Catatan Dr. Uli Kozok
Pemerhati Bahasa dan Budaya
Surat Nommensen tertanggal 20 Juni 1878
Laporan Terakhir
tentang Perang di Toba
oleh I.L. Nommensen. BRMG 1878 (12): 361-381
tentang Perang di Toba
Surat Nommensen setebal 40 halaman tulisan tangan kini berada di Arsip VEM:
Archiv und Museumsstiftung Wuppertal
Rudolfstr. 137
42285 Wuppertal
tel. 0202/89004-160; fax 0202/89004-79
Sepanjang
tahun ini kita sudah berulang kali menyajikan berita tentang perang di
Toba, tetapi baru sekarang kami bisa mencetak laporan lengkap oleh
saudara kita Nommensen yang dengan mata sendiri melihat peristiwa yang
terjadi. Perang ini dan perubahan yang terjadi akibat perang itu betapa
penting sehingga dirasakan perlu untuk menulis ulang sejarah peristiwa
itu sekali lagi walaupun sebagian yang sudah pernah ditulis sebelumnya
diulang lagi. Penulisan sejarah perang dari penginjil Nommensen yang
sesuai dengan fakta dapat kiranya membantah segala tuduhan yang
dilontarkan kepada pihak zending Kristen Batak. Para penginjil kita
tidak perlu merasa malu atas peranan mereka dalam perkara ini.
Di
tengah-tengah kemelut perang mereka menjadi malaikat perdamaian. Kami
yakin bahwa perang itu akan bermanfaat bagi mereka untuk membuka jalan
bagi injil dan memenangkan hati orang. Untuk memahami kisah berikut
tentang berlangsungnya perang kiranya berguna bila pembaca melihat peta
Toba yang terdapat di edisi ke-8 tahun ini.
Berikut ini surat Nommensen:
[Hal.362]
Badai yang mulai melanda kami segera sesudah konferensi terakhir dengan
segala kekacauan dengan bantuan Tuhan kini sudah berlalu. Keadaan di
sini berubah total, tetapi sekarang akhirnya saya punya waktu untuk
menceritakan kembali rangkaian peristiwa tahun yang lalu.
Segera
sesudah konferensi Juni 1877 musim pesta bermula bagi orang Batak yang
jatuh bertepatan dengan mulai musim tanam yang baru, dari 1 Juli hingga
bulan September. Itulah musim pesta. Banyak marga mengadakan pesta horja;
yang langsung memengaruhi kami ialah pesta dua marga yang tinggal dekat
sini sehingga banyak anggota paroki kami mempunyai hubungan keluarga
dengan mereka. Pada malam hari mereka memukul gendang, meniup serunai,
makan dan minum. Pada siang hari mereka membunyikan bedil dan menari.
Kemeriahan itu tentu menarik perhatian orang, terutama muda-mudi.
Beberapa muda-mudi, dan juga orang-orang yang mempunyai talian saudara
dengan pihak pelaksana pesta, tergoda menghadiri pesta itu. Hal mana
yang tiap kali disambut kaum kafir sebagai kemenangan mereka.
Tahun
yang lalu paroki saya menghadapi banyak percobaan. Karena pergaulan
laki-laki [umat paroki Nommensen] dengan tentara maka mereka banyak
dihadapkan percobaan karena pekerjaan yang mereka lakukan umumnya
sebagai kuli, dan, karena mereka lebih mengetahui keadaan setempat,
mereka juga menjadi calo untuk perbekalan [tentara] sehingga ada di
antara mereka yang imannya menjadi rusak. Namun kesetiaan penggembala
Tuhan kita yang menghibur kita. Sebabnya tahun yang lalu banyak orang
jatuh sakit, hal mana dilakukan Tuhan untuk menghukum dan menegakkan
disiplin di antara umatnya. Namun tahun yang lalu juga dianugerahi
rahmat Allah. Banyak orang meninggal karena tifus dan disentri. Hampir
semua orang Batak yang berjalan dari Silindung ke Bahal Batu kena salah
satu dari penyakit itu.
[Hal.363]
Banyak orang yang terpaksa ditandu pulang, lain orang membawa kumannya
ke Silindung menularkan penyakit pada keluarganya. Di antara orang yang
meninggal terdapat Nathanael dan Benjamin Kepergian mereka sangat
menyedihkan saya. Nathanael termasuk salah satu orang yang dibaptis pada
14 Oktober 1866.
Berikut
ini laporan saya tentang perang. Menurut saya dalam sejarah
Hindia-Belanda belum pernah ada ekspedisi militer yang begitu cepat dan
begitu berhasil seperti Ekspedisi Toba, dan saya yakin pemerintah tidak
akan melarang usaha kita untuk secepatnya menetap di Toba. Untuk
sementara waktu para penginjil terpaksa meninggalkan Bahal Batu karena
Bahal Batu menurut Gubernur [Sumatra] tidak termasuk wilayah Silindung.
Namun sekarang sudah terbukti sehingga Gubernur tidak ada pilihan lain,
ia harus mempercayainya. Dulu penginjil Püse hanya minta izin untuk
bertugas di Pangaloan sementara penginjil Metzler hanya ada surat izin
untuk menetap di Hindia-Belanda. Keduanya sekarang sudah minta izin
untuk bertugas di Tapian Na Uli sehingga tidak lama lagi Püse bisa
kembali ke situ. Penginjil Metzler mungkin tidak akan kembali ke sana
karena keadaan kesehatan fisik maupun mental.
Sekarang
kita kembali pada cerita perang: Pada akhir musim gugur [akhir
November–pertengahan Desember] 1877 terdengar bermacam-macam
desas-desus. Orang Batak yang kembali dari pesisir membawa kabar bahwa
Raja Stambul[58] (Raja Konstantinopel) bersama dengan rakyatnya[59] akan
datang ke Sumatra untuk bersekutu dengan orang Aceh kalau Kerajaan
Ottoman tidak lagi bisa bertahan menghadapi Rusia.[60] Harinya bendera
hijau nabi berkibar sudah ditetapkan dan umat Islam akan bangkit dan
membunuh semua orang kafir dan Kristen. Setiap hari ada kabar angin
baru. Terdengar orang Belanda tidak lagi mempunyai tentara dan akan
kalah dalam perang Aceh.
[Hal.364]
Khotbah kami tidak dipercayai oleh kaum kafir, mereka percaya pada
cerita bohong itu dan saling menakuti satu sama lain. Bahkan beberapa
orang Kristen meminta nasihat kepada kami. Kabar bahwa ada 40 orang Aceh
masuk ke Toba membuat keadaan menjadi lebih parah lagi. Masyarakat
menjadi makin resah dan mulai menggali harta bendanya. Lalu datang
utusan Singamangaraja ke Silindung mengumumkan di pasar-pasar bahwa
Singamangaraja akan datang bersama dengan orang Aceh dan membunuh orang
Eropa dan orang Kristen. Kaum kafir tidak perlu khawatir asal bersikap
netral. Raja yang beragama Kristen berunding dan mempertimbangkan
menyerang utusan Singamangaraja dan membawanya ke Sibolga.[61] Mereka
bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka sekiranya
mereka diserang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja kami tidak bisa
menjaminnya. Waktu mereka berunding utusan Singamangaraja ternyata sudah
pergi, barangkali karena rencana mereka tidak berhasil atau karena
mereka mendengar para raja Kristen hendak menangkapnya. Beberapa raja
memperlihatkan kepada mereka keuntungan yang mereka peroleh dari adanya
para penginjil: 1) tiada lagi Bonjol[62] (Melayu) yang datang mengganggu
sejak kedatangan para penginjil, 2) para penginjil hanya berbuat baik
seperti memberi obat, dan 3) sangat tolol kalau Singamangaraja sekarang
mau bersekutu dengan mereka yang membunuh neneknya.[63] Mereka juga
mengatakan akan menjaga keselamatan para penginjil. Setelah utusan
Singamangaraja kembali mereka membeberkan berita bahwa orang Bonjol akan
menyerang lagi, dan bahwa orang Silindung sudah bersekutu dengan orang
Bonjol.[64] [Hal.365]
Maka
terjadilah bahwa seorang Silindung bernama Morsait Hujur berjalan ke
Toba untuk menjemput istri dan anaknya. Setiba di Naga Saribu mereka
ditangkap dan dipasung karena sebuah perkara lama, demikian alasannya.
Setelah kejadian itu tidak banyak orang Silindung berani berjalan ke
Toba; orang Toba juga masih marah pada orang Silindung karena
desas-desus tadi. Akibatnya makin banyak kabar angin yang tidak jelas
atau dilebih-lebihkan perihal tindak-tanduk orang Aceh di Toba yang
masih tetap ada di Bangkara dan di Muara. Beberapa orang kelahiran Toba
yang menetap di Silindung membawa berita bahwa orang Aceh akan ke
Silindung dulu, namun lain orang mengatakan mereka akan ke Samosir dulu.
Dalam keadaan seperti itu kami sendiri tidak mungkin ke sana dan kami
juga tidak berani menyuruh orang Kristen dari Silindung ke Toba karena
menurut adat Batak kami yang harus menanggung mereka hal mana tidak
mungkin kami lakukan. Dari Barus dan Singkel[65] dikonfirmasi memang ada
40 orang Aceh yang berangkat ke Toba. Seorang raja di Silindung
mengkonfirmasikan kedatangan raja-raja dari Padang Bolak ke Huta Tinggi,
dan bahwa raja-raja di Huta Tinggi kembali dengan mereka ke Padang
Bolak untuk merekrut pasukan bantuan. Hari keberangkatannya ke Toba juga
sudah diketahui, dan memang mereka berangkat pada hari itu ke Toba,
tetapi tidak lewat Silindung melainkan melalui Sipahutar ke Butar lalu
ke Huta Tinggi karena sudah ada serdadu di sekitar Silindung.
Keresahan
makin menjadi dan kami tidak sanggup untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya karena tidak ada yang berani pergi ke Toba. Semua orang siap
siaga dengan memegang senjata, dan penginjil di Bahal Batu saking
ditakuti oleh orang yang datang dari Toba sehingga mereka percaya bahwa
pada malam itu juga orang Aceh dan sekutunya akan datang.
[Hal.366]
Surat dengan berita tadi tiba di sini pada jam 1:30 malam. Pada
keesokan hari bersama dengan penginjil Simoneit yang sedang ada di sini,
kami berangkat ke Bahal Batu naik kuda. Dalam perjalanan kami bertemu
dengan Israel yang juga ikut dengan kami. Setiba di Bahal Batu kami
mendapatkan penduduk kampung duduk di luar kampungnya dengan membawa
lembing dan bedil. Setiba di pos zending datanglah Partaon Angin yang
sudah tua itu dan kami memberitahu bahwa kami datang untuk menjemput
Saudari Metzler sementara Penginjil Simoneit dan Israel tetap di situ
dengan penginjil Püse. Namun orang tua yang cerdas itu menjawab: “Lebih
baik aku mati dibunuh daripada saya membiarkan Saudari Metzler pergi
karena beliaulah jiwa kami; kalau ia pergi maka seluruh isi Bahal Batu
akan pergi pula. Biarkan saja dia di sini bersama suaminya. Mereka tidak
perlu khawatir, kami akan melindungi mereka. Selama Saudari Metzler di
sini maka Bahal Batu tetap akan ada. Dari pembicaraan selanjutnya tampak
jelas bahwa dia hanya ingin memanfaatkan keberadaan Saudari Metzler.
Dalam pikirannya, selama masih ada perempuan Eropa di sini mereka pasti
akan berusaha agar Bahal Batu selamat, kalau dia pergi mereka tidak
peduli.
Sebentar
kemudian ia berkata lagi: “Laki-laki itu seperti burung yang tidak bisa
dijaga, pada malam hari mereka pergi.” – Walaupun demikian cara
pikirannya kami tetap menasihatkan kedua saudara Metzler agar tetap di
Bahal Batu karena jelas bahwa orang itu akan sangat keberatan kalau
mereka pergi, dan juga karena kami percaya keadaan masih agak aman.
Namun
demikian desas-desus tetap ada dan ketidakpastian sangat meresahkan
penduduk. Sebagian besar orang kafir memutuskan untuk bersikap netral
dan beberapa di antara mengatakan [Hal.367] akan berpihak pada pihak
mana yang menang, dan kalau perlu masuk Islam asal mereka dan hartanya
selamat.
Hal
mana, demikian penjelasannya, juga dilakukan oleh Mangkali Bonar dari
Sigompulan pada masa perang Padri dan ternyata ia menjadi kaya dan
terkenal. Pendapat yang sedemikian menjadi makin populer apalagi karena
orang-orang tua masih mengingat cerita orang tuanya bahwa orang Batak
bersaudara dengan, dan pernah membayar upeti kepada Aceh dan
Inggris[66]. Sampai sekarang pun orang masih memanjatkan doa kepada
Soripada di Anse.[67] Maka dengan demikian mereka sudah membiasakan diri
bakalan berada di bawah kekuasaan Aceh. Waktu itu pemerintah begitu
baik hati untuk mengirim 50 bedil lengkap dengan amunisi bagi umat
Kristen supaya mereka bisa membela diri kalau diserang.
Minggu
demi minggu berlalu namun keadaan tidak membaik juga. Lalu tiba berita
bahwa beberapa utusan Kontrolir Asahan dalam perjalanan ke sini tewas
dibunuh di Huta ni Tingkir, berjarak hanya satu hari berjalan kaki dari
Bahal Batu. Peristiwa itu dan hubungan antara Padang Bolak dan Huta
Tinggi Simamora menunjuk pada rencana Aceh yang lebih luas. Lagi pula
kelompok 40 orang Aceh ternyata dipimpin oleh Willem Daut, anak seorang
perempuan Eropa, dan Said Muhamed, pemberontak dan Muslim fanatik, yang
dulu sudah pernah mengancam Singkel.
Oleh
sebab itu maka kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah
menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai
gerombolan itu dari Barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak
menginginkan orang Aceh menetap di Toba, ternyata sudah mengirim
pasukannya. Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama
dengan Kontrolir Hoevel sudah berangkat pada 1 Februari ketika
permintaan [untuk mengirim tentara] kami sampaikan dari sini. Pada
tanggal 6 Februari sekitar jam 10:00 pasukan tiba di Pearaja. Kontrolir
van Hoevel dan Upas[68] [Hal.368] Bartolemy bermalam di tempat kami,
laki-laki yang lain tinggal bersama tentara.
Rumah
di kampungnya Obaja[69] sudah disediakan untuk tentara dan dilengkapi
dengan tikar. Kayu api disediakan oleh anak buah Obaja. Para perwira
tinggal di pusat kampung di antara tentara, di rumahnya Jesaia supaya
dekat tentara kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi. Soalnya ada beberapa
raja yang pada acara musyawarah berbicara blak-blakan, dan raja yang
lain malahan tidak menghadiri musyawarah karena mereka pikir: Tidak ada
seorang yang berhak menyuruh kami. Seusai musyawarah dan setelah upacara
penaikan bendera Belanda maka tentara masuk ke Sipoholon, kampung yang
letaknya dekat dengan pos zending. Di situ pun diadakan musyawarah dan
maksud kedatangan tentara dijelaskan kepada para raja, dan sesudah
dilakukan pengamatan maka diputuskan pergi ke Bahal Batu.
Waktu
itu tiba surat dari Singamangaraja[70] membalas surat Residen. Katanya
dia tidak datang karena ada tentara tetapi bersedia bertemu dengan saya
di Pintu Bosi[71] dengan syarat saya tidak ditemani lebih dari dua
orang. Permintaannya ditolak oleh Kontrolir. Katanya karena ia sudah
berjalan jauh dari Sibolga maka pantas Singamangaraja datang ke Bahal
Batu. Ketika Singamangaraja menerima surat balasan Kontrolir ia hendak
memakan pembawa surat itu, namun hal itu tidak mungkin karena pembawa
surat itu masih semarga dengannya. Maka surat itu dirobek-robek dan
mereka tidak membalasnya sehingga putuslah perundingannya.
Sementara
itu tiba kabar dari Sibolga bahwa tentara dikirim ke Bahal Batu. Tidak
lama kemudian tentara naik dan sesudah beberapa hari raja-raja dari
Balige membawa kabar soal perobekan surat [Hal.369] serta pengumuman
perang asli Batak yang dinamakan pulas.
Pulas
itu terdiri dari sebuah kentang yang agak panjang[72] yang diukir
hingga menyerupai manusia dan ditusuk dengan beberapa lembing kecil dan
disertai tiga surat bambu dengan kata-kata cercaan dan hasutan serta
sebuah sumbu yang bekas disulut. Pulas itu digantungkan pada pintu kampung lalu terdengar beberapa kali tembakan.
Hal
itu terjadi pada malam hari sehingga tidak jelas apakah orang yang
namanya tertera pada surat tadi memang menggantungkan pengumuman perang
itu ataukah sebaliknya musuh mereka yang melakukannya. Orang yang
namanya tertera pada pulas itu adalah teman dari orang yang
memanggil orang Aceh, namun menurut hasil penyelidikan di kemudian hari
mereka ternyata tidak bersalah dan menjadi korban tipu muslihat musuh
mereka. Dengan demikian tetap tidak jelas pengumuman perang itu berasal
dari pihak mana.
Beberapa
hari kemudian seorang raja dari Lobu Siregar datang dan mengatakan
bahwa pada keesokan hari orang Toba akan menyerang benteng pertahanan
tempat tinggalnya tentara. Sekitar 600 orang Toba datang dan sudah mulai
menembak dan berteriak ketika mereka masih jauh dari benteng. Ketika
mereka lebih dekat kami dihujani peluru. Ketika berada pada jarak
sekitar 200m mereka menjerit secara mengerikan sambil menembak dan
bertari perang; di situlah Kapten memberi aba-aba untuk mulai menembak
serta meniupkan trompet yang menghasilkan bunyi yang amat hebat. Orang
Batak berdiam sejenak lalu lari. Mereka berkumpul di luar jangkauan
peluru di atas bukit-bukit sampai ada granat yang meledak (yang mendarat
jauh di belakang mereka) yang mengakibatkan mereka mundur. Sepertinya
pada hari itu tidak ada yang cedera. Pada penyerangan kedua dan ketiga
[Hal.370] ada beberapa orang Toba yang cedera, dan ada juga yang mati
namun jumlahnya susah ditentukan.
Pada
awalnya kami tinggal di pos zending, juga sesudah pengumuman perang,
tetapi sesudah beberapa hari kami terpaksa meninggalkan pos zending dan
dengan membawa harta benda kami pindah ke benteng.
Sesudah
Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200
pasukan lagi maka kami mulai menyerang. Yang pertama diserang adalah
Butar dan orang Batak lari semua. Di pihak pasukan ada seorang yang
tewas; lima kampung dibakar. Atas nasihat kami, kampung-kampung yang
lain mengibarkan bendera putih dan menyerah maka kampungnya tidak
dibumihanguskan. Sekitar 50–60 kampung di Butar yang tidak dibakar namun
raja-rajanya ditahan di Bahal Batu sampai mereka membayar denda yang
ditetapkan oleh Residen Boyle. Sesudah beberapa hari Lobu Siregar
diserang. Setelah bertempur selama 1½–2 jam lima kampung dibakar.
Kampung pertama sudah dikosongkan namun makan waktu 1 jam sebelum
pasukan bisa masuk karena begitu kokoh pertahanannya.
Pada
hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung di
sekitarnya diambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk
menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa
mereka tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui
kekuasaan pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau
rakyat yang berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang
melakukan tindakan melawan pemerintah di dalam wilayahnya. Silindung
bersama Sipoholon dan Bahal Batu dan juga Pagar Sinondi bersumpah setia
pada pemerintah dengan menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia
akan melaksanakan perintah pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka
yang pernah melawan [Hal.371] tentara maka bunyi sumpah tentu berbeda.
Setelah
acara sumpah setia masih ada enam kampung di Naga Saribu yang menolak
untuk menyerah. Pagi-pagi keesokan hari kami berangkat dari Bahal Batu
melewati ujung timur laut Butar dan tiba di Naga Saribu pada sekitar jam
11:30. Penduduk keenam kampung tidak mengadakan perlawanan karena sadar
bahwa hal itu akan sia-sia. Ternyata mereka percaya bahwa tidak mungkin
tentara bisa sampai ke kampungnya dalam tempo satu hari, dan di samping
itu mereka juga berharap bahwa pemerintah tidak akan datang hanya
gara-gara enam kampung mengingat bahwa kebanyakan kampung sudah menyerah
dan membayar denda. Ketika mereka menyadari bahwa kampung-kampung lain
selamat maka mereka sangat menyesal, tetapi terlambat sudah.
Dengan
sangat lelah kami tiba kembali di Bahal Batu pada jam 19:30. Sebagai
misionaris kami memang tidak perlu memikul senjata dan perbekalan akan
tetapi tugas kami tidak lebih ringan dibanding tugas serdadu. Pada waktu
tentara istirahat –ketika pembakaran berlangsung– kami harus berjalan
dari kampung ke kampung di sekitar Naga Saribu untuk mendatangi
raja-raja yang sudah tunduk tetapi belum melunasi denda. Harinya panas
dan kering. Pasir diterbangkan angin sehingga mata menjadi perih.
Menjelang malam, ketika kami masih harus menempuh jalan selama 2½ jam
lagi, hawa berubah menjadi dingin lalu turun hujan disertai halilintar
dan gemuruh sehingga kami basah kuyup.
Lalu
ada berita dari Padang akan ada pasukan tambahan sebanyak 300 tentara
dan 100 narapidana karena pemerintah bermaksud untuk maju sampai ke
Danau Toba untuk mendenda mereka yang datang menyerang dari jauh. Hal
itu memang perlu karena sewaktu dilakukan persiapan ekspedisi ke Toba
datang pula orang Toba dari Balige, Gurgur, Si Anjur dan lain-lain
tempat untuk sekali lagi menyerang Bahal Batu. Kali ini Kolonel tidak
menunggui orang Batak di benteng, melainkan menyuruh pasukannya
menyerang dan [Hal.372] berkubu di balik sebuah bukit.
Orang
Toba tidak berani mendekat karena mereka melihat bahwa di bukit sebelah
utara dari kampung Partaon Angin berkumpul ratusan orang Batak yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Ketika tentara melepaskan tembakan dan
mencederai seorang di antara mereka maka mereka langsung lari karena
takut akan dikejar tentara dan tidak sempat untuk menyeberang sungai Aek
Simokmok. Orang Bahal Batu memang mengejar orang Toba sampai ke sana
dan menembak mati seorang.
Sesudah
semua pasukan tiba dari Sibolga maka tanggal 30 April kami berangkat ke
Bangkara. Pada hari pertama kami berjalan kaki sampai ke Lintong ni
Huta dan Si Hombing. Negeri itu yang terdiri atas sekitar 70 kampung
sudah bersumpah setia di Bahal Batu. Keesokan harinya kami meneruskan
perjalanan ke Bangkara. Ketika kami berjarak 15 menit dari Lintong ni
Huta kami bertemu dengan Ompu ni Chordopang[73] dari Bangkara, raja yang
memanggil orang Aceh. Ia berpura-pura seolah-olah menjadi sahabat lama.
Karena saya berjalan paling depan dan saya langsung mengenalnya maka
saya melaporkannya kepada Residen. Lalu dia ditangkap. Ketika kami
mendekati tebing terlihat lembah Bangkara yang indah. Pemandangan yang
menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang terletak 550–600
meter di bawah. Ketika kami tiba di kompleks kampung yang salah satu di
antaranya adalah kampungnya Singamangaraja maka setengah lusin granat
ditembakkan dari atas namun jaraknya terlalu jauh sehingga tidak sampai
jatuh di kampung. Lalu kami turun. Tiba di bawah, kami melihat
pertahanan kampung ternyata kokoh sekali. Setiap kampung dikelilingi
tembok setinggi 4 meter yang terbuat dari batu besar. Tembok itu begitu
kokoh dan terjal sehingga orang bisa kagum melihat kesabaran mereka
membuat tembok. Di atas [Hal.373] tembok tumbuh tanaman rambat yang
berduri yang tidak dapat dipegang dengan tangan telanjang.
Penduduk
kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang berusaha
memanjat tembok dilempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari
atas kami bisa melihat kejadian di kampung dengan sangat jelas. Ternyata
mereka membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan
pun yang dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa
mereka tidak takut. Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya,
dan beberapa lagi cedera. Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah
di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan
kami lalu ditawan.
Tentara
menempati empat dan kami bersama orang dari Silindung[74] satu kampung.
Kampung-kampung yang lain ditempati oleh mereka dari Bahal Batu, Butar,
dan dari lain tempat di Toba. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang
ditangkap, diserahkan kepada kami. Anak-anak dan perempuan ditahan di
sebuah rumah besar dan laki-laki di rumah yang satu lagi. Kami menghibur
mereka dan berbuat baik kepada mereka sehingga mereka cepat menaruh
kepercayaan pada kami dan mereka tenang-tenang saja dan tidak berusaha
untuk melarikan diri. Mereka ditahan selama dua hari dua malam karena
Residen ingin mengetahui apa di antaranya ada istri dari raja-raja yang
terkemuka. Maksudnya supaya meyakinkan para raja melalui istrinya agar
mereka mau menyerah.
Keesokan
hari serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan
kampung-kampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang
langsung dibakar. Bapak Residen meminta bantuan saya untuk
mendampinginya. Tugas saya untuk berbicara dengan para raja yang ingin
menyerah dan untuk membawa mereka kepadanya. Namun ketika api mulai
berkobar di kampung-kampung yang paling dekat maka penduduk berlari-lari
kepanikan berusaha memanjat tebing bukit yang tingginya sekitar 550
meter. [Hal.374]
Jerit-tangis
laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema di
seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang
dihormati dan ayah sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu
cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan
meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda. Bersama
dengan beberapa orang yang kenal dengan penduduk kampung saya mengejar
mereka yang memanjat tebing – hal mana berlangsung dengan sangat lambat
karena banyaknya anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Kepala raja
yang mengibarkan bendera putih berteriak “Patu ma hami!” (Kami
menyerah!). Ketika melihat saya ia turun menghampiri saya dan lalu
bersedia untuk dibawa kepada Kapten. Waktunya memang sudah mendesak
karena kampungnya sudah dikepung tentara dan orang Batak yang suka
merampas sudah mulai mengangkat padi agar tidak hangus, dan juga sudah
mulai memotong ternak babi. Lalu saya beritahu kepada Kapten bahwa raja
itu hendak menyerah. Ketika para serdadu pergi maka jerit-tangis semakin
berkurang. Raja yang masih sangat muda itu lalu dijaga oleh tentara dan
saya menyuruh Si Daut, seorang Kristen, untuk mendampinginya. Habis itu
saya pergi ke kompleks kampung yang lain lagi, tetapi penduduk sudah
naik ke atas dan kampung-kampung mereka dibakar semua. Saya berjalan
terus dan bertemu beberapa orang yang bersedia untuk memanggil rajanya.
Karena mereka langsung datang masih ada waktu untuk meyakinkan mereka
agar mau tunduk pada pemerintah sebelum tentara datang. Sesudah para
raja itu saya serahkan kepada Kapten saya meneruskan perjalanan dan
kampung mereka tidak dibakar. Ketika kami tiba di atas bukit kami
melihat sungai yang deras yang tidak sangat dalam, tetapi cukup dalam
untuk menghalang kami karena arus yang deras. Para serdadu juga sudah
lelah seusai melewati [Hal.375] sawah-sawah[75] di terik matahari maka
kami istirahat dulu.
Lalu
kami melihat penginjil Simoneit yang di seberang sungai menyemaikan
bibit perdamaian. Beberapa orang mengibarkan bendera putih tanda
menyerah. Kapten menyuruh seorang Silindung untuk mengantar sepucuk
surat kepada Kolonel meminta instruksi lanjutan. Kolonel lalu memerintah
pasukannya untuk kembali karena kampung-kampung di ujung selatan lembah
Bangkara juga sudah menyerah.
Raja
itu didenda dan diwajibkan melunasi dendanya dalam tempo 24 jam. Pada
hari ketiga para raja harus bersumpah agar tunduk pada pemerintah dan
semua tawanan dilepaskan. Pada hari keempat kami meninggalkan Bangkara
sesudah kampung-kampung yang kami tempati dibakar oleh serdadu.
Makan
waktu sangat lama hingga semua tentara berikut perlengkapannya sampai
di dataran tinggi. Para narapidana harus pergi dua kali karena 20–30
kuli yang ketinggalan. Peluh bercucuran dari mendaki tebing yang terjal
sehingga kami menjadi basah. Karena cuaca di atas jauh lebih dingin maka
Simoneit dan saya tidak mau duduk-duduk kedinginan. Kami jalan-jalan
arah ke utara untuk bisa melihat Danau Toba dari berbagai sudut pandang.
Setelah kami berjalan sekitar satu jam dan sudah jauh dari pasukan maka
kami melihat sekelompok orang bersenjata menuju kami. Di antara kami
dan mereka ada lembah yang lumayan dalam. Mereka mempercepat langkah
untuk bisa menyergap kami dan kami memutuskan untuk selekasnya kembali.
Ternyata mereka bukan pemberani karena mereka mendaki bukit dengan
sangat lambat. Di atas bukit itu ada bekas kubu tempat kami tadi berdiri
untuk menikmati pemandangan. Sewaktu kami sudah agak jauh baru mereka
berani naik ke kubu itu.
Sementara itu pasukan sudah siap untuk berangkat, dan setiba kami di sana kami langsung bergerak arah ke timur. [Hal.376]
Melintasi
wilayah Lintong ni Huta kami berjalan ke Paranginan. Di sepanjang jalan
itu dipasang bambu runcing yang pasti dilakukan pada hari sebelumnya.
Ternyata mereka mau menghalang kami namun ketika kami datang mereka
tampak ketakutan. Hanya satu dua di antara mereka nekad menodongkan
laras senjata kepada kami. Mereka kaget mendengar kami berbahasa Batak.
Mereka lebih kaget lagi melihat di antara kami orang Silindung yang
mereka kenal. Orang Silindung itu segera menghadangnya lalu menepiskan
laras bedilnya.
Lalu
kami meneruskan perjalanan ke kampung Ompuraja Hain. Beliau tidak ada
karena sedang bermusyawarah dengan raja-raja lain di pasar. Rupanya
mereka tidak duga kami datang begitu cepat sehingga mereka tidak sempat
untuk bersekutu dan mengadakan perlawanan. Kami tinggal di Paranginan
selama beberapa hari. Para raja harus melakukan sumpah setia dan sesudah
mereka melihat bahwa kami tidak melukai atau merugikan mereka maka
mereka mulai menaruh kepercayaan pada kami.
Dari
Paranginan kami meneruskan perjalanan ke Huta Ginjang. Di sini pun
orang Batak berusaha menghalangi kami dengan menggali lubang di tengah
jalan yang di dalamnya mereka pasang ranjau duri. Rupanya mereka kira
kami datang pada malam hari hal mana sering mereka lakukan. Di Huta
Ginjang kami berhenti di pasar untuk berbicara dengan para raja,
kemudian kami turun ke Meat, sebuah lembah seperti Bangkara tetapi lebih
kecil. Orang Meat menyerah dan perjalanan diteruskan ke Gurgur.
Jalan
ke Gurgur terjal sekitar 550-600 meter lebih tinggi – hampir sama
keadaan seperti di Bangkara. Orang Batak sudah berkumpul di atas dan
menggulingkan batu arah ke tentara. Di sinilah paling besar kerugian
tentara. [Hal.377]
Di
pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. Sesudah beberapa
serdadu berhasil naik ke atas mereka lari. Kami istirahat selama dua
hari di Gurgur dan raja-raja di Huta Ginjang, Meat dan Tangga Batu
diwajibkan melakukan sumpah setia pada Belanda. Pada hari ketiga pasukan
menuju Lintong ni Huta Pohan, Panghodia, dan Tara Bunga. Hampir semua
kampung di Gurgur dibakar karena membiarkan musuh menembaki kami di
wilayahnya sementara mereka berpura-pura menjadi sahabat dan mengatakan
takluk pada kami dan menjadi pemandu jalan kami. Namun setelah kami
sampai di atas, mereka tidak kelihatan lagi. Rupanya mereka yakin
tentara tidak mungkin naik ke atas melainkan harus berjalan kembali.
Setelah itu mereka berencana agar semua bangkit [melawan Belanda]. Namun
sekarang, ketika mereka lihat bahwa teman-temannya lari mereka menjadi
ketakutan.
Setelah
pembakaran diselesaikan kami menuju Lintong ni Huta. Orang Batak sudah
berkumpul di situ dan keluar dari persembunyiannya menyerang kami dengan
menembak, menjerit, dan menari. Ketika berjarak sekitar 250 m tentara
menyerang dan mereka lari bersembunyi di kampung-kampung. Setelah
beberapa granat ditembakkan ke arah kampung-kampung itu mereka lari
menurun tebing ke pantai danau dan menyelamatkan diri naik perahu.
Tentara tetap menembaki mereka dan salah satu perahu kena peluru
sehingga orang yang duduk di dalam terpaksa lompat ke air dan berenang
ke darat. Lalu kampungnya dibakar. Hanya beberapa kampung tidak dibakar
karena beberapa anak raja dari Tangga Batu yang sudah takluk minta
kepada residen agar kampung-kampung itu tidak dibakar karena mereka
memiliki rumah di situ. Sewaktu tentara sibuk membakar, sejumlah orang
Batak, orang Silindung, orang Bahal Batu, orang Butar, [Hal.378] orang
Gohan[76] terjun ke ladang dan kembali dengan mengiring kerbau, lembu,
dan kuda keluar dari tempat persembunyiannya ke arah tentara.
Sementara
Residen dan Kolonel mendatangi kampung-kampung di tanjung Tara Bunga
bersama dengan tentara maka saya bersama penginjil Simoneit tetap di
sini, di jalan menuju Balige. Di sinilah tampaknya kekejaman perang. Di
mana-mana terlihat kampung yang hangus masih berasap yang penghuninya
bersembunyi di jurang-jurang pegunungan dan langsung lari apabila ada
yang mendekati persembunyiannya. Itulah saat yang paling menyedihkan
bagi kami yang datang sebagai utusan damai dan sekarang kami harus
melihat bagaimana penduduk diusir dari rumahnya.
Ketika
kami sampai kami disambut raja Balige yang dua tahun yang lalu
menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Katanya ia mau tunduk
bersama dengan 60 kampungnya. Waktu kami di Gurgur dia datang ke sana
meminta agar kami menyampaikan kepada Residen permohonannya agar
wilayahnya tidak diganggu namun karena Residen saat itu sangat marah
karena kerugian yang dideritanya di Gurgur maka kami tidak menyampaikan
permohonan itu. Akhirnya Residen menerima penundukannya akan tetapi
menjadi agak jengkel ketika kami mendapatkan pintu kampung-kampung
pertama dalam keadaan tertutup rapat. Sesudah itu kami membawanya
keliling selama kira-kira satu jam sampai pada pinggir danau di pasar
Balige, dan ia puas karena pintu kampung di sana terbuka semua. Serdadu
yang datang 30 menit kemudian langsung mandi sampai ke lutut di danau
karena harinya sangat panas, dan kawasan pinggir danau termasuk
Bangkara, Unte Mungkur, Muara, Meat, Balige dll. berhawa panas karena
rendah letaknya. Tiga kampung dipilih sebagai tempat tentara dan setelah
mereka merasa nyaman di tempat barunya semua terjun ke danau untuk
mandi. Pertama kali di Danau Toba kata mereka semua. Banyak di antaranya
mengungkapkan perasaan jengkelnya bahwa bangsa kafir yang jorok[77] itu
memiliki bagian dunia yang begitu indah. [Hal.379]
Pada
malam hari sekitar jam 7 terdengar suara tembakan. Dikatakan seorang
musuh, Raja Deang, datang dan mereka menyerang sebuah kampung yang sudah
takluk kepada pemerintah. Pada keesokan hari tentara berangkat tetapi
saya tidak ikut karena merasa pening dan karena bagaimana pun hanya ada
acara berperang dan membakar kampung. Pada hari itu sekitar 50–60
kampung dibakar. Awalnya musuh melawan dengan gigih tetapi akhirnya lari
juga. Menjelang siang saya berjalan sekitar satu jam arah ke timur. Di
tempat itu Raja Deang mendirikan kubu dan pertempuran berlangsung. Di
Lumban Atas, Paninduan, saya duduk di bawah pohon besar dan menonton
hiruk-pikuk manusia. Orang dari Balige dan Paninduan pergi untuk
menjarah kampung-kampung yang dibakar. pada sore hari sekitar jam 3
pasukan kembali dan pada jam 5 sore datanglah perahu Ompu ni Pardopur
dan Ompu ni Binsara dengan membawa orang Aceh yang terjepit dan
bersengketa di tanjung. Mereka menyerahkan diri kepada Residen. Setelah
senjatanya dirampas mereka dijebloskan di sebuah rumah dan dijaga. Pada
keesokan hari raja-raja yang menyatakan diri takluk didenda dan diambil
sumpah setia. Karena mereka tidak begitu cepat bisa mengumpulkan uang
untuk membayar denda maka mereka dibawa ke Bahal Batu untuk di kemudian
hari ditebus oleh keluarganya. Pada hari keempat kami berjalan ke Onan
Geang-Geang tempat tinggal mertua Singamangaraja. Kampung-kampung di
sana pun dibakar karena penduduknya mengungsi. Masih pada hari yang sama
kami pergi ke Pintu Bosi yang kampungnya besar-besar. Di sini pun
penduduk mengungsi sehingga kampung-kampung mereka dibakar. Parik
Sabungan, yang dekat dengan Pintu Bosi, menyerah, didenda, dan
[raja-rajanya] dibawa ke Bahal Batu untuk diambil sumpahnya. Perjalanan
kami lewat Lobu Siregar dan pada jam lima sore kami tiba di Bahal Batu.
[Hal.380]
Ekspedisi
telah selesai. Tiada yang merasa lebih lega daripada saya. Namun saya
masih harus tinggal di Bahal Batu selama delapan hari lagi untuk
membantu Residen sebagai penerjemah. Berangsur-angsur tentara kembali,
dan tentu lewat Pearaja untuk singgah di gereja kita. Saya sangat
menyesal tidak bisa berada di rumah membantu istri saya dalam masa yang
kacau seperti ini. Namun dengan bantuan Tuhan mereka semua selamat dan
sehat sentosa. Pada hari sesudah kami tiba diadakan musyawarah umum di
Sipoholon. Para raja diberi tahu bahwa wilayah mereka telah dimasukkan
ke dalam wilayah Hindia-Belanda. Mereka diharuskan bersumpah setia dan
diperingatkan bahwa mereka harus mematuhi perintah Kontrolir. Di
Sipoholon, sekitar setengah jam di atas pos penginjil Mohri, dibangun
benteng tempat tinggalnya 80 tentara yang akan menetap di sini. Rumah
Kontrolir Pluggers membangun rumah di dekat Pearaja dalam jarak sekitar
20 menit dari sini. Seluruh 306 kampung di Silindung telah tunduk pada
pemerintah dan kini mereka sudah mulai membangun jalan ke Sibolga. Untuk
itu setiap kampung harus menyediakan satu orang. Kontrolir adalah orang
yang rajin dan cukup diberi kesempatan untuk menunjukkan kecakapannya
karena begitu banyak perselisihan yang harus diselesaikannya.
Perang
sudah berakhir dan kami meneruskan pekerjaan sehari-hari dengan
semangat baru. Hasil dari ekspedisi sangat menguntungkan pemerintah.
Boleh dikatakan seluruh Toba ditaklukkan, dan hanya di Toba Humbang[78]
masih diperlukan beberapa wakil pemerintah untuk menetapkan pemerintahan
di sana. Namun hal itu tidak terjadi karena pemerintah tidak tertarik
akan Toba Humbang. Mereka terlalu repot menghadapi Aceh. Untuk zending
kita pun bagus begitu karena kami kurang tenaga untuk menempatkan cukup
banyak penginjil sehingga kami malahan bisa didahului Islam. Sekarang
kami punya cukup waktu untuk menggarap Silindung dulu sebelum kami masuk
ke Toba dalam waktu beberapa tahun mendatang.
Pemerintah
tidak akan melarang karena orang Toba [Hal.381] akan makin dekat dengan
pemerintah sehingga kita tidak perlu khawatir. Sekarang kita harus
bersiap-siap mengerahkan tenaga maupun dana sehingga, bila waktunya
datang, kita bisa menuruti petunjuk Tuhan.
Sejak
Silindung menjadi wilayah Hindia-Belanda dan perang telah berakhir maka
datanglah ratusan orang Toba berbondong-bondong kemari. Banyak orang
berimigrasi ke sini termasuk di antaranya mereka yang kehilangan rumah
yang dibakar tentara, dan banyak lagi yang akan datang. Dengan demikian
maka injil pun akan lebih diketahui di Toba Humbang. Sekarang saja,
karena keadaan di Toba, pengaruh kita sudah mulai terasa di sana. Semoga
Singamangaraja pun mau datang untuk menyerah dan tunduk pada
pemerintah.
Tidak
lama lagi terbukalah lahan yang sangat luas. Tenaga dan dana perlu
digandakan untuk, sebagai contoh, membuka pos penginjilan di Balige
karena di Deli misi Katolik sudah mulai beroperasi, dan mereka sudah
menjelajah sampai ke Bila. Belum tentu mereka langsung ke Balige karena
masih berada jauh di utara, namun semboyan kita harus tetap: Maju! Di
Silindung sudah banyak yang mendaftar mau menjadi Kristen, kian hari
kian banyak orang, namun berapa di antaranya yang bersungguh-sungguh
hanya akan diketahui di kemudian hari. Kami senang bahwa paling tidak
mereka bisa mendengar berita yang baik namun dalam musim pancaroba
seperti ini kesungguhan mereka masih perlu dipertanyakan. Banyak yang
datang karena mereka kira kami akan membantu mereka sebagai penengah
dalam perkara pengadilan. Masalah yang sama yang dulu dihadapi penginjil
di Sipirok kini kami hadapi di sini. Hanya kami di sini lebih beruntung
karena agama Islam belum ada dan agama Kristen sudah berakar di sini.
Dapat diharapkan dalam dasawarsa yang akan datang seluruh Silindung
menganut agama Kristen.
—————
[58]
Menurut kepercayaan orang Batak Iskandar Agung (Raja Yunani dari tahun
336–323 SM) mempunyai tiga anak. Anak yang pertama menjadi Raja Stambul
(juga disebut Raja Rum), anak kedua menjadi Raja Cina, dan anak ketiga
menjadi Raja Minangkabau. Stambul adalah Istanbul (Konstantinopel) yang
pernah menjadi ibu kota kerajaan Roma (=Rum). Pada abad ke-19 Istanbul
menjadi ibu kota Kekaisaran Turki Ottoman.
[59] Yang dimaksud di sini mungkin bahwa Turki akan datang dengan pasukannya untuk mengusir orang Belanda dari Indonesia.
[60] Pada saat itu tengah berlangsung Perang Rusia-Turki (1877–1878).
[61] Pusat pemerintah saat itu di Sibolga
[62] Hal ini tentu merujuk pada Perang Padri (1821-1837). Pusatnya kaum Padri di kampung Bonjol (Sumatra Barat)
[63] Singamangaraja X dibunuh pada tahun 1830 oleh kaum Padri.
[64] Yang dimaksud dengan orang Bonjol adalah para Padri.
[65]
Sibolga, Barus, dan Singkel merupakan pusat pemerintahan Belanda di
pantai barat Sumatra bagian utara. Singkel pada tahun 1873 tersambung
kabel telegram.
[66]
Secara formal sebagian pulau Sumatra berada di bawah kekuasaan Britania
Raya. Dengan Perjanjian London (1824) Inggris dengan terpaksa melepas
wilayah ini yang kemudian jatuh kepada Belanda.
[67] an\se ‘Anse’ dalam bahasa Batak diucapkan Atse atau Ace[h]. Kata Soripada berasal dari bahasa Sanskerta sri pati.
[68] Upas, dari bahasa Belanda Opzier ‘Pengawas’ adalah semacam polisi pribumi.
[69]
Obaja (Raja Pontas Lumban Tobing) adalah orang Batak pertama yang
dibaptis dan sering menemani para penginjil dalam perjalanannya. Pada
tahun 1873 ia mendampingi Heine, Johannsen, dan Mohri ke Danau Toba
(lihat BRMG 1882 (7), hal. 198-202)
[70] Tertulis: Singa Maharaja
[71] Tertulis: Pitu Bosi
[72] Yang dimaksud di sini ubi rambat yang dalam bahasa Batak disebut gadong.
[73] Agaknya salah ketik untuk Ompu ni Mardopang.
[74] Pasukan tambahan yang dipersenjatai Belanda.
[75] “Reisfelder” bisa merujuk kepada sawah atau ladang yang ditanami padi.
[76] Yang dimaksud barangkali Pohan.
[77]
Kata schmierig yang digunakan di sini berarti, secara harfiah, ‘licin’.
Kalau digunakan untuk orang, schmierig bisa berarti jorok, tetapi juga
licik, dan tak senonoh.
[78]
Hochtoba ‘Toba Tinggi’ adalah sebuah dataran tinggi yang terletak arah
barat daya dari Danau Toba dengan ketinggian rata-rata 1100m. Arah ke
barat dari dataran tinggi itu terletak pegunungan yang tertutup dengan
hutan rimba.
Sumber:
http://ulikozok.wordpress.com/peran-zending-dalam-perang-toba/nommensen/
No comments:
Post a Comment