Gambara
Majalah Warisan Indonesia bekerjasama dengan Gambara pada kesempatan acara Gambara Roadshow Medan yang lalu mengadakan Talkshow bertema  ‘Saatnya, Selamatkan Artefak Warisan Budaya Sumatera Utara’.
Talkshow ini bertujuan untuk pemeliharaan warisan budaya, membangun kesadaran akan pentingnya  penyebaran informasi mengenai temuan-temuan arkeologi yang  teruji keabsahannya dengan dukungan kompetensi, meningkatkan peran pemerintah sebagai penangung jawab utama proses pemeliharaan & pewarisan budaya untuk generasi mendatang, merealisasikan kemitraan antar pemerintah dan non-pemerintah lainnya sesuai perkembangan masa kini dalam membangun Indonesia yang berwawasan budaya, mendorong tindakan nyata bagi semua pihak dalam rangka pentingnya pemeliharaan & pengembangan kebudayaan (terus menjaga proses pewarisan budaya).
Talkshow ini menghadirkan tiga pembicara sebagai berikut:
  1. Prof. Dr. Mundardjito – Bapak Arkeologi Indonesia, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
  1. Dr. Rita Margaretha Setianingsih M.Hum, Peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Peneliti di Akademi Pariwisata Medan.
  1. Drs. Ketut Wiradnyana M.Si, Peneliti Arkeologi Prasejarah di Balai Arkeologi Medan.
Prof. Dr. Mundardjito berbicara tentang Pembangunan berwawasan Pelestarian dan Pelestarian berwawasan Pembangunan; Konsep pelestarian masa kini; Warisan Budaya untuk semua; Nilai penting cagar budaya; Pergeseran orientasi penelitian arkeologi dan pelestarian cagar budaya; Pergeseran orientasi kebijakan.
Dengan mengambil acuan pada situasi di SumUt, berkenaan dengan kondisi artefak yang berada di luar negeri. Penanganan kebijakan pemerintah daerah bagi tinggalan warisan budaya. Selain, pentingnya penelitian arkeologi dalam dukungan kebijakan      pemerintah dan kepentingan perusahaan (ekonomi) sebagai wujud kearifan lokal.
Berikut adalah inti dari tema yang dihadirkan oleh Profesor Mudardjito:
  • Heritage for All – Warisan budaya untuk semua : untuk siapa à nasional, propinsi, lokal?
  • Harus ada penilaian/kajian pada setiap level tersebut.
  • Masalah konflik kepentingan, perlunya dukungan terintegrasi di pemerintah. Misalnya, Muaro Jambi yang terancam oleh pertambangan batu bara itu.
  • Pembangunan Fisik, kebutuhan ekonomi dan publik harus sejalan dengan pembangunan budaya.
  • Politik dan pelestarian kebudayaan juga harus saling bersinergi. Pelestarian juga tidak hanya perlindungan fisik, tapi juga kekuatan hukum.
  • Masalah artefak di luar negeri, sudah kehilangan konteksnya. Sehingga, sulit mengurutnya kembali. Selain, sebagian juga dulunya merupakan hadiah, upeti, dsb. – dalam hak yang susah diurus kembali.
  • Belum lagi, seberapa siap kita di Indonesia menanganinya. Sementara, yang di depan mata/masih berserakan di negeri ini, begitu banyak yang harus diurus.
Presentasi Ibu. Rita Margaretha Setianingsih mengetengahkan ‘Artefak Sumatera Utara dalam dimensi kepariwisataan. Mendukung peran   museum, preservasi, konservasi, dan kajian, serta informasi budaya bagi publik.’
Membahas berbagai tinggalan baru di wilayah SumUt yang belum sempat        ditangani secara menyeluruh, khususnya bagi perlindungannya terhadap keamanan         benda-benda tsb. Sejauh mana upaya pemerintah dalam kepariwisataan bagi tinggalan purbakala. Termasuk, belum maksimalnya perlindungan dalam penanganan museum pemkot/pemda bagi benda-benda ini.
Dari sudut pandang Ibu. Rita Margaretha Setianingsih, berikut adalah beberapa esensi yang dapat diambil:
  • Paparan temuan arkeogi di wilayah Tapanuli Selatan, berupa artefak pra sejarah dan klasik. Ada yang bertuliskan aksara Batak Kuna.
  • Mengkawatirkan benda-benda yang lepasan itu, karena belum terlindungi (masih di area rawan pencurian/terbuka). Juga akan makin ‘aus karena ancaman alam.
  • Sekilas benda-benda koleksi museum negeri propinsi SumUt yang masih harus dikaji lebih lanjut, sehubungan dengan kaitannya dengan masyarakat tradisi Batak.
  • Penanganan pariwisata untuk temuan arkeologis di SumUt juga belum dioptimalkan.
  • Perlunya kepedulian masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pemeliharaan budaya Batak, sehingga dapat turut mengisi khasanah kelengkapan temuan arkeologinya. Misalnya : dari kajian aksara Batak tsb yang ditemui pada benda-benda di lapangan.
Sedangkan Bp. Ketut Wiradnyana berbicara tentang ‘Nilai-nilai kearifan lokal Artefak sebagai identitas lokal dankaitannya dengan  penanganan cagar budaya di wilayah Sumatera Utara.’
Berkaitan dengan pengalaman penanganan kepurbakalaan di Nias yang penting bagi khasanah budaya setempat.Temuan baru di Aceh yang tak kalah penting, untuk mengungkapkan perjalanan sejarah di wilayah tersebut, dan berikut adalah rangkuman presentasinya:
  • Masalah migrasi yang terjadi di Asia Tenggara, dan akhirnya juga sampai di Nias.
  • Identitas tinggalan budaya megalitik di Nias yang serba unik.
  • Kearifan lokal dalam masyarakat tradisi masa kini, banyak yang berkaitan dengan tinggalan masa silam. Misal : rumah tradisional, tradisi lesung batu, dsb.
  • Demikian halnya dengan tinggalan purbakala di Nias, menarik untuk menelusuri apa yang melatarbelakangi suatu temuan (megalitik) – berkaitan dengan perjalanan tradisi masyarakatnya.
  • Masalah pemalsuan benda-benda purbakala dari SumUt, masih terus terjadi.
  • Aspek budaya Batak belum dikaji lebih mendalam sehubungan dengan berbagai temuan arkeologis di wilayah SumUt (yang relevan).
  • Intinya aspek keterampilan, status sosial, siklus tertentu, dan symbol-simbol masyarakat tradisi erat berhubungan dengan para leluhurnya. Sehingga, temuan purbakala di wilayah SumUt tentunya juga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan kita dalam sejarah perjalanan budaya setempat.
  • Sekilas tentang temuan terakhir/pra sejatah yang sedang diteliti/digali di Takengon, Aceh.
Realita nasib Artefak Sumatera UtaraPada kenyataannya nasib artefak-artefak di Indonesia khususnya di Sumatera Utara memang sangat memprihatinkan. Dengan mengambil contoh artefak-artefak Nias, Ketut Wiradnyana menyebutkan bahwa sebanyak 4-5 jenis artefak Nias hilang atau dibawa keluar dari Nias dan ribuan lainnya tidak terawat. Bila tidak segera diperhatikan, sejumlah artefak Nias hanya bisa diketahui lewat dongeng.
Ketut Wiradnyana menjelaskan bahwa perjalanan artefak yang hilang ini melewati jalur dari Sumatera Barat-Bali. “Dari Bali artefak-artefak itu dibawa ke luar negeri. Ada sejumlah negara artefak ini dibawa dan terakhir di Jerman,” katanya.
Untuk mencegah terjadinya pencurian artefak di Nias, Ketut mengatakan, pemerintah harus melakukan upacara perubahan undang-undang. “Artefak ini ciri khas setiap daerah dan memiliki nilai budaya tersendiri. Pemerintah harus mengoperasikan dan memublikasikan nilai-nilai ini kepada masyarakat,” tuturnya.
Guru Besar Arkeolog Universitas Indonesia (UI), Prof DR Mundardjito, menimpali, artefak adalah suatu benda buatan manusia dan ditempatkan yang disebut sebagai situs. “Ini adalah hasil karya nenek moyang kita yang harus dilestarikan. Menyelamatkan, berarti upaya pelestarian. Jika kita ingin membangun di tempat situs bersejarah tertentu, harus diperhatikan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada,” katanya.
Jika hilang, katanya, situs-situs bersejarah ini tidak ada yang dapat dijelaskan kepada anak cucu dan generasi penerus bangsa. Artinya, ini bisa saja dianggap sebagai dongeng oleh generasi penerus nantinya. “Warisan budaya bukan hanya milik dosen, milik pemerintah, tetapi untuk semua, heritage for all,” sebutnya lagi.
Arkeolog tidak bisa memberikan “sumbangsih” untuk mendatangkan kembali artefak-artefak atau warisan budaya yang berada di luar negeri. Akan tetapi, arkeolog adalah orang-orang yang meneliti situs-situs sejarah tersebut dan mengajak semua pihak untuk melestarikannya dengan baik. (WI/Gambara/NBC-Ara)