Friday, March 23, 2012

SEJARAH BATAK - VI


SEJARAH BATAK - VI

1852 M
Barus berhasil dikerdilkan oleh Belanda sebagai kota pelabuhan. Posisisnya terkurung dengan dibangunnya Sibolga sebagai pelabuhan penyaing oleh Belanda.
Sebab lain menurunnya popularitas Barus sebagai pusat perdagangan di Tanah Batak adalah ditemukannya senyawa kimia yang dapat menandingi kualitas kemenyan atau kapur barus di Jerman. Produk konvensional dari Barus menjadi sangat usang.

1856 M
Sultan Marah Tulang naik tahta Kesultanan Barus Hulu pada tahun 1270 H atau sekitar tahun 1856. Dia merupakan Sultan terakhir dari Dinasti Pardosi yang masih memangku jabatan kerajaan. Setelah kepeninggalannya, keturunannya hanya menjadi ‘kepala kuria’ atau pegawai gajian penjajah Belanda.

1857-1861 M
Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.
Misinya gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggur di Batavia, sejak diusir keluar dari Kalimantan Selatan oleh Pangeran Hidayat.
Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan pendeta Witteveen, pemimpin dari GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari perusahaan Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya Belanda dapat menguasai Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung sana.

1861 M
Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta Van Asselt diadakan rapat bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersama pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.

1861-1907 M
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.
Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:
1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.
3. Daerah Batak, Singkil, Gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam Aceh.
Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:
1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di Tanah Karo, Dusun
2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.
6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.
7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah dan kepentingan ekonomi. Kerajaan Merbau didirikan oleh salah seorang ex Panglima Tentara Paderi yang bernama Zulkifli Aritonang.
8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.
9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.
Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh, dan orang-orang Batak Karo, serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi, praktis, dikuasai Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah.
Belanda memutuskan untuk mengkristenkan Tanah Karo Pegunungan dengan memerintahkan Nederlandsche Zendings Genootschap yang Kristen Protestan Calvinist. Akibatnya kini orang-orang Karo yang Kristen Protestan Kalvinist tidak mau bergabung, baik itu identitas maupun sosial, dengan orang-orang Toba yang Kristen Protestan Lutheran dalam HKBP.
Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo sendiri. Mereka yang bermukim di Tanah Karo Pegunungan hingga tahun 1905 tetap masih menganut agama tradisional Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak menganut Kristen Protestan Calvinist. Sementara itu orang Karo Dusun kebanyakan adalah Muslim sejak masa Kesultanan Haru Delitua (1508-1523).
Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang muslim yang tidak mencantumkan marganya saat lahir. Kebangkitan identitas Karo akhirnya terjadi lagi pada era tahun 1950-an. Di mana banyak Muslim Karo sudah mengenakan marganya kembali.

1862 M
Pendeta Nommensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah Batak Utara dimulai dan dikerjakan dengan sangat sistematis. Target ke Selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang raja, Pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja pertama didirikan di Hutadamai, Silindung. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1864-1866 M
Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh. Setelah wisuda, pangeran juga membawa oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.

1867 M
Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan gelar Patuan Bosar. Ada yang menyebutkan angka tahun masa pemerintahan Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan nama Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu adalah 1871-1907.
Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi berduyun-duyun mendatangi Christian Community di Hutadame.

1867-1884 M
Sisingamangaraja XII selama 17 tahun memerintah di Bakkara. Menurut penulis sejarah pro Belanda, Sisingamangaraja memerintah dengan tangan besi, untuk mempertahankan “Singgasana Batak Pagan Priest Kings” yang sudah memerintah selama 12 generasi pasca Dinasti Sori Mangaraja. Informasi ini tentunya untuk pengalihan perhatian orang-orang Batak di masa mendatang yang akan merasa kehilangan Penguasa Batak yang mereka cintai.
Selanjutnya, para penulis itu menuduh Sisingamangaraja XII secara totaliter menentang Pemerintah Belanda, serta menentang infiltrasi dari Agama Kristen yang dibawa oleh pendeta-pendeta Jerman. Mereka menambahkan bahwa karena itulah orang-orang Batak yang sudah Kristen (dan lebih-lebih lagi yang sudah Islam) tentulah tidak mau mengakui seorang Batak Pagan Priest King.
Belanda, dengan dendam kesumat atas kewibawaan Sisingamangaraja XII, sengaja menanam bibit perpecahan dan pertikaian di masyarakat untuk dipanen oleh generasi Batak di masa mendatang. Paska Kemerdekaaan Indonesia, bibit itu melapuk dan tidak membuahkan hasil. Orang Batak hidup damai dalam toleransi beragama.
Raja Huta, Pontas Lumbantobing di Saitnihuta, Silindung, menjadi antipode dari Sisingamangaraja XII, maharaja di wilayah huta-huta Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Di Tanah Batak Utara didirikan sekolah-sekolah dengan jumlah besar; Sekolah Dzending. Namun, demi misi imperialis, diskriminasi diterapkan. Anak-anak dari Sintua, tetua Gereja, mendapat prioritas masuk sekolah Zending. Untuk menjadi Sintua, seseorang harus membuktikan diri patuh terhadap Kristen. Orang-oranng tanah Batak Utara berlomba-lomba menjadi Sintua. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
Posisi Sisingamangaraja XII kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyatnya yang sudah Kristen karena sudah berlomba-lomba menjadi Sintua (idem).
Penduduk Dairi, Pakpak dan Simsim masih menjadi pengikut setia Sisingamangaraja XII. Dalam pertempuran dengan Belanda, Ibukota kerajaan yang sudah ditandai oleh tim penyusup sebelumnya menjadi sasaran empuk pasukan Belanda. Serangan-serangan artileri memaksa Sisingamangaraja XII, dengan pengawalan khusus dari rakyatnya orang-orang Gayo yang menjadi pasukan komando dari Aceh, pasukan yang diberikan Kesultanan Aceh, mengungsi di Dairi dan melancarkan serangan dari hutan belantara sana. (1884-1907). Sementara itu panglima-panglimanya yang masih setia, melakukan upaya defensif untuk menahan laju tentara Belanda.

1869 M
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pendeta Ellys di Mandailing menemukan beberapa hambatan-hambatan, serta penyebabnya, dalam misi pengkristenan. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)
1. Aliran Baptist, merupakan kelompok yang sangat sedikit di dunia. Baptist melepaskan diri dari Gereja Roma Katolik, lebih dahulu daripada Protestan dengan Martin Luther-nya pada tahun 1517. Baptis mengkristenkan orang-orang dewasa dengan cara menyemplungkan diri, seluruh badan, di dalam sungai. Seperti halnya oleh Johannes Pembaptis sebelum Jesus.
2. American Baptist Misson dan British Baptish Mission tidak mau lagi mendanai Pendeta di Mandailing yang berpenduduk Muslim dan taat beragama.
Dinasti Romanov, di Rusia beragama. Kristen Ortodoks Katolik. Akan tetapi di Ukraina terdapat sedikit aliran Baptist keturunan Belanda yang disebut; Mennoniets, karena mereka adalah keturunan dari Menno Simons. Baptist, Doopsgezinden, di Negeri Belanda habis dibasmi oleh Protestan, di dalam periode 1568-1648.
Orang-orang Baptist Belanda melarikan diri ke Ukarina. Di sana, mereka dilindungi oleh Dinasti Romanov, karena kepandaian mereka di bidang pertanian dan peternakan.
Dinasti Romanov saat itu sedang asyik menanam pengaruh di Seluruh Asia, mulai dari Selat Dardanella, sampai ke Vladiwostok. Romanov kemudian mengatur kepergian Pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina ke Mandailing 1869-1918.
Gereja yang di Mandailing didirikan pada tahun 1838 dirombak dan diganti dengan Gereja model Basilyk Rusia, lengkap dengan atas yang berbentuk “bawang” , 1869. Misi pendeta Mennoniet inipun berakhir karena jatuhnya Tsar Rusia yang dibantai oleh kaum Komunis. Pendeta Iwan Tissanov, pendeta yang teakhir dari aliran ini kemudian pindah ke Bandung 1918. (Pedersen 1970:56; Elkhart:2001)
Keturunan pasukan Padri bermarga Lubis, Kalirancak Lubis dan Jamandatar Lubis, yang pernah merebut Toba dan menguasai Ibukota Bakkara, di bawah pimpinan Panglima Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, kemenakan S. M. Raja X, menjadi Kristen Protestan Luteran di HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Salah satunya adalah Martinus Lubis pahlawan Medan 1947.

1870 M
Peta politik populasi Tanah Batak:
Di Tanah Batak Selatan; 90% Beragama Islam, 10% lagi terdiri dari Muslim Syiah, Kristen Protestan dan Baptist.
Di Tanah Batak Utara; 90% Beragama Monoteis Adat Sisingamangaraja (Parmalim atau Sipelebegu) dengan Sisingamangaraja sebagai Raja dan Pemimpin Agama dan Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan, Maha Pencipta serta Maha Agung) sebagai Tuhan.
Sementara 10 persen lagi; Muslim dan Protestan di Silindung.

1873 M
Sebuah Mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap Muslim Batak.
Kesabaran Sisingamagaraja XII sudah menipis, tindakan ofensif ditingkatkan. Pertempuran Tangga Batu II meletus. Sisingamangaraja XII terluka, kena tembak dan berdarah. Belanda mengumumkannya ke seluruh penjuru. Tujuannya, agar hormat dan kepercayaan orang-orang Batak terhadap raja mereka, SM Raja XII, menjadi goyang.
Di periode yang sama, dengan bala tentara yang lebih banyak, kebanyakan terdiri dari pasukan paksaan dari daerah-daerah jajahan lainnya; Halmahera, Madura dan Jawa, Belanda melumpuhkan kekuatan tempur SM Raja. Sisa-sia kekuatan hanya untuk defensif. Dari dataran tinggi Humbang (sekarang di Kab. Humbang Hasundutan) Bakkara dibombardir dengan senjata Artileri Berat, namun Belanda masih takut untuk melakukan serangan infanteri.

1881 M
Toba resmi diduduki Belanda. Di Balige ditempatkan Controleur B.B. Di Laguboti ditempatkan sebuah detasemen tentara Belanda. Pendeta Pilgram di Balige dan Pendeta Bonn di Muara mulai mengkristenkan penduduk yang sudah menyerah dan tak berdaya. Sementara itu, tentara Belanda diperkuat dan Laguboti menjadi garnizon Tetap.
Pasukan SM Raja mulai kehilangan pasokan senjata dan amunisi dari dua pabrik senjata di kedua tempat tersebut, yang dibangun atas alih teknologi dari Kesultanan Aceh.

1882-1884 M
Sisingangaraja XII di ibukota Bakkara meningkatkan kewaspadaan mereka dalam sebuah upaya ofensif dan melakukan usaha mendeportasi elemen-elemen Belanda, yang menyusup jauh dan membeberkan kelemahan kerajaan, serta pendeta-pendeta Jerman keluar dari wilayah kedaulatan Tanah Batak.
Yang Mulia, Patuan Bosar, menjanjikan uang sebanyak 300 ringgit burung untuk setiap orang yang memancung seorang pendeta Jerman dengan membawa bukti berupa kepala yang dipancung (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan). Terutama Pendeta Bonn di Muara, yang lalu lalang dan mengintai di daerah antara Bakkara dan Balige dan terlalu dekat dengan pusat kekuasaan Patuan Bosar.

1883 M
Destor Nasution, putera dari Jarumahot Nasution alias Hussni bin Tuanku Lelo, menjadi pendeta. Tuanku Lelo merupakan salah satu panglima tentara Islam Padri yang merebut Bakkara di era S. M. Raja X.
Destor merupakan orang Batak pertama yang ditahbiskan menjadi pendeta dari Marga Nasution. Ayah Tuanku Lelo merupakan Qadi Malikul Adil, Menteri Kehakiman di pemerintahan Padri, dan orang Batak pertama yang naik Haji ke Mekkah, 1790.
Pasukan Sisingamangaraja XII dengan sisa-sisa kekuatannya melancarkan serangan frontal ke Muara. Tujuannya. Merebut kembali tanah Toba, dan mengusir Belanda di Laguboti. Pendeta Bonn dan Istrinya berhasil melarikan diri.
Belanda membalas, Bakkara dikepung dengan bombardir artileri dan serangan infanteri. Ibu kota Bakkara, hancur lebur.
S. M Raja hijrah ke Tamba dan mengatur serangan dari sana. Pasukan khusus dari Aceh masih setia melindungi ‘Sri Maharaja’ Patuan Bosar.
Dukungan rakyat muncul kembali tatkala mendengar patriotisme Putri Lopian Boru Sinambela yang sejak usia 11 tahun selalu mendampingi ayahnya, S. M. Raja XII, Pahlawan Nasional Indonesia. Secara khusus sang putri selalu melakukan ritual untuk memintakan pertolongan dari Debata Mulajadi Na Bolon.
Melihat opini rakyat yang mulai menentang, Belanda tidak terima. Karisma sang Putri di bendung dengan tangan besi. Pembicaraan mengenai S. M Raja dan putrinya akan mendapat hukuman penjara. Akibatnya lambat laun rakyat lupa kembali, apakah rajanya masih berjuang atau tidak. Rakyat terintimidasi untuk berbicara mengenai rajanya. Perang Ideologi.

1884-1905 M
Padangsidempuan menjadi ibukota Keresidenan Air Bangis.

1884-1907 M
Sisingamangaraja XII, Pahlawan Nasional Indonesia dengan heroik meneruskan perang melawan penjajah dari Dairi. Tanpa sedikitpun bantuan dari orang-orang Toba di Silindung yang menyibukkan diri untuk menjadi Sintua agar anaknya diterima sekolah di Zending.

1886-1948 M
Syekh Juneid Thola Rangkuti, dari Maga yang juga dikenal dengan nama Simanonga, tampil menjadi tokoh pembaharuan sosial di Tanah Batak Selatan. Dia mendirikan sebuah institusi pendidikan di Padang Rengas yang menjadi pusat studi dan pengembangan Islam secara lokal.


http://sejarah/ batak.com

No comments:

Post a Comment