Monday, March 12, 2012

Berbagai Penilaian Terhadap Orang Batak


Berbagai Penilaian Terhadap Orang Batak

1. Orang Batak menurut Paranormal Permadi, SH.
(Majalah Bona ni Pinasa, Maret 1995)

Memang di situlah anehnya. Orang Batak itu kasar dan brutal, tetapi hatinya halus. Makanya lagu-lagu Batak itu ”nangis manganung”. Semua merintih. Jadi orang Batak itu sebenarnya cengeng, fisiknya saja yang kuat. Itulah yang mendekatkan saya dengan Batak. Kita punya persamaan.
Bagaimanapun, penilaian Permadi diwarnai nuansa negatif dan positif. Kesan positif itu antara lain sifat bekerja keras, habis-habisan siang malam. Tetapi sisi lain, orang Batak juga menunjukkan sifat tak sabaran, cenderung menempuh jalan pintas dan malas, apalagi kalau dalam keadaan menganggur.

Kelihatannya, orang Batak itu sulit menciptakan pekerjaan. Dia harus diberi pekerjaan. Dan sesudah pekerjaan diperoleh, dia akan benar-benar bekerja keras, banting tulang. Tetapi kalau tak ada pekerjaan, mereka malas-malasan, akhirnya main judi, minum-minum di warung atau lapo tuak. Jadi, orang Batak suka pekerjaan- pekerjaan keras yang dipercayakan kepadanya, makanya, seperti di Jakarta ini, banyak yang menjadi kuli atau kondektur.

Sifat positif kedua ialah sifat gotong royong. Tetapi bila kadar sifat ini telalu tinggi, akhirnya bisa berakibat negatif. Misalnya, begitu ada seorang Batak menjadi pejabat, maka bagaikan semut, semua kerabatnya akan mengerubunginya. Kadang muncullah sifat kurang terpuji. Bila si pejabat tidak memberi sesuai dengan harapan, lalu diomongin dan dibilang sombong.

Kejujuran, keterbukaan, dan sikap terus terang, termasuk dalam mengkritik orang lain, juga dinilai Permadi sebagai sifat yang positif. Tetapi sifat yang sangat positif ini telah tenggelam menjadi tidak positif karena dominasi Jawa yang marah kalau dikritik terus terang. Keadaan bukannya balance, tapi orang Batak justru banyak yang ketularan orang Jawa. Sifat ketularan ini dengan jelas terlihat pada seorang Batak yang menjadi pejabat- dan banyak pejabat orang Batak yang beristrikan orang Jawa.

Si Batak yang menjadi pejabat ini akan ikut-ikutan budaya Jawa. Kalau ketemu pejabat, dia akan megang burungnya, ngomong dengan menunduk, tidak mau lagi melihat wajah lawan bicara.
Mantan menteri Kehutanan Hasjrul Haahap pernah pernah mengkritik saya. Katanya; kau ini aneh, kau yang jadi Batak, saya jadi Jawa. Tetapi setelah ia tidak menteri lagi, ia kembali menajdi Batak, ha ha ha…

Sementara itu, sifat sombong, gengsi dan harga diri orang Batak yang tinggi itu dinilai relatif oleh Permadi. Tergantung pada kemampuan seseorang menempatkan posisinya. Bisa positif bisa negatif. Sebab, harga diri yang tinggi itu sebenarnya positif. Untuk bisa melakukan tawar-menawar ( bargaining position) diperlukan harga diri yang tinggi atau kesombongan yang benar. Tetapi celakanya, justru terjadi di sini, orang Batak sering meremehkan ( prestasi atau kemampuan) orang lain. Padahal kalau diberi kesempatan, belum tentu bisa dia mencapai prestasi seperti itu.

Gaya hidup seperti raja ( walaupun miskin), suka memerintah orang, ngutang demi gengsi dan berpikir pendek juga merupakan ekses negatif dari harga diri yang tinggi itu. Saya tahu banyak orang Batak yang mengutang demi gengsi. Tak peduli, yang penting bisa hidup seperti raja karena memang semua lelaki Batak suatu saat akan menjadi raja. Jadi, dalam hal ini ada kesalahan dalam mengappresiasi nilai-nilai budaya.

Permadi menegaskan, dalam pembangunan kebudayaan nasional yang besifat Bhinneka Tungal Ika, budaya Batak adalah aset nasional. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya Batak yang unggul harus diinventarisasi dan dikembangkan.

Kita tahu, di bidang seni, Batak itu unggul. Di bidang sumber daya alam, wilayah Tanah Batak juga sangat kaya. Tidak ada tanah sesubur itu, terutama dalam bidang perkebunan, seperti kopi, teh, karet. Tetapi yng memprihatinkan, rakyatnya miskin, itu karena mereka kurang kreatif. Kalau di Jawa, tanah koong seperti itu pasti sudah jadi sawah atau perkebunan.

Permadi menyarankan agar potensi kekayaan alam dan budaya dikembangkan dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Rakyat harus diberi kesempatan untuk mengolah tanahnya sendiri, jangan justru diserahkan kepada orang luar.
2. Penilaian lainnya
Hasil pengamatan Eliakim Tambunan:

Budaya Parhobas sedang luntur : Lunturnya budaya memberikan pelayanan ” parhobas” ini sudah terasa merambat ke kalangan aparat pemerintah daerah. Misalnya jika bicara tentang mempersiapkan data keperluan proposal proyek, aparat bersangkutan tidak lekas tergerak kalau merasa pelaksanaan proyek itu nantinya jatuh ke tangan orang lain, atau bukan kelompoknya yang mengerjakannya. Ini bekaitan dengan sifat ”elat” atau tidak suka kalau orang lain mendapat rezeki.
DR. Meyer Siahaan :
Pola Hidup Konsumtif sudah masuk desa :
Gejalanya: Generasi muda di Bonapasogit makin banyak nongkrong di lapo tuak berlama-lama, dan uang yang dibelanjakan lebih banyak dari pendapatannya. Kemudian, untuk menempuh jarak hanya 3-5 km tidak mau lagi berjalan kaki, langsung naik angkot. Orang yang diajak bekerjasama ( bermitra) langsung menuntut ada sepeda motor
Prof. DR. Midian Sirait :
Mempertanyakan, apakah sesungguhnya masih ada kebudayaan Batak itu?
Memperhatikan kalau hari Minggu, anak-anak muda bukannya pergi beribadah ke Gereja, tetapi lebih senang pergi nonton. Pada hari-hari biasa, belum waktunya pulang sekolah, tetapi sudah nongkrong di jembatan. Kepala kampung lulusan SMA, tetapi kerjanya hanya main catur di lapo Tuak. Raja-raja adat tidak berprilaku seperti raja, kecuali di waktu pesta perkawinan, Dia tidak panutan lagi, sudah kehilangan wibawa. Begitu juga para pengurus Gereja, kenapa terus berkelahi ? Jadi sepertinya tidak ada lagi yang pedulu tentang nilai-nilai budaya Batak.

Drs. Jhonson Pardosi ( Staf Pengajar Program Studi Sastra Batak- USU):

Di kota-kota besar, sudah jarang generasi muda Batak Toba yang dapat berbahasa Batak. Mereka tidak mengerti kalau tonggo-tonggo itu adalah bentuk doa dan andung itu bukan ratapan semata. Mereka hanya tahu kalau tonggo-tonggo itu hanya merupakan doa untuk roh-roh jahat dan untuk roh nenek moyang.

Padahal kalau disaksikan di lapangan, misalnya dalam hal penggunaan tonggo-tonggo dalam acara keagamaan ( Parmalim, Parbaringin dan Si Raja Batak) tidak sama dengan tonggo-tonggo yang dipakai dalam acara horja atau pesta besar. Begitu juga dengan andung, bukan hanya ratapan karena kematian, kepedihan hati, penyesalan dan kebahagiaan. Tetapi masih ada yang disebut andung paragat, andung parmahan, andung parhaminjon ( andung penyadap nira, gembala kerbau, dan penyadap kemenyaan) yang semuanya itu bagian dari budaya.

Bah! Lebih parah lagi, banyak para tua-tua adat yang tidak tahu membedakan antara Umpama dengan Umpasa.


BERBAGAI PENDAPAT TENTANGSPIRITUALITAS ORANG BATAK
DR. Jan Aritonang:
Orang Batak memiliki spiritualitas yang tidak terpecah-pecah. Kehidupan ini dipahami secara utuh, tidak ada pemisahan yang ketat antara yang jasmani dengan yang rohani, antara masa kini dengan masa depan, dan yang antara yang sakral dengan profan. Surga dan dunia tidak terpisah.

Tondi atau roh menurut kepercayaan Batak tradisional juga mempunyai urusan terhadap dunia ini. Malah tondi bisa mengatur kehidupan manusia, bahkan mereka bisa makan sebagaimana layaknya manusia biasa. Itulah sebabnya kenapa orang Batak memberi sesajen kepada Tondi atau roh nenek moyangnya, misalnya tuak, saksang atau rokok. Roh orang mati diyakini tetap berada di dunia ini dan ikut mencampuri kehidupan, baik sebagai pemberi berkat atau mengutuki manusia.

Konsep kepercayaan seperti ini bersumber dari kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Na Bolon (Allah Sang Pencipta Yang Maha Besar) yang tidak merupakan kekuatan tunggal. Ia (Allah) juga memanifestasikan diri melalui kekuatan-kekuatan, seperti dewa atau roh-roh lainnya. Orang Batak yakin bahwa Allah ikut campur dalam segala bidang kehidupan.
Jadi, walau orang Batak menyembah berhala atau kekuatan-kekuatan duniawi, muaranya tetap satu: pemujaan terhadap Allah.

Spiritualitas demikian dimiliki orang Batak sebelum Kristen masuk ke Tanah Batak. Setelah Kristen masuk, spiritualitas ini menjadi persoalan, sebab kekristenan dengan tegas membedakan hal-hal yang materil dari immaterial, antara pemujaan terhadap Allah dan pemujaan terhadap roh atau sumangot. Kekristenan hendak mengambil alih dan membuang segala spiritualitas tradisional sehingga terjadilah diskrepansi atau keterpecahan identitas manusia Batak hingga sekarang.
Jadi tidak benar bahwa sebelum Kristen masuk ke Tanah Batak, orang Batak adalah sipelebegu atau pelbegu.

Uskup Mgr. A.B.Sinaga :

Nilai yang paling menonjol dari masyarakat Batak adalah kehidupan spiritualitasnya yang tinggi. Orang Batak sangat dekat hubungannya dengan Debata Mulajadi Na Bolon. Orang Batak beranggapan bahwa mereka adalah keturunan langsung Dewata. Itu berarti seorang Batak boleh bicara kepada Dewata seakrab seorang anak kepada ayahnya, bahkan boleh meminta seolah-olah itu haknya. Begitu sederhana, lapang dada, jujur hidup ini menurut perasaan mereka, sehinga Sisingamangaraja misalnya mengajarkan keyakinan bahwa politik yang terbaik adalah hatigoran ( ketulusan).

Sesuai dengan ciri khas ( penanut) agama primitif, orang Batak menganut dua kepercayaan yang saling bertentangan, yakni : white magic ( hamalimon) yang berorientasi kepada Allah dan Black magic ( hadatuon) yang memuja kekuatan duniawi. Jadi dalam pribadi orang Batak, kedua kepercayaan yang saling bertentangan itu harus bersatu, barulah seseorang benar-benar diakui sebagai manusia Batak yang utuh.

Dia harus ditakuti sebagai dukun sekaligus sebagai malim yang bisa bedoa kepada Allah. Dia harus bisa sebagai perantara manuia kepada Allah. Dengan ilmu hadatuonnya iapun harus bisa menggoyang gunung atau menerbangkan losung. Jadi, spiritualitas Batak sebenarnya bersifat kontradiktif karena menyatukan hadatuon dan haporseaon. Inilah yang disebut spiritualitas ke-Allah-an yang bersifat roh.

Selain itu, orang Batak juga percaya terhadap tondi (roh) leluhur yang disebut Sumangot ni ompu. Ada tiga tingkatan roh orang meninggal: begu, sumangot dan sombaon.
Semua orang yang meninggal jadi begu, tetapi tidak semuanya bisa menjadi sumangot dan sombaon. Di sinilah puncak hasipelebeguon manusia Batak. Keselamatan dicapai dengan menyembah Allah dan menyembah sombaon, dengan keyakinan bahwa dua-duanya sama-sama memberikan pasu-pasu (berkat). Itu berarti bahwa orang Batak percaya terhadap Debata Mulajadi Na Bolon sebagai Sang Pencipta. Disebutlah itu Ompu Raja Mula-Mula, Ompu Raja Mulana, na ro sian na so marmula, so binoto ujungna, na ra matua na so ra marsahit, Ibana do nampuna sude saluhutna.

Tujuan hidup manusia Batak zaman dulu ialah:
- mardebata ( ber Allah)
-maranak marboru ( berketurunan atas bekat Allah- tetapi kalau Allah menghendaki tidak mempunyai keturunan, itu tidak sampai mengurangi martabatnya.
- penghidupan yang baik atau kesejahteraan hidup.
Berkaitan dengan cita-cita dan tujuan hidup untuk berketurunan dan memperoleh kesejahteraan hidup di atas, pada dasarnya Orang Batak bukanlah manusia yang materialistis walau mereka selalu mengharapkan sai sinur ma pinahan gabe na niula ( semoga ternak peliharaan dan pekerjaan memberikan hasil yang memuaskan).

Konsep hamoraon, hasangapon dan hagabeon ( 3H) yang dikenal sekarang bukanlah konsep asli Batak. Konsep tersebut masuk sejalan dengan sekularisme yang kemudian berkembang. Yang dihormati manusia Batak bukanlah kekayaan atau jumlah keturunan, tetapi hamalimon dan hadatuon manusianya. Di situlah letak penghargaan terhadap spiritualitas manusia Batak. Biar miskin di hajolmaon (tidak berketurunan) kalau dia memiliki kekayaan dalam urusan partondion atau mardebata, dia tetap dihormati. Upaya memperoleh kekayaan dan keturunan tetap berdasarkan nilai-nilai haporseaon terhadap Mulajadi na Bolon.

Tentang cita-cita berketurunan, orang Batak mengharapkan sai tubu ma anak na tangkang, na juara jala na targoar… dohot si boru naulian….’ na gabe datu pangulpuk, datu parhoa-hoa ( kiranya lahir anak yang gagah perkasa dan terkenal ) serta anak perempuan yang cantik serta jadi dukun besar sekaligus mampu berdoa kepada Allah.

Angka 3 ( tiga) juga merupakan bagian dari spiritualits Batak. Mereka pecaya terhadap Allah tiga dimensi, yang hadir dalam kedirian yang disebut Debata Na Tolu : Batara Guru, Batara Soripada, dan Batara Mangala Bulan. Bumi orang Batak terdiri dari tiga tingkat, yakni Banua Ginjang ( dunia tas), Banua Tonga (dunia tengah atau bumi), dan Banua Toru ( dunia bawah).
Masyarakat Batak juga dibangun dalam struktur Dalihan Na Tolu ( Tungku Nan Tiga): dalam ilmu hadatuon ( perdukunan) ada benang manalu atau manolu yang terdiri dari warna hitam, merah dan putih; sampai persembahan pada upacara bius pun dikenal tiga jenis kuda, yakni : kuda silintom ( persembahan untuk Bara Guru), nabara ( persembahan untuk Batara Soripada), dan Sihapas pili (persembahan untuk Mangala Bulan).

DR. Parakitri Tahi Simbolon:

Ada empat rumusan terkenal mengenai keyakinan tersebut yang juga merupakan bagian dari spiritualitas Batak, yakni :
- parhatiha sibola timang ( pemilik dacin/timbangan yang sangat seimbing)
- parninggala sibola tali ( pembajak yang mampu membelah tali)
- parmahan so marbatahi ( penggembala tanpa cambuk)
- pamuro so marumbalang ( penjaga padi tanpa bandring)

Ini menggambarkan keseimbangan dan harmonisasi dalam kehidupan orang Batak. Dalam praktek, rumusan-rumusan tersebut menjelma dalam kepemimpinan Sisingamangaraja. Wibawa kekuasaannya dilaksanakan tanpa tentara, tanpa pangreh praja, bahkan tanpa memungut pajak. Yang diandalkan hanya kuasa moral dan spiritualitasnya.

Ketiga narasumber di atas, DR. Jan Aritonang, Mgr. Uskup Sinaga maupun Parakitri sama-sama melihat adanya nilai dalam spiritualitas sebagian orang Batak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut masyarakat Batak sekarang. Di sinilah agama seyogyanya bisa lebih arif lagi untuk menyeleksi dan secara pelan-pelan mengisi nilai-nilai tersebut dengan nilai spiritualitas agama, sehingga masyarakat Batak tidak mengalami diskrepansi atau keterpecahan kepribadian karena kedua kakinya berada di dunia yang berbeda.

Pdt. DR.A.A.Sitompul ( Mantan Ketua STT HKBP Pematang Siantar)

Masyarakat Batak sudah mendesak untuk kembali memiliki spiritualitas atau Partondion na mangolu yang harus direfleksikan dalam dalam kehidupan sehari-hari. Tidak cukup hanya kesalehan-kesalehan, tetapi kesalahen masih harus diisi dengan pendalaman iman dan perubahan sikap.Ketiga hal tersebut harus saling mengisi dan melalui itulah kita akan mengerti bagaimana kehendak Allah. Jika tidak, kita akan kehilangan pedoman.

Harap dicatat, dalam hidup kita tidak akan mungkin mundur. Jika ingin maju kita harus memiliki pedoman.
Masyarakat Kristen/Batak harus berprilaku sebagai nabi yang mengingatkan, sebagai imam yang sanggup mendamaikan, dan sebagai hamba yang mampu sebagai pekerja dan pelayan. Justru prilaku seperti inilah yang jarang ditemui sekarang.

Walaupun kita sering menjumpai orang-orang pintar dan intelektual, tidak banyak dari mereka yang bijak dan namarroha. Tidak pernah lagi kita terapkan dalam hidup sehari-hari ” talu maralohon dongan monang maralohon musu ” atau ” Gala-gala sitelluk, telluk mardagul-dagul, molo adong hasalaan nami, naget ma hamu mangapul-apul”. Padahal bagi generasi penerus sekarang ini tidak cukup hanya kata-kata untuk mendidik mereka. Mereka menuntut suatu bukti dan sikap yang dapat diteladani.

Sebagai anak Tuhan, ada tiga hal yang patut kita perhatikan dalam kehidpan kita sehari-hari. Pertama, meditasi. Kita harus meditasi dengan tekun, berdoa agar kita dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Meditasi dapat kita jadikan sebagai parabola untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Kedua; Liturgi.

Karena tuntutan hidup, kita semakin sibuk. maka kita perlu meningkatkan intensitas kebaktian-kebaktian, baik itu kebaktian di Gereja, keluarga dan lingkungan agar kemajuan pola pikir dan IPTEK yang sangat luar biasa sekarang ini dapat dipertanggungjawabkan oleh gereja dan masyarakat Bhatak. Ketiga adalah emansipatoris.

Kedua hal di atas haruslah kita tujukan untuk kepentingan lingkunan dan osial. Sebab musuh yang paling besar pada msa mendatang adalah kejahtan yang justru berasal masyarakat. Munculnya kejahatan tidak hanya dari sipelaku, tetapi juga akibat dari lingkungan masyarakat. Contohnya, apakah korupsi dapat dikategorikan kepada ” tangko raja”.

Gereja sudah berusaha agar kebudayaan itu bernilai positif dan dapat dipakai untuk memuji Tuhan. Yang menjadi keterlambatan sekaligus menjadi kekurangan Gereja HKBP adalah minimnya unsur budaya tersebut yang masuk dalam liturgi Gereja. Seperti minumnya pemakaian Umpasa/Umpama, tortor, gorga dan lain-lain. Padahal, dalam mazmur 150 jelas dikatakan bahwa tarian dapat memuji Tuhan.

Dalam hal ini bukan hanya salah Geeja, juga masyarakat terutama budayawan dan tokoh-tokoh adat yang pada prinsipnya lebih berkepentingan dalam hal pewarisan budaya.
Seharusnya para budayawan dan tokoh adat dapat menyeleksi materi-materi budaya tersebut yang dapat dipakai dalam Gereja untuk memuliakan Tuhan. Dalam hal ini jangan kita memutlakkan sesuatu atau mengabsolutkan yang lain. Dan harap dicatat, yang dapat diwariskan hanyalah budayanya sedangkan nilai dan maknanya harus melalui penghayatan dan keteladanan yang memakaianya.

Untuk itu, perlu kesepakatan dari semua pihak. Dulu waktu membangun Gereja Dame Siantar dengan gaya arsitektur Batak Toba, sangat susah membuat kesepakatan apakah gorga dapat dibuat atau tidak. Jadi,apakah pengembangan budaya itu tugas Gereja atau tokoh budaya ?

Dalam Gereja sudah saatnya diadakan suatu forum diskusi agar iman masyarakat semakin tumbuh. Gereja itu harus kita fungsikan jadi partungkoan. Bila perlu, Gereja harus mempunyai teras sebagai tempat diskusi dengan membentangkan tikar. Sebab kotbah Pendeta di Gereja belum cukup jadi makanan rohani jemaat dalam hidupnya. Oleh sebab itu, pendeta harus menjumpai jemaat ke rumahnya masing-msing. Bahkan ke tempat kerjanya.

Jadi, tradisi yang sekarang ini, di mana jemaat yang menjumpai pendeta haruslah kita rubah. Syukurlah karena sampai sekarang ini masih ada kedai tuak yang dapat dijadikan masyarakat sebagai partungkoan, walaupun pada hakikatnya diskusi di kedai tuak itu kadang-kadang bernilai ekstrim dan cenderung kepada pembicaraan yang tak kunjung usai.

Kita perlu beranjak dari sudut budaya, agar melalui Gereja spiritualitas agama dan budaya dapat tumbuh sekaligus. Karena itu tokoh budaya dan komponis Batak perlu dihimpun untuk menggubah nyanyian rakyat, Umpama/Umpasa, torsa-torsa, filsafat dan budaya lainnya dapat dimasukkan ke dalam nyanyian Gereja. Masa lagu Gereja HKBP tidak ada yang baru, seluruhnya lagu-lagu lama.
Tentang pewarisan budaya sekarang ini, menurut penilaian DR. Sitompul sebagai sangat memprihatinkan akibat minimnya buku pedoman yang dapat dijadikan sebagai acuan.

Persatuan/ punguan marga perlu mengadakan diskusi budaya selesai mengadakan pertemuan atau partangiangan dengan melibatkan generasi muda. Sebab, akibat dari kekosongan pendalaman nilai dan makna budaya, pemuda yang merantau hanya dilepas begitu saja tanpa pembekalan nilai budaya dan agama yang seharusnya dipakai sebagai pedoman di daerah rantau. Akibatnya, para perantau harus belajar kembali tentang mana yang baik dan yang tidak.Hal ini bisa mengakibatkan identitas mereka menjadi luntur.

Masyarakat Indonesia masih dalam proses mewujudkan kebudayaan Indonesia atas dasar sekian banyak kebudayaan kesukuan dan sekaligus bergumul dengan mengejar apa yang disebut kebudayaan mondial dan modern.

Kehidupan rohani yang sejati tidak tumbuh begitu saja, biasanya memerlukan waktu dan mengalami pergumulan sebelum mencapai bentuk dan cara yang agak sempurna. Sama halnya seperti proses pendewasaan seseorang.


(Dari Berbagai Sumber)

1 comment: