Kerajaan di sini adalah berupa suatu kampung dan daerah sekitarnya yang dipimpin oleh seorang raja (kepala desa sekarang). Raja ini dianggap sakti dan mempunyai pengaruh yang kuat di masyarakatnya dan merupakan hak turun-temurun.
Karena hal itu, kerajaan Mompang diserang oleh Panyabungan Tonga, namun dapat ditangkis oleh Mompang terutama berkat kecakapan Hulubalangnya yang bernama Huting Jalang dan juga karena Mompang di bantu oleh Sutan Mandeda Huta Bargot, raja Gumanti Porang Pidoli Dolok, raja Sordang Nagori Pidoli Lombang dan seorang panglima bernama Baruang So Dang-dangon dari Muara Tais Angkola Jae. Setelah itu pihak Panyabungan Tonga menawarkan perdamaian yang merupakan suatu muslihat untuk menaklukkan Mompang. Ketika perundingan berlangsung, pasukan dan rakyat Panyabungan Tonga sudah bersiap-siap di tepi Aek Siala Payung. Ketika bungkusan daun makanan penghulu Panyabungan Tonga hanyut melewati pasukannya di tepi Aek Siala Payung yang merupakan isyarat bahwa perundingan telah gagal, dengan segera rakyat dan pasukan Panyabungan Tonga menyerbu Mompang. Seluruh penduduk yang ditemui dibunuh dan kampung itu dibakar. Hanya seorang putri raja yag berhasil melarikan diri dengan pengiringnya yang setia ke Dalu-Dalu.
Dengan kemenangan ini, Mompang menjadi wilayah Kerajaan Panyabungan Tonga. Keturungan raja-raja di Mompang masih satu darah dengan raja-raja di Panyabungan Tonga-Huta Siantar-Manyabar-Pidoli.
Kata Mompang juga tidak jelas asal-muasalnya. Dahulu kampung ini tidak terletak di desa Mompang Julu sekarang, tetapi di Saba Alasona sekarang dengan nama Huta Lobu. Bukti-bukti peninggalan kampung ini masih terdapat sampai sekarang yaitu komplek makam raja-raja Mompang kuno di daerah saba tersebut. Penulis tidak mengetahui mengapa perkampungan ini ditinggalkan begitu saja, karena daerah tersebut juga kawasan ideal untuk sebuah pemukiman pada masa itu. Kata Mompang mungkin berasal dari kata mangompang (tanggul-tanggul penahan air) dan juga tidak diketahui persis sejak kapan kata itu dipakai. Kampung Mompang ada 2, yaitu Mompang Julu dan Mompang Jae. Dulu kampung ini satu, kemudian oleh raja Mompag di bagi 2 untuk putranya, yaitu Sutan Solompohan di Mompang Jae dan Sutan Kanaekan di Mompang Julu. Yang kita bicarakan disini adalah Mompang Julu. Kampung yang dulunya tempatnya bukan di perkampungan sekarang, tetapi di Saba Dolok/Saba Alasona di utara desa yang sekarang dengan nama Huta Lobu. Peninggalannya yang masih dapat dilihat sampai sekarang adalah komplek makam-makam kuno yang pernah beberapa diantaranya dibongkar orang untuk mengambil barang-barang berharga yang dikubur bersama mayat.
Kepercayaan penduduknya waktu itu masih bersifat animisme/dinamisme. Walaupun agama Islam telah sampai di Sumatera (khususnya Barus dan Aceh) pada awal abad ke-10, agama ini baru sampai ke Mandailing khususnya Mompang Julu pada tahun 1820-an ketika berlangsungnya penyerbuan kaum Paderi dari Sumatera Tengah/Barat/Rao pimpinan Tuanku Tambusai yang dimulai pada bulan Mei 1834 ketika beliau dan penduduk Rao menyerang tentara Belanda di Kotanopan. Penduduk yang ketakutan banyak yang melarikan diri ke hutan-hutan di sekitar kampung itu, karena konon kamu Paderi menangkapi wanita-wanitanya untuk dijual sebagai budak. Tempat pelarian itu sampai sekarang masih ada seperti Sianggunan (tempat mengayun anak), Tor Kubur dan lain-lain.
Lama-kelamaan penduduk yang melarikan diri itu banyak yang balik lagi ke kampung dan mengubah kepercayaannya dengan sukarela. Memang tentang sejarah penyerbuan kaum Paderi ini sangat sedikit sekali diketahui (kebanyakan hanya dari mulut ke mulut). Penulis tidak mengetahui mengapa akhirnya Huta Lobu dipindahkan ke komplek Polres Madina sekarang dan berganti nama menjadi Mompang Julu dan kapan pula berlangsungnya tidak diketahui. Kehidupan masyarakatnya mungkin dari bercocok tanam, beternak dan mengambil hasil hutan. Walaupun Belanda masa itu menguasai Indonesia khususnya di Mandailing, namun pengaruhnya di Mompang Julu dan Mandailing (1835-1942) umumnya tidak begitu terasa seperti di pulau Jawa dengan adanya Tanam Paksa dan Kerja Paksa. Di jaman Jepang, kehidupan baru terasa sangat sulit dengan terpaksa mengenakan pakaian dari kulit kayu dan goni.
Pada tahun 1937, banjir bandang melanda Mompang Julu atau lebih dikenal dengan nama Kampung Lamo, hingga memaksa penduduknya mengungsi dan pindah ke tempat kampung yang ada sekarang. Mereka tidak balik lagi ketempat semula mungkin karena takut banjir susulan sewaktu-waktu akan datang lagi.
Pada Masa Perang Kemerdekaan, Tentara Belanda yang mencoba memasuki Mandailing dari arah Padang Sidimpuan tidak berhasil, karena terhalang oleh pertahanan Tentara Republik di Benteng Huraba. Salah satu anggota KNIP pernah singgah di Mompang Julu ketika mengungsi dari Sibolga sebelum melanjutkan perjalanan ke Panyabungan dan Kotanopan.
Di masa PRRI, sebagian penduduk lebih suka mendukung Mr Syafruddin Prawiranegara dari pada Soekarno, dengan alasan Soekarno seorang pendukung komonisme. Sebagian ada yang menjadi tentara pemberontak dan bergerilya di hutan-hutan di Dolok Malea. Ketika Operasi 17 Agustus digelar, dari Padang tentara Pemerintah dengan segera merebut Panyabungan pada 1959 dan masuk sampai Mompang Julu. Tempat ini dijadikan sebagai pangkalan artileri untuk menghajar kaum pemberontak di Tambiski dan daerah-daerah di seberang sungai Batang Gadis. Perdamaian dengan syarat yang diajukan pemerintah pada 1959-1962 mengakhiri pemberontakan yang gagal ini karena kurangnya dukungan senjata dari Amerika Serikat .
Di masa sesudah itu, mulailah zaman PKI yang merupakan salah satu masa paling gelap Mompang Julu. Beberapa penduduk yang anti dan pendukung PKI banyak yang menjadi korban pada masa itu maupun pada masa penumpasannya. Salah satu diantaranya dapat ditanyakan pada orang-orang tua anda yang masih hidup.
Pembangunan yang tersendat-sendat ataupun hampir tidak ada mengiringi perjalanan Mompang Julu dari tahun 1970 sampai 1998. Dari tahun 1999 pembangunan sedikit banyak telah menyentuh Mompang Julu seiring berdirinya Kabupaten Mandailing Natal pada 11 Maret 1999. Apalagi pada bulan Februari 2007 yang lalu, desa Mompang Julu telah ditetapkan menjadi sebuah desa binaan dengan Mompang Jae oleh Bupati Mandailing Natal H. Amru Daulay, SH. Moga ke depan, perjalanan Mompang Julu sebagai salah satu Desa besar di Mandailing makin berkembang dan kita diharapkan dapat menyumbang sedikit banyak daya dan upaya untuk menuju masyarakat yang madani dan Islami. Semoga!
Beberapa Tahun Penting :
- 1880 Wafat Willem Iskandar
- 1912 Karom/Terbakar Desa Sibanggor
- 1915 Karom/Terbakar Desa Tano Bato
- 1923 Untuk pertama kalinya sebuah pesawat terbang melintasi Mompang Julu dan sebagian Mandailing
- 1937 Karom/banjir melanda Mompang Julu
Tulisan ini diambil dari berbagai sumber seperti dari www.mandailing.org (dengan penyesuaian dan perbandingan dengan buku Bahasa Daerah SLTP Kelas 2 Penerbit Madju Medan), berbagai catatan, wawancara lepas dengan pelaku sejarah dan lain-lain.. Jika ada kesalahan dalam penulisan nama, tempat, tanggal kejadian dan lain-lain, mohon dikonfirmasi ulang kepada kami.
Sumber:
http://mompangjulu.wordpress.com/sejarah/
No comments:
Post a Comment