DINASTI KERAJAAN BATAK-3
DINASTI SINAMBELA (SISINGAMNGARAJA)
SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.
Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur).
Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Panglima tersebut yang diangkat sebagai putra mahkota kerajaan dikenal juga sebagai Manghuntal karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak.
Ayahnya marga Sinambela, merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang menguasasi berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. Sinambela merupakan raja huta di daerah tersebut. Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal selama bertahun-tahun. Tidak seperti normalnya bayi selama sembilan bulan. Suaminya kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang bayi, dan akan melahirkan setelah empat tahun. Empat tahun kemudian, sang bayi dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar. Dia kemudian dibesarkan di istana Raja Uti VII.
Ketika Portugis pertama sekali menyerang Kerajaan Hatorusan, Panglima Mahkuta atau Manghuntal memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.
Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.
Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat muasal leluhurnya.
Transfer kedaulatan Batak dimanifestasikan dalam tujuh simbol kerajaan yang diberikan kepada Manghuntal. Ketujuh simbol tersebut adalah pisau (knife), spear (tombak), sorban atau surban (turban), ikat-scarf, mat (sejenis lapik), jug (kendi) dan gajah putih. Legenda gajah putih ini sebagai lambang kebesaran Raja-raja Uti juga terkenal sampai ke Aceh. Legenda tersebut sekarang ini diabadikan menjadi nama sebuah universitas: Universitas Gajah Putih di Takengon.
Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya, perwakilan dari keturunan Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.
Raja SM Raja XII, sebagai penghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.
Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.
Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M. (Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907).
Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara, Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).
Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing).
Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu institusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan.
Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat kharismanya menanjak.
Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat mitos tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian Manghuntal. Beberapa mitos tersebut adalah:
Divine dan Holy; SM Raja dan keturunanya dianggap sebagai seorang yang mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti dan mempunyai banyak kelebihan.
Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang “yang tidak pernah mati dan tua”-na so olo mate na so olo matua
Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal yang dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih berusia 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Sumber:
http://et-ee.facebook.com/topic.php?uid=72582435999&topic=11060&post=44337
DINASTI SINAMBELA (SISINGAMNGARAJA)
SM Raja I adalah turunan dari Oloan dari marga Sinambela. Dinasti SM Raja adalah sebagai berikut:
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.
Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Manullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur).
Sang Raja Uti VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang ayah bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.
Panglima tersebut yang diangkat sebagai putra mahkota kerajaan dikenal juga sebagai Manghuntal karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak.
Ayahnya marga Sinambela, merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang menguasasi berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. Sinambela merupakan raja huta di daerah tersebut. Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal selama bertahun-tahun. Tidak seperti normalnya bayi selama sembilan bulan. Suaminya kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang bayi, dan akan melahirkan setelah empat tahun. Empat tahun kemudian, sang bayi dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar. Dia kemudian dibesarkan di istana Raja Uti VII.
Ketika Portugis pertama sekali menyerang Kerajaan Hatorusan, Panglima Mahkuta atau Manghuntal memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut.
Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuaraan. Praktis Dinasti Uti pun berakhir dan lenyap. Pusat Kerajaan Hatorusan di Aceh diperkirakan berakuisisi dengan Kesultanan Aceh. Di Singkil sampai sekarang masih terdapat kelompok-kelompok keturunan Batak.
Mahkuta yang kemudian mendengar berita tersebut tidak senang dengan perubahan politik ini. Apalagi dia mendapat berita bahwa tahta kerajaan Batak telah diberikan kepadanya. Setelah berhasil menumpas pemberontakan di tanah Batak, dia memilih untuk mendirikan kerajaan baru di wilayah tersebut dengan ibukota Bakkara, tempat muasal leluhurnya.
Transfer kedaulatan Batak dimanifestasikan dalam tujuh simbol kerajaan yang diberikan kepada Manghuntal. Ketujuh simbol tersebut adalah pisau (knife), spear (tombak), sorban atau surban (turban), ikat-scarf, mat (sejenis lapik), jug (kendi) dan gajah putih. Legenda gajah putih ini sebagai lambang kebesaran Raja-raja Uti juga terkenal sampai ke Aceh. Legenda tersebut sekarang ini diabadikan menjadi nama sebuah universitas: Universitas Gajah Putih di Takengon.
Mahkuta menjadi raja pertama dengan gelar Sisingamangaraja I (SM Raja) pada tahun 1540 Masehi. Sebagai seorang bermarga Sinambela dari Toga Sumba, berbeda dengan Raja Uti yang Pasaribu dari Kubu Tatea Bulan, Mahkuta sebenarnya telah memulai sebuah dinasti baru yakni dinasti SM Raja yang memerintah Batak sampai SM Raja XII. Walaupun begitu, sebagai pendiri spiritual Batak, Raja Uti dan keturunanya, sampai abad ke-20, masih dimuliakan dan mendapat tempat terhormat dalam doa-doa. Bila Dinasti SM Raja mendapat kesulitan dalam urusan dalam negerinya, perwakilan dari keturunan Raja-raja Uti kerap dihadirkan untuk menjadi penengah.
Raja SM Raja XII, sebagai penghargaan terhadap usahanya mengusir si Bottar Mata, penjajah Belanda, dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia dengan keputusan Presiden RI No. 590 Tanggal 9 November 1961.
Peta politik di masyarakat terpecah dua. Kompetisi dan persaingan antara dua kubu Batak; Kubu Sumba dan Tatea Bulan. Kubu Tatea Bulan sebagai tertua dan banyak keturunannya menjadi raja-raja di luar pedalaman Batak.
Raja Manghuntal atau Raja Mahkota bergelar Sisingamangaraja I memerintah sentral Tanah Batak selama 10 tahun menurut stempel (cap kerajaan) yang bertahun 947 H dan berakhir dalam tahun 957 Hijriyah atau dalam tahun 1540 s.d 1550 M. (Diambil dari informasi L. van Vuuren, Samosir en de Pakpaklanden, Nota 1907).
Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah raja-raja dari si Onom Ompu; Kelompok Bakkara, Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun.
Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).
Di samping itu, di juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara.
Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang. Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing).
Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu institusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.
Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istama Raja-raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkh politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan.
Selain di bidang politik, Manghuntal juga mendapat sambutan yang positif dari masyarakat. Masa kecil Manghuntal di Bakkara sebelum dididik di Istana Raja Uti VII yang baik sangat diingat oleh penduduk sebagai orang yang baik hati, tegas, suka menjauhi perbudakan, membayar utang orang-orang yang tidak mampu dan lain sebagainya membuat kharismanya menanjak.
Kewibawaan dan keharuman namanya menumbuhkan beberapa mitos di masyarakat mengenai pribadinya. Tidak diketahui siapa yang membuat mitos tersebut, tapi yang pasti pembuatnya adalah pengagum kepribadian Manghuntal. Beberapa mitos tersebut adalah:
Divine dan Holy; SM Raja dan keturunanya dianggap sebagai seorang yang mempunyai sifat ketuhanan dan suci. Dia juga dianggap sebagai maha sakti dan mempunyai banyak kelebihan.
Immortalitas juga disandingkan kepadanya sebagai raja yang “yang tidak pernah mati dan tua”-na so olo mate na so olo matua
Omniscient; Orang Batak percaya bahwa SM Raja mengetahui semua hal yang dikatakan dan dilakukan. Mempunyai sahala yang tinggi. Sahala yang dimaksud adalah kekuatan untuk menunjukkan kemampuan yang tinggi.
Manghuntal memerintah tidak dalam waktu lama. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih berusia 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Sumber:
http://et-ee.facebook.com/topic.php?uid=72582435999&topic=11060&post=44337
No comments:
Post a Comment