Friday, May 4, 2012

“Saya Orang Batak”, Sebuah Perspektif


“Saya Orang Batak”, Sebuah Perspektif

Saya mendapatkan respon atas tulisan saya berjudul “Jika Anda Orang Batak, Katakan Pada Anak Anda Dia Orang Batak”. Tulisan itu jujur sebuah perspektif pribadi dari pengalaman pribadi. Saya berharap tidak menyinggung siapapun. Kalau dibaca teliti, tulisan itu sebenarnya tidak mendorong semua orang yang masuk dalam kategori Antropologi sebagai “Suku Bangsa Batak” untuk menyebut diri mereka “orang batak”. Tulisan itu menyarankan agar mereka (yang merasa) “orang batak” memberitahu anak-anak mereka bahwa mereka “orang batak”. Tak ada gunanya berdebat jika anda bukan orang batak atau merasa bukan orang batak. Saya coba ulas semua masukan yang saya terima.

Jonson Tarigan, sahabat saya yang sedang mengambil S3 di New York, dan selalu menyebut dirinya “orang batak” dalam emailnya mengatakan: “gejala sosial budaya Batak urban yang kau gambarkan di blog mu itu dalam konteks yang hampir sama sudah jadi indikator perpecahan bangsa batak sejak jaman nenek moyang kita. Sub-kultur yang satu mengatakan berbeda dari lainnya, atau merasa lebih unggul dari lainnya, dan menganggap lebih pimitif yang lainnya. Di kampungku, sebutan orang Batak itu ya hanya untuk orang Toba.”
Ita Damanik, sahabat saya semasa kuliah di S1 merespon singkat: “I am Batak, Batak Simalungun!” Sementara sahabat lain mengatakan: “tanah leluhurku, tanah Simalungun, bukan tanah batak!. Arimbi Nasution, sahabat “french club” saya yang berjilbab itu mengatakan: “Aku tak pernah tahu ada, sebutan lain selain “orang Batak”. Aku orang Batak Mandailing.

Inangtua (Tante) saya yang br. Siregar (Angkola), menjelaskan bahwa jaman nenek moyang dulu ada ejekan sinis: “muda kayo, han sipirok, muda miskin han toba” artinya, “kalau kaya pasti dari Sipirok, kalau miskin pasti dari Toba.” “Ketika banyak sastrawan Batak Selatan seperti Madong Lubis, Mochtar Lubis atau ilmuwan Dr. Diapari Siregar sudah mahsyur pada masa penjajahan, banyak orang Batak dulu mengaku orang Selatan.”, kata Inangtua yang berusia 70-an dan lahir di Jakarta itu.

Saya juga mendapat beberapa email panjang lebar yang tidak dengan blak-blakan mengatakan “kami bukan orang Batak”, tapi dengan kesimpulan pendek mengatakan bahwa sebutan “orang Batak” itu hanya untuk orang Batak Toba. Email lain mengatakan, bahwa hanya orang Tapanuli saja yang disebut “orang batak” dan orang non-Tapanuli tidak menyebut diri mereka “orang Batak”. Sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa memang ada perbedaan perspektif (non-ilmiah) diantara kelompok masyarakat Suku Bangsa Batak. Indikasinya, panggilan “batak” mengacu pada sub-kultur batak Toba, yang konotasinya dimata sub-kultur lain adalah “batak tulen”.

Saya melihat bahwa krisis identitas orang batak menjadi indikator perpecahan suku bangsa batak sejak jaman opung-opung kita. Orang-orang Batak yang mengalami krisis identitas itu ada disekitar kita. Mengenali dan meng-identifikasinya sangat mudah; ciri-ciri mereka adalah; tidak mengakui identitas batak, menghilangkan marga, menjauh dari komunitas dan budaya batak, berpura-pura tidak dapat berbahasa batak, mengatakan dirinya sudah “sangat jawa”, “sangat sunda”, “sangat barat”, “sangat manado”, sudah berpendididikan asing, tidak pernah tahu kampung halaman, dsb. Mereka takut terkonotasi dengan persepsi peradaban terbelakang sebagai orang “batak tulen“. They are around you and me.

Tanah Batak Tanah Leluhur
Saya menyebut tanah leluhur saya adalah Samosir, karena betapa luasnya Tanah Batak. Menurut Tarombo (silsilah) Marga Sinaga, Saya adalah generasi ke-17 Marga Sinaga, dihitung dari tokoh bernama Raja Toga Sinaga (Sinaga Pertama), hidup sekitar abad ke 15. Sebagian besar buyut kandung saya dikubur di Samosir, sebagian lagi dikubur dan beranak pinak hingga hari ini di Tanah Simalungun, berserak dari Siantar hingga Tanah Jawa atau keluar Sumatra. (Yupp, ada Tanah Jawa di Tanah Simalungun). Sepupu-sepupu saya di Simalungun itu (ada yang sudah mencapai generasi ke 22) sebagian beragama Islam.
Lalu, mengapa disebut Tanah Batak? Apa Sejarahnya ?

Tanah Batak
Pusuk Buhit di Tapanuli (Tapanuli kemudian mekar menjadi beberapa kabupaten) dipercaya sebagai tempat awal Suku Bangsa Batak pertama yang beranak pinak pada sekitar abad 13. Pemerintah Belanda menamakan wilayah itu sebagai Centraal Batakland yang artinya Tanah Pusat Suku Bangsa Batak atau Tanah Batak atau Tano Batak (Lance Castle, “Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, 1970).

Suku bangsa Batak secara geografis melakukan penyebaran dan berserak pada wilayah-wilayah tertentu dan menjadi “Tuan Tanah” atau “Landlord “ atas tanah-tanah kediaman mereka tersebut. Pemujaan atas tanah-tanah mulia itu dikenal lewat sebutan Tanah Simalungun, Tanah Karo, Tanah Mandailing. Beberapa literature menjelaskan sejumlah hasil penelitian Genealogi (asal-usul) yang menunjukkan, terjadinya migrasi orang Batak secara konsisten yang berawal dari sekitar Danau Toba (Lance Castle, “Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, 1970).

Tiga tahun terakhir ini saya addicted mempelajari buku-buku dan literature yang ditulis oleh Anthropologist, Sociologist, Linguist dan beberapa budayawan mengenai Suku Bangsa Batak, 1 dari 19 peta suku bangsa terbesar di Indonesia yang penggolongannya didasarkan pada lingkaran hukum adat yang dibuat oleh Van Vollenhoven (B. Ter Haar, Adat Law in Indonesia, New York, New York Institute of Pacific Relations, 1984).

Saya juga mempelajari Tarombo (Silsilah), mulai Tarombo Si Raja Batak, yang dipercaya orang Batak sebagai cikal bakal Suku Bangsa Batak), serta beberapa Tarombo Marga. Saya tidak berniat untuk memperdebatkan apa yang sudah ditulis dan sudah di-research selama beratus tahun oleh para Anthropologist, Linguist dan Sociologist, Missionarist terdahulu. Mungkin perlu 20 tahun tambahan, plus 10 orang profesor dan sekitar 100 team, untuk secara Anthropology, Genealogy, Ethnology, Sociology, Linguistic, Socio-Linguistic, meneliti ulang asal-usul orang batak, penyebarannya secara geografis, ekonomis, sosiologis, menelaah tingkah laku sosial- budaya-linguistik mereka, menetapkan parameter measurement serta menarik kesimpulan atas siapa yang disebut “suku bangsa Batak”. Jadi saya ambil dari literature yang sudah ada saja.
Siapakah orang Batak? Who are they?

Definisi “Orang Batak”
Pada perspektif saya, pada saat ini ada 2 definisi “orang Batak”;
1. Mereka yang menurut Antropologi termasuk Suku Bangsa Batak (Definisi ilmiah)
2. Mereka yang mengaku/merasa Orang Batak (Definisi bukan ilmiah)
Saya katakan “saya orang Batak”, karena berdasarkan definisi ilmiah dan bukan ilmiah, saya tergolong orang Batak.

Suku Bangsa Batak
Antropologi mengenal “Batak ethnic group” atau “suku bangsa Batak” sebagai suku bangsa yang secara geografis berasal/mendiami wilayah-wilayah yang mereka sebut sebagai “tanah” (“land”) itu, dengan 5 sub-culture atau sub-ethnic Group sbb:
sub-ethnic group atau sub-culture Suku Bangsa Batak ;
Batak Mandailing, mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukotanya Padang Sidempuan) dan sekitarnya. Lokasinya dekat dengan Sumatera Barat.
Batak Toba mendiami wilayah yang mencakup Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.
Batak Karo mendiami Kabupaten Karo yang lokasinya sudah dekat dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, khususnya kabupaten Aceh Tenggara.
Batak Simalungun mendiami wilayah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya
Batak Pakpak mendiami wilayah Kabupaten Dairi dan sekitarnya.

Jadi sah-sah saja jika kemudian kelima sub-kultur didalam kesuku-bangsaan Batak itu mengatakan diri mereka atau menyebut sub-kultur satu dengan lainnya sebagai Orang Mandailing, Orang Toba, Orang Karo, Orang Simalungun, atau Orang Pakpak atau bahkan terdefinisikan oleh kotak-kotak sub-sub-kultur lebih kecil berdasarkan kelompok klan/marga sebagai Orang Angkola atau Orang Selatan atau Orang Samosir (Par Samosir), orang Si Lindung (Par Silindung), Orang Balige (Par Balige). Orang-orang batak ini juga sudah kawin-mawin antar sub-culture dan berserak ke seluruh penjuru dunia.

Lalu apakah artinya kita bukan berakar dari satu rumpun Suku Bangsa Batak? Kita Bukan orang Batak?
“Indikator perpecahan suku bangsa batak sudah ada sejak jaman nenek moyang”, kata Jonson Tarigan sahabat saya.

Sesama orang Jawa memperkenalkan diri mereka dengan identitas orang Solo, orang Yogja, orang Suroboyo, orang Cirebon. Tetapi bukan berarti mereka bukan orang Jawa. Mereka juga sering menekankan kata Jawa didepan daerah asalnya. “Aku Jawa Cirebon!”. Betapapun berbedanya budaya Cirebon dengan budaya Solo, dan budaya Jawa Timur dengan Tengah, mereka tetap “Wong Jowo”

Identifikasi “Saya orang Batak” saya katakan jika lawan bicara saya sesama orang Indonesia menanyakan asal kesukuan saya. Bukan untuk pemujaan kesukuan/etnosentris. Ketika ditanyakan oleh sesama orang batak, tentu saya akan mengatakan: “oh, Opungku orang Samosir, pulau ditengah Danau Toba, tepatnya Lontung dimana rumah opungku berdiri hingga hari ini sejak tahun 1880-an.”

But again, it is my perspective! Perspektif yang mungkin dilihat oleh sesama orang yang merasa “orang Batak” dimanapun dan dari wilayah geografis manapun mereka berasal. Tentunya harus dengan spirit “kita punya banyak kesamaan” dan bukannya spirit “kita punya perbedaan”. Saya sama sekali tidak berniat untuk mempermasalahkan perspektif sebagian orang yang menganggap bahwa rumpun suku bangsanya bukanlah Suku Bangsa Batak. Berbeda? It’s OK!
—————————————————————————————————
Reference
1. B. Ter haar, Adat Law in Indonesia, New York, New York Institute of Pacific Relations, 1984
2. Bruce Warner, Missions as Advocate of Cultural Change Among the Batak People of Sumatra, MA Miss, 1972
3. Harahap. E St., Perihal Bangsa Batak: Bagian Bahasa. Jawatan Kebudayaan, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1960
4. Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Karesidenan di Sumatera, Tapanuli, Grafika 1970
5. Lehmann, Martin E., Bibliographical Study of Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1918), Pioneer Missionary to the Bataks of Sumatra, London Publisher,1996
6. Joustra, M., Karo-Bataks Woordenboek. Leiden, Brill, 1907. (English Version), 1970
7. Drs. Richard Sinaga, Leluhur Marga-Marga Batak Dalam Sejarah Silsilah dan Legenda, Dian Utama, Cetakan ke-2, Jakarta, 1997
8. Baharuddin Aritonang, Orang Batak Naik Haji, Gramedia, 2002
9. Harahap M.D., Adat Istiadat Tapanuli Selatan, Rafindo Utama, Jakarta.
10. Harahap B. Hamidi. 1979. Jalur Migrasi Orang Purba di Tapanuli Selatan. Majalah Selecta no. 917.
11. Paul Radin, Primitive Man as Philosopher, London British Museum, 1980
12. Hutagalung, W.M., Tarombo Dohot Turi-Turian Ni Bangso Batak, Tulus Jaya, Jakarta, 1990
13. Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaannya, Grafindo, Jakarta, 1982
14. Team Anjungan Sumut, Tarombo Si Raja Batak, Media Taman Mini Indonesia Indah, 1991
15. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Rineka Cipta 1996
———————————————————————————————————————-This writing is dedicated to: Gorga Hosa Deo Sinaga and Tondi Halomoan Raja Sinaga, those young men, my nephews who might have not been told that they are orang Batak
Penulis : Tika Sinaga (July 5, 2006)
Sumber : Tika Sinaga’s Blog


2 comments:

  1. saya orang jawa..saya belum pernah ke sumatra utara..tapi saya suka lagu-lagu batak..salam horas dari jawa lae !

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini, kiranya dapat lebih jauh mengenal Batak dan harapan saya bahwa blog ini dapat menghantarkan anda untuk pengenalan awal mengingat blog ini diusahakan lebih lengkap. Salam ...

    ReplyDelete