Ulos itu budaya kami
Ulos merupakan keterampilan seni yang menyatu dalam budaya Batak serta mendapat posisi istimewa, karena selendang adat yang unik itu menjadi identitas tidak terpisahkan dari masyarakat Tapanuli.
"Proses pengerjaan ulos tidak mudah dan membutuhkan ketelitian, ketelatenan serta keahlian khusus, sehingga tidak sembarang orang dapat membuat ulos bernilai seni tinggi," kata Rosliana Hutagaol, pengrajin Ulos di Desa Meat, Kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Menurutnya, hanya lewat sentuhan tangan ahli maka ulos akan menjadi nampak lebih indah dalam perpaduan benang warna-warni yang berseni tinggi.
Dikatakannya, peranan Ulos akan terlihat semakin jelas, terutama saat penyelenggaraan acara adat, sebab fungsi kain tenunan ikat khas Tapanuli itu merupakan lambang ikatan kasih sayang bagi masyarakat Batak.
Ulos, kata Roslina, biasanya terdiri atas tiga bagian. Yaitu, dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan proses yang cukup rumit.
Bagian tengah ulos, lanjutnya, juga terbagi tiga. Bagian pertama, disebut sebagai badan, letaknya berada pas di tengah-tengah. Dua bagian lain, yakni ujung (tempat pigura lelaki disebut "pinarhalak hana" dan ujung tempat pigura perempuan disebut "pinarhalak boru-boru").
Dijelaskan, setiap pigura diberi aneka ragam lukisan, seperti "antinganting sigumang", "batuhi ansimun", dan lainnya.
"Profesi sebagai penenun ulos sudah saya geluti hampir selama 37 tahun, sejak masih gadis remaja hingga memiliki anak cucu seperti sekarang," kata Roslina, yang juga istri Kepala Desa Meat itu.
Ia mengaku, selain dirinya, penduduk di wilayah setempat juga banyak yang memilih bertenun ulos sebagai sumber mata pencaharian, dan mereka memasarkan hasil tenunannya ke kota Balige, ibukota Kabupaten, yang berjarak sekitar 12 kilometer dari desa dimaksud.
Dari dulu, kata dia, desa tersebut memang sudah terkenal dengan ulosnya yang bermutu tinggi. Keahlian membuat ulos mereka peroleh sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang yang tetap mereka pertahankan, karena hasilnya memang menjanjikan.
"Sehelai ulos jenis 'ragi hotang' berukuran panjang hampir dua meter dapat Saya kerjakan dalam waktu tiga hari dan setiap bulan bisa dijual hingga sepuluh helai ke pasar Balige, dengan harga berkisar Rp400.000,- per helai," kata Roslina.
Editor: ANGGRAINI LUBIS
(dat01/antara)
Ulos merupakan keterampilan seni yang menyatu dalam budaya Batak serta mendapat posisi istimewa, karena selendang adat yang unik itu menjadi identitas tidak terpisahkan dari masyarakat Tapanuli.
"Proses pengerjaan ulos tidak mudah dan membutuhkan ketelitian, ketelatenan serta keahlian khusus, sehingga tidak sembarang orang dapat membuat ulos bernilai seni tinggi," kata Rosliana Hutagaol, pengrajin Ulos di Desa Meat, Kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Menurutnya, hanya lewat sentuhan tangan ahli maka ulos akan menjadi nampak lebih indah dalam perpaduan benang warna-warni yang berseni tinggi.
Dikatakannya, peranan Ulos akan terlihat semakin jelas, terutama saat penyelenggaraan acara adat, sebab fungsi kain tenunan ikat khas Tapanuli itu merupakan lambang ikatan kasih sayang bagi masyarakat Batak.
Ulos, kata Roslina, biasanya terdiri atas tiga bagian. Yaitu, dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan proses yang cukup rumit.
Bagian tengah ulos, lanjutnya, juga terbagi tiga. Bagian pertama, disebut sebagai badan, letaknya berada pas di tengah-tengah. Dua bagian lain, yakni ujung (tempat pigura lelaki disebut "pinarhalak hana" dan ujung tempat pigura perempuan disebut "pinarhalak boru-boru").
Dijelaskan, setiap pigura diberi aneka ragam lukisan, seperti "antinganting sigumang", "batuhi ansimun", dan lainnya.
"Profesi sebagai penenun ulos sudah saya geluti hampir selama 37 tahun, sejak masih gadis remaja hingga memiliki anak cucu seperti sekarang," kata Roslina, yang juga istri Kepala Desa Meat itu.
Ia mengaku, selain dirinya, penduduk di wilayah setempat juga banyak yang memilih bertenun ulos sebagai sumber mata pencaharian, dan mereka memasarkan hasil tenunannya ke kota Balige, ibukota Kabupaten, yang berjarak sekitar 12 kilometer dari desa dimaksud.
Dari dulu, kata dia, desa tersebut memang sudah terkenal dengan ulosnya yang bermutu tinggi. Keahlian membuat ulos mereka peroleh sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang yang tetap mereka pertahankan, karena hasilnya memang menjanjikan.
"Sehelai ulos jenis 'ragi hotang' berukuran panjang hampir dua meter dapat Saya kerjakan dalam waktu tiga hari dan setiap bulan bisa dijual hingga sepuluh helai ke pasar Balige, dengan harga berkisar Rp400.000,- per helai," kata Roslina.
Editor: ANGGRAINI LUBIS
(dat01/antara)
Sumber:
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=212243:ulos-itu-budaya-kami&catid=66:pariwisata&Itemid=50
No comments:
Post a Comment