Sisingamangaraja XII dan Perang Batak 1
Raja Si Singamangaraja XII Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu
Raja Sisingamangaraja XII (Bakara, Tapanuli, 1849 – Simsim, Tano Batak, 17 Juni 1907); memiliki nama asli Patuan Bosar Ompu Pulo Batu. Sisingamangaraja XII adalah seorang penguasa di daerah Tapanuli, Sumatera Utara pada akhir abad ke-19. Dia wafat pada 17 Juni 1907 saat membela diri dari serangan pasukan Belanda. Makamnya berada di Soposurung, Balige setelah dipindahkan dari Tarutung. Nama Sisingamangaraja berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti singa dan mangaraja (maharaja).
Walaupun Raja Si Singamangaraja XI telah meninggal, Si Onom Ompu tidak merasa ada yang kurang dalam pemerintahan, karena Raja Parlopuk bekerja dengan cukup baik. Tetapi ketika musim kemarau datang dan membawa penderitaan, mulailah si Onom Ompu berfikir untuk adanya acara margondang. Raja Parlopukpun mereka persilahkan untuk mereka gondangi agar dia martonggo memohon turun hujan. Tetapi hujan tidak turun-turun juga.
Mulanya Ompu Pulo Batu tidak bersedia mereka gondangi karena merasa bahwa abangnya itu telah sebagai raja pengganti ayahnya. Akhirnya Ompu Pulo Batu bersedia karena melihat penderitaan yang diderita masyarakat Si Onom Ompu. Setelah melaksanakan upacara seperti yang biasa dilakukan, Ompu Pulobatu berhasil mendatangkan hujan. Ompu Pulo Batupun dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1871.
Ompu Pulo Batu lahir tahun 1848 dari ibunya boru Situmorang. Pada saat pemuda, Ompu Pulo Batu merantau ke Aceh, disana bergaul dengan pedagang dari Persia dan belajar banyak hal. Karena itu ketika perang melawan Belanda, Raja Si Singamangaraja XII dibantu oleh pejuang-pejuang dari Aceh, Dan dalam cap/stempelnya dipakai Bahasa Arab dan Bahasa Batak. Pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII menyatakan perang kepada Belanda. Kemudian dia menjalankan perang terhadap Belanda selama 3 dasawarsa.
Perang batak 1877 – 1907
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada Tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit Tahun 1876″ yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.
Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menyerobot (menganeksasi) tanah-tanah Batak.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII. Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang.
Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.
Berikut ini urutan peristiwa perang Toba sebagaimana direkonstruksi dari laporan penginjil Nommensen dan Metzler. Tanggal-tanggal setelah 5 Mei tidak pasti karena tidak disebut berapa lama pasukan Belanda beristirahat di Paranginan.
- Akhir 1877 Desas-desus Aceh akan bersekutu dengan Toba
- 17 Des 1877 Penginjil di Bahal Batu menerima surat dari Silindung bahwa para ulubalang sudah tiba di Bangkara
- Jan 1878 Utusan Singamangaraja datang mengancam misionaris dan orang Kristen
- Akhir Jan 1878 Para Penginjil minta agar Belanda mengirim pasukannya
- 1 Feb 1878 Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel menuju Pearaja
- 6 Feb 1878 Pasukan dengan 80 tentara dan seorang Kontrolir tiba di Pearaja
- 15 Feb 1878 Pasukan tiba di Bahal Batu bersama dengan penginjil dari Silindung
- 16 Feb 1878 Pengumuman perang dari pihak SSM
- 17 Feb 1878 Metzler disuruh membawa istrinya ke Silindung. IbuMetzler diantar suaminya dan Johannsen ke Pansur na Pitu
- 19 Feb 1878 Metzler kembali ke Bahal Batu, tetapi tanggal 20 Feb 1878 kembali lagi ke Silindung
- Feb 1878 Pasukan Singamangaraja menyerang Bahal Batu
- 1 Mar 1878 Pasukan tambahan berangkat dari Sibolga
- 14 Mar 1878 Residen Boyle datang bersama 250 tentara dan Kolonel Engels dari Sibolga
- 15 Mar 1878 Silindung dinyatakan menjadi bagian dari wilayah Hindia-Belanda
- 16 Mar 1878 Pasukan berangkat ke Bahal Batu. Bahal Batu pun dinyatakan menjadi wilayah Hindia-Belanda
- 17 Mar 1878 Butar, Lobu Siregar dan Naga Saribu diserang (17–20 Maret)
- Maret 1878 Pasukan tambahan 300 tentara dan 100 narapidana diberangkatkan
- 30 Apr 1878 Ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda. Lintong ni Huta ditaklukkan.
- 1 Mei 1878 Bangkara diserang
- 2 Mei 1878 Kampung-kampung di sekitar Bangkara diserang
- 3 Mei 1878 Raja-raja di Bangkara dipaksa melakukan sumpah setia mengakui kedaulatan Belanda
- 4 Mei 1878 Pasukan maju ke Paranginan
- 5 Mei 1878 Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Paranginan
- 8 Mei 1878 Huta Ginjang, Meat dan Gugur ditaklukkan. Pasukan beristirahat selama beberapa hari di Gurgur
- 11Mei 1878 Pasukan menaklukkan Lintong ni Huta Pohan, Panghodia dan Tara Bunga.
- 12 Mei 1878 Pasukan kembali ke Bahal Batu melalui Onan Geang-Geang, Pintu Bosi, Parik Sabungan dan Lobu Siregar
- akhir Mei 1878 Nommensen membantu Residen di Bahal Batu Benteng untuk 80 tentara dibangun di Sipoholon
- 27Des 1878 Nommensen dan Simoneit menerima penghargaan dari pemerintah Belanda
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea.
Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige.
Pertempuran besar terjadi, Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh.
Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda. Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”.
Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung.
Sumber:
No comments:
Post a Comment