Tinjauan Buku; Catatan Mandailing di Masa Lalu
Oleh: Fahrin Malau
Judul : Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing
Penulis : Z. Pangaduan Lubis, dkk
Cetakan : Pertama Tahun 2010
Tebal : x + 140 halaman
Penerbit : Pustaka Widiasarana Kelompok Humaniora-Pokmas Mandiri
Ukr Buku : 13 x 20 cm
Jenis Buku : Sejarah
Buku Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, pembaca langsung
dapat menebak, buku ini kumpulan dari beberapa tulisan membahas seputar
Mandailing. Kumpulan tulisan seputar Mandailing selanjutnya disusun
berdasarkan beberapa naskah yang ‘berserakan’ di rumah penulis buku, Z.
Pangaduan Lubis.
Buku ini memuat empat catatan. Pertama “Perlawanan Sutan Mangkutur
Terhadap Balanda di Mandailing” penulis Z. Pangaduan Lubis. Kedua
“Islam di Mandailing” penulis Z. pangaduan Lubis dan Imsar Muda
Nasution. Ketiga “Alak Mandala Holing (Sebuah cerita pendek dalam
Bahasa Mandailing) penulis Edi Nasution. Keempat “Dalian Na Tolu,
Pemahaman dan Aktualisasinya” penulis Z. Pangaduan Lubis.
Perlawanan Sutan
Pada catatan pertama buku Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing,
Z. Pangaduan Lubis menulis perjalanan Sutan Mangkutur melawan
penjajahan Belanda. Walau hanya catatan lepas, namun pada bagian ini
penulis mengulas cukup panjang sepak terjang Sutan Mangkutur melawan
penjajahan Belanda.
Sebelum membahas bentuk perlawanan Sutan Mangkutur, penulis sedikit
menjelaskan wilayah Mandailing tempat kerajaan Huta Godang di Ulu
Pungkut sekitar 20 kilo meter dari Kotanopan. Wilayah ini dipimpin
seorang raja bernama Sultan Mangkutur. Dia menggantikan abang kandungnya
Raja Gadombang yang meninggal dunia pada tahun 1835 dalam perang
Paderi.
Beberapa catatan menjelaskan tentang kerajaan Huta Godang di Ulu
Pungkut diulas dalam buku ini. Keterangan Raja Junjungan Lubis, raja
terakhir dari Huta Godang menyebutkan, kerajaan didirikan oleh nenek
moyangnya dari Manambin. Kerajaan ini, salah satu kerajaan tertua di
Mandailing Julu dan tidak jauh letaknya dari Huta Godang. Biografis
tentang Sultan Mangkutur tidak banyak diketahui. Diduga dia dilahirkan
pada akhir abad ke 18 di Huta Dolok, Ulu Pungkut, Mandailing Julu.
Kedatangan Belanda ke Mandailing diawal 10 Maret 1832 melalui surat
Gubernur Jenderal Van den Bosch di Betawi yang dikirim Komandan Militer
Belanda Letnan Kolonel Elout di Padang. Surat itu berbunyi: “Tujuan
Belanda di Sumatera harus dilaksanakan oleh pemerintah, penaklukan
seluruh Sumatera ke bawah kekuasaan kita telah diterima sebagi satu
asas ketatanegaraan dan tujuan itu harus selekas mungkin seandainya
keadaan di tanah Eropa dan di dalam negeri mengizinkan,”
Masuknya Belanda ke Mandailing dipermudah dengan adanya perseteruan
antara Raja Gadombang dari Huta Godang di Mandaling dengan Kaum Paderi.
Atas kesepakatan antara Raja Gadombang dengan Belanda bersama-sama
melawan kaun Paderi dan itu dimanfaatkan Belanda untuk menguasai
Mandailing.
Lebih setahun lamanya Belanda menduduki Mandailing, Sutan Mangkutur
mulai menjadi raja di Huta Godang tahun 1835. Berbagai peraturan dibuat
Belanda untuk menekan raja-raja di Mandailing. Sutan Mangkutur dengan
tegas menolak peraturan yang dibuat Belanda. Sebelum melakukan
perlawanan secara fisik, Sutan Mangkutur melakukan pendekatan dengan
raja-raja di Mandailing untuk memerangi Belanda yang berkedudukan di
Kotanopan.
Raja-raja yang ikut melakukan perwalan dengan Belanda dilaksanakan di
Huta Godang yakni Yang Dipertuan, raja dari Huta Siantar, Panyabungan
yang masih punya hubungan keluarga dekat dengan Sutan Mangkutur. Sayang
Yang Dipertuan melakukan penghianatan, ikut membantu pasukan Belanda
dan membocorkan setiap rencana Sutan Mangkutur, sampai akhirnya Belanda
berhasil menangkap dan dibuang ke Ambon.
Islam di Mandailing
Buku Kumpulan Catatan Lepas Tentang Mandailing, mengulas Islam di
Mandailing tidak mendalam. Alasannya karena sulitnya menemukan literatur
yang berkenaan dengan sistem religi yang merupakan anutan warga
kelompok etnis Mandailing.
Sebelum Islam masuk ke Mandailing, masyarakat dalam kepercayaan
mengenal si Pele Begu yang berarti si pemuja begu. Begu adalah tondi
orang sudah mati. Tondi adalah jiwa orang masih hidup. Apabila orang
yang punya tondi sudah meninggal dunia maka tondinya berubah menjadi
begu.
Begu di dalam kerajaan Mandailing juga memiliki peranan penting. Ada
tiga tokoh fungsionaris yang utama. Ketiga tokoh tersebut adalah Raja,
Datu dan Sibaso. Masing-masing tokoh mempunyai fungsi. Raja berfungsi
sebagai pemimpin tertingi, Datu berfungsi sebagai sumber tertinggi ilmu
dan pengetahuan dan Sibaso berfungsi untuk mengkomunikasikan dunia
manusia dengan dunia gaib.
Adanya kepercayaan begu pada masyarakat Mandailing, banyak ditemukan
patung, terbuat dari kayu dan batu, disebut Sangkalon. Sangkalon
memiliki masing-masing tugas, seperti Sangkalon si Pangan anak, si
pangan boru (patung pemakan anak laki-laki, pemakan anak perempuan)
yang menjadi lambang hukum dan keadilan.
Sayangnya buku ini tidak menjelaskan secara detail kapan sebenarnya
masyarakat Mandailing memeluk agama Islam. Ada beberapa dugaan yang
mengarah pada pertama kali masyarakat Mandailing memeluk agama Islam,
yaitu orang-orang Paderi yang datang menyerbu ke Mandailing dari
Minangkabau.
Bila dilihat dari buku “Kehidupan Politik Suatu Kresidenan di Sumatera:
Tapanulu” tahun 1915-1940, halaman 14 yang ditulis Lance Castles
menjelaskan, sebelum kaum Paderi masuk ke Mandailing menjelang 1820,
beberapa pemimpin Mandailing telah beragama Islam.
Buku “Madina yang Madani” ditulis Basyral Hamidy Harahap di halaman
238, menurut catatan Wilter ada dua raja Mandailing sudah memeluk agama
Islam sebelum Paderi, yaitu Raja Gunung berdiam di Gunung Beringin dan
Mangaraja Gunung Kuria Huta Siantar.
Terlepas mana literatur yang benar, kehadiran buku ini cukup bagus
untuk menjadi catatan untuk mengetahui keadaan Mandailing pada masa
lampau. Harus diakui sampai saat ini tidak banyak buku yang membahas
mengenai sejarah suatu daerah.
Sumber: www.analisadaily.com
http://apakabarsidimpuan.com/2010/08/tinjauan-buku-catatan-mandailing-di-masa-lalu/
No comments:
Post a Comment