Thursday, May 17, 2012

Catatan Tentang Mandailing Dari Kitab Majapahit


Catatan Tentang Mandailing Dari Kitab Majapahit

Dalam syair Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tidak bisa dipisahkan dalam menyelusuri Mandailing sebab dalam syair ke-13 Kakawin terdapat kata kampe Harw athawe Mandailing i Tumihang Parlak mwang i Barat. Dengan adanya kata Mandailing merupakan bukti sejarah bahwa Mandailing menjadi perhitungan di nusantara ini. Sebab keberadaan Mandailing memang dijuluki sebagai wilayah yang kuat dan solid dalam peradabannya. Sebab nama Mandailing memang tidak ada duanya di Indonesia ini, unik dan misteri lagi. Dalam abad ke-14 sekitar tahun 1365 orang mandailing memiliki peradaban yang maju sehingga menjadi perhitungan bagi raja-raja Jawa. Sebelum lahirnya kerajaan Majapahit Mandailing telah ada walau sebuah kampung yang dihuni oleh beberapa orang dengan rajanya. Sehingga lama kelamaan kerajaan ini menjadi besar dan lahirlah kerajaan Majapahit yang memang besar dan kuat. Kerajaan Mandailing pada waktu itu memang besar di akibatkan oleh adanya emas. Emas merupakan penghasilan penduduk sebab di wilayah ini memang kaya akan hasil tambangnya. Sehingga masyarakatnya makmur dan mampu menghidupkan dirinya sendiri. Tanpa harus expansi ke wilayah lain. Sehingga pada waktu itu Mandailing dikenal sebutan tano sere yang artinya tanah emas dalam cerita-cerita lama.

Daerah Mandailing Julu (kini disebut Kotanopan) sampai kini ditemukan tepat yang bernama garabak ni agom seperti di sekitar Huta na Godang. Nama itu diberikan kepada bekas tempat-tempat orang agam (Minangkabau) menambang mas di masa dahulu di Mandailing Julu, yaitu dekat Muarasipongi. Tano sere sebagai bukti Mandailing kaya dengan emas sehingga kerajaan Mandailing tetap jaya sebab tidak memerlukan bantuan dari wilayah lain untuk membangun kerajaannya. Nama Mandailing sebenarnya sudah disebut dalam kesusastraan Toba Tua yang klasik yang disebut di dalam Tonggo Tonggo Si Boru Deak Parajar yang terdiri dari 10 pasal. Di dalam kesusastraan tersebut tertulis Mandailing. Konon menurut cerita dalam buku Sutan Kumala Bulan yang ditulis oleh H. Mhd. Said menjelaskan sebagai berikut : Diperhatikan dari adanya bangunan bersejarah terdiri dari biaro-biaro di Padang Lawas dapat diyakini pertumbuhan masyarakat yang berbudaya di wilayah itu masih berabad-abad lebih tua dari zaman Prapanca. Serangan Rajendra Gola dari India di tahun 1023 – 24 M, antara lain ke Panai misalnya, menunjukkan perlunya suatu ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan tersebut.

Bila menyelusuri jejak kerajaan Mandailing tidak bisa lepas dari kerajaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Sebab semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua dengan adanya bukti-bukti candi-candi purba. Dengan serangan pasukan Majapahit karena melihat kerajaan Mandailing menjadi besar kemudian pusat pemerintahan kerajaan tersebut dipindahkan ke Piu di daerah Mandailing (dekat kota Panyabungan yang sekaang). Ini dibuktikan pada masa silam di daerah Pidoli ini terdapat juga candi-candi purba. Reruntuhan candi-candi masih membekas di beberapa tempat seperti di Saba Biaro Pidoli dan Simangambat yakni Pidoli terletak di Panyabungan dan Simangambat di Siabu. Dalam sebuah surat uang dikenal Surat Tumbago Holing berdasarkan informasi masyarakat memang ada tetapi belum diketahui orang. Menurut orang tua di daerah Mandailing bahwa surat Tumbago Hilang ialah surat perjanjian yang dibuat oleh seorang raja di Mandailing dengan Belanda. Bila surat itu ada berarti baru lahir abad ke XIX. Rasanya terlalu mudah kejadiannya. Namun ada yang menafsirkan Surat Tumbago Holing ini ialah surat Emas dari bangsa Keling suatu surat yang isinya mengajarkan kebaikan kepada masyarakat di tempat itu zaman dahulu kala sedangkan dari agama Hindu merupakan surat perjanjian yang berbentuk undang-undang untuk dihayati yang bersumber dari buku kepercayaan mereka. Konon dari cerita legenda yang berkembang sampai kini dan masih dipercaya masyarakat setempat pada zaman dahulu kala di mana pagi masih berkabut. Langit terlihat remang-remang berselimut awan kelabu. Burung-burung mulai berkicau menyambut sang surya di ufuk timur. Saat itu terlihat ibu-ibu dan gadis-gadis tanggung pergi ke tepian.

Apakah Penduduk Disana Sampai Sekarang Masih Penduduk Asli Dari Kerajaan Mandailing Tersebut?

Jawabannya adalah tidak!
Marga seperti Lubis, Nasution, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Matondang, dll odalah sama sekali bukan orang asli dari kerajaan Mandailing seperti yang diceritakan diatas. Orang-orang bermarga itu adalah sesungguhnya bangsa Batak yang berasal dari pedalaman tanah Toba namun kemudian mereka bermigrasi ke arah selatan hingga sampai dan mendiami tanah Mandailing.
Masyarakat Mandailing yang ada di cerita Negarakertagama itu bukan leluhurnya orang-orang di Tanah Mandailing sekarang, candi-candi yang ada di sana bukanlah buatan leluhur masyarakat yang mendiami tanah Mandailing sekarang, bahkan tulisan yang tertulis di peninggalan-peninggalan tersebut pun bukan tulisan orang Mandailing yang dikenal sekarang (yang dikenal juga dengan aksara Batak Mandailing). Maka masyarakat Mandailing Kertagama tersebut boleh jadi orang-orang India dan Lubu yang punya tradisi membuat Candi sedangkan orang Batak Mandailing yang memiliki marga itu yang kemudian datang kemudian menggantikan wilayah mereka.

Orang Batak Mandailing Ditinjau Dari Segi Antropologi

Menurut Bapak Antropologi Indonesia yaitu Koentjaraningrat, ada beberapa elemen pokok yang harus dicermati dalam menentukan hubungan antar etnik atau suatu suku bangsa. antara lain: bahasa, adat istiadat, sistim kemasyarakatan, dan lain-lain. Akomodasi , asimilasi , akulturasi dan integrasi merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubungan antar suku-bangsa. Adalah salah bila menganggap bangsa Mandailing merupakan suku sendiri terpisah dari bangsa Batak dengan alasan memiliki akar budaya dan adat istiadat sendiri, adanya beberapa perbedaan pada adat dan budaya hanya dikarenakan adanya asimilasi budaya dimana terjadi perpaduan budaya antara budaya Batak Toba (sebagai induk budaya) terhadap budaya dari sekitar wilayah Tanah Mandailing.  Banyak sekali kesamaan budaya Batak Mandailing dengan budaya Batak lainnya, seperti adanya  akar budaya Dalihan Na Tolu, Ulos, aksara atau tulisan yang hampir sama, bahasa yang mirip, sapaan kata Horas, dan banyak lagi persamaan lainnya. Kesamaan lebih banyak bisa ditemukan terutama antara  budaya Batak Mandailing terutama dengan budaya Batak Toba.


Sumber:
http://roysianipar.wordpress.com/catatan-tentang-mandailing-dari-kitab-majapahit/

No comments:

Post a Comment