Tuesday, March 13, 2012

(Padahal) Di Laut Kita (Pernah) Jaya


(Padahal) Di Laut Kita (Pernah) Jaya

Siapa yang menguasai lautan, dialah yang menguasai kekayaan dunia dan oleh karenanya dia juga menguasai dunia itu (Sir Walther Releigh, abad ke-16)

Pelabuhan Lamuri,  Aceh, 1292.  Pelabuhan Barus dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk lalu lalang. Tidak hanya orang Aceh yang nampak, tapi juga India, Cina, dan Eropa. Kala itu Lamuri telah menjadi pelabuhan internasional, bahkan punya mata uang emas (dirham) sendiri. Salah satu yang singgah bernama Marco Polo asal Venesia, saat perjalanan pulangnya dari Cina ke Persia. Marco Polo menulis, bahwa Peurlak adalah sebuah kota Islam.

Tak sampai seratus tahun kemudian, hadir musafir asal Maroko bernama Ibnu Battutah. Pada 1345, saat ia  mengunjungi Pasai, ia mencatat bahwa inilah bandar internasional, pertemuan antara Cina, Eropa, Aceh, dan India. Untuk warga Jawa, ada keistimewaan, yaitu bebas biaya cukai.  Ia juga bersaksi bahwa kerajaan Samudera pasai adalah pengikut Mahzab Syafii.

Sementara, tak jauh dari sana, ada pula Pelabuhan Barus, tepatnya di  kaki pegunungan Bukit Barisan. Pelabuhan itu dipadati oleh etnis Aceh, Batak, Minangkabau, Bugis, dan Bengkulu. Mereka berjual beli hasil bumi untuk diekspor ke Gujarat, Arab, Mesir, Cina, Portugis, dan Inggris. Ia tercatat dalam sejarah Dinasti Liang, abad 16 sebagai pelabuhan yang mempunyai kapur barus paling bermutu dan murni. Tanah kelahiran Hamzah Fansuri ini memang terkenal dengan kapur barus yang mutunya mendunia, bahkan disinyalir sejak zaman Nabi Sulaiman. Kayu  kamper sebagai penghasil kapur (al-Kafur dalam bahasa Arab, Champora dalam bahasa Latin) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan Cina dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan.

Al-Kindi, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan. Barus juga dijadikan bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Ramses II.

Ibnu Sina  menulis di Al Qanun Fi al-Thib (Hukum Kedokteran),  manfaat kamper sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamper juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Tumbuhan ini juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan.

Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia. Nilai jual kapur barus pun kian mendunia.
Begitu terkenalnya mutu impor dari Barus ini, bahkan Nurcholis Madjid menyatakan bahwa kata kafur menjadi kata satu-satunya dari Bahasa Melayu yang masuk dalam kosa kata al-Quran.
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman)  yang campurannya adalah air kafur (QS 76:5)

“Waktu itu yang disebut kapur barus tidak digunakan untuk kepinding seperti yang sekarang kita lakukan, tapi sebagai tonic. Ia dimasak menjadi tonic, menjadi minuman yang sangat menyegarkan, dan harganya mahal sekali karena harus diimpor dari Barus. Maka “kapur” kemudian menjadi simbol dari sesuatu yang sangat mewah dan sangat menyenangkan, sehingga di dalam Alquran dipakai untuk ilustrasi bahwa nanti minuman orang yang di sorga adalah minuman dengan campuran kapur,” tulis Nurcholis.
Tentu saja, kapur itu tidak hadir begitu saja. Para pedagang dari Tanah Aceh itu mengimpornya, dan tentu saja lewat lautan.

Mengenai hubungan dengan negara-negara lain, Bangsa Aceh punya begitu luas jalinan kerjasama dunianya. Misalnya, di abad ke-16, Ratu Elizabeth I dari Inggris mengutus Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh  dengan berbagai perhiasan. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik mereka dan mengizinkan untuk berlabuh dan berdagang di wilayahnya. Bahkan Sang Sultan membalas mengirim hadiah berupa sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas, bahkan Lancester dijuluki “Orang Kaya Putih”. Hubungan mesra ini berlanjut di masa Raja James I yang memberi kado Sultan Aceh berupa meriam yang hingga kini dikenal dengan Meriam Raja James.

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yang berkedudukan di Konstantinompel.  Tapi dalam perjalanan kesana, duta bangsa ini terlunta-lunta sehngga  harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal lada sicupak (sekarung). Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam itu kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin itu bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamunya.

Kerajaan-kerajaan di Aceh juga berbisnis ke Cina, Trengganu, dan Pattani, dengan birokrasi yang relatif mulus. Bilateral dengan Turki yang dikuasai oleh Ottoman (Usmani) masa itu, juga mesra. Fatwa demi fatwa disetujui oleh Sultan sekaligus Khalifah Usmaniyah. Atas rancangan usulan dari Negara Islam Samudera Pasai. Khalifah tunggal di Istambul  berkompeten untuk memutuskan hukum.
Itulah sedikit dari kekayaan sejarah kelautan bangsa ini.  Bangsa lain juga tak kalah hebat. Sebut saja Makassar, dan pelabuhan-pelabuhan kelas dunia yang ada di pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Banten, Sunda Kelapa,  Cirebon, Cilacap, Rembang, Japara, Tuban, Gresik,dan  Surabaya, di samping ada juga Kuta, Banda, Ternate, dan Tidore.

Bandar pelabuhan adalah cikal bakal kota-kota besar di nusantara. Mereka menjadi pusat dagang, politik, dan kebudayaan. Dan lautan saat itu dipandang sebagai adalah jembatan dan perekat, bukan pemisah. Lautan adalah jalanan bagi mereka.

Tercatat, Hukum laut sudah dikenal nusantara sejak Undang Undang Laut  Malaka di abad 15, di masa pemerintahan Muzaffar Syah (1445-1488). Dan ada juga dari Wajo, Tanah Bugis, Sulawesi Selatan, yaitu Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa  di abad  ke-17.s.

Dari sana terungkap berbagai aspek bidang kelautan bangsa Indonesia sejak zaman kuno. Di antaranya, sudah ada tata penyelenggaraan kewenangan di laut, tata penyelenggaraan kemakmuran, tata kehidupan sosial dan kebudayaan, serta tata penyelenggaraan pertahanan dan keamanan. Semuanya berorientasi kelautan.

Membaca teks-teks Amanna Gappa kita mengetahui, peraturan hukum laut tersebut tidak semata-mata didasarkan pertimbangan-pertimbangan komersial belaka, namun juga memadukan dan mengintegrasikan faktor-faktor susila dan  agama. Di dalamnya disebut kan sejumlah kota di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang masa itu menjadi pusat-pusat pelayaran dan perdagangan laut seperti Sumbawa, Aceh, Kedah, Selangor, Malaka, Johor, Jakarta, Palembang, Sambas, Banjarmasin, Pontianak, Ambon, Banda, Kei, dan Ternate.

Dalam karya sastra, epik tentang kelautan tercatat dalam Hikayat Hang Tuah dan tokoh  Sawerigading dalam I La Galigo. Tapi sekarang, kita hanya bisa menyebut tak sampai 10 pahlawan Maritim, sebut saja Yos Sudarso, Pattimura, Laksamana Nala, Martadinata, dan Malahayati.

Sejarah Indonesia mengajarkan bahwa nenek moyang kita sangat sadar tentang kelautan yang memang wilayah terbesar di negeri ini. Indonesia telah berlayar dan berdagang dengan India sejak 200 SM, dan makin intensif di tahun 300 M, dan hal ini mempengaruhi masuknya Hindu dan Budha, dan juga sistem pemerintahan kala itu.

Konon, sekitar 3.500 tahun lalu, nenek moyang bangsa Austronesia telah mengarungi Samudra Pasifik hanya dengan menggunakan perahu tradisional. Dari Asia, mereka berlayar ke Tahiti, Cile, Peru, dan Meksiko di Amerika Selatan, serta Los Angeles di Amerika Serikat. Dari sana perjalanan masih dilanjutkan ke Hawaii dan Australia.  Jauh  sebelum penjelajah-penjelajah Eropa, seperti Christopher Columbus, Vasco da Gamma, dan Ferdinand Magellan melakukannya pada abad ke-15.
Sejumlah peneliti pernah mencoba mencari bukti-bukti sejarah perjalanan bahari nenek moyang bangsa Austronesia itu. Satu di antaranya ialah Saman Rapong An, seorang profesor antropologi dari Taiwan.

Sekitar tahun 1980-an, Saman menemukan bahwa DNA (deoxyribose nucleic acid) orang Polynesia di Tahiti sama dengan DNA suku Tao (penduduk asli Taiwan) dan suku Ainu (penduduk asli Jepang). Ditemukan juga bahwa suku-suku asli di belahan Pasifik memiliki banyak kesamaan dengan suku Tao dan Ainu, misalnya dari makanan pokok dan perahu tradisional yang menggunakan cadik.
 Sekitar tahun 300-500 M, Pendeta Budha Fa Shien dan Gunavarman menjadi saksi pelayaran niaga, di antaranya kemenyan dan kayu cendana, hingga ke Negeri Cina.

Prasasti tertua Sriwijaya berangka  tahun 683  di Bukit Segantung menunjukkan betapa Kerajaan Sriwijaya tidak hanya meliputi Sumatera, tapi juga di seberang Selat Melaka dan Selat Sunda. Ia menjadi sebuah kerajaan maritim pertama yang terbesar. Luas kerajaan Sriwijaya begitu mengesankan seorang suadagar Arab bernama Sulaeman, pada tahun 851, sehingga ia berkata: 'Bila ayam jantan mulai berkokok di saat fajar menyingsing, maka ayam-ayam itu saling bersahutan di sepanjang jarak 625 km, karena kampung-kampung itu berderet rapat tanpa terputus-putus'. Tak kurang dari pedagang Arab, Persia, dan Cina yang berkunjung ke sana, dan tentu saja pintu gerbangnya adalah pelabuhan kosmopolitan saat itu.

Di abad ke-9,  Baru-baru ini Kapal Borobudur, sebuah replika kapal yang dipahat di sebuah dinding Candi Borobudur, telah menunjukkan bahwa kapal sejenis itu telah dapat berlayar dari Indonesia ke Afrika Timur, bahkan sampai ke Ghana di Afrika Barat. Panjangnya hanya 24 meter dan lebarnya 4 meter, tanpa mesin, tetapi dapat mengarungi Lautan Hindia yang luasnya beribu mil dan nyaris tak ada pulaunya.

Kapal yang terpahat di Borobudur menunjukkan, dulu nenek moyang kita adalah pelaut. Nenek moyang kita berlayar sampai ke Afrika. Pliny, seorang sejarawan Romawi abad ke-1, melaporkan hal itu. Nenek moyang kita berlayar sampai ke Afrika dan membentuk koloni di sana telah dibuktikan dari penelitian linguistik dan DNA. Bahkan, mungkin sampai ke Afrika Barat melalui Tanjung Harapan dengan lautnya yang ganas.

Pada 1350-1389, giliran Majapahit yang berjaya. Di bawah pimpinan Hayam Wuruk, Gajah Mada menguasai seluruh kepulauan Indonesia dan Selat Malaka, sesuai dengan Sumpah Palapa.

Pada  1416, seorang Muslim Cina, Ma Huan, mengunjungi daerah pesisir Jawa dan memberikan suatu laporan di dalam bukunya yang berjudul Ying-Yai Senglan (Peninjauan tentang Pantai-Pantai Samudra). Laporan Ma Huan memberi kesan bahwa agama Islam dianut dilingkungan istana di Jawa.

Makassar adalah Pusat pelayaran dunia di abad ke-16. Alfonsio de Albuquerue dari Portugis sempat singgah pada 1510. Antoni de Dalva singgah ke Suppa, Siang, dan Tamboku pada 1542, dan saat kembali dua tahun kemudian, pelabuhan Gowa sudah besar.

Disertasi yang ditulis Edward L Poelinggomang, kemudian dibukukan dengan judul Makassar Abad XIX; Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim menyebutkan, bahwa pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera.

Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam).
Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.

Menurut ahli sejarah maritim dari Universitas Hasanuddin itu, wilayah Sulawesi tidak disebut dalam kelima jaringan perdagangan itu. Pelabuhan Makassar yang berada di tengah- tengah dunia perdagangan baru berkembang sekitar abad ke-16. Di bagian utara berkembang jaringan perdagangan Laut Sulu, di timur dan selatan jaringan perdagangan Laut Jawa, dan di barat jaringan perdagangan Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Teluk Bengal.

"Dari berbagai dokumen yang saya baca, sekitar abad ke-17 Pelabuhan Makassar merupakan pelabuhan yang paling besar dan paling bagus penataan ruangnya," kata Edward. Hingga abad ke-19, hanya Makassar yang memberi izin tinggal bagi pedagang asing sehingga pedagang dari Inggris, Denmark, Portugis, dan Spanyol bebas membangun loji di sekitar pelabuhan.

Yang paling unik, menurut Edward, semua orang yang bangsanya berselisih, apabila datang ke Makassar, justru berdamai. Sebagai contoh, orang Portugis dan Spanyol berdagang dengan damai di Makassar. Padahal, kedua telah menandatangani perjanjian Tordesillas yang membelah bumi untuk mereka. Kedua bangsa ini juga membuka pelabuhannya jika didatangi saudagar dari Makassar. "Dalam dokumen disebutkan, saudagar-daudagar Makassar memiliki loji di Manila dan Makau abad ke-17. Kehebatan mereka pada waktu itu sangat luar biasa," tutur Edwards.

Bahkan, pedagang Bugis punya andil dalam kemajuan Singapura. Buktinya, kampung pertama yang dibangun di pulau itu adalah Kampung Bugis di daerah Gelam.

Pada  1680, Kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa berjaya. Banten yang kala itu kaya dengan ladanya memiliki suatu armada yang di bangun menurut model Eropa. Kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan menyelenggarakan perdagangan yang aktif di Nusantara. Atas bantuan pihak Inggris, Denmark, dan Cina, orang-orang Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Cina, Filipina dan Jepang.

 Dan VOC pun datang mencari rempah-rempah. Ketika itu, sekarung cengkeh bernilai satu rumah besar. Di Eropa, rempah-rempah digunakan untuk pengawet, obat, dan kecantikan. Saat itu,  mereka belum bisa membuat porselen dan harus membelinya di Cina, karena tidak mengenal kaolin. Dan sejak itu, perlahan tapi pasti, fokus negeri-negeri di Nusantara mulai ke daratan dan menelantarkan lautan.

Pembangunan Indonesia memang tidak berorientasi ke laut.  Padahal, kata Stamford Raffles, bangsa Indonesia terkenal sebagai pelaut-pelaut yang terlatih dan berpengalaman. Untuk wilayah Indonesia dengan panjang pantai sekitar 81 ribu kilometer—mendekati 25 persen panjang pantai di dunia—kini hanya ada lima pelabuhan perikanan samudra. Bandingkan dengan Jepang dengan panjang pantai jauh lebih pendek dari Indonesia memiliki lima ribu pelabuhan samudra.



No comments:

Post a Comment