Hasil Observasi Antropologi : Mandailing Adalah Sub-etnis Batak
Oleh : Ibnu Avena Matondang
“Mandailing adalah Batak, alasan mereka tidak mau disebut Batak tidak lain salah satu sebabnya adalah karena Batak pada umumnya didominasi oleh pengaruh Kristiani (agama Kristen) sehingga Mandailing yang mayoritas Islam menolak untuk disamakan menjadi Batak.”
Pendahuluan
SUKU dapat dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap pada suatu wilayah serta dibatasi oleh batas-batas geografis, pendapat ini mungkin memiliki kebenaran pada satu sisi namun pada sisi lainnya pendapat ini memiliki kekurangan dalam mendeskripsikan apa sesungguhnya suku. Berbagai konsep mengenai suku memiliki berbagai macam pandangan, pada tulisan ini konsep mengenai suku merupakan hasil intisari dari berbagai pengamatan dan penelitian terhadap bentuk suku tersebut, konsep tersebut adalah representasi dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh berbagai individu dalam masyarakat.
Fokus dalam telaah ini adalah mencari kebenaran yang hakiki, akan tetapi sebagai seorang manusia tentunya kebenaran hakiki hanya didapat sebatas pengetahuan seorang manusia atau dengan kata lain kebenaran hakiki yang diyakini oleh seseorang tidak otomatis menjadi kebenaran bagi diri individu lain. Berbagai bukti kebenaran coba diungkapkan dalam tulisan ini dengan harapan semua pihak dapat melihat, menerima dan mengkritik sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Dalam tulisan sebelumnya, juga telah dicoba untuk menjelaskan apa sebenarnya yang menjadi problema sehingga masyarakat Mandailing (sebahagian golongan) tidak menerima apabila dikatakan sebagai orang Batak, adakah hal lain yang melatar belakanginya atau ada hal yang tersembunyi dari pencarian ilmu pengetahuan.
Batak, sebagai suatu suku atau konsep penjajah
BATAK dalam persepsi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai suku yang mendiami wilayah geografis Sumatera Utara, namun pendapat lainnya mengatakan bahwa Batak tidak terbatas pada wilayah geografis Sumatera Utara saja melainkan diluar cakupan tersebut juga termasuk sebagai bagian Batak dengan syarat mutlak memiliki garis keturunan Batak (Patriarkat).
Dalam antropologi, konsep mengenai suku, terjelaskan dalam konsep “Culture Area” yang menggambarkan garis merah antara suku dan hubungannya dengan daerah dalam artian geografis, hal ini menjadi dasar pemikiran dalam melihat suku sebagai suatu kesatuan komunal yang menetap didaerah tersebut maupun bagian dari kesatuan komunal tersebut yang mendiami daerah lain.
Batak sebagai suku dalam berbagai tulisan telah coba dijelaskan dari berbagai perspektif namun Mandailing dalam perspektif Batak mungkin hanya segelintir yang membahas hal ini, dikarenakan kompleksnya masalah ini dan berbagai alasan lainnya. Batak dalam tulisan ini dilihat sebagai suatu kesatuan komunal yang mencakup seluruh bagian suku yang mendiami wilayah Sumatera Utara (diluar Melayu).
Batak sebagai bentuk suku memiliki sub-suku, yaitu : Karo, Pak-pak, Mandailing, Toba, Simalungun, Angkola Sipirok, ke-enam sub suku Batak ini mendiami wilayah Sumatera Utara, persebaran juga memiliki peranan dalam proses pembentukan konsep mengenai suku sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ke-enam sub suku Batak, yaitu : Karo, Pak-pak, Mandailing, Simalungun, Toba, Angkola Sipirok, adalah komponen utama yang menyusun struktur suku di Sumatera Utara. Dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah keberadaan suku Mandailing dalam perspektif Batak, mengapa hal ini menjadi penting ? karena hal ini dapat menjawab berbagai pertanyaan yang muncul seiring dengan terbangunnya pandangan bahwa Mandailing bukan Batak.
Berbagai ahli dan individu yang memiliki perhatian mendalam mengenai Mandailing bagian Batak telah mencoba untuk menjelaskan hal tersebut, berbagai usaha tersebut patut diacungi jempol sebagai suatu usaha yang mencoba mengungkapan kebenaran yang sebenarnya. Tulisan ini bukan menjadi suatu kerikil yang menusuk bagi masyarakat Mandailing namun sebagai pembuka wawasan bagi masyarakat Mandailing, seperti apakah identitas asli mereka.
Kurang lebih 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, hal ini menjadikan Indonesia sebagai daerah jajahan dimana sebagian masyarakat Indonesia diperkerjakan di tanah airnya sendiri sebagai seorang budak. Usaha-usaha yang dilakukan oleh penjajah tersebut mencakup bagaimana menguasai setiap individu dengan jalan menguasai suku mereka, karena suku bagian masyarakat Indonesia adalah kesatuan komunal yang keberadaannya memiliki peran penting dalam struktur masyarakat.
Untuk menguasai daerah jajahan terlebih dahulu penjajah tersebut harus mengetahui struktur masyarakat tersebut agar proses penjajahan dapat berjalan dengan baik, salah satu cara tersebut adalah dengan menggunakan konsep “devide et impera”, dalam bahasa Indonesia hal tersebut dikenal dengan konsep pemecah persatuan, dengan pecahnya persatuan diantara masyarakat menjadikan masyarakat tersebut dapat dikuasai oleh penjajah.
Berdasarkan penjelasan historis tersebut munculnya pendapat yang mengatakan bahwa penjajah menyamaratakan semua suku di Sumatera Utara dengan sebutan Batak (kecuali Melayu), pendapat ini tentu tidak berdasar dan menyesatkan, karena penjajah dengan konsep “devide et impera” tidak mungkin berbaik hati melakukan usaha persatuan dengan mengatasnamakan Batak sebagai kesatuan suku di Sumatera Utara, pada kenyataannya adalah Batak sebagai kesatuan suku dipecah oleh penjajah dalam beberapa sub-suku yang merepresentasikan wilayah geografis suku tersebut.
Berbagai pernyataan mengenai konsep pemecahan Batak pada berbagai sub-suku terangkum dalam pernyataan berikut ini, dengan inti pernyataan bahwa yang muncul adalah pemecahan Batak dalam sub-suku berdasarkan wilayah geografis, yaitu :
Amin Nasution, 75 tahun : “Sebenarnya pada masa penjajahan Belanda, setiap suku itu dipecah dalam beberapa bagian berdasarkan daerahnya, dengan maksud biar mudah menguasainya.”
Marasudin Lubis, 82 tahun : “Pada zaman itu semua marga dihapus biar penjajah tidak mengetahui suku kita,itu dibuat biar persatuan diantara suku Batak hilang.”
Ummu Salmah Harahap, 85 tahun : “Saya bangga jadi orang Batak, karena semua suku di Sumatera Timur (Sumatera Utara) kan juga orang Batak, walaupun orang itu mau Karo, Toba, Mandailing.”
Dari pernyataan yang diungkapkan informan tersebut dapat ditarik suatu benang merah bahwa mereka mengakui pada zaman tersebut penjajah berusaha memecah Batak sebagai suatu suku dalam beberapa sub-suku dengan tujuan agar memudahkan proses penjajahan.
Sehingga dalam hal ini Batak merupakan representasi seluruh suku (Karo, Pak-pak, Mandailing, Simalungun, Angkola), dan hal tersebut memang diakui para informan bahwa mereka bangga apabila disebut sebagai orang Batak, walaupun dalam kesehariannya mereka adalah anggota masyarakat Mandailing.
Pada bagian ini pernyataan sebahagian kalangan yang menganggap bahwa Mandailing bukan Batak didasari oleh pengetahuan mereka yang kurang mengenai apa sebenarnya yang telah terjadi ataupun disebabkan mereka telah terkungkung rasa primordialis, akan tetapi bukan bermaksud menyudutkan mereka karena pengetahuan adalah hal yang dinamis sehingga pendapat mereka kemungkinan disebabkan tidak menyadari bentuk dinamis tersebut, kalangan yang menganggap bahwa Mandailing bukan Batak telah berpatok pada pemahaman yang salah yang ditanamkan sedari awal pada diri mereka.
Dalam fase ini setidaknya terjelaskan bahwa Batak adalah suku yang mendiami wilayah Sumatera Utara, Batak bukanlah konsep yang dipakai oleh penjajah untuk menguasai Sumatera Utara.
Mandailing, Batak atau tersendiri
PERNYATAAN yang menyatakan bahwa “Mandailing adalah Batak” ataupun “Orang Mandailing adalah Orang Batak”, telah mendapat kecaman dari berbagai pihak yang mengaku sebagai masyarakat Mandailing, tentu saja hal ini tidak dapat diterima begitu saja mengingat komposisi masyarakat Mandailing tidak hanya diisi oleh segelintir orang saja melainkan setiap individu yang lahir dengan garis keturunan Mandailing dan bertempat tinggal dimana saja, hal-hal yang terkait dengan penyebutan “Batak Mandailing” telah berulang kali dipergunakan oleh anggota masyarakat Mandailing itu sendiri, baik dalam bentuk percakapan sehari-hari, buku, dan lain sebagainya. Salah satu diantara penyebutan tersebut adalah : Ir. L.P. Hasibuan bergelar Patuan Daulat Baginda Nalobi dalam bukunya Pangupa, buku nenek moyang masyarakat Tapanuli Selatan berisi falsafah Hidup,
Sekali lagi ditegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk menyudutkan pihak tertentu melainkan untuk membuka cakrawala sebenarnya yang selama ini ditutup karena sebab yang tidak jelas dan tidak mau dijelaskan, pendapat mereka yang menolak Mandailing sama dengan Batak adalah wujud saling terima pendapat dengan konsekuensi menerima pendapat yang lain apabila pendapat tersebut memang benar adanya.
Mengapa tulisan mengenai hal ini terus saja dipublikasi, hal ini karena dalam kenyataannya ada beberapa pihak yang mencoba menggeser garis sejarah sebenarnya dengan tujuan tersentu maupun hanya ikut pada pendapat yang dominan. Informan yang memiliki latar belakang keturunan Mandailing yang bertempat tinggal dimana saja, dicoba untuk memberikan tanggapan mereka terhadap pernyataan “Mandailing = Batak”.
Ada satu rangkaian pernyataan yang menyatakan bahwa sebenarnya “Mandailing = Batak”, adapun pernyataan tersebut telah diungkapkan oleh informan, yaitu :
Chairul Azhar Matondang, 50 tahun : “Mandailing adalah Batak, alasan mereka tidak mau disebut Batak tidak lain salah satu sebabnya adalah karena Batak pada umumnya didominasi oleh pengaruh Kristiani (agama Kristen) sehingga Mandailing yang mayoritas Islam menolak untuk disamakan menjadi Batak.”
“Pada awalnya aku suka bilang kalo aku dibilang orang Batak, kemana-mana aku pigi pasti aku perkenalkan diri sebagai orang Batak, tapi setelah aku melihat orang Toba memiliki sifat suka menguasai, aku jadi gak mau lagi bilang kalo aku orang Batak, ini juga karena waktu aku sama ketua adat, aku kan banyak kawan sama orang itu karena aku pemain Gordang, jadi dibilang mereka mulai saat ini jangan mau lagi bilang kalo aku orang Batak.”
DARI keterangan informan tersebut dapat dikatakan bahwa pada kenyataannya memang ada sebahagian kalangan yang mencoba untuk menutupi kebenaran yang ada mengenai Mandailing tersebut maupun “Mandailing = Batak”.
Keterangan-keterangan lainnya yang didapat dari informan generasi muda mengatakan bahwa mereka adalah orang Batak walaupun sesungguhnya mereka adalah orang Mandailing karena mereka lahir dan besar di daerah Mandailing, seperti : Panyabungan, Kotanopan.
Muhammad Misbar Nasution, 30 tahun : “Saya Lahir Di Panyabungan dan tinggal di Panyabungan, kalau ada orang yang bertanya sama saya, orang apa saya, saya jawab saya orang Batak.”
Adapun informasi yang lainnya adalah, salah seorang informan mengatakan :
Ridwan Nasution, 60 tahun : “Pada awalnya aku suka bilang kalo aku dibilang orang Batak, kemana-mana aku pigi pasti aku perkenalkan diri sebagai orang Batak, tapi setelah aku melihat orang Toba memiliki sifat suka menguasai, aku jadi gak mau lagi bilang kalo aku orang Batak, ini juga karena waktu aku sama ketua adat, aku kan banyak kawan sama orang itu karena aku pemain Gordang, jadi dibilang mereka mulai saat ini jangan mau lagi bilang kalo aku orang Batak.”
Pernyataan tersebut muncul pada salah satu informan, namun pernyataan dari dirinya yang mengatakan pada akhirnya bahwa Mandailing bukanlah Batak karena didasari faktor ketidaksenangan secara pribadi dan pengaruh dari ketua adat (Mandailing) yang mempengaruhi proses berfikir. Hal ini menjadi lain apabila faktor ketidaksenangan dan pengaruh pengetua adat Mandailing tidak menjadi aspek yang mempengaruhi dirinya.Pada fase ini dapat dikatakan bahwa Mandailing adalah Batak, bukan bagian tersendiri sebagai sub-suku maupun suku.
Hal-hal mengenai “Mandailing = Batak” juga bersinggungan dengan hal pemberian marga pada diri orang lain yang tidak termasuk pada golongan masyarakat Mandailing, hal ini perlu dijelaskan bahwa pemberian marga diberikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan sumbangsih nyata bagi masyarakat Mandailing maupun sebagai penganugerahan marga dalam prosesi perkawinan.
Hal-hal seperti ini telah menimbulkan penyimpangan (deviant) pada sistem kebudayaan masyarakat Mandailing. Selain hal ini tentu saja aspek historis juga menjadi pokok perhatian yang penting, seperti bagaimana bisa terjadi adanya masyarakat Mandailing di Malaysia (disebut sebagai Mandeleng, Mandahiling, dlsb), keberadaan mereka secara historis tidak lepas dari sejarah mengenai Tuanku Lelo yang bertikai dengan Pongki Nangolngolan (Tuanku Rao), keturunan dari Tuanku Lelo tersebut melarikan diri ke Malaysia karena keberadaan mereka telah dikejar untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Tuanku Lelo, faktor sejarah seperti ini tidak dapat dilihat sekilas karena mempengaruhi tatanan budaya Mandailing secara keseluruhan.
Dalam buku “Tuanku Rao”, penulis buku tersebut mengemukakan bahwa membuka cerita mengenai aib keluarga sungguh berat namun hal ini perlu dan penting untuk dijelaskan agar dikemudian hari tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Konsisten diperlukan dalam menjelaskan mengenai hal ini, sikap inkonsisten dapat menyebabkan proses menjelaskan tidak dapat berjalan baik, salah satunya penulis peroleh ketika menulis mengenai “Mandailing = Batak”, seorang anggota masyarakat Mandailing mengirim surat elektronik yang mengatakan bahwa penulis tidak bisa menuliskan tentang masalah ini karena tentunya memiliki perasaan berbeda antara yang lahir di kota (Medan) dengan yang lahir di tanah Mandailing, sikap inkonsisten diperlihatkan oleh mereka karena salah satu anggota mereka adalah warga Malaysia keturunan Mandailing yang lahir di Malaysia, bagaimana bisa menjelaskan tentang Mandailing sedangkan seseorang tersebut adalah warga Malaysia keturunan Mandailing dan tidak lahir di Indonesia tepatnya Mandailing dapat menceritakan tentang Mandailing, sedangkan pada kondisinya penulis adalah keturunan Mandailing berdomisili di kota Medan yang bisa dikatakan memiliki jarak yang tidak terlampau jauh dengan Mandailing dibandingkan dengan warga Malaysia keturunan Mandailing yang tidak tinggal di Indonesia apalagi tanah Sumatera Utara khususnya Mandailing.
Hal-hal seperti ini kiranya dapat menjadi bahan kajian dalam menelaah lebih lanjut mengenai “Mandailing = Batak”, semoga tulisan ini bermanfaat bagi individu-individu yang berharap terhadap kebenaran, karena kebenaran walaupun pahit adalah suatu hal yang perlu dan penting dijelaskan bagi generasi selanjutnya.
Dalihan Na Tolu, warisan yang terlupakan
Mandailing dipandang secara etnis merupakan bagian dari akar kebudayaan Batak secara menyeluruh, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya konsep Dalihan Na Tolu yang menjadi pegangan hidup setiap masyarakat Batak. Konsep tersebut merupakan hal penting dan menjelaskan kedudukan Mandailing dalam tataran budaya Batak, secara kasat mata konsep tersebut dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam upacara perkawinan masyarakat Mandailing dimana konsep tersebut dijewantahkan dalam struktur pelaksanaan acara perkawinan.
Berbagai pendapat muncul sejalan dengan konsep tersebut, bagi sebahagian masyarakat konsep tersebut hanya ditafsirkan dalam bentuk upacara atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu hanya ada pada saat upacara atau hal lain yang memiliki kaitan dengan kegiatan adat, akan tetapi sesungguhnya Dalihan Na Tolu merupakan suatu konsep yang sistematis yang mengatur kehidupan masyarakat (Batak), tidak pada bentuk upacara tetapi pada bidang yang lebih luas seperti kehidupan bermasyarakat, cara bertutur, hubungan antara manusia dengan Tuhan, secara implisit Dalihan Na Tolu memainkan peranannya dalam aspek tersebut, namun pemahaman yang kurang memadai terhadap Dalihan Na Tolu menyebabkan konsep tersebut terbatas pada pengertiannya terhadap kegiatan upacara.
Secara harfiah Dalihan Na Tolu dapat diartikan sebagai tiga hal yang saling berkaitan dan pada sisi penggunananya dalam adat Dalihan Na Tolu diartikan dalam struktur keluarga tetapi Dalihan Na Tolu tidak saja berlaku pada struktur keluarga melainkan juga berlaku pada struktur kosmos (Tuhan – Alam – Manusia) atau perjalanan hidup (Lahir – Hidup – Mati) serta struktur-struktur lainnya, sehingga Dalihan Na Tolu tidak dapat diartikan secara sempit. Dalam aspek tulisan ini Dalihan Na Tolu adalah akar budaya Batak yang berlaku bagi masyarakat Batak yang terbagi atas wilayah geografis (Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, Karo, Angkola).
Pada bagian ini sampai pada pemikiran bahwa Dalihan Na Tolu adalah konsep pemersatu Batak secara menyeluruh.
Tipe masyarakat Mandailing
Etnis Mandailing merupakan orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun dimanapun ia bertempat tinggal, adapun marga atau klan dari etnis Mandailing adalah Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lainnya, sebagai tambahan adalah marga tersebut diperoleh berdasarkan garis keturunan langsung dari pihak ayah (Patrilineal) sehingga marga yang diperoleh berdasarkan pemberian tidak berfungsi atau bermakna apapun, pemberian marga merupakan suatu proses penghormatan terhadap seseorang yang dinilai memiliki peran besar terhadap kehidupan masyarakat Mandailing, namun pada saat sekarang ini pemberian marga dilakukan secara sepihak oleh sebahagian golongan dengan tujuan yang mementingkan diri sendiri.
Secara sederhana masyarakat Mandailing dapat dibagi atas beberapa kelompok :
1. Masyarakat Mandailing yang lahir, hidup dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
2. Masyarakat Mandailing yang lahir, hidup dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
3. Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
4.Masyarakat Mandailing yang lahir di Mandailing, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
5. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan peduli terhadap adat budaya Mandailing,
6. Masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan tidak peduli terhadap adat budaya Mandailing,
7. Golongan yang menerima pemberian marga dan peduli serta paham adat Mandailing,
Dari beberapa golongan tersebut yang menjadi fokus penulisan adalah sikap yang muncul dari masyarakat Mandailing yang lahir didaerah lain, hidup didaerah lain dan tidak memiliki pemahaman yang memadai terhadap adat budaya Mandailing, pada satu sisi golongan ini berusaha untuk mempersepsikan masyarakat Mandailing menurut pemikirannya sendiri tanpa ada respon dari masyarakat Mandailing itu sendiri dan pada sisi lainnya golongan ini berupaya untuk menjadi sumber informasi atas adat budaya Mandailing dengan tujuan membentuk citra individu, hal seperti ini lazim terjadi karena beberapa faktor pendukung, antara seperti : 1. Kebutuhan ekonomi, 2. Otoriter, 3. Pemahaman yang kurang terhadap adat budaya Mandailing.
Aktualisasi
Berbicara mengenai aktualisasi berhubungan dengan proses perbuatan yang berkenaan dengan topik tulisan ini, yaitu “Mandailing = Batak”. Pada tahapan aktualisasi diperoleh informasi dari para informan bahwa ada “sedikit selubung” yang menurut mereka harus dibuka pada publik sehingga apa yang sesungguhnya terjadi dapat diketahui bersama.
Tulisan sebelumnya “Mandailing = Batak” diberikan kepada para informan yang diharapkan dapat memberikan “umpan balik” dari informasi yang diberikan oleh tulisan tersebut, adapun “umpan balik” yang diperoleh adalah :
Marasudin Lubis, 82 tahun : “Sebenarnya setelah membaca tulisan itu sama komentarnya, saya bisa bilang kalau mereka sebenarnya tidak mengerti siapa itu Mandailing, orang tua saya memberikan nama pada saya dengan “Mara” didepannya itu nama yang diberikan untuk keturunan raja Mandailing selain itu ada lagi nama lain keturunan raja kayak “Sutan”, jadi kau (penulis-red.) jangan takut sama komentar orang itu.”
Informasi yang diperoleh dari wawancara ini bukan dianggap sebagai “modal” melainkan sebagai penekanan bahwa informasi yang diperoleh berdasarkan penuturan dari keturunan raja Mandailing.
Observasi lapangan membuktikan bahwa aktualisasi “Mandailing = Batak” memang ada, beberapa informan bahkan secara nyata membuktikan hal tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari, seperti dalam memperkenalkan diri kepada orang lain, mereka memperkenalkan diri sebagai orang Batak.
Aktualisasi sangat penting untuk membuktikan bahwa “Mandailing = Batak” merupakan bagian dari apa yang disebut dengan “bertindak secara global dengan dasar tradisi” serta harus dipahami mengenai gambaran identitas akar kebudayaan (roots of identity cultures) yang dimiliki.
Thesis
Pemikiran yang menjadi inti tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran kepada khalayak umum, bahwasanya penyebutan etnis Mandailing merupakan suatu cara maupun proses yang dilakukan oleh kaum penjajah untuk melakukan politik “devide et impera” dengan tujuan utama menaklukkan daerah jajahannya. Selain itu akibat proses penyebutan etnis Mandailing telah menyebabkan terjadinya suatu kekacauan kondisi (chaos) diantara masyarakat Mandailing sendiri, dari hal inilah kemudian beberapa individu atau lembaga mengambil kesempatan untuk mendoktrinkan apa yang mereka sebut dengan “Mandailing” menurut persepsi mereka, maka tepatlah kiranya sekarang untuk membuktikan sebenarnya atau setidaknya memberikan gambaran siapa etnis Mandailing.
Thesis tulisan ini didasarkan atas berbagai studi literatur yang mendukung akan hal tersebut (Mandailing = Batak) dan ditambah dengan serangkaian observasi lapangan beserta wawancara kepada informan yang mengetahui akan masalah ini. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode jaringan, dimana masing-masing individu yang menjadi informan memberikan jaringan mereka yang mengetahui tentang masalah ini. pemilihan informan yang menjadi bagian tulisan ini berdasarkan pada kriteria umur, peran, kedudukan, jenis kelamin, daerah tempat tinggal serta pengalaman mereka mengenai suku Batak. Kriteria ini dipergunakan untuk mendapatkan suatu informasi yang terpercaya dan dan dipertanggungjawabkan mengenai masalah Mandailing = Batak.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi suatu bahan dalam mengkaji masalah Mandailing = Batak, ada satu ungkapan yang menyatakan bahwa “Jangan percaya pada satu mulut sebelum mulut lain memberikan penjelasan”, mungkin ungkapan ini dapat menjadi landasan bagi individu-individu yang ingin mencari, berfikir dan berbuat mengenai Mandailing = Batak.
Daftar Informan :
Chairul Azhar Matondang
50 tahun
Pegawai Negeri Sipil
Medan
Marasudin Lubis
82 tahun
Wiraswasta
Medan
Muhammad Misbar Nasution
30 tahun
Pegawai Negeri Sipil
Panyabungan
Ummu Salmah Harahap
85 tahun
Ibu Rumah Tangga
Jakarta
Ridwan Nasution
60 tahun
Pemain Gordang Sambilan
Medan
Amin Nasution
75 tahun
Wiraswasta
Medan – Kotanopan
Catatan : Informan dalam tulisan ini berjumlah lebih kurang 50 orang, namun dalam tulisan ini ditampilkan 6 pendapat informan yang dianggap mewakili dari segi umur, daerah tempat tinggal, jenis kelamin, peran dalam masyarakat Mandailing.
Daftar Bacaan :
Hasibuan, L.P. bergelar Patuan Daulat Baginda Nalobi. Pangupa; Buku Nenek Moyang Masyarakat Tapanuli Selatan Berisi Falsafah Hidup.
Matondang, Ibnu Avena. Gordang Sambilan; Video Etnografi Tentang Penggunaannya Ditengah-tengah Masyarakat Mandailing Di Kota Medan. Medan: FISIP USU, Skripsi S1, tidak diterbitkan, 2008.
Nasution, Pandapotan. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara, 2005.
Diapari, L.S. gelar Patuan Naga Humala Parlindungan. Adat Istiadat Perkawinan Dalam Masyarakat Batak Tapanuli Selatan. Jakarta: —, 1990.
Purba, Mauly. Mengenal Tradisi Gondang dan Tor-tor Pada Masyarakat Batak Toba Dalam Pluralistas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak, Dairi, Angkola, Karo dan Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi Dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen, 2004.
Penulis merupakan seorang antropolog, juga merupakan bagian dari masyarakat Batak.
Mauly Purba, 2004 : 60
Lihat Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, 2005:13.
Kata “dan lainnya” merujuk pada berbagai marga yang ada ditengah masyarakat Mandailing yang memiliki hubungan dengan marga yang telah disebutkan. Marga merupakan warisan dari keluarga secara patrilineal sehingga nama marga dapat beragam, seperti contohnya marga Lintang.
sumber : http://avena-matondang.blogspot.com/
===================================================
www.tobadreams.wordpress.com
No comments:
Post a Comment