UPAYA PELESTARIAN GONDANG SABANGUNAN
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan beranekaragam budaya. Masing suku bangsa memiliki warisan budaya yang tidak ternilai harganya dan telah dikenal di seantero dunia. Namun beberapa tahun belakangan ini kebangaan terhadap kekayaan keanekaragaman budaya cukup terusik dengan banyaknya kasus pengakuan dari pihak luar terhadap kekayaan budaya Indonesia. Sebut saja sebagai contoh dibajaknya lagu rasa sayange dari Maluku sebagai suara latar website promosi pariwisata Malaysia (walaupun syairnya telah diganti sedemikian rupa), diakuinya tari Reog Ponorogo sebagai budaya Malaysia (walaupun telah berganti rupa baik nama maupun jalan cerita tari tersebut), dan terakhir adalah telah dipatenkannya motif kerajinan perak Bali oleh para pengusaha asing.
Kasus-kasus pengakuan budaya Indonesia oleh pihak asing tentunya menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat Indonesia. Ada yang marah dan melakukan unjuk rasa pada pihak terkait seperti kedutaan asing maupun lembaga pemerintahan seperti DPRD dan Gubernur. Ada pula yang menyalahkan lamban dan tidak tanggapnya pemerintah dalam menangani kasuskasus tersebut, dan tidak sedikit pula yang menganggap bahwa kasus pengakuan kekayaan budaya bangsa Indonesia oleh pihak luar terkait dengan tidak pedulinya bangsa ini terhadap budaya sendiri.
Terjadinya ketidakpedulian terhadap budaya bangsa, menurut Edi Sedyawati 1] hal ini terjadi karena ; a. tidak pernah dipahami lagi teknik dan kaidah-kaidah estetiknya, b. semata-mata dianggap kuno atau tidak patut lagi, atau tidak ngetren, dan, c. sengaja dihindari karena asosiasinya dengan system kepercayaan lama yang dianggap tidak cocok lagi dengan tata kehidupan masa kini.
Untuk mencegah makin banyaknya kasus pengakuan pihak asing terhadap kekayaan budaya Indonesia diperlukan beberapa tindakan pencegahan, salah satunya yang terpenting adalah dengan melakukan pelestarian budaya.
Pelestarian merupakan upaya keseluruhan dalam rangka menjaga eksistensi suatu kebudayaan. Berdasarkan kalimat tersebut, maka yang dilestarikan adalah eksistensi kebudayaan tersebut dan bukan ungkapan-ungkapan yang menyertainya. Dengan demikian upaya pelestarian menjadi suatu usaha yang dinamis.
Dalam pengertian pelestarian tercakup tiga rincian tindakan yaitu; perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Perlindungan kebudayaan merupakan segala upaya pencegahan dan penanggulangan gejala yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian atau kemusnahan bagi manfaat dan keutuhan sistem gagasan, sistem perilaku, dan atau benda budaya akibat perbuatan manusia ataupun proses alam. Termasuk kedalam upaya perlindungan ini adalah perlindungan terhadap kerusakan/kepunahan dan perlindungan terhadap penggunaan yang tidak patut, tidak adil, atau tanpa hak (mis appropriation).
Pengembangan kebudayaan adalah upaya perluasan dan pendalaman perwujudan budaya, serta peningkatanmutu dengan memanfaatkan berbagai sumber dan potensi. Sedangkan pemanfaatan kebudayaan adalah upaya penggunaan perwujudan budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan kebudayaan ini diperlukan suatu undang-undang yang melindungi kekayaan kebudayaan Indonesia khususnya terkait dengan “Pengetahuan tradisional” (traditional Knowledge) dan “ekspresi budaya tradisional /tradisi folklore ( Traditional Cultural Expression/Expressions of Folklore). Keduanya akan menjadi undang-udang sui generis untuk mendampingi Undang-Undang Hak Cipta yang telah ada sehingga tidak adalagi kasus kekayaan budaya Indonesia yang dapat di miliki hak ciptanya oleh orang asing.2]
Upaya pelestarian kebudayaan saat ini harus perpacu dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat. Sebagai kebiasaan suatu masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan dan mengembangkan cara hidupnya, maka kebudayaan harus membawa masyarakat kearah lebih sejahtera dan atau lebih bahagia.
Berdasarkan pemahaman tersebut, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai Keseluruhan kebiasaan manusia yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya. Kebudayaan harus dapat menjadikan masyarakatnya lebih damai dan lebih sejahtera, bukan sebaliknya menjadi beban masyarakatnya. Oleh karena itu semua kebudayaan yang tidak bermanfaat untuk kedamaian (kebahagiaan) dan kesejahteraan manusia akan ditinggalkan.
Perubahan orientasi nilai budaya yang dimiliki masyarakat pendukungnya, menjadikan suatu kebudayaan semakin ditinggalkan masyarakat pendukungnya tersebut.
1. Taganing
Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai "pengaba" atau "dirigen" (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.
2. Gordang
Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.
3. Sarune
Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.
4. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)
Ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.
Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan. Oleh karena itu musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja.
Berdasarkan hal tersebut, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti "pemimpin" atau "Yang harus di turuti" , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu "Yang menjawab" atau "Yang menuruti". Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan "tanya jawab"
8. Hesek
Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.
Kedelapan instrument tradisional ini merupakan lambang dari delapan mata angin (desa na ualu) yang kemudian oleh para pemain gondang sabangunan kedelapan instrument tersebut disebut Raja Na Ualu ( Raja Nan Delapan). [6]
Pada awalnya masing-masing instrument tersebut dimainkan oleh satu orang, namun karena perkembangan jaman dan semakin sulitnya mencari pemain, maka beberapa instrument dimainkan oleh seorang pemain musik seperti ogling oloan dan ogling ihutan dimainkan oleh seorang pemain. Odap sudah tidak digunakan lagi,kadang-kadang hesek juga dirangkap dimainkan oleh pemain taganing. Oleh sebab itu saat ini jumlah pemain gondang sabangunan bervariasi antar kelompok.
Para pemain gondang sabangunan oleh masyarakat Batak disebut pargonsi, sedangkan kegiatan memainkan musik gondang sabangunan itu sendiri disebut margondang (memainkan gondang).
Apabila dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari yang mengikuti alunan suara gondang sabangunan tersebut akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah atau dalam istilah orang batak disebut na tondol di tano. Sedangkan bagi pendengar lainnya suara yang keluar dari gondang dapat membuat perasaan mereka dimainkan dan terhanyut oleh suasana saat itu baik bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.
Adanya kepercayaan dari masyarakat Batak yang menganggap musik gondang sabangunan memiliki nilai yang snagat sakral, maka tidak mengherankan jika penghormatan mereka terhadap para pemusik gondang sabangunan (pargonsi) juga begitu tinggi. Para pargonsi dianggap memiliki ketrampilan khusus yang mereka dapat berdasarkan sabala dari Mulajadi Na Bolon. Selain itu juga para pargonsi dianggap mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat). Penghormatan masyarakat terhadap para pargonsi ini terlihat dari sebutan mereka terhadap para pargonsi. Para pemain taganing oleh masyarakat disebut dengan Batara Guru Hundul ( Dewa Batara Guru yang duduk) dan Batara Guru Manguntar untuk pemain serune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan dewa. Masyarakat percaya dengan perantara para pargonsilah melalui suara gondang sabangunan, pujian dan permohonan yang disampaikan pada Mulajadi Na Bolon dan para dewa bawahannya didengar.
5.Orang yang menjadi pargonsi haruslah orang dewasa. [7]
Dari persyaratan untuk menjadi pargonsi seperti yang telah diuaraikan di atas, terlihat bahwa betapa susahnya untuk menjadi pargonsi terutama adanya syarat harus memiliki atau mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (sang Pencipta) yang tentunya tidak semua orang mendapatkannya.
1Sedyawati,Edi, Pengertian-Pengertian Dasar: Sebuah Saran, Makalah Semiloka Preservasi dan Konservasi Seni Budaya Nusantara, Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Yogjakarta, 11-13 Mei 2007, hal2
2]
3]Pasaribu, AnalisisMusik Indonesia, Jakarta, Pantja Simpati, 1987
4]Irwansyah Hutasuhut, Analisis Komperatif bentuk (pengarapan) dan teknik permainan dari sebuah Gondang (komposisi lagu) yang disajikan oleh tujuh partaganing , Skripsi, tidak diterbitkan, Medan, Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi USU, 1990
5. Irfan, Makna dan arti yang terdapat pada sistem peralatan gondang dan fase-fase dalam upacara kematian pada Batak Toba, http://library.usu.ac.id/download/fe/Irfan.pdf, 2004
6Ibid, Pasaribu
7Ibid, pasaribu
Sumber:
http://rakaiskandar.blogspot.com/2008/10/upaya-pelestarian-gondang-sabangunan.html
No comments:
Post a Comment