SEJARAH BATAK - III
1540-1884 M
Dinasti Sisingamagaraja (SM Raja) tampil
sebagai otoritas tertinggi di Tanah Batak, menggantikan dominasi
Dinasti Sorimangaraja. Sisingamangaraja I, Lahir di Bakkara dengan nama
Manghuntal atau dikenal juga dengan nama Mahkuta, dibesarkan di Istana
Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di
Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M,
lalu menghilang, putra mahkotanya yang masih berumur 12 tahun naik
tahta menggantikannya. Diketahui kemudian, Sisingamangaraja pergi ke
Tanah Karo dan di sana dia berkeluarga dan salah seorang cucunya
menjadi pendiri Kota Medan, yakni Guru Patimpus.
Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I
memerintah sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel, cap
kerajaan, yang bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah
atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M.
Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok
masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang
menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di
pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara,
Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap
mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat
Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).
Di samping itu, dia juga melakukan distribusi kerja yang jelas
kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang
bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di
dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga
Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang
utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual
dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan
daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba,
keturunan yang sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga
Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam
institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit
(Putra sulung Sihombing).
Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat Raja Na Opat
untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geografis dan politik saat itu.
Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu
instusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau
homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang
berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat
kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istana
Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkah politik yang
sesuai dengan karakter sebuah Huta. Sikap ini dengan cepat dapat
menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan
hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta
kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan
kebersamaan.
Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang
positif dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum
dididik di Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk
sebagai orang yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar
utang orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat
kharismanya menanjak.
Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di
masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat
mitos tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian
Manghuntal. Beberapa mitos tersebut adalah:
Divine dan Holy; SM Raja dan keturunanya dianggap sebagai seorang
yang mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha
sakti dan mempunyai banyak kelebihan.
Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang “yang tidak pernah mati dan tua”-na so olo mate na so olo matua.
Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal
yang dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang
dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Paska sepuluh tahun pemerintahannya di Bakkara, Sisingamangaraja I
menghilang dan diketahui bermigrasi ke tanah Karo dan berkeluarga di
sana. Turunannya menjadi raja-raja huta. Orang-orang di Bakkara
meyakini bahwa Sisingamangaraja hilang diangkat oleh kekuatan spiritual
dan mengangkat putranya yang masih berumur dua belas tahun sebagai
raja.
1590 M
Guru Patimpus, cucu dari Sisingamangaraja di Tanah Karo, masuk Islam
dan pada tanggal 1 Juli 1590 M atau tahun 998 H, mendirikan kota
Medan. Tanggal 1 Juli 1590 menjadi hari jadi kota Medan. Cucu
Sisingamangaraja menjadi raja-raja huta di tanah Karo di bawah
bayang-bayang hegemoni Batak Karo (Haru) dan Batak Gayo (Samudera Pasai
dan Kesultanan Aru Barumun).
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari
Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak
bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo
dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu,
Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian
Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu
dengan Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai
dokumen tua dalam bentuk lempeng–lempeng. Menurut trombo yang ada
padanya Raja–raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :
Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.
1. Sisingamangaraja I, Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja
Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara
paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M, lalu
menghilang. Diketahui kemudian dia pergi ke tanah Karo.
2. Tuan si Raja Hita bin Sisingamangaraja I
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan.
4. Datuk Hafiz Muda
5. Datuk Muhammad Syah Darat
6. Datuk Mahmud
7. Datuk Ali
8. Banu Hasim
9. Sultan Seru Ahmad
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham.
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972)
termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo
(tarombo) yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas
kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji
Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi
bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab).
Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said
yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di
Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal
sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai
ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk
mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui
Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat
ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota
Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu
kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu
kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia
memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan
kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun
melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga
Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan,
rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan
yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu,
kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung
Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan
antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung
Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang
kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur’an
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang
anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik.
Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam.
Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur’an, karena itu Raja Aceh
memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit
Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus,
menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama
Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah
XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta
yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit
diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya
kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda
tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu
Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah
Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang
menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus
belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah
Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut
namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah
yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah
dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan
menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam
Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya
tertulis ulama dari Aceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban
998H (22 Juni 1590).
1550-1595 M
Angka tahun ini adalah masa pemerintahan Sisingamangaraja II, yang
bernama Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan.
1581 M
Marga Rangkuti terbentuk. Terdiri dari orang-orang Jawa/Minang yang
mengambil suaka politik di Mandailing akibat perubahan politik di
Kerajaan Pagarruyung di Minagkabau.
1593-1601 M
Intelektual lokal mulai tampil ke permukaan. Abdulrauf Singkil
terkenal sebagai ulama dan intelektual di dalam ilmu fiqih, politik dan
ilmu sosial lainnya.
Beberapa teorinya antara lain; Penghapusan perbedaan antara Kepala
Negara dan Agama. Raja merupakan otoritas kerajaan dan juga agama. Dia
mensyaratkan bahwa Raja yang akan memangku jabatan ini bukan turun
temurun melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Kedaulatan ada di
tangan rakyat. Teori ini kemudian diterima oleh Kesultanan Aceh dan
Jawa.
Eropa mulai bangkit melewati masa kegelapan. Ibarat bangsa kelaparan
mereka berhamburan ke penjuru dunia untuk membangun negara-negaranya.
Bangsa Inggris mulai membuat pertapakan pertama di Pelabuhan Tapian Na
Uli di tepi teluk Sibolga. Titik ini sangat mendukung untuk pemenuhan
logistik mereka untuk menjarah bagian-bagian lain di Nusantara. Ambisi
jahat yang tidak bisa ditebak oleh penduduk lokal.
Budaya perbudakan mendapat eksploitasi yang parah oleh hadirnya
pihak Eropa. Keramahan bangsa Batak di Batang Toru, Puli, Situmandi
serta Sigeaon dimanipulasi, mereka kemudian diperdagangkan sebagai
Budak.
Beberapa wilayah di Nusantara mulai ditundukkan dengan tipu muslihat
Eropa. Perang antar kerajaan menjadi sangat intens; akibat Devide Et
Impera. Belanda mulai memetakan target operasi mereka di tanah Batak
setelah menguasai Jawa dan beberapa kerajaan kecil di Nusantara.
1590-1604 M
Syair-syair Hamzah Fansuri, tokoh inteletual Batak pesisir,
menggambarkan keindahan kota Barus saat itu. Keramaian dan kesibukan
kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai emasnya yang cekatan
mengubah emas menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar yang datang
dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai di
pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu barus dan keramaian
pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan membawa obor yang
telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila berjalan malam.
Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka
bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah
hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya
dihiasi berbagai ukiran yang indah.
Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya
terhadap perilaku politik Sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang
kaya yang tamak dan zalim.
Sebagaimana para sarjana Batak, Hamzah Fansuri mendapat pengaruh besar
di Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat
bahwa Hamzah Fansuri memainkan peran penting di dalam kehidupan
kerohanian di Aceh sampai akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat
Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).
1595-1627 M
Masa pemerintahan Sisingamangara III di Bakkara.
http://sejarah/batak.com
No comments:
Post a Comment