Wednesday, March 14, 2012

Debata Idup: Dinamika Hidup


  • Julius Manihuruk
    Debata Idup: Dinamika Hidup
    OPINI | 14 December 2011 | 04:06 54 0 Nihil
      
    (lanjutan dari “Toba: Titik-Temu”)

    Santos benar, kisah-kisah tragedi berulang-ulang di Nusantara (yang terkadang di perhalus menjadi “penciptaan kembali”) sekaligus menggunakan simbol-simbol Ibu-Putra memang eksis di berbagai mitologi di Indonesia. Misalnya di dalam tradisi Batak, Minahasa, dan Sunda. Saya memilih tiga ini karena, selain mempunyai ciri khas Ibu-Putra yang di maksud, ada beberapa intisari dari legenda-legenda ketiganya yang bisa di hubungkan satu dengan yang lain seperti; perbintangan (Batak), bumi yang bundar (Sunda, Minahasa), bumi yang berputar pada porosnya (Minahasa). Dengan begini kita bisa tahu bahwa pengetahuan-pengetahuan yang di wariskan oleh leluhur sebenarnya tidak hilang seluruhnya, bahkan bisa di bilang, saling melengkapi, dan pada akhirnya terhubung dengan tradisi-tradisi lainnya seperti Nias, Sumba, Bali, Toraja, dan masih banyak lagi lainnya, yang mengindikasikan wilayah Indonesia sebagai pasak, poros, pusat, pancang atau tiang bumi.

    Menurut Bernd Nothofer, dalam sebuah rekonstruksi bahasa-bahasa pra-sejarah kepada 30 bahasa dominan di Nusantara, Batak, bersama Nias, Gayo, Simalur, Mentawai, dan Enggano, merupakan sisa dari bahasa-bahasa budaya kuno Sundaland-Barat. Ia lalu menghubungkannya dengan yang tersisa di Sundaland-Timur seperti Sulawesi Utara, Filipina Selatan, dan Borneo Utara (Embaloh, Kayan). Secara keseluruhan yang tersisa dari Sundaland ini ia sebut; Paleo-Hesperonesia.

    Kemudian Oppenheimer melebarkan rumpun Paleo-Hesperonesia (Hesperonesia Kuno) ini hingga ke Borneo timur, timur laut, termasuk para “gipsi laut” yang tersebar luas di Asia Tenggara (suku Baju, Bajo, Bajau, Sama-Bajau). Para gipsi-laut inilah, menurut arkeolog senior Wilhelm Solheim, sebagai keturunan-keturunan dari JKPMN atau Jaringan Komunikasi dan Perdagangan Maritim Nusantao.

    Sebagai salah satu budaya megalitikum terakhir yang masih bertahan di dunia, Batak mempunyai banyak sekali mitos dan legenda yang tergolong kompleks ibarat pohon yang menjulang tinggi ke langit dan mempunyai akar dan dahan yang cabang-cabangnya tidak terhitung banyaknya. Tetapi semuanya saling terkait seperti kalpataru atau jaringan sehingga, meski tidak terhitung lagi variasi-variasinya, semuanya mempunyai dasar yang sama yang sudah terbentuk jauh sebelum aksara di temukan dan di perlakukan, ketika para leluhur kita masih menggunakan ukir-ukiran, tari-tarian, permainan, tatoo, lagu, penuturan, musik, sebagai media penyimpan sejarah masa banjir-banjir purba.

    Salah satu media penyimpan yang di anggap terkuno adalah penggunaan benda-benda langit dengan angka (numeral) sebagai dasarnya. Di sebut Tikki atau Tingki (divisi waktu, jaman, masa), yang kemudian melahirkan Parhalaan dan Permesa atau astronomi dan astrologi yang menjadi alat bantu navigasi untuk berlayar, penentu musim tanam dan panen, kemudian berkembang lagi menjadi kalender. Karakter-karakter yang di gunakan baik di dalam mitologi maupun perbintangan sepertinya berdasarkan kehidupan sehari-hari seperti kerbau, kuda, ayam, telur, cacing, sungai, gunung, pohon, periuk, kelamin, masa kehamilan, masa kelahiran, dan banyak lagi lainnya.

    Waktu identik dengan siklus identik dengan simbol O atau cincin, gelang, bulan, bumi, cakrawala, dan waktu juga di simbolkan dengan sesuatu yang meliuk seperti sungai atau di sebut serpent. Serpent merupakan salah satu simbol mitologi tertua yang tersebar luas di seluruh dunia. Di ambil dari kata latin serpens yang artinya; “merambat”, “merayap”, “menjalar”, “merangkak”, “timbul pelan-pelan”, “maju perlahan”, sementara serpentine adalah sifatnya yang meliuk-liuk, berkeluk-keluk, berliku, melengkung, gemulai, melambai, menari, berombak, melilit, juga bersisik, seram, geli, besar, dan sejenisnya.

    Ular, ikan, sungai, api, ombak, nyiur melambai, belalai, tali-temali, adalah beberapa yang berhubungan dengan serpent. Ular di anggap sebagai simbol waktu karena keistimewaannya yang suka berganti kulit secara berkala, di artikan sebagai, regenerasi, pembaruan, pergantian jaman, tahun baru, dan kelahiran kembali. Kemudian ular juga di gambarkan sedang mengejar atau mengigit ekornya sendiri sebagai perlambang keabadian (Eternal Return) dan terdapat dalam mitologi seperti Nordik, Cina, Mesir, Yunani (Ouroboros), Aztek (Quetzalquatl), dan banyak lagi lainnya.

    Kalahari
    Seberapa kunonya simbol ini tidak di ketahui, meski begitu ada yang menarik dari penemuan di gurun Kalahari yang terletak di wilayah selatan Afrika. Di sini di temukan sebuah situs yang mengindikasikan sebuah ritual keagamaan yang usianya kira-kira 70.000 tahun, berupa batu besar berbentuk ular piton, dengan ruang kecil yang tersembunyi, dan di kelilingi oleh beberapa mata tombak yang telah rusak dan 13.000 artifak lainnya. Bahkan sejarah panjang manusia yang terangkum dalam salah satu kisah epik terpanjang di dunia, Mahabharata, yang di tuturkan oleh Resi Wesampayana juga di awali dari permohonan Janamejaya yang gagal mengadakan upacara korban ular.

    Jadi kalau kita menemukan kata-kata dasar yang mirip di belahan bumi lain menandakan betapa kunonya simbol tersebut. Mungkin seumur dengan bahasa, alat komunikasi yang sejarahnya seumur dengan manusia (sebagai pengguna utama). Bahasa-bahasa pada jaman dahulu mungkin tidak seperti sekarang, lebih sederhana tetapi mengandung banyak arti. Penelusuran bahasa-bahasa kuno yang mengandung arti serpent dan masih di gunakan antara lain;

    • Nag (India) mengandung arti; naga, ular, gajah.
    • Atl (Aztek) mengandung arti; air, dewa, samudra, naga, ular.
    • Ai (Sawu, Nusa Tenggara Timur) mengandung arti; air dan api

    Suku Sawu yang bermukim di kepulauan paling selatan Indonesia hanya menggunakan satu suku kata saja, ’ai’ (bahkan satu vokal) tetapi sudah mewakili dua unsur utama penciptaan dan kehancuran. Yang dekat dengan ‘ai’ adalah ‘ahi’ dalam tradisi Vedik (pre-Hindu) di artikan sebagai ular atau naga. Selain itu ada Aides (Ἅιδης), Ades (Άδης), atau lebih populer dengan nama Hades, kekuatan absolut (api-air) Yunani kuno yang terletak di dunia bawah dan tersembunyi, pembawa simbol dualisme neraka dan surga (Tartarus dan Hesperides). Kemudian ada naga roda-waktu sebagai penanda esok-kemarin seperti Ai-dophedo (Ashanti, Afrika Barat), atau naga pelangi Ayi-da Wedo (Vodou-Benin, Haiti). Dan naga pelangi lainnya yang banyak menghiasai legenda-legenda di berbagai suku Aborigin-Australia sebagai simbol pencipta sekaligus pemberi wabah atau penyakit.

    Kemudian suku-suku Dayak di tenggara Kalimantan mempunyai kisah naga bermahkota yang berperan sebagai fondasi dalam pembentukan bumi, tetapi juga memuat kisah batu api yang jatuh menimpa bumi, sementara Padoha (mahluk bertanduk) adalah nama naga dalam tradisi Batak dan Bali yang mirip dengan serpent-serpent tersebut di atas.


    Debata Idup (Tugu-Tao)
    Kembali ke lingkar-abadi O tanpa gender, yang aktif ke atas seperti gunung (maskulin) dan menjorok ke bawah seperti kawah (feminin), mungkin di lihat dari samping terlihat seperti  atau meliuk-liuk seperti mengikuti sifat api yang menjalar ke atas (maskulin) dan air yang mengalir ke bawah (feminin).

    Tradisi Batak menamakannya Debata Idup (Dinamika Hidup). Gambar patung di atas ini adalah seni ukir pahat kayu yang menggambarkan Dinamika Hidup tersebut. Maskulin, di sebelah kiri, namanya Tugu karena ia menggunakan sanggul menjulang seperti tugu sementara yang feminin namanya Tao dengan ciri ada cawan di atas kepalanya, lalu perpaduan keduanya yang menghasilkan sesuatu yang meliuk-liuk itu, namanya Padoha sebagai simbol waktu, daya, dan cuaca (suara, udara, suhu, iklim, embun, hujan, petir, dan sebagainya) sekaligus sebagai fondasi bumi.

    Padoha melahirkan karya-karya seni berupa struktur bumi, seperti; gunung-gunung, lembah-lembah, serta yang berliku-liku seperti sungai-sungai, ombak, dan sebagainya. Secara tradisi, aktifitas Padoha ini di simbolkan dengan kain tenun ulos. Tiga warna utama ulos (hitam, merah, putih, sama dengan tiga warna batu fondasi Atlantis) mempresentasikan dataran tinggi, dataran rendah, dan diantaranya (pesisir, samudra, hutan). Selain itu Padoha juga di gambarkan melingkar dan terikat pada porosnya, dan bisa juga di bandingkan dengan raksasa atau naga yang di potong-potong di berbagai mitologi dunia (sebagai simbol kesuburan). Singkatnya saja, Dinamika Hidup saya simpulkan seperti di bawah ini;

    • Tugu (daya-pancar); maskulin, api, matahari, gunung, agrikultur, kesuburan.
    • Tao (daya-magnit); feminin, air, bumi, bulan, danau-kawah, kapas-benang, kehidupan.

    Sementara Padoha memang di kondisikan tidak terlihat, tetapi kita bisa mengetahuinya dengan menghubungkan aspek-aspek Tugu dan Tao misalnya maskulin-feminin, api-air, bumi- matahari, kesuburan-kehidupan, dan seterusnya. Berbagai nama-nama di dalam mitologi Batak seperti putri bulan, dewi tenun, dewa matahari, menunjukkan aspek-apek dari Tugu-Tao, mungkin agar mudah di telusuri langsung ke Dinamika Hidup. Bisa juga di bandingkan dengan Toar-Lumimuut dalam tradisi Minahasa yang tidak saja berperan sebagai leluhur tetapi juga berbagai aspek kehidupan seperti bumi, matahari, samudra, angin, dan sebagainya.

    Tidak ada yang menonjol dan tidak ada yang di tonjolkan di dalam Dinamika Hidup, semuanya saling terkait dan menyatu baik api (maskulin), air (feminin), dan api-air (Padoha). Ini juga bisa di lihat dari patung Debata Idup di atas di mana keduanya sama-sama menggunakan ikat kepala seperti cincin atau gelang O yang menjadi pengingat bahwa Tugu-Tao adalah satu, yaitu lingkar-abadi, tanpa gender, tanpa jenis kelamin. Simbol-simbol ini juga ditemukan di wilayah lain di Indonesia baik itu cincin, gelang, maupun ikat kepala.

    Tugu-Tao mewakili matahari-bulan bisa di simbolkan dengan dua lingkaran OO atau 8 atau juga bisa seperti di mana yang satunya seperti lingkaran di belah dua, kemudian bagian atas di taruh ke bawah dan yang bawah dinaikan ke atas, mirip kepala yang di atasnya ada tanduk, batok (tempurung) kelapa, cawan, perahu, bulan, atau tempat duduk. Karena OX ini adalah satu maka jika di gabung menjadi . Oleh tradisi Batak di taruh di atas langit menjadi konstelasi Sia (Orion) atau Sialasungsang yang bentuknya memang seperti X, K, atau . Sia artinya sembilan jadi jika di terjemahkan OX adalah 09. Karena ini merupakan simbol ombak atau dinamika hidup maka menjadi 090909090 dan seterusnya.

    Dewa atau leluhur di beberapa mitologi dunia juga menggunakan unsur-unsur Dinamika Hidup baik tunggal maupun sepasang. Pangu (China) adalah pencipta yang di gambarkan seperti Atlas sekaligus mahluk bertanduk yang berada di antara Yin dan Yang. Bagian-bagian tubuhnya adalah gunung-gunung, sungai-sungai, udara, bintang-bintang, dan lain sebagainya. Ymir adalah raksasa yang di potong-potong oleh tri-tunggal Nordik (Odin, Vili, Ve) dan bagian-bagian tubuhnya menjadi laut, awan, debu, sungai, dan sebagainya.

    Yahudi mempunyai mahluk air Leviathan yang di potong-potong dengan pedang api Tuhan, dan Adam dan Hawa (atau Kawwah) yang masing-masing artinya tanah dan kehidupan. Osiris dan Isis mewakili kesuburan dan kehidupan, sementara Nordik mempunyai Ask dan Embla (pepohonan dan tumbuhan merambat) sebagai leluhur manusia sebelum kiamat Ragnarok, lalu Lif dan Lifthrasir (kehidupan dan kesuburan) sebagai sepasang manusia pertama sesudah Ragnarok, dan masih banyak lagi leluhur atau serpent lainnya di berbagai tradisi yang berhubungan dengan kedua unsur utama (api-air atau tanah-air).
    —————————————————————————————————–
    REFERENSI:
    Ignatius Donelly:”Antediluvian World” (1883)
    Roland.B.Dixon: “Oceanic Mythology” (1916)
    Stephen Oppenheimer “Eden in the East” (1998)
    Rainbows in mythology – Wikipedia
    Timeline of religion – Wikipedia
    “World’s oldest ritual discovered”- eurekalert.org
    Mahabharata – Wikipedia bahasa Indonesia



No comments:

Post a Comment