Cerita dari Balik Kabut Bakkara
“Terimakasih kami ucapkan kepada sahala raja kami
Sisingamangaraja, singa yang melampaui tapi tidak terlampaui, dari Tanah
Bakkara utara hingga selatan, yang berdindingkan gunung, bertiraikan
embun, yang memiliki balai pandan, balai pasogit, balai adat, balai
hukum, balai persembahan kepada Mula Jadi Na Bolon, yang penuh keadilan,
dasar semua ukuran, mempunyai hukum yang tiada oleng ke atas maupun ke
bawah…”
----------------
Sosok itu hadir dari balik kabut perbukitan Bakkara “tanpa” tanggal
lahir, tapi punya tanggal kematian yang tegas dan abadi. Satu insiden
pada 17 Juni 1907 yang sangat heroik di kaki Gunung Sitapangon dekat
Pearaja, Sionom Hudon, menjadi pembuka mata orang-orang yang
ditinggalkannya. Ia gugur demi sebuah pesan dan meninggalkan dua kata
sebagai warisan: “Ahu Sisingamangaraja!” (Aku Sisingamangaraja!).
Setelah peluru Belanda bersarang di tubuhnya, Raja Sisingamangaraja XII
menghembuskan napas terakhir bersama putera-puterinya, masing-masing
Patuan Nagari, Patuan Anggi, dan Lopian. Dia mengucapkan namanya sendiri
dengan tegas sebagai pertanggungjawaban penuh yang bersih dan
bermartabat atas segala apa yang dilakukannya selama perang panjang
antara tahun 1878 sampai 1907 bersama panglima-panglimanya. Ia kemudian
ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena melawan kolonialisme
Belanda.
Tapi kali ini, setelah 100 tahun kematiannya, mari memandang
Sisingamangaraja lebih dari sekadar sosok perlawanan fisik, pajangan
buku sejarah, atau patung berkuda di taman kota. Mari memandangnya
sebagai manusia saja. Sebagai manusia biasa.
Sisingamangaraja adalah sosok yang penuh dengan hasrat spritual, sosial,
hasrat politik, dan ambisi-ambisi tertentu. Dalam seminar “Peringatan
100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII” yang
diselenggarakan di Medan, sejumlah pakar lokal sudah mulai membuka
wacana-wacana yang lebih halus dan hidup tentang Sisingamangaraja.
Irwansyah Harahap, misalnya, membongkar berbagai makna relijius dan
estetika di balik kesenian musik pengikut Parmalim yang pernah dipimpin
Raja Sisingamangaraja XII dan dinasti pendahulunya. Dari sini, bisa
diketahui bahwa Sisingamangaraja pada awalnya bukanlah sosok bersenjata
dengan angkatan perang yang besar. Beliau lebih condong sebagai pemimpin
spritual yang karena kebijakan dan kearifan keluarganya secara turun
temurun, mereka dianggap sebagai pemimpin ajaran Tuhan.
Di tengah masyarakat Parmalim, tidak dikenal adanya sekularisasi atau
pemisahan aspek sosial dan spritual. Dari tonggo (nyanyian/syair pujian)
di awal tulisan ini, tampak bahwa sang pemimpin spritual, yaitu Raja
Sisingamangaraja, juga adalah hakim yang adil, memiliki kedudukan
politik, dan menguasai lembaga-lembaga (balai-balai) pemerintahan maupun
ketuhanan.
Tapi ada satu hal yang unik dengan kedudukannya tersebut. Bila para raja
di belahan dunia lain cenderung mempertahankan tradisi lama untuk
menjamin kekuasaannya, Sisingamangaraja XII justru menjadi agent of
change di daerahnya. Dia membebaskan budak-budak (pasungan) karena dia
memiliki pandangan kesamaan hak untuk merdeka dalam diri manusia. Dia
juga berjiwa egaliter dan sosial karena selalu menyempatkan diri
mengobati orang yang sakit meskipun itu dalam keadaan perang.
Bahkan di dalam makalah yang disusun oleh Dr. phil. Ichwan Azhari, MS,
Sisingamangaraja XII juga digambarkan sebagai pembaharu politik di Tanah
Batak untuk menjawab perubahan-perubahan besar di sekelilingnya,
seperti intervensi Islam dari selatan, missionaris Jerman ke pedalaman,
perluasan kolonialisme Belanda di Sumatera, perang Aceh, hingga
pertumbuhan kapitalisme yang demikian pesat di Sumatera Timur. Munculnya
konsep “raja merempat” adalah hasil adaptasinya dari sistem politik di
Aceh. Demikian juga strategi pertempuran melawan pasukan Belanda yang
canggih.
Sebelumnya, sistem adat Batak tidak memberikan satu kekuasaan yang
sentral pada seseorang. Hal ini disebabkan manifestasi “dalihan na
tolu”, di mana hubungan marga dan sistem perkawinan telah membentuk
kekuasaan politik yang terfragmentasi kecil-kecil, yakni sebatas
kekuasaan keluarga atau desa.
Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak juga menuliskan secara menarik satu
fakta tentang kesetaraan jender yang dipahami Sisingamangaraja XII,
khususnya dalam kedudukan bela negara. Ia menyetujui pembentukan pasukan
inong di Ronggur ni Huta, puncak bukit tertinggi di Pulau Samosir.
Pasukan yang terdiri dari anak gadis dan ibu-ibu ini menyertainya
bertempur habis-habisan hingga ke Sionom Hudon, Dairi.
Melihat berbagai latar ini, penghargaan terhadap Sisingamangaraja XII
tidak dapat lagi dibatasi pada wilayah perjuangan fisik, tapi juga
nilai-nilai yang sangat universal, yang pada saat ini justru menjadi
isu-isu yang mahal, seumpama jender, kesehatan, persatuan, dan kerukunan
beragama. Sisingamangaraja tidak bertempur atas nama keluarga, agama,
atau kepentingan politik yang sempit. Dia malah berhubungan baik dengan
Aceh, berkirim surat dengan missionaris Nommensen, berhubungan baik
dengan raja-raja di sekitar Silindung, dan menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan. Tapi Sisingamangaraja XII rela bertempur 30 tahun melawan
keinginan serakah kolonialis yang ingin menguasai dan membatasi
pilihan-pilihan bangsa Batak untuk menentukan nasibnya. Mengapa ada
orang yang berkorban melakukan itu? Karena dia adalah Sisingamangaraja
XII, orang nomor satu di Tanah Batak.
***
Sisingamangaraja XII mewarisi kedudukan ayahnya dengan gelar Ompu Pulo
Batu. Dinasti mereka memimpin rakyat di Bakkara, sebuah lembah yang
indah di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera
Utara.
Lembah di dekat Muara ini adalah sebuah teritori yang terdiri dari
beberapa dusun dan desa, sekitar 18 km dari Dolok Sanggul, ibu kota
Humbang Hasundutan. Bila Anda turun dari Dolok Sanggul, maka perjalanan
akan melewati lereng-lereng yang curam dan hanya ditumbuhi rumput dan
pinus. Di bagian atas, terkadang kabut menghalangi semua pemandangan.
Tetapi ketika tirai putih itu sirna, maka lembah Bakkara akan muncul
seperti permadani yang berbatasan langsung dengan Danau Toba.
Bakkara dibelah oleh dua aliran sungai besar yang berair deras. Sungai
terbesar adalah Aek Silang yang bersumber dari air terjun yang tercurah
dari bentangan perbukitan. Sungai kedua yang lebih kecil bernama Aek
Simangira. Keduanya mengaliri beberapa desa dan bermuara di Danau Toba.
Di pinggiran kedua sungai inilah Sisingamangaraja XII lahir. Tidak ada
yang istimewa di sana kecuali rumah-rumah tradisional, Istana
Sisingamangaraja, persawahan, bawang merah dan kacang tanah. Mereka
hidup secara sederhana tapi tidak pernah kekurangan.
Selain merupakan tanah kelahiran Sisingamangaraja, Bakkara juga dikenal
karena Aek Sipangolu (air yang menghidupkan). Konon, jika seseorang
terkena penyakit, ia akan sembuh apabila berendam atau meminum air dari
Aek Sipangolu, sebuah sumber air yang keluar dari batu dan mengalir
sepanjang masa. Airnya segar, jernih dan bermuara di Danau Toba.
Bila orang menyebut Sisingamangaraja XII sebagai Raja Orang Batak, itu
tidak merujuk pada kekuasaan politik, tapi sebagai imam yang dipercaya
orang Batak pada saat itu. Raja Sisingamangaraja XII memegang jabatan
Imam Agama Parmalim. Gelar Sisingamangaraja adalah gelar kelompok turun
temurun yang memiliki wibawa (sahala), pendeta raja (priester konig)
dari cabang marga Sinambela.
Raja Sisingamangaraja XII diperkirakan lahir tahun 1849 di Bakkara, dan
diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya,
Sisingamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Pada
masa pemerintahannya, kegiatan zending Kristen dari Jerman sedang
berlangsung di Tapanuli. Demikian juga hubungan bangsa Batak dengan Aceh
terjalin baik. Tapi kemudian kolonialisme Belanda mulai memasuki daerah
Tapanuli.
Melihat situasi yang tidak baik bagi masa depan dan kebebasan bangsa
Batak, Sisingamangaraja mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta
panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak. Perang urat syaraf
dan upaya negosiasi meningkat di kedua belah pihak. Setelah pilihan
damai menemui jalan buntu, maka pada 19 Februari 1878 Sisingamangaraja
XII menyerang pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung.
Pertempuran itu menewaskan banyak penduduk dan pasukan Sisingamangaraja
mundur. Perjuangannya berlanjut dengan basis desa-desa yang belum tunduk
pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige.
Belanda mengejar sampai ke desa-desa itu, membakar rumah, dan menawan
raja-raja desa. Akibatnya, eskalasi pertempuran makin luas.
Pada pertempuran kedua di Balige, Sisingamangaraja XII terkena peluru di
atas lengan. Kuda putihnya, Si Hapas Pili, mati demi tuannya. Perang
dilanjutkan dengan gerilya. Sisingamangaraja terpaksa berpindah-pindah
dari Balige ke Bakkara, Huta Paung, Lintong (kampung mertuanya, Ompu
Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara. Begitulah
berulang-ulang.
Pada suatu ketika, Belanda menyerbu Lintong ketika Sisingamangaraja
berlindung di kampung istrinya itu. Pertempuran yang tidak seimbang
memaksa ia dan pasukannya mundur jauh hingga ke Dairi. Di daerah ini,
selama 21 tahun, mereka tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan
Belanda. Sebagai gantinya, ia mulai membuat aliansi untuk membangun
kekuatan baru. Sisingamangaraja lewat utusan-utusannya melakukan
kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan raja-raja kampung
(huta) di Tapanuli. Dengan memantik semangat mereka, perlawanan oleh
raja-raja kampung terhadap Belanda kerap terjadi.
Merasa sangat terganggu, pasukan Belanda melakukan pengejaran intensif
selama tiga tahun. Ia dicari hidup atau mati setelah menolak tawaran
Belanda untuk menjadikannya sebagai Sultan Batak. Sisingamangaraja XII
tidak tertarik dijadikan sebagai penguasa boneka di bawah ketiak
penjajah, karena yang diperjuangkannya sejak semula bukanlah kekuasaan,
tapi kemerdekaan dan persamaan hak di antara bangsa-bangsa, khususnya
antara si lomlom mata (orang bermata hitam) dan si bontar mata (orang
bermata putih, maksudnya bangsa Eropa).
Dalam sebuah pengepungan dan pertempuran jarak dekat, para panglimanya
dari Aceh dan hampir seluruh keluarganya bertekad bulat untuk
mempertahankan martabat dan nilai-nilai yang dijunjungnya hingga mati.
Mereka bertahan di hutan daerah Simsim, di kaki Gunung Sitapangon,
kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon. Daerah ini disebut
Sionom Hudon karena dikuasai enam marga yaitu Tinambunan, Tumanggor,
Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun. Mereka pun gugur, termasuk
puterinya, Boru Lopian, yang masih berusia 17 tahun.
Mayat Sisingamangaraja XII mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian
dipindahkan ke Sopo Surung, Balige. Selain putera-puteri dan
panglimanya, anggota keluarga lain yang gugur sepanjang gerilya adalah
abangnya Ompu Parlopuk, isterinya Boru Situmorang, dan Pulo Batu, cucu
tersulung yang sangat disayanginya dari Patuan Nagari. Mereka sakit dan
keletihan selama perang berlangsung.
Konon, peluru yang menembus tubuh Sisingamangaraja berasal dari bedil
yang ditembakkan Kapten Christoffel yang dijuluki sebagai “Si Macan
Aceh”, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan
serdadu bayaran. Pada tahun 1906, ia menjadi warga negara Belanda dan
ditugaskan menumpas perlawanan Sisingamangaraja.
Kapten Christoffel melaporkan gugurnya Raja Sisingamangaraja ke Gubernur
Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor dengan membawa bukti berupa Piso Gaja
Dompak beserta stempel kerajaan. Dalam satu versi, stempel kerajaan dan
Piso Gaja Dompak itu secara resmi diberikan oleh Bataviaaschap
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu
Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada
Museum di Gedung Gajah (sekarang Jalan Merdeka Barat) dengan tanda nomor
13425.
Tapi dari versi lain, beberapa anggota keluarga Sisingamangaraja XII
mengklaim bahwa Piso Gaja Dompak yang sesungguhnya masih disimpan
anggota keluarga, yakni salah seorang dari pihak boru (pihak anak
perempuan). Sebuah mitos menyebutkan, pisau itu menghilang ke langit.
Piso Gaja Dompak adalah sebilah keris kehormatan yang panjangnya sekitar
60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga
Sisingamangaraja, pusaka ini diberikan turun temurun sejak
Sisingamangaraja I, yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama
stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dalam
pemerintahan Raja Sisingamangaraja I sampai ke XII.
Inilah cerita dari balik kabut Bakkara. Sebuah cerita tentang anak
manusia Batak yang membela nilai-nilai kebebasan dan HAM di masanya.
Sebuah cerita yang indah, penuh pesan dan pelajaran budi pekerti. Yang
kini dilupakan keturunannya sendiri. Amangoooi amang!
(sebagian materi tulisan ini dirangkum dari situs resmi pemkab humbang
hasundutan, toba samosir, dan tapanuli utara)
teks oleh tikwan raya siregar
foto oleh putra perwira lubis.
Sumber:
http://insidesumatera.com/?open=view&newsid=531&go=Cerita%20dari%20Balik%20Kabut%20Bakkara
No comments:
Post a Comment