Thursday, May 17, 2012

SITUS LOBU DOLOK, MAKAM KUNO DI KAWASAN PADANG LAWAS SEKITAR ABAD KE-17 MASEHI



SITUS LOBU DOLOK, MAKAM KUNO
DI KAWASAN PADANG LAWAS SEKITAR ABAD KE-17 MASEHI

Sukawati Susetyo
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Abstract
As a sacred tomb, Lobu Dolok is not maintained properly. This is because the tomb is 
situated on a hilltop. Although the sacred, none of people know who is buried and 
what the meaning of these remains. This article attempts to make an interpretation 
based on signs left by the form of inscriptions, statues of women and men as well as 
a relief of vulva. 

Kata kunci: Makam Lobu Dolok, interpretasi, tanda





1. Pendahuluan
Makam kuno  Lobu1 Dolok terdapat di Dusun Aek Tolong Tonga, Desa Aek Tolong, 
Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Di 
samping makam Lobu Dolok ini, di tepian daerah aliran sungai (DAS) Sirumambe juga 
dijumpai peninggalan serupa (berbentuk makam) - berturut-turut dari yang jarak paling dekat 
hingga menjauhi Makam Lobu Dolok- adalah Makam Aek Tolong Huta Jae, Aek Korsik, 
Padang Bujur dan Situs Batugana. Secara umum makam-makam yang terdapat di DAS 
Sirumambe berada di kawasan Padang Lawas yang dikenal dengan tinggalan arkeologis 
berupa biaro-biaro dan prasasti dari masa Hindu-Buddha.

Bila dibandingkan dengan keempat situs lainnya yang menempati area tanah dataran, maka 
keistimewaan Situs Lobu Dolok adalah letaknya yang berada di puncak bukit. Sedangkan jika 
ditinjau dari bentuk denahnya,  makam Lobu Dolok dan makam Aek Tolong Huta Jae 
berbentuk segi empat, sedangkan makam Batugana berbentuk huruf U, Padang Bujur dan 
Aek Korsik berbentuk lingkaran.

Berdasarkan data-data tersebut maka permasalahan yang muncul adalah: Mengapa makam 
Lobu Dolok berada di atas bukit ? Berdasarkan tanda-tanda yang ditinggalkan, apakah dapat 
diketahui makna dan kronologi Situs Makam Lobu Dolok ?


2. Pendekatan
Penelitian yang telah dilakukan pada Situs Makam Lobu Dolok dengan melakukan
wawancara pada beberapa orang tua di desa, tidak didapatkan keterangan yang dapat 
mengungkapkan makna yang terkandung pada situs tersebut  -karena penduduk setempat 
tidak mengetahuinya-. Interpretasi dilakukan berdasarkan tanda-tanda/simbol yang terdapat 
    _________________                                                  
1
  Lobu dalam bahasa Batak berarti kampung lama yang ditinggalkan.Situs Lobu Dolok, Makam Kuna di Kawasan Padang Lawas….  (Sukawati Susetyo) 275
_________________________________________________________________________________



pada situs. Oleh karena digunakan tanda/simbol maka pendekatan yang dilakukan adalah
semiotik.


Semiotik adalah teori dan analisis berbagai tanda  (signs) dan pemaknaan  (signification).

Sementara orang menganggap semiotik terbatas hanya sebagai alat analisis, oleh karena itu
sebagian orang menganggap semiotik sebagai ancangan  (approach). Di samping itu ada
juga yang menganggap semiotik sebagai metode dan cabang ilmu (Hidayat, 2004: 76). Salah
seorang pelopor semiotika, Charles Sanders Peirce (1857-1913) berpendapat bahwa tanda
(signe) adalah alat informasi, dan mengacu pada suatu objek, baik objek konkrit maupun
khayalan. Pengalaman dan daya pikir seseorang memegang peranan penting dalam
menginterpretasikan tanda. Dalam studi Peirce tanda disebut  representamen, sedangkan
gagasan yang menafsirkannya disebut  interpretant.  Representamen yang mewakili atau
merepresentasikan tanda mengungkapkan makna jika gagasan atau konsepnya dapat
dihubungkan dengan sesuatu yang lain yang sudah ada dalam pikiran interpreternya. Apa
yang diacu oleh tanda disebut object (designatum, denotatum) atau referent (acuan) (Husein,
2004: 268).

Tanda yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah:  keletakan situs yang berada di puncak
bukit, terdapatnya relief tokoh, relief vulva, dan relief gorga, di samping itu juga tiga prasasti
yang digoreskan pada batu menggunakan aksara dan bahasa Batak. Seperti diketahui
bahwa prasasti merupakan catatan penting yang dianggap dapat mewakili keadaan saat
prasasti itu dibuat. Melalui pendekatan semiotik diharapkan dapat menjawab permasalahan
di atas.

3. Makam-makam kuno
Makam kuno Lobu Dolok secara astronomis berada pada 1º28,22’ LU 99º32,40’ BT. 2
Situs tersebut dikeramatkan oleh penduduk, terletak di puncak bukit dengan ketinggian + 240
meter di atas permukaan laut (dpl), jarak situs ke sungai terdekat yaitu Sungai Sirumambe
sekitar 500 meter. Permukiman penduduk desa Aek Tolong berada pada + 150 meter dpl.,
atau di kaki bukit Lobu Dolok. Bukit yang dilalui menuju situs cukup terjal dengan kemiringan
sekitar 45º, yang pada bagian lerengnya ditanami pohon karet. Pada saat penulis
mengadakan penelitian, keadaan makam ditumbuhi semak belukar yang cukup tinggi
sehingga agak menyulitkan kegiatan penelitian. Meskipun dikeramatkan tetapi makam
tersebut tidak cukup mendapat perawatan oleh penduduk, mungkin karena lokasinya yang
sulit dijangkau. Penduduk sekitar hanya memberikan pernyataan bahwa kedua makam
tersebut adalah makam nenek moyang mereka.
 _______________                                                    
2
Situs Lobu Dolok berada di daerah Padang Lawas, suatu kawasan dengan situs dari masa Hindu Buddha
yang luasnya sekitar 1500 km², tinggalannya berbentuk bangunan candi (biaro) setidaknya berjumlah 16 biaro.

_______________________________________________________________________________



Kedua makam tersebut berdenah persegi empat di bagian pinggirnya ditanam lempengan
batu pipih, dengan ukuran batu tidak sama. Susunan batu seperti ini mengingatkan kita pada
tatanan batu jaman megalitik.  Kedua makam berorientasi 20º utara yang dipisahkan oleh
jarak 17,5 meter. Untuk selanjutnya masing-masing makam disebut Lobu Dolok 1 dan Lobu
Dolok 2.
Makam Lobu Dolok 1 berdenah persegi panjang berukuran 3 X 6 meter, di sekelilingnya
ditancapkan lempengan batu-batu dengan ukuran tidak sama. Satu lempengan batu pada sisi
baratlaut dipahatkan tokoh laki-laki dengan pemahatan sangat sederhana, sedangkan
lempengan batu di kanan kirinya bertuliskan aksara Batak Kuno yang disebut Prasasti Lobu
Dolok 1 dan 2.  Pada satu lempengan batu di bagian
tengah sisi selatan dipahatkan tokoh wanita dengan
penggambaran sederhana, di belakang relief tersebut
terdapat pahatan lengkung mirip “prabha”
3
. Selain itu
masih terdapat satu batu bertulisan pada makam ini
yang selanjutnya disebut Prasasti Lobu Dolok 3. Berikut
adalah transkripsi prasasti Lobu Dolok 1, 2 dan 3
(Setianingsih, dkk., 2003):
Transkripsi:
1. Prasasti 1: ga tak di bana
2. Prasasti 2: para dat
3. Prasasti 3: paru hum
artinya:
1. Prasasti 1: sirihkanlah saya
2. Prasasti 2: yang melakukan adat/yang mengikuti adat
3. Prasasti 3: yang melakukan hukum/yang mengikuti hukum
Selanjutnya makam Lobu Dolok 2 berdenah persegi panjang dengan ukuran 7,2 X 4 meter.
Batu-batu pembatas makam berukuran tidak sama. Pada salah satu lempengan batu di sisi
                                                     
3
Prabha merupakan tanda kedewaan yang biasanya dipahatkan mengelilingi kepala arca dewa pada masa
Hindu-Buddha.  Prabha masih berlanjut pada masyarakat beragama (Kristen dan Islam) yang disebut  halo
(sirascakra).

________________________________________________________________________________




selatan dipahatkan motif gorga, yaitu motif hias yang sering dijumpai pada rumah adat Batak.
Salah satu lempengan batu di sisi barat yang berukuran 33 X 34 cm dipahatkan motif vulva.
Salah satu makam di sekitar DAS Sirumambe yang lokasinya tidak jauh dari Situs Lobu
Dolok adalah Makam Aek Tolong Hutajae. Makam itu terdapat di Dusun Aek Tolong Huta
Jae, Desa Aek Tolong. Tinggalan budaya pada situs ini berupa bangunan “megalitik” yang
terdiri dari susunan beberapa papan batu membentuk segi empat berukuran 5,5 X 4,5 meter,
dengan orientasi 37 utara. Situs ini berada pada ketinggian +162 meter dpl.
Kemudian makam Aek Korsik (1º27,26’  LS  99º 32,13’ BT) secara administratif terletak di
Dusun Aek Korsik, Desa Aek Tolong, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas
Utara, dengan ketinggian sekitar + 130 meter dpl. Situs tersebut berbentuk makam yang
terdiri dari lempengan batu putih dengan susunan melingkar dan pada bagian tengahnya
terdapat batu tegak dengan bagian atas agak melengkung (Foto 4).
Foto 4. Makam Aek Korsik
Menurut keterangan penduduk setempat makam Aek Korsik adalah makam leluhur mereka
yaitu Jama i Taon dan kedua anaknya. Makam Jama i Taon berada di sebelah timur laut
makam anak pertama, sedangkan makam anak kedua terletak di tenggara makam anak
pertama. Makam Jama i Taon berukuran 10 X 4 meter dan berjarak 10,5 meter dari makam
anak pertama. Makam anak pertama berukuran 5,4 X 4,3 meter dan berjarak 2 meter dari
makam anak kedua. Makam anak kedua berukuran 6 X 5 meter.
Situs Padang Bujur (1º25,46’ LS 99º30,70’ BT) secara administratif termasuk dalam Desa
Padang Bujur, Kecamatan Padang Bolak Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara. Secara
topografis berada pada tanah dataran, 200 meter di sebelah utara makam tersebut mengalir
Sungai Sirumambe. Pada situs tersebut terdapat 2 tinggalan yang menempati dua lokasi
terpisah dengan jarak sekitar 100 meter. Tinggalan yang pertama berupa bangunan



_______________________________________________________________________________



“megalitik” yang terdiri dari susunan papan-papan batu, sedangkan tinggalan yang lain
berupa  lapik  stambha berbentuk lingkaran yang di sekelilingnya dipahatkan  padma dan
banaspati (kepala kālā).
Bangunan makam Padang Bujur sudah diberi cungkup, makam disusun oleh 15 lempengan
batu dengan susunan menyerupai bangunan megalitik dengan denah berbentuk huruf U.
Ukuran dari sisi utara ke sisi selatan 4,5 meter, dan ukuran dari sisi barat ke timur 6,3 meter.
Satu lempengan batu dipahatkan relief ular dan satu lainnya relief dua ekor biawak yang saling
bertolak belakang. Prasasti tersebut menyebutkan nama Raja Soritaon (Schnitger, 1938). Batu
dengan relief sepasang biawak berada di sudut timurlaut, terdapat prasasti dengan aksara
Batak. Sedangkan papan batu dengan pahatan relief ular berada di sudut baratdaya.
 
         Foto 5. Makam Padang Bujur                                            Foto 6. Makam Batu Gana
Situs Batugana secara administratif terletak di Desa Batugana, Kecamatan Padang Bolak,
Kabupaten Padang Lawas Utara, pada ketinggian +130 meter dpl. dan berada pada tanah
dataran. Situs Batugana berupa bangunan makam berbentuk bangunan megalitik yang terdiri
dari papan-papan batu disusun membentuk denah empat persegi panjang membujur arah
timur-barat berukuran 4,7 X 7,2 meter. Masing-masing batu mempunyai ukuran berbeda,
namun ketebalannya hampir sama yaitu 10 cm. Pada salah satu papan batu yang terletak di
sisi barat terdapat tulisan dengan bahasa Batak dan aksara Batak Kuno. Secara ringkas
prasasti tersebut berisi tentang peringatan kepada penduduk supaya tidak melanggar
peraturan yang sudah ditetapkan, namun tidak diterangkan siapa yang dimakamkan
(Setianingsih, dkk., 2003: 49)
4. Interpretasi tanda pada Makam Lobu Dolok
Lokasi penelitian yang dikaji dalam tulisan ini berada pada pemukiman yang dihuni oleh etnis
Batak. Oleh karena itu yang menjadi acuan adalah konsep kepercayaan terhadap
penguburan pada masyarakat Batak.  Sebelum masuk pengaruh agama Hindu, Islam, dan
Kristen, masyarakat Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah  dewa-dewa.
Kepercayaan yang dianut oleh etnis Batak kuno adalah kepercayaan kepada arwah leluhur

_______________________________________________________________________________



serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati seperti gunung, pohon, dan
batu dipercayai memiliki tondi (roh) yang kalau dianggap keramat akan dijadikan tempat yang
sakral (tempat sembahan). Masyarakat Batak juga percaya kepada arwah leluhur yang dapat
menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka bagi manusia. Penghormatan dan
penyembahan yang dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan dan
kesejahteraan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia
ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia (Napitupulu, 1964).
Pikiran masyarakat Batak yang animisme tersebut lebih peka terhadap kegiatan roh (begu)
oleh karena itu mereka menyebut dirinya sipelebegu (pemuja roh). Begu mencakup roh orang
yang sudah mati dan roh-roh alam, yang dapat digolongkan ke dalam roh-roh yang jahat
yang dapat menyusahkan orang-, atau roh yang jika disembah dan diberi sesajen dapat
dibujuk untuk memberikan berkat duniawi. Roh-roh inilah yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari, dan sebagian besar penduduk menggantungkan nasib kepadanya, agar terhindar
dari penyakit pada hewan/manusia, kematian pada saat melahirkan, bencana alam, dan lainlain.  Begu yang ditakuti adalah yang  berasal dari orang yang mati mendadak, yang tidak
mempunyai anak, dan wanita yang meninggal karena melahirkan, penderita kusta, atau
orang bunuh diri. Kepada  begu yang dianggap jahat dan menakutkan ini tidak diberikan
sesajen (Vergouwen, 1986: 81--82).
Dari uraian mengenai adanya pemujaan terhadap roh pada masyarakat Batak, maka diduga
makam kuno Lobu Dolok dahulu merupakan makam leluhur yang dipuja karena dipercaya
dapat memberikan berkah bagi yang memujanya. Asumsi ini didasarkan pada adanya
prasasti yang berbunyi:  ga tak di ba na  yang artinya  “sirihkanlah saya”. Kalimat tersebut
mengindikasikan bahwa pembuat prasasti meminta kepada anak cucunya supaya selalu
mengingat dan menghormati leluhur mereka yang dimakamkan tersebut. Caranya adalah
dengan memberikan sesaji/persembahan. Adapun relief yang dipahatkan yang
menggambarkan tokoh laki-laki dan wanita pada batu di situs tersebut mungkin adalah tokoh
yang dimaksudkan  –untuk dipuja- meskipun sukar untuk menyimpulkan bahwa
perwujudannya seperti penggambarannya dalam relief itu.
Adanya kepercayaan  animisme/dinamisme pada masyarakat Batak juga diketahui dari
naskah-naskah Batak Kuno. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, kepercayaan
yang dianut merupakan pembauran antara dua unsur, yaitu kepercayaan jaman megalitik
dengan kepercayaan masa Hindu-Buddha (Hasibuan, 1985). Wujud kepercayaan tersebut
berupa pemujaan terhadap arca leluhur (nenek moyang)  (Laon na Bolon) yang diarcakan
dalam bentuk tokoh laki-laki dan perempuan sebagai pelindung untuk menanggulangi
kesulitan/masalah yang dihadapi oleh marga tertentu, desa atau keluarga. Karena fungsinya



_______________________________________________________________________________



sebagai pelindung kampung dan sawah dari serangan musuh maka pada masa Megalitik
arca tokoh sering ditempatkan di suatu tempat, misalnya di pinggir kampung, di bawah pohon
beringin, di atas bukit dan di tepi sungai. Masyarakat percaya bahwa arca tersebut dapat
dihidupkan lewat upacara dengan memberi pupuk pada lubang yang disediakan di dalam
tubuh arca. Lewat suatu upacara akan timbul kekuatan untuk mengusir musuh atau roh-roh
jahat (Simanjuntak, 1977).
Selain prasasti yang menyebutkan agar melakukan persembahan/sesajian, dua prasasti
lainnya bertulisan: para dat (= yang melaksanakan/mengikuti adat) dan paru hum (=  yang
melaksanakan/mengikuti) hukum. Prasasti tersebut dimaksudkan agar masyarakat selalu
patuh dan mengikuti aturan (hukum) adat yang berlaku. Hukum adat adalah hukum yang
dibuat oleh masyarakat adat agar tercipta ketertiban pada masyarakat tersebut. Dari studi
mengenai hukum adat masyarakat Batak Toba yang dilakukan oleh Vergouwen diketahui
bahwa dalam pranata kehidupan sehari-hari masyarakat Batak diatur oleh hukum adat yang
meliputi kekerabatan, hukum perkawinan, warisan, hak pemilikan tanah, hukum yang
berkaitan dengan hutang piutang, dan lain-lain (Vergouwen, 1986). Tampaknya hukum adat
tersebut sudah dimiliki oleh penduduk dalam waktu yang sangat lama, saat situs Lobu Dolok
masih difungsikan.
Cukup menarik adalah adanya pahatan  “vulva” pada salah satu batu pada makam Lobu
Dolok 2. Penggambaran  vulva sebagai  simbol kesuburan adalah sesuatu yang universal,
yang tidak hanya di jumpai di Indonesia.
4
Terdapatnya pahatan  vulva pada situs ini
tampaknya merupakan simbol permohonan agar daerah tempat mereka tinggal selalu
dikaruniai kesuburan sehingga tetap dapat melangsungkan kehidupan.
Dalam seni hias pada masa Hindu Buddha, simbol alat kelamin wanita biasanya
berpasangan dengan alat kelamin laki-laki misalnya relief pada gapura Candi Sukuh. Relief di
Candi Sukuh tersebut selain mengandung  sengkalan memet  yang menunjukkan
pertanggalan, juga berfungsi sebagai “suwuk” yaitu pengusir roh jahat. Motif alat kelamin lakilaki dan perempuan yang dimaksudkan sebagai pengusir roh jahat seperti ini telah ada sejak
jaman Prasejarah, contohnya pada sukubangsa Dayak yang disebut  motif hiasan  kelot
(Padmapuspita, tt: 12--13). Bertolak dari pendapat tersebut maka di samping sebagai simbol
kesuburan pemahatan relief  vulva pada situs Lobu Dolok dapat dikaitkan juga sebagai
penolak bala/pengusir roh jahat.
                                                     
4
Vulva sebagai lambang bumi (kesuburan) juga dijumpai di Peru, New York, periksa Hall, 1991.


_______________________________________________________________________________



Di antara tatanan batu pada Makam Lobu Dolok 2, terdapat suatu batu dengan pahatan relief
bermotif sulur dikombinasikan dengan hiasan geometris. Motif ini menyerupai motif “gorga”
yang banyak dijumpai pada bagian depan (dan samping) rumah adat Batak, juga pada
bangunan kubur yang bercorak prasejarah maupun modern. Adapun motif sulur merupakan
salah satu unsur asli yang pertama kali ditemukan pada budaya paleometalik Dongson, di
samping motif-motif asli lainnya seperti spiral atau pilin berganda, hiasan geometris berupa
segi empat, bulatan, tumpal, dan belah ketupat. Motif sulur ini oleh masyarakat Batak sering
disebut “andar ni tao”, karena bentuknya yang menyerupai rumput danau atau rumput laut
(Simanjuntak, dkk., 1996: 41).
Seperti sudah dipaparkan di muka bahwa keistimewaan Situs Lobu Dolok dari situs-situs lain
di sepanjang DAS Sirumambe adalah lokasinya yang berada di puncak bukit. Pemakaman di
bukit (tempat yang tinggi/ditinggikan) sudah ada sejak jaman Megalitik. Tradisi menempatkan
makam pada tempat yang tinggi seperti pada bukit, berkaitan dengan kepercayaan tempat
roh para leluhur yang “bersemayam” di gunung atau tempat yang tinggi.
Mengenai gambaran bahwa roh pelindung desa berada di puncak gunung dan sewaktuwaktu dapat dimintai pertolongan terdapat di hampir seluruh pulau di Indonesia. Nama roh
tadi biasanya disebut  Hyang, dan itu tercermin pada nama-nama gunung-gunung di
Indonesia misalnya Parahyangan (Priyangan), Dihyang (Dieng), Saŋ Hyaŋ to Langkir yang
bersemayam di Gunung Agung Bali dan lain-lain (Padmapuspita, tt).
Penempatan makam di puncak bukit atau di tempat yang tinggi (ditinggikan) juga dijumpai
pada saat orang sudah mengenal agama Islam dan Kristen. Di dalam hukum Islam
disebutkan mengenai hal-hal yang dianjurkan dan hal-hal yang terlarang. Salah satu cara
penguburan yang baik dan termasuk  sunnah dikemukakan oleh Kramers sebagai berikut:
“Kubur lebih baik ditinggikan dari tanah di sekitarnya, agar supaya diketahui” (Hadist ini
dikemukakan oleh Baihaqi) (Ambary, 1986). Beberapa makam kuno di Sumatera yang

_______________________________________________________________________________




terletak di atas bukit, misalnya makam Cot-Asana (Samudra Pasai), Komplek Makam Sultan
Daya di Lamno, Makam Papan Tinggi dan Bukit Mahligai (Barus). Di Jawa juga banyak
makam yang terletak di atas bukit misalnya Gunung Jati (Cirebon), Imogiri (Yogyakarta),
Makam Giri (Gresik) dan lain-lain (Ambary, 1986: 148). Sedangkan makam-makam sebagian
orang Batak pada saat ini terletak di bukit-bukit atau tempat yang ditinggikan seperti tambak
dan tugu, yang dijumpai di Pulau Samosir dan sekitarnya.
Makam Lobu Dolok berorientasi ke utara-selatan, demikian juga makam yang ditemui di Aek
Tolong Huta Jae. Makam yang orientasinya utara-selatan mengindikasikan bahwa makam
tersebut berasal dari masa sesudah mendapat pengaruh agama Islam. Dari data ini
barangkali kronologi situs dapat ditempatkan pada masa sesudah agama Islam masuk di
daerah tersebut. Meskipun pendukung situs sudah menganut agama (Islam) namun
kepercayaan asli mereka yang bersumber pada tradisi nenek moyang mereka masih dianut.
Penduduk yang tinggal di sekitar Situs Lobu Dolok pada saat ini beragama Islam, seperti
halnya mayoritas penduduk suku Batak Mandailing pada umumnya.
Kronologi situs terbantu oleh adanya Prasasti Lobu Dolok yang bertuliskan aksara Batak
Kuno. Jenis aksara yang muncul mulai sekitar abad ke-17 Masehi di beberapa wilayah
Nusantara merupakan perkembangan dari aksara turunan India.
5
Aksara lokal tersebut
merupakan kelanjutan dari huruf turunan India, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya suatu
inskripsi dari Si Topayan, Padang Lawas. Aksara yang digunakan adalah prototype aksara
Batak atau merupakan aksara peralihan dari aksara Jawa Kuno akhir ke aksara lokal
Sumatera (Hardiati, 2002: 5). Prasasti Lobu Dolok menggunakan aksara Batak Kuno. Oleh
karena itu diduga bahwa prasasti  –dan situs- tersebut berasal abad ke-17 Masehi, atau
sesudahnya.
5. Penutup
Situs Lobu Dolok berupa makam yang disusun dari lempengan batu menyerupai tatanan batu
jaman Megalitik, situs ini berada di puncak bukit. Dari lempengan batu penyusunnya di
antaranya ada yang berpahatkan relief tokoh, relief vulva dan relief motif gorga. Di samping
itu juga terdapat tiga lempengan batu yang bertuliskan bahasa dan aksara Batak Kuno.
Tinggalan yang ada tersebut dikaitkan dengan kepercayaan kuno masyarakat setempat
terhadap arwah leluhur. Tokoh yang dipuja pada makam ini adalah tokoh yang diyakini dapat
                                                     
5
Setidaknya ada 3 kelompok aksara yaitu yang berkembang di Sumatera: Aceh, Batak, Rejang, dan Lampung;
di Jawa: Jawa, Sunda dan Bali; di Sulawesi: Bugis, Mandar, Makassar. Kelompok Jawa, Bali dan Sunda
bentuk aksaranya masih dekat dengan pendahulunya, yaitu Jawa Kuno, sedangkan kelompok Sumatera dan
Sulawesi berbentuk lebih runcing dan tampak adanya penyederhanaan bentuk.

______________________________________________________________________________



memberikan kebahagiaan, oleh karena itu masyarakat dianjurkan untuk memberikan
persembahan, hal ini sesuai dengan apa yang dituliskan dalam Prasasti Lobu Dolok 1.
Kepustakaan
Ambary, Hasan Muarif 1986. “Unsur Tradisi Pra-Islam pada Sistem Pemakaman Islam di Indonesia”,
dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV II.a Aspek Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Penelitian
Purbakala, hlm. 139--155
Hall, Robert L 1991. “The Material Symbols of the Winnebago Sky and Eart Moities” in The Meanings
of Things Material Culture and Symbolic Expression. (ed. I Hodder). London: Harper Collins
Academic, hlm. 179--184
Hardiati, Endang Sri 2002 “Perkembangan Aksara di Indonesia”. Pameran Perkembangan Aksara di
Indonesia. Jakarta: Museum Nasional, hlm. 1--6
Hasibuan, Jamaludin 1985. Seni Budaya Batak/Art et Culture Batak. Jakarta: PT. Jayakarta Agung
Hidayat, Rahayu Surtiati 2004 “Semiotik dan Bidang Ilmu” dalam  Semiotika Budaya.  Penyunting
Tommy Christomy dan Untung Yuwono. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, hlm. 77--85
Husein, Ida Sundari 2004 “Papan Nama Usaha di Prancis Studi Kebahasaan dan Semiotika” dalam
Semiotika Budaya.  Penyunting Tommy Christomy dan Untung Yuwono. Depok: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Indonesia, hlm. 268
Padmapuspita, Ki tt, Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Napitupulu 1964. Suatu Studi Tentang Suku Batak (Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, pakpak
Dairi-Karo). Medan: Napitupulu and Sons
Napitupulu, Mangantar dan Marhuaso Sigiro 1996.  Penuntun Praktis Pemakaian AKSARA BATAK.
Jakarta: Pustaka Nagiro
Schnitger, F.M. 1938. Forgotten Kingdom in Sumatera. Leiden: E.J. Brill. Gambar VII.2
Setianingsih, Rita Margaretha, Ery Soedewo, Deni Sutrisna, S. Purba, 2003,  Berita Penelitian
Arkeologi No. 10, Prasasti dan Bentuk Pertulisan Lain di Wilayah Kerja Balai Arkeologi Medan,
Medan: Balar Medan
Simanjuntak, Harry Truman, dkk 1996. Laporan Penelitian Megalitik dan Ethnografi di Pulau Samosir,
Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Hlm. 5-6. Medan: Balar Medan, tidak
diterbitkan
Simanjuntak, Ompu Buntilan 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Compagny
Suleiman, Satyawati 1976. Laporan Survei Sumatera Utara, Berita Penelitian Purbakala No. 4. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Susetyo, Sukawati dan Bambang Budi Utomo 2002  Penelitian Permukiman  Kuno Kompleks
Percandian Padang Lawas di Tepian Daerah Aliran Sungai Sirumambe. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi, Laporan Penelitian, tidak diterbitkan
Vergouwen, J.C. 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Judul Asli The Social Organisation
and Customary Law of The Toba Batak of Northern Sumatera. Jakarta: Pustaka Aset

_______________________________________________________________________________




Sumber:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/132610274283.pdf

No comments:

Post a Comment