Thursday, March 15, 2012

UPAYA PELESTARIAN GONDANG SABANGUNAN


UPAYA PELESTARIAN GONDANG SABANGUNAN

Pendahuluan


Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan beranekaragam budaya. Masing suku bangsa memiliki warisan budaya yang tidak ternilai harganya dan telah dikenal di seantero dunia. Namun beberapa tahun belakangan ini kebangaan terhadap kekayaan keanekaragaman budaya cukup terusik dengan banyaknya kasus pengakuan dari pihak luar terhadap kekayaan budaya Indonesia. Sebut saja sebagai contoh dibajaknya lagu rasa sayange dari Maluku sebagai suara latar website promosi pariwisata Malaysia (walaupun syairnya telah diganti sedemikian rupa), diakuinya tari Reog Ponorogo sebagai budaya Malaysia (walaupun telah berganti rupa baik nama maupun jalan cerita tari tersebut), dan terakhir adalah telah dipatenkannya motif kerajinan perak Bali oleh para pengusaha asing.
Kasus-kasus pengakuan budaya Indonesia oleh pihak asing tentunya menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat Indonesia. Ada yang marah dan melakukan unjuk rasa pada pihak terkait seperti kedutaan asing maupun lembaga pemerintahan seperti DPRD dan Gubernur. Ada pula yang menyalahkan lamban dan tidak tanggapnya pemerintah dalam menangani kasuskasus tersebut, dan tidak sedikit pula yang menganggap bahwa kasus pengakuan kekayaan budaya bangsa Indonesia oleh pihak luar terkait dengan tidak pedulinya bangsa ini terhadap budaya sendiri.

Adanya pendapat bahwa ketidakpedulian bangsa Indonesia terhadap budayanya sendiri terkait dengan makin ditinggalkannya budaya asli Indonesia terutama oleh generasi muda. Masyarakat lebih bangga mengunakan budaya asing diberbagai sektor kehidupan masyarakat dibanding budaya asli Indonesia. Mulai dari makanan, permainan, hiburan sampai pola perilaku meniru budaya asing. Tidak mengherankan jika anak-anak sekarang lebih mengenal Dora, Sinchan, Power ranger dibandingkan kancil, Timun mas.

Terjadinya ketidakpedulian terhadap budaya bangsa, menurut Edi Sedyawati 1] hal ini terjadi karena ; a. tidak pernah dipahami lagi teknik dan kaidah-kaidah estetiknya, b. semata-mata dianggap kuno atau tidak patut lagi, atau tidak ngetren, dan, c. sengaja dihindari karena asosiasinya dengan system kepercayaan lama yang dianggap tidak cocok lagi dengan tata kehidupan masa kini.
Untuk mencegah makin banyaknya kasus pengakuan pihak asing terhadap kekayaan budaya Indonesia diperlukan beberapa tindakan pencegahan, salah satunya yang terpenting adalah dengan melakukan pelestarian budaya.
Pelestarian merupakan upaya keseluruhan dalam rangka menjaga eksistensi suatu kebudayaan. Berdasarkan kalimat tersebut, maka yang dilestarikan adalah eksistensi kebudayaan tersebut dan bukan ungkapan-ungkapan yang menyertainya. Dengan demikian upaya pelestarian menjadi suatu usaha yang dinamis.

Dalam pengertian pelestarian tercakup tiga rincian tindakan yaitu; perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Perlindungan kebudayaan merupakan segala upaya pencegahan dan penanggulangan gejala yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian atau kemusnahan bagi manfaat dan keutuhan sistem gagasan, sistem perilaku, dan atau benda budaya akibat perbuatan manusia ataupun proses alam. Termasuk kedalam upaya perlindungan ini adalah perlindungan terhadap kerusakan/kepunahan dan perlindungan terhadap penggunaan yang tidak patut, tidak adil, atau tanpa hak (mis appropriation).
Pengembangan kebudayaan adalah upaya perluasan dan pendalaman perwujudan budaya, serta peningkatanmutu dengan memanfaatkan berbagai sumber dan potensi. Sedangkan pemanfaatan kebudayaan adalah upaya penggunaan perwujudan budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan kebudayaan ini diperlukan suatu undang-undang yang melindungi kekayaan kebudayaan Indonesia khususnya terkait dengan “Pengetahuan tradisional” (traditional Knowledge) dan “ekspresi budaya tradisional /tradisi folklore ( Traditional Cultural Expression/Expressions of Folklore). Keduanya akan menjadi undang-udang sui generis untuk mendampingi Undang-Undang Hak Cipta yang telah ada sehingga tidak adalagi kasus kekayaan budaya Indonesia yang dapat di miliki hak ciptanya oleh orang asing.2]
Upaya pelestarian kebudayaan saat ini harus perpacu dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Sebagai kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya, maka kebudayaan harus membawa masyarakat kearah lebih sejahtera dan atau lebih bahagia.

Berdasarkan pemahaman tersebut, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai Keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban masyarakatnya. Oleh karena itu semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan kesejahteraan manusia akan ditinggalkan.
Perubahan orientasi nilai budaya yang dimiliki masyarakat pendukungnya, menjadikan suatu kebudayaan semakin ditinggalkan masyarakat pendukungnya tersebut.

Gondang Sabangunan

Dalam pengertian masyarakat luar, kata gondang diartikan sebagai kesenian gendang atau perkusi khas masyarakat Batak. Sedangkan menurut tradisi Batak, kata gondang memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuannya. Gondang dapat diartikan sebagai seperangkat alat musik, ensambel musik, komposisi lagu3]. Gondang dapat juga diartikan sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manotor) pada saat upacara berlangsung[4) Sebagai perangkat alat musik, gondang sering disebut sebagai gondang Batak. Menurut Irfan[5] Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing ( salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Dari pengertian itu, alat musik batak lain yang disebut gondang hasapi atau yang dikenal sebagai uning-uningan dianggap sebagai bukan gondang Batak. Padahal alat tersebut juga termasuk gondang Batak. Gondang sabangunan dan gondang hasapi digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara seremonial lainnya.

Gondang sabangunan yang oleh orang Batak juga disebut sebagai „parhohas na ualu“ terdiri dari delapan jenis instrument tradisional Batak Toba yaitu ;

1. Taganing
Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai "pengaba" atau "dirigen" (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

2. Gordang
Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.

3. Sarune
Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.

4. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)
Ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.

Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan. Oleh karena itu musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja.
Berdasarkan hal tersebut, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti "pemimpin" atau "Yang harus di turuti" , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu "Yang menjawab" atau "Yang menuruti". Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan "tanya jawab"

5. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).

6. Ogling panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

7. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)

8. Hesek
Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.
Kedelapan instrument tradisional ini merupakan lambang dari delapan mata angin (desa na ualu) yang kemudian oleh para pemain gondang sabangunan kedelapan instrument tersebut disebut Raja Na Ualu ( Raja Nan Delapan). [6]
Pada awalnya masing-masing instrument tersebut dimainkan oleh satu orang, namun karena perkembangan jaman dan semakin sulitnya mencari pemain, maka beberapa instrument dimainkan oleh seorang pemain musik seperti ogling oloan dan ogling ihutan dimainkan oleh seorang pemain. Odap sudah tidak digunakan lagi,kadang-kadang hesek juga dirangkap dimainkan oleh pemain taganing. Oleh sebab itu saat ini jumlah pemain gondang sabangunan bervariasi antar kelompok.
Para pemain gondang sabangunan oleh masyarakat Batak disebut pargonsi, sedangkan kegiatan memainkan musik gondang sabangunan itu sendiri disebut margondang (memainkan gondang).

Sebagai sebuah komposisi instrumen musik gondang sabangunan memiliki istilah yang berbeda-beda walaupun pada dasarnya memiliki arti yang sama. Menurut masyarakat Batak (terutama kaum tua), gondang sabangunan dipercaya memiliki kekuatan supranatural.

Apabila dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari yang mengikuti alunan suara gondang sabangunan tersebut akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah atau dalam istilah orang batak disebut na tondol di tano. Sedangkan bagi pendengar lainnya suara yang keluar dari gondang dapat membuat perasaan mereka dimainkan dan terhanyut oleh suasana saat itu baik bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.
Adanya kepercayaan dari masyarakat Batak yang menganggap musik gondang sabangunan memiliki nilai yang snagat sakral, maka tidak mengherankan jika penghormatan mereka terhadap para pemusik gondang sabangunan (pargonsi) juga begitu tinggi. Para pargonsi dianggap memiliki ketrampilan khusus yang mereka dapat berdasarkan sabala dari Mulajadi Na Bolon. Selain itu juga para pargonsi dianggap mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat). Penghormatan masyarakat terhadap para pargonsi ini terlihat dari sebutan mereka terhadap para pargonsi. Para pemain taganing oleh masyarakat disebut dengan Batara Guru Hundul ( Dewa Batara Guru yang duduk) dan Batara Guru Manguntar untuk pemain serune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan dewa. Masyarakat percaya dengan perantara para pargonsilah melalui suara gondang sabangunan, pujian dan permohonan yang disampaikan pada Mulajadi Na Bolon dan para dewa bawahannya didengar.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, penghormatan masyarakat terhadap para pargonsi lambat laun mulai berkurang, terutama dengan hadirnya musik modern. Kelompok pemusik yang mengunakan alat-alat musik modern (Brass Band) lambat laun mengantikan kedudukan para pargonsi. Bahkan ada diantara masyarakat yang menyebut para pemusik modern tersebut dengan sebutan pargonsi walaupun berbeda nilainya.

Upaya Pelestarian Gondang Sabangunan

Seperti yang telah disebutkan di atas, pelestarian kekayaan budaya di Indonesia perlu segera dilakukan karena kita berlomba dengan perubahan yang ada di masyarakat. Kesenian musik Gondang Sabangunan harus bersaing dengan kehadiran alat musik modern yang lebih murah dan praktis. Selain itu juga eksistensi kesenian gondang sabangunan harus berpacu dengan semakin langkanya para pargonsi. Perlu diketahui bahwa untuk menjadi pargonsi membutuhkan persyaratan-persyaratan khusus, yaitu :

1. Harus memiliki kepandaian khusus dalam memainkan alat musik gondang sabangunan. Kepandaian ini bukanhanya didapat melalui belajar musik tetapi didapat karena bakat sejak dalam kandungan. Menurut masyarakat Batak Toba, para pargonsi harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta) sejak ia berada dalam kandungan. Dengan kata lain para pargonsi adalah orang-orang pilihan Mulajadi Na Bolon.

2. Setelah seseorang diketahui mendapat Sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang pencipta), orang tersebut haruslah belajar dengan tekun terutama dari para pargonsi senior.

3.Selain pandai memainkan music, orang yang ingin menjadi pargonsi haruslah mempunyai pengetahuan tentang aturan-aturan adat ( Ruhut-ruhut ni adat). Mereka harus paham struktur adat masyarakat Batak Toba yakni Dalihan Na Tolu dan penerapannya di masyarakat.

4. Orang yang ingin menjadi pargonsi haruslah laki-laki, karena laki-laki merupakan hasil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon (Sang pencipta). Selain itu juga laki-laki dianggap lebih bebas untuk dtang kemanapun diundang.

5.Orang yang menjadi pargonsi haruslah orang dewasa. [7]
Dari persyaratan untuk menjadi pargonsi seperti yang telah diuaraikan di atas, terlihat bahwa betapa susahnya untuk menjadi pargonsi terutama adanya syarat harus memiliki atau mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (sang Pencipta) yang tentunya tidak semua orang mendapatkannya.

Langkah awal untuk melakukan pelestarian Gondang Sabangunan adalah dengan melakukan pendataan yang akurat melalui penelitian yang mendalam mengenai Gondang Sabangunan, baik makna dan nilai, pelaku atau pemain Gondang sabangunan yang masih ada sampai tingkat apresiasi masyarakat terhadap gondang sabangunan. Dengan adanya data yang akurat, maka rencana pelestarian dapat dilakukan seefektif mungkin, baik perlindungan, pengembangan maupun pemanfaatanya.

Perlindungan terhadap gondang sabangunan perlu dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah. Upaya perlindungan dapat dilakukan melalui bantuan pembinaan /finansial terhadap kelompok-kelompok pargonsi gondang sabangunan sehingga mereka dapat bersaing dengan kelompok kesenian lainnya. Selain itu juga melakukan mendorong para pejabat pemda terutama yang berasal dari Batak Toba untuk memakai atau mengunakan gondang sabangunan dalam pelaksanaan upacara adat di keluarga/kerabat masing-masing.

Pengembangan terhadap gondang sabangunan perlu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kesenian tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan pelatihan atau memasukan kesenian gondang sabangunan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal. Usaha ini tentunya akan bertentangan dengan persyaratan untuk menjadi pargonsi yang harus mendapat Sahala dari Mulajadi Na Bolon yang berarti pula menurunkan keskaralannya.

Untuk benturan tersebut pemda beserta masyarakat perlu memikirkan untuk membagi Gondang Sabangunan menjadi beberapa jenis sebagaimana yang dilakukan masyarakat Bali. Dalam mengembangkan keseniannya. Masyarakat Bali membagi keseniannya menjadi 3 (tiga) yaitu ; kesenian tradisional yang sangat sakral dan hanya dilaksanakan pada tempat dan saat tertentu saja,,kesenian tradisional Bali yang telah mendapat sentuhan modern sehingga dapat dilaksanakan diberbagai tempat dan terakhir kesenian tradisional Bali yang telah dimodifikasi sesuai dengan tuntutan pasar pariwisata. Kesenian yang pada awalnya berlangsung selama dua jam, diringkas menjadi 30 menit untuk dipentaskan dihadapan wisatawan.

Dengan membagi gondang sabangunan menjadi beberpa jenis menjadikan keaslian gondang sabangunan tetap terpelihara dan disisi lain pelestarian dan pewarisan kesenian gendang sabangunan terus berjalan sehingga kesenian tersebut tetap eksis. Pemanfaatan gondang sabangunan dapat diupayakan melalui jalur pendidikan, ilmu pengetahuan dan juga pariwisata. Pemanfaatan gondang sabangunan sebagai bagian dari atraksi budaya menjadi hal yang sangat menarik dan menjadi daya tarik wisata dimana kesenian tersebut memiliki nilai keunikan tersendiri dan tidak ditemui di daerah lain.

Penutup

Upaya pelestarian kekayaan budaya bukanlah semata-mata tugas dari pemerintah tetapi juga tugas seluruh bangsa, karena kebudayaan merupakan penuntun masyarakat dalam berprilaku dan melaksanakan kehidupan. Usaha pelestarian kebudayaan sangat tergantung dari apresiasi masyarakat terhadap kesenian tersebut. Dengan adanya apresiasi yang tinggi terhadap kebudayaannya, maka dengan sendirinya upaya pelestarian kebudayaan akan mudah dilaksanakan. Sebaliknya semakin rendah apresiasi masyarakat terhadap kebudayaannya, maka semakin sulitlah usaha pelestarian kebudayaan tersebut. Dengan demikian usaha yang paling penting dalam upaya pelestarian suatu kebudayaan adalah meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaannya dan ini tentunya merupakan usaha yang cukup berat apa bila dilaksanakan sendiri-sendiri. Namun jika usaha membangkitkan dilakukan secara bersama-sama dan terkoordinasi, bukan tidak mungkin usaha pelestarian berbagai kebudayaan Indonesia tidak menemui kendala berarti.

1Sedyawati,Edi, Pengertian-Pengertian Dasar: Sebuah Saran, Makalah Semiloka Preservasi dan Konservasi Seni Budaya Nusantara, Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Yogjakarta, 11-13 Mei 2007, hal2
2]
3]Pasaribu, AnalisisMusik Indonesia, Jakarta, Pantja Simpati, 1987
4]Irwansyah Hutasuhut, Analisis Komperatif bentuk (pengarapan) dan teknik permainan dari sebuah Gondang (komposisi lagu) yang disajikan oleh tujuh partaganing , Skripsi, tidak diterbitkan, Medan, Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi USU, 1990
5. Irfan, Makna dan arti yang terdapat pada sistem peralatan gondang dan fase-fase dalam upacara kematian pada Batak Toba, http://library.usu.ac.id/download/fe/Irfan.pdf, 2004
6Ibid, Pasaribu
7Ibid, pasaribu

Diposkan oleh Iskandar_epri di 16:30


Sumber:
http://rakaiskandar.blogspot.com/2008/10/upaya-pelestarian-gondang-sabangunan.html

No comments:

Post a Comment