SEJARAH BATAK - IV
1610 M
Sultan Ibrahimsyah Pasaribu, pendiri kembali
Dinasti Hatorusan (Pasaribu), wafat dalam serbuan pasukan Aceh,
kepalanya dipancung dan oleh itu dia dikenal dengan nama Sultan Tuanku
Badan. Perang tersebut dimulai tahun 785 H. Ibrahimsyah Pasaribu adalah
keturunan Raja Uti, putra Guru Tatea Bulan, pendiri kerajaan Hatorusan
yang berpusat di Singkel dan Barus.
Dinasti Pasaribu, Tengku Barus Hilir:
1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
2. Sultan Yusuf Pasaribu
3. Sultan Adil Pasaribu
4. Tuanku Sultan Pasaribu
5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
6. Sultan Emas Pasaribu
7. Sultan Kesyari Pasaribu
8. Sultan Main Alam Pasaribu
9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289
Rabiul Akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 M, menuliskan kembali
Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah
kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan
leluhurnya yang hampir lapuk.
1627-1667 M
Masa Pemerintahan Sisingamangaraja IV, dengan nama Tuan Sorimangaraja.
1630 M
Murid Hamzah Fansuri bernama Syamsuddin al-Sumatrani kemudian merantau
ke Aceh dan menjadi penasihat politik dan agama di Pasai bagi Sultan
Iskandar Muda. Dia wafat tahun 1630 M. Dia satu angkatan dengan
Abdulrauf Fansuri, tokoh lain inteletual Batak.
1641 M
Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli, Medan, tahun 1641, ketika
sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak.
1644-1699 M
Pada tahun 1050 H/1644 M, Belanda datang ke pantai barat Sumatera dan
meminta ijin untuk bermukim dan mendirikan koloni perdagangan di Barus.
Ijin tinggal kepada orang Belanda diberikan pada tahun 1668 . Belanda,
akhirnya, mengadu domba dualitas kesultanan Barus (Hulu dan Hilir) yang
berujung kepada penjajahan tanah air Barus, tanah Batak pesisir di
bagian Barat Sumatera di abad ke-19.
1667-1730 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja V dengan nama asli Raja Pallongos.
1730-1751 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja VI dengan nama Raja Pangolbuk.
1736-1740 M
Penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Korlang, mengusir VOC, perusahaan
Belanda yang banyak meresahkan (monopoli) perekonomian setempat. Mereka
dipimpin oleh Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit.
1751-1771 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut.
1771-1788 M
Masa Pemerintahan Sisingamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit
1788-1819 M
Masa pemerintahan Sisingamangaraja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu
Muara Labu. Diduga ada permasalahan politik sehingga baru pada tahun
1819 adanya suksesi kepada Sisingamangaraja X.
1790 M
Haji Hassan Nasution dengan gelar Qadhi Malikul Adil menjadi orang Batak pertama yang naik haji di Mekkah.
1809-1900 M
Kebangkitan Ulama lokal dalam perkembangan keagamaan di Tanah Batak
Selatan. Abdul Fatah dari Pagaran Siantar dan Syeikh Abdul Syukur
menjadi dua tokoh intelektual lokal. Mereka dikenal dengan keahlian
mereka dalam Tarekat, Khalwah dan Suluk. Disiplin imu mereka dikenal
dengan nama “Mazhab Natal” karena mereka mengajar di Natal, tepatnya
Huta Siantar. Mazhab Natal ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Mazhab
Maliki, yang dibawa Tuan Syekh Maghribi (Maulana Malik Ibrahim) dengan
dukungan adat yang dipengaruhi oleh faham syiah.
1812 M
Muhammad Faqih Amiruddin Sinambela, menjadi orang pertama dari
lingkungan kerajaan Dinasti Sisingamangaraja yang menunaikan ibadah
haji ke Mekkah. Informasi ini didapat dari sebuah catatan keluarga,
bertuliskan Arab, komunitas Marga Sinambela keturunan Sisingamangaraja
di Singkil. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan).
1816 M
Elemen mata-mata Belanda mulai menyusup ke Tanah Batak dengan misi;
memetakan daerah serta kekuatan dan menentukan titik-titik penembakan
artileri di pusat-pusat kekuasaan tanah Batak.
Jenderal Muhammad Fakih Amiruddin Sinambela, Gelar Tuanku Rao, Panglima Paderi, meluaskan pengaruhnya di Tanah Batak Selatan.
1816-1833 M
Islam berkembang pesat di Mandailing dengan pembangunan universitas, pusat-pusat perdagangan dan kebudayaan Islam.
1819-1841 M
Masa pemerintahan Sisingamangarah X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na
Bolon. Setahun sebelum diangkat, dia berseteru dengan keponakannya,
Fakih Sinambela, yang justru merupakan keponakan kesayangannya.
1818 M
Panglima Fakih Sinambela berseteru dengan pamannya Sisingamangaraja X, Raja Dinasti Sisingamangaraja di daerah Batak Utara.
Orang-orang Batak yang miskin dan putus asa dengan penyakit kolera
dimanipulasi Belanda sebagai kekuatan anti-otoritas SM Raja. Beberapa
kerajaan-kerajaan huta dihadiahi dengan pengakuan sehingga mejadi
raja-raja boneka yang membangkang. Kredibilitas kedaulatan
Sisingamangaraja di akar rumput menipis, dikempesi orang-orang Eropa.
Untuk kesekian kalianya epidemik penyakit menular menjangkiti penduduk.
Elemen Eropa dan Belanda di pantai Timur Sumatera memanfaatkan
situasi.
1818-1820 M
Perseteruan Sisingamagaraja X dan Fakih Sinambela memuncak. Pasukan
Fakih Sinambela dengan komando Jatengger Siregar berhadapan dengan
pasukan Sisingamangaraja X di Bakkara setelah buntu dalam perundingan.
Markas Pusat di Siborong-borong dengan komando Panglima Fakih
Sinambela memerintahkan pasukannya di Bakkara untuk menguburkan
pamannya S.M Raja X di pemakaman kerajaan dengan pasukan kehormatan dan
melindungi keturunannya.
Fakih Sinambela menolak tawaran pamannya menjadi Sultan di Tanah Batak.
Mereka mundur ke Selatan. Yang Mulia Sisingamangaraja XI naik tahta.
1820 M
Pembantu Fakih Sinambela, Tuanku Mansur Marpaung mendirikan Kesultanan
Asahan di pantai Timur Sumatera. Kesultanan ini masih berdiri hingga
tahun 1947. Anak-anak mereka yang dikenal adalah Tuanku Sri Sultan
Saibun Marpaung dan juga Dr. Mansur Marpaung, wali negara NST. Salah
satu bawahan Mansur Marpaung adalah Zulkarnain Aritonang, pahlawan
dalam perang Tanggabatu pada tahun 1818 mendirikan Kerajaan Merbau.
Keturunannya menjadi Raja-raja Merbau, Sumatera Timur hingga tahun
1947.
1821 M
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir Sumatera Barat seperti Pariaman,
Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum
Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah
tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum
Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Fakih
Sinambela(Tuanku Rao) dan Tuanku Tambusi dikirim untuk menghadapinya.
Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Fakih Sinambela gugur
sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasu
kan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
1823 M
Thomas Stamford Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu
domba kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh yang Islam dan
Minagkabau dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus,
menurut istilah Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.
Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal
Inggris di Kalkutta yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di
India; Burma yang Budha serta Thailand yang Budha harus dipisah dengan
bangsa Karen yang Kristen. (Aljunied:2004)
Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke
lokasi tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;
1. Pendeta Burton yang bertugas menguasai bahasa Batak dan menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak sebagai pemimpin misi.
2. Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penyakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk Batak.
3. Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.
Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di
Tanah batak yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu
mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah
menganut agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat Kerajaan
Batak.
1823-1824 M
Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan
tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi, sangat kuat dan tidak dapat
disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya
berhasil masuk melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas
penduduknya Muslim dan terbuka. Burton dan Ward berhasil memasuki
Tanah Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas
Inggris menetap berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah
Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan menyusup ke Toba, pusat
kehidupan sosial masyarakat Batak, Ward memberikan instruksi untuk
mundur. Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan
Ward mundur ke Sibolga. Dari sini ‘character assasination’ terhadap
panglima-panglima Padri dilancarkan.
Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda
menggantikan posisi Inggris di Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’.
Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki
wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan
Padri.
Sumber:
http://sejarah/ batak.com
No comments:
Post a Comment