Friday, March 23, 2012

Pelestari Ukiran Batak

Benarin Nainggolan, Pelestari Ukiran Batak

Selasa, 23 Maret 2010 | 04:15 WIB
KHAERUDIN

Tidak ada dalam benak Benarin Nainggolan bakal berprofesi menjadi perajin ukiran khas Batak. Apalagi sampai dia memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil. Namun, di kemudian hari, keputusannya tersebut justru membuat ukiran khas Batak dikenal sampai mancanegara, terutama karena turis asing membawanya sebagai cendera mata setelah berkunjung ke Danau Toba.

Awal tahun 1980-an, seiring dengan makin dikenalnya Danau Toba, Sumatera Utara, sebagai kawasan wisata unggulan di Indonesia, Benarin yang ketika itu menjadi pegawai Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Sumut ditugaskan ke Tuktuk Siadong, sebuah desa wisata di Samosir. Di Tuktuk dia melihat ada sanggar kerajinan milik Kanwil Departemen Perindustrian.
”Tahun 1980 saya ditugaskan ke Samosir. Di sana saya ditugaskan mengembangkan industri kerajinan,” ujar Benarin.

Ketika itu, Benarin sama sekali tidak tahu bagaimana membuat ukiran, apalagi ukiran Batak yang banyak dipakai sebagai ornamen pada rumah adat hingga perlengkapan upacara adat.
”Tugas saya waktu itu belajar dari orang yang dulu ditugaskan di sanggar kerajinan. Selain itu, saya juga harus memberikan pelatihan kepada perajin di Samosir,” katanya.

Ketika itu, perajin cendera mata khas Batak di Samosir masih sangat terbatas. Bahkan, perajin ukiran kayu relatif masih jarang. Memang sudah ada perajin tikar pandan, tetapi ini pun di Liang Sipogu, Simanindo. Di Tuktuk tidak ada perajin meskipun kawasan itu sudah menjadi tujuan wisata bila turis menyeberangi Danau Toba menuju Samosir.

Hingga empat tahun setelah bertugas ke Samosir, Benarin tetap diminta menjadi peserta pelatihan perajin ukiran kayu. Mulailah dia belajar bagaimana mengukir kayu menjadi motif-motif khas Batak.
Selain itu, Benarin juga diminta menjadi semacam fasilitator bagi perajin lokal. Untuk itulah dia kemudian ditugaskan mengikuti pelatihan kerja ke Jepara, Jawa Tengah, tahun 1986.

Ilmu sebagai perajin ukiran kayu yang diperoleh selama pelatihan kerja di Jepara itu dia tularkan kepada peserta pelatihan perajin ukiran kayu di Samosir. ”Jadi, kalau dulu saya juga menjadi murid di pelatihan perajin kayu, sepulang dari Jepara saya diminta sebagai pengajar,” cerita ayah empat anak ini.

Menjanjikan
Karena dinilai berhasil mengajari para perajin ukiran kayu di Samosir, tahun 1987 Benarin diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Dia lalu dipindahtugaskan ke kampung halamannya, Tarutung, ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Waktu itu, pada masa senggang Benarin suka membuat ukir-ukiran Batak untuk cendera mata bagi turis yang berkunjung ke Tuktuk.

Benarin kemudian tidak hanya menjadi pengajar di sanggar kerajinan, dia juga menekuni pembuatan ukiran Batak sebagai cendera mata. Lama-kelamaan dia semakin mencintai ukiran Batak.

Terlebih hasil penjualan cendera mata itu juga menjanjikan karena turis asing yang datang ke Tuktuk semakin banyak. ”Tahun 1988 saya memutuskan keluar sebagai PNS dan kembali ke Tuktuk. Saya enggak mau setengah-setengah jadi perajin,” ujarnya.
Benarin kemudian mendapatkan pujaan hati gadis Tuktuk, Risda Sidabutar. Semakin mantaplah dia mencari nafkah sebagai perajin ukiran.

Tak terbayangkan sebelumnya, ukiran Batak bakal menjadi sumber nafkah keluarga Benarin. Ini mengingat ukiran Batak umumnya hanya terdapat pada ornamen rumah adat.
”Tidak setiap orang Batak bisa membuat rumah adat. Ada ukuran sosial seseorang itu berhak punya rumah adat,” katanya.

Benarin mencontohkan, ukiran boras pati atau tokek di rumah adat itu melambangkan pemiliknya murah hati dan dermawan.

”Bila nanti ada orang susah mampir ke rumah tersebut dan tak mendapatkan apa-apa, masyarakat akan bergunjing, si pemilik rumah tak pantas mendapatkan rumah sebagus itu,” ceritanya.
Oleh karena kepemilikan rumah adat juga terbatas, kemampuan mengukir kayu untuk ornamen pun hanya dimiliki orang-orang Desa Sosor Tolong dan Sialagan, Samosir.

Namun, ilmu ukir dari Jepara yang coba diajarkan Benarin di sanggar kerajinan Tuktuk ternyata bisa membuat ukiran Batak makin berkembang. Bila dulu hanya untuk ornamen rumah adat dan keperluan upacara adat, sekarang ukiran itu juga dapat dijual sebagai cendera mata dan menghasilkan uang.

Anak didik Benarin satu demi satu mulai membuka usaha sendiri. Ketika turis asing membanjiri Tuktuk sebelum tahun 1997, sedikitnya ada 20 kios cendera mata ukiran Batak di desa ini. Hampir semuanya hasil karya perajin anak didik Benarin.

Semangat
Sayang, saat krisis ekonomi 1997 melanda, Danau Toba pun terimbas akibatnya. Turis asing yang datang ke Tuktuk berkurang drastis. Daerah yang dulu ramai dikunjungi turis asing itu menjadi sepi. Perajin ukiran Batak tak lagi kebanjiran pembeli.
”Banyak murid saya yang kemudian beralih menjadi petani kopi, terutama yang dulu berasal dari Sosor Tolong,” katanya.

Dengan nada masygul, Benarin menyayangkan jika suatu saat keahlian mengukir khas Batak tersebut hilang seiring dengan makin berkurangnya perajin di Tuktuk. Di sisi lain, tak banyak lagi orang yang membangun rumah adat yang dilengkapi ukiran dan ornamen khas Batak.
Maka, Benarin menjadi salah satu perajin ukiran Batak yang bertahan. Dia masih yakin, suatu saat turis asing kembali membanjiri Tuktuk. Malah, masa-masa sepi turis membuat Benarin banyak belajar dari selera mereka.

Misalnya, dia membuat ukiran tongkat tanggul panaluan dalam bentuk knock down. Tanggul panaluan yang biasa dipakai sebagai tongkat bagi pemimpin upacara adat biasanya panjangnya 1,8 meter. ”Ukiran yang dibuat knock down itu ide dari turis asing yang datang ke kios saya,” katanya.

Terbayang ketika dia pertama kali ditugaskan ke Tuktuk, hampir 30 tahun lalu. Benarin tidak menyangka bakal memiliki kios cendera mata ukiran khas Batak, Artia Art and Craft Shop, yang kini menjadi sumber penghidupan keluarganya.

Meski belakangan ini kiosnya sepi pembeli, itu tak mengurangi semangatnya melestarikan ukiran khas Batak. ”Atasan saya waktu itu berpesan, ’pokoknya kamu harus belajar ukiranBatak’. Jadi inilah sekarang,saya mau terus menjaga agar ukiran khas Batak tetap lestari,” ujarnya.


BENARIN NAINGGOLAN
• Lahir: Pangaribuan, Tapanuli Utara, 14 Juli 1952

• Istri: Risda Sidabutar


• Anak: 
- Cory Nainggolan (26)
- Henny Nainggolan (25)
- Ramses Nainggolan (23)
- Samuel Nainggolan (21)

• Pendidikan:
- SMA 2 Medan, 1971
- Jurusan Pertanian Universitas Sumatera Utara (tidak selesai)


Sumber:
http://www.bentarabudaya.com/news.php?id=201

No comments:

Post a Comment