Sunday, May 6, 2012

PANDANGAN UMUM TENTANG ORANG BATAK


PANDANGAN UMUM TENTANG ORANG BATAK

Setelah melakukan browsing secara umum di library internet, saya menemukan informasi-informasi berikut ini. Memang rasanya sangat teoritis dan general. Namun gambaran umum ini saya rasa juga sedikit banyak dapat menggambarkan seperti apa orang Batak itu dalam pandangan umum masyarakat. Ada kalanya saya menyebut orang Batak atau orang Batak Toba. Pada kenyataannya orang Batak sangat identik dengan orang Batak Toba. Akan tetapi fakta sebenarnya adalah ketika kita menyebut orang Batak itu berarti orang Batak secara keseluruhan dan ketika kita menyebut orang Batak Toba berarti secara spesifik mengacu kepada sub suku Batak Toba. Demikian halnya dengan pemakaian kosakata orang Batak..... lainnya. Semoga kompilasi uraian berikut dapat membantu anda untuk dapat memahami tentang orang Batak. Banyak contoh yang saya ambil berasal dari sub suku Batak Toba, harap dimaklumi karena saya juga adalah orang Batak Toba, sehingga sedikit banyak hal tersebutlah yang paling saya kuasai. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk membicarakan tentang kekayaan budaya sub suku Batak lainnya. Selamat membaca. (Maaf jika tulisannya membosankan ya....^_^, mudah-mudahan tidak seburuk yang saya bayangkan)
Geografi dan Demografi

Tano Batak (Tanah Batak) meliputi daerah seluas kurang lebih 50.000 km2, berpusat di Tao Toba (Danau Toba). Terbentang dari wilayah pegunungan Bukit Barisan di sisi sebelah barat Propinsi Sumatera Utara hingga pantai pesisir di sebelah timur. Sebagian besar Tano Batak merupakan daerah dataran tinggi yang mengelilingi Danau Toba berilkim sejuk sepanjang tahun , yaitu daerah Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Simalungun di sebelah utara danau serta daerah Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing di bagian selatan. Pembagian daerah ini berdasarkan persebaran masing-masing sub suku Batak yang menempati wilayah Tano Batak. Hingga saat ini pembagian daerah pemukiman masyarakat batak tersebut diatas juga digunakan sebagai dasar pembagian daerah administratif yaitu setingkat kabupaten.

Daerah Tano Batak berbatasan dengan Propinsi Aceh di sebelah utara. Di sebelah barat berbatasan dengan daerah kepulauan Nias dan di sebelah timur berbatasan dengan daerah kediaman masyarakat mayoritas melayu yaitu wilayah Medan dan Deli. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan daerah Sumatera Barat.

Danau Toba sebagai simpul pemersatu Tano Toba berada pada ketinggian 900m di atas permukaan laut. Danau Toba terbentuk dari bekas kawah letusan gunung berapi yang kemudian dipenuhi oleh air. Danau Toba adalah salah satu kebanggaan masyarakat Batak sebagai danau terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan pemandangannya yang menawan di sekitar danau. Terdapat sebuah pulau di tengah-tengah Danau Toba yang dinamakan Pulau Samosir (menurut sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar terpisah dengan dataran disekeliling Danau Toba artinya tidak benar-benar sebagai sebagai sebuah pulau).

Masyarakat yang menamakan dirinya Bangso Batak ini meliputi sekitar +6 juta populasi (sensus tahun 2000, hmmm sudah lama juga ya tidak ada sensus lagi), terdiri dari 6 sub suku Batak yaitu Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Kumpulan masyarakat ini disatukan oleh kesamaan dalam hal bahasa, adat istiadat dan juga kepercayaan bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama yaitu si Raja Batak. Mata pencaharian sebagai petani baik petani sawah dan ladang merupakan mata pencaharian utama mereka disamping mata pencaharian lainnya seperti pedagang, tenaga pengajar, pelaku seni, dlsb. Agama yang dianut oleh masyarakat Batak adalah Kristen, Islam, Hindu dan Budha serta aliran kepercayaan yang masih tetap dianut oleh sebagian kecil masyarakat hingga saat ini.

Masyarakat Batak merupakan masyarakat perantau yang diwarisi dengan sifat pekerja keras, berani, jujur dan pantang menyerah. Keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu ditanamkan kepada generasi muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda atau pemudi batak harus bersedia meninggalkan kampung halaman tercinta untuk merantau ke negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi kerinduan akan kampung halaman masih akan selalu melekat di hati. Tak heran saat ini banyak orang Batak yang berhasil dan sukses tersebar di seluruh penjuru dunia.

Sistem Mata Pencaharian

Sebagian besar masyarakat Batak Toba saat ini bermatapencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.

Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah. Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba. Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara (Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.

Sebelum teknologi pengolahan pangan mencapai daerah tano Batak, hasil pengolahan tanaman padi di sawah hanya dapat menghasilkan panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh pengolahan tanah yang tidak begitu baik, irigasi yang terbatas dan juga tanpa penanganan tanaman yang terampil. Demikian halnya dengan hasil pengolahan tanaman di ladang, hanya dapat menghasilkan panen satu hingga dua kali saja lalu kemudaian lahan tidak dapat digunakan lagi. Kemudian ladang tersebut akan ditinggalkan dan berpindah ke ladang yang baru. Dahulu kala,pembukaan ladang yang baru dimulai dengan pemilihan lahan melalui ritual bersama seorang datu (dukun) yang disebut parma-mang. Lahan yang biasanya dijadikan ladang adalah lahan yang tidak ditempati atau kawasan hutan alami yang belum dijamah oleh manusia. Kemudian lahan tersebut dibersihkan dengan cara dibakar. Upacara selanjutnya adalah memberikan sesaji kepada penunggu lahan agar tidak mengganggu pengolah ladang dan juga sekaligus sebagai upacara pemilihan hari baik untuk mulai menanam. Selama musim pembukaan lahan ini, masyarakat kampung dilarang untuk keluar-masuk kampung. Hal ini dilakukan untuk menghindari mala petaka dan bahaya yang mungkin terjadi karena penunggu lahan yang merasa terusik. Hmm...sekarang sih keberadaan datu ini sudah tidak menjadi dominan lagi, akan tetapi kebiasaan membuka lahan baru ini masih tetap ada lo... Sepertinya tidak hanya orang Batak saja yang melakukan ritual dan kebiasaan ini ya..

Tanaman yang sering ditanam di ladang ini adalah tebu, tanaman obat, ubi, sayu-sayuran dan mentimun. Demikian juga pohon aren yang sengaja ditanam di tengah ladang untuk menghasilkan tuak, sejenis minuman beralkohol, yang menjadi kesukaan masyarakat Batak. Ada pula beberapa komoditi unggulan yang menjadi kelebihan suatu daerah. Seperti hasil panen utama dari daerah Simalungun dan Mandailing adalah jagung dan ubi kayu, serta beragam sayuran. Dari daerah Pakpak yang menjadi komoditi unggulannya adalah kemenyan dan kapur barus. Bayangkan betapa kayanya tano Batak ini.

Saat ini masyarakat Batak sudah banyak yang mengolah padi hibrida di sawah mereka, tentunya orang Batak tidak mau ketinggalan dari yang lainnya. Satu kemajuan ini bagi orang Batak. Tetapi yang saya sayangkan adalah dampak yang diakibatkan oleh pola pikir baru ini. Masyarakat jadi sangat tergantung dengan hasil panen dengan bibit padi hibrida yang "katanya berlipat ganda" tanpa melakukan proses pengolahan lahan dengan semestinya. Bagaikan mengharapkan hujan turun dari langit saja....


Beralih kepada masa pengaruh perkembangan ekonomi terhadap pertanian di tanah Batak. Pengaruh perkembangan perekonomian tersebut mulai terlihat ketika penjajah memasuki daerah Tano Toba. Produksi tanaman padi dan hasil ladang meningkat pesat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan untuk para pekerja kuli yang datang memasuki daerah Tano Toba. Pekerja kuli ini didatangkan dari semenanjung Malasya (mayoritas china) dan juga daerah Jawa, karena masyarakat lokal tidak bersedia menjadi pekerja untuk penjajah. Pada tahun-tahun pertama masa pendudukan penjajahan, pejabat kolonial telah membangun sistem transportasi yang menggunakan tenaga para pekerja kuli tersebut.

Untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman padi di sawah, pejabat kolonial menyediakan lahan yang akan diolah untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi. Beberapa tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman yang berasal dari Eropa seperti kentang dan kol di daerah dataran tinggi Karo. Masyarakat menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada dapat diekspor hingga ke luar negeri(Penang dan Singapura). Sejumlah besar petani kecil di daerah Tapanuli kemudian juga turut mencoba mengelola jenis tanaman yang sama. Selain tanaman sayuran, diadakan juga percobaan penanaman tanaman perkebunan yang menjadi cikal bakal pengembangan kawasan perkebunan di Tano Toba.
Tempat Tinggal Suku Batak

Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/clan atau kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini disebut huta(secara khusus bagi orang Batak Toba).

Sebagai contoh desa tempat tinggal orang Batak Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu/tanah (parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir mustahil ditembus manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang bisa ditemukan di beberapa desa. Jalan masuk/access road ke huta tersebut hanya ada satu atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal, yaitu bahal jolo (gerbang depan) dan bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya terdapat sebuah pohon beringin (baringin) atau hariara. Merupakan pohon kehidupan yang dipercaya sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia atas. Kedua pohon ini selalu terlibat dalam ritual mistis dan acara-acara adat orang Batak Toba.

Bagi orang Batak Toba terdapat dua jenis rumah adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan sopo yang letaknya biasa saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo tersebut terdapat halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi dan fungsi. Dari segi konstruksi, ciri-ciri yang bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah tiang, serta bentuk pintu. Konstruksi interior bangunan juga berbeda. Dari segi fungsi, ruma adalah tempat tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun dan menganyam tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak Toba pada awalnya tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma sangat mahal dan susah, dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal dengan menambahkan dinding, pintu dan jendela.

Demikian juga rumah adat orang Batak yang lainnya memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang hampir sama. Namun masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing. Dalam kesempatan lain kita dapat membahasnya lebih lanjut.

Selanjutnya kemajuan teknologi sedikit banyak mengakibatkan suku Batak mulai membangun rumah-rumah kayu atau beton yang lebih praktis dan meninggalkan pembangunan rumah adat tradisional yang asli. Jumlah rumah adat ini belakangan semakin berkurang karena banyak yang tidak terawat atau dibongkar pemilik dengan mengganti dengan rumah permanen dari kayu atau beton. Dikhawatirkan dalam tahun-tahun yang akan datang rumah adat suku Batak ini juga akan punah jika tidak dilestarikan.

Aksara Suku Batak

Orang Batak adalah salah satu suku dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara Batak(wah hebat juga nih orang Batak). Walaupun masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis huruf yang berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat dimengerti oleh masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat menguasai beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat 2(dua) kelompok utama: bahasa Toba serta logat Angkola dan Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa selatan); bahasa Karo, bersama logat Dairi dan Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa utara). Sedangkan bahasa yang dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa tersebut di atas. Dari keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa Sanskerta (hampir 10%). Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai arah mata angin utara demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak adalah penerus dari orang India yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan yang pasti untuk itu.

Aksara Batak yang kita kenal saat ini(umumnya aksara yang diajarkan di sekolah-sekolah)telah mengalami penyempurnaan oleh pemerintah untuk memudahkan proses pembelajaran. Seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda bernama Neubronner van der Tuuk pernah menerbitkan buku “Tentang Tulisan dan Pengucapan Bahasa Toba” (Overschrift en Uitspraak der Tobasche Taal) pada tahun 1855. Kemudian pada tahun 1873 Bibel berbahasa Batak bagian Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru diterjemahkan dengan berpedoman pada buku van der Tuuk tersebut.

Aksara Batak Toba terbagi atas dua bagian besar yaitu suku kata dasar yang dibentuk oleh penggalan suku-suku kata yang diakhiri dengan huruf vokal a, misalnya ha, ka, ba, pa, dll. Kelompok huruf seperti ini dikenal sebagai ina ni surat atau indung surat. Kelompok huruf lainya disebut sebagai anak ni surat yaitu imbuhan yang membentuk penggalan suku kata gabungan yang tidak terdapat pada suku kata dasar seperti e, i, u, o, eng, ing, ang, ung, ong,dll. Dalam penulisan aksara Batak Toba terdapat aturan-aturan yang menggabungkan antara ina ni surat dan anak ni surat sehingga membentuk sebuah kata dan kalimat yang memiliki arti. Secara umum pembagian ini juga ada dalam aksara sub suku Batak lainnya.

Nah.....berbicara soal aksara dan bahasa, artinya kita juga pasti berpikir tentang wujud aksara dan bahasa yang lebih kompleks yaitu sastra. Dalam bidang satra, dapat ditemukan beberapa jenis hasil karya sastra yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba, diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun (tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia pertama yang diyakini berasal dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak. Bersama dengan dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang bernama Manuk Patiaraja melahirkan tiga butir telur yang kemudian menetas menjadi 3 orang anak Debata Mulajadi Na Bolon yaitu Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan di Banua Ginjang. Soripada berkedudukan di Banua Tonga dan Mangala Bulan berkedudukan di Banua Toru. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (Tiga Dewa Dalam Satu) atau Debata Na Tolu (Tiga Dewata). Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na Bolon kemudian mengirimkan putrinya Tapionda ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di tanah Batak yaitu si Raja Batak.

Ini adalah salah satu mitos yang dipercayai oleh orang Batak dari sekian banyak mitos yang diturunkan oleh nenek moyang orang Batak kepada para penerusnya. Mudah-mudahan suatu saat kita dapat membahas secara khusus tentang mitos-mitos tersebut.Hopefully.
Kesenian Suku Batak

Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian orang Batak Toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis nyanian. Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua. Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis. Acara tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.

Selain menari orang Batak juga sangat senang menyanyi, baik secara perorangan, maupun berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan panorama yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih.

Sebagai contoh,alat musik Batak Toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat. Alat musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading. Orang Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil, suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).

Sub suku Batak lainnya juga memiliki alat musik dan jeis tarian dengan nama dan kekhasan tersendiri. Saya merencanakan nantinya akan ada satu segmen khusus membahas tentang alat musik tersebut.
Sistem Religi dan Kepercayaan Suku Batak

Sebelum masa penjajahan kolonial, orang Batak menganut aliran kepercayaan yang beranekaragam. Umumnya mereka percaya pada kekuatan di alam dan kekuatan benda-benda yang dikeramatkan. Orang Batak juga percaya akan adanya hubungan antar kehidupan orang yang masih hidup dengan kehidupan orang mati. Salah satunya aliran kepercayaan yang masih bertahan hingga kini adalah aliran kepercayaan Parmalim yang mengkuti aliran kepercayaan tokoh Sisingamangaraja.

Penyebaran misi agama yang masuk bersamaan dengan kedatangan penjajah kolonial membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan agama di Tano Toba. Melalui penaklukan dalam perang maupun penyebaran agama secara damai, agama tertentu telah menjadi pegangan orang Batak dalam sistem keimanan mereka.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Batak Toba adalah kepercayaan terhadap Mulajadi Na Bolon yang dipercayai oleh orang Batak sebagai dewa tertinggi mereka: pencipta 3(tiga) dunia: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Manusia dipercaya hidup di tengah, tidak terpisah dari alam, manusia satu dengan kosmos. Adat memimpin hidup manusia perseorangan, sedangkan masyarakat adalah simbol ketertiban kosmos. Tiga golongan fungsional dalam masyarakat adat Batak yang disebut Dalihan Na Tolu dipercaya sebagai refleksi kerjasama ketiga dunia itu.

Sistem Organisasi dan Kemasyarakatan Suku Batak

Dalam sistem adat istiadat orang Batak dikenal adanya Dalihan na Tolu yang berarti Tiga nan Satu. Tiga unsur penting dalam sistem kekerabatan masyarakat berdasarkan asas Dalihan Na Tolu berlaku secara umum dalam semua sub suku walaupun berbeda-beda dalam penamaannya, saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dalihan Na Tolu berasal dari kata ”dalihan” yang berarti tungku dan ”na tolu” artinya nan tiga. Tungku nan tiga melambangkan terdapat tiga buah batu sebagai tungku yang menopang kuali (lambang kehidupan sehari-hari). Hal ini mencerminkan kehidupan sehari-hari orang Batak yang ditopang oleh prinsip Dalihan Na Tolu. Sistem Dalihan Na Tolu menentukan kedudukan, hak dan kewajiban orang Batak dalam lingkungannya.

Dalam sistem masyarakat orang Batak Toba ketiga unsur ini digambarkan sebagai Hula-hula, Dongan Sabutuha dan Boru. Prinsip Dalihan Na Tolu memiliki kaitan erat dengan sistem marga dan silsilah. Seorang anak harus mengetahui asal-usul klan marga keluarganya dan juga urutan silsilahnya sehingga setiap orang dapat menempatkan diri dengan baik dalam tatanan pergaulan di masyarakat.

Salah satu contoh penerapan prinsip Dalihan Na Tolu ini dapat dilihat dalam penggunaan ulos yang erat kaitannya dengan kehidupan adat orang Batak Toba maupun sub suku Batak lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba pemberian ulos ditujukan sebagai perlambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani dan hanya digunakan pada upacara khusus.
Sistem Teknologi Masyarakat Suku Batak

Sistem teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya ruma batak yang menjadi arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan alami seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis ruangan tersebut. Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar.

Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material yang diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh para tetua atau keluarga pemimpin. Peninggalan perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut ketepatan pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.


Sumber:

No comments:

Post a Comment