Sunday, May 6, 2012

Ulos Tradisional Buatan Tangan Nyaris Punah


Ulos Tradisional Buatan Tangan Nyaris Punah


Laporan Reporter Tribun Medan Medan, Arifin Al Alamudi
Ulos Tradisional Buatan Tangan Nyaris Punah

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Pada kehidupan sehari-hari, kita masih sering melihat masyarakat Batak menggunakan kain ulos di sejumlah acara. Misalnya pergi beribadah ataupun untuk mnghadiri acara adat.
Sebenarnya, sebagian besar ulos yang dipakai tersebut adalah ulos buatan pabrik. Kualitasnya tentu jauh di bawah ulos tradisional buatan tangan. Namun, akibat keberadaan ulos buatan pubrik tersebut, ulos buatan tangan pun terancam punah.
Kisah ini bukan dongeng. Ini diceritakan oleh putra kelahiran Tarutung, Torang MT Sitorus saat bertemu di satu warung kopi di Kota Medan beberapa waktu lalu.
Nama Torang tentu tidak asing. Saat ini ia satu dari sedikit Putra Batak yang masih mau berjuang untuk mempertahankan kepunahan ulos asli buatan tangan.
Menurutnya, saat ini ulos memang masih memiliki status istimewa dalam kebudayaan batak. Tetapi ulos buatan pabrikan, sebenarnya seringkali menafikan prinsip-prinsip adat.
"Tren inilah yang membuat posisi ulos yang dulunya sakral saat ini sudah terdegradasi karena diproduksi secara massal, bisa dibeli di mana saja dengan harga murah," ujar Torang.
Bayangkan saja, ulos pabrikan hanya dijual Rp 50 ribu. Sedangkan ulos tenunan dengan benah alami harganya ratusan ribu rupiah. Bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.
Melihat keadaan ini, pria 34 tahun ini pun terpanggil. Mengembalikan kesakralan ulos di masyarakat Batak. Menjadikan ulos sebagai benda yang penting yang kerap digunakan pada semua aktifitas. Mulai dari lahir, menikah hingga meninggal dunia.
Sejak saat itulah ia memulai perburuannya. Berburu ulos tenunan. Sekitar tahun 2004. "Setiap ada waktu luang saya pergi ke daerah-daerah batak untuk mencari ulos. Biasanya yang pertama saya lakukan adalah menemui orangtua di daerah itu dan mencari tahu tentang ulos di sana," ungkapnya.
Hasilnya positif, ia menemukan beberapa ulos tua hasil tenunan. Seperti ulos sadum, pinunsaan, mangiring, bintang maratur, sitoluntuho, sibolang, surisuri, tumtuman, ragihotang, ragidup dan lain sebagainya.
Dari orangtua itu pula Torang mendapat pengetahuan baru tentang bagaimana sejarah dan fungsi ulos-ulos tersebut. Tak kurang dari 50 jenis ulos tua saat ini sudah berhasil ia kumpulkan.
Ulos-ulos itulah yang digunakannya untuk pameran di Kota Medan. Seperti di Cambridge dan terakhir pada Pesta Rakyat 31 Desember 2011 di Taman Sri Deli.
Perburuan tak berhenti sampai di situ. Hingga saat ini ia masih terus berburu ulos serta memikirkan cara untuk memamerkan ulos-ulos tersebut. Hanya demi satu tujuan, agar ulos tenunan tidak punah.

Editor: Hasiolan Eko P Gultom  |  Sumber: Tribun Medan
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com


Sumber:

No comments:

Post a Comment