Literatur dan Dokumentasi Musik Gondang Sabangunan.
Februari 23, 2008 oleh Jontri Pakpahan
Sampai menjelang akhir abad ke dua puluh kebudayaan musik suku-suku di Sumatera Utara, khususnya kebudayaan suku Batak Toba, secara garis besar masih merupakan “total musicologicalterra incognita” (Kartomi 1987:333). Dengan kata lain, kebudayaan musik suku-suku di SumateraUtara belum dikenal secara luas dan belum mendapat perhatian serius dari para sarjana Etnomusikology atau para sarjana ilmu sosial lainnya yang menaruh minat khusus pada kebudayaan musik.
Tetapi,persoalannya sekarang, bila dilihat dari kurun waktu yang begitu panjang, sejak diawalinya penulisan tentang musik suku-suku Sumatera Utara pada awal 1900-an sampai sekarang, referensi yang sangat terbatas sekali. Apalagi kalau kita berbicara tentang referensi musik Batak Toba, Khususnya kebudayaan musik Gondang Sabangunan, jelas bisa dihitung dengan jari. Ini merupakan suatu indikasi, kalau bukan “sebuah nasib”, bahwa kebudayaan musik Gondang Sabangunan minus perhatian para “pandai musik”nya termasuk sarjana-sarjana ilmu sosial yang kita miliki. Tidak seperti ketertinggalan masalah musik, masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan, adat, struktur sosial, organisasi sosial, ekonomi, bahasa dan sastra, politik, migrasi, perubahan dan kehidupan sosial orang Batak di Sumatra Utara banyak dibicarakan, dituliskan dan diterbitkan.
Sumber yang saya peroleh mencatat beberapa nama sarjana2 berkebangsaan Eropa yang pernah menulis tentang musik suku Batak termasuk Nias, jauh sebelum berakhirnya kekuasaan Nippon di Indonesia. Di antara nama sarjan Eropa itu terdapat satu penulis “halak hita” (kalau saya tidak kecolongan), yaitu Mangaraja Salomo Pasaribu yang membukukan pengetahuannya tentang musik
Batak Toba diseputar periode 1900-1940.
Di sisi lain, Kartomi (1987) dalam “Introduction”nya pada buku Culture and Societies of North Sumatra yang di edit oleh Reiner Carle, mencatat dua penulis yang menerbitkan tulisannya pada tahun 1909 dan 1942. Pertama seorang R. Von Heinze tampil dengan “Uber Batak-Musik” nya. Artikel Heinze mendeskripsikan ensambel musik suku Batak Toba serta penggunaannya di masyarakat.
Tulisan ini juga merupakan bagian dari buku Nord-Sumatra, Vol. 1: Die Bataklander, ditulisan oleh Wilhem Volz, diterbitkan oleh D. Reimer, Berlin pada tahun 1909. Yang kedua, Jaap Kunst (1942) mengkontribusikan. “Music in Nias” nya, terbitan Leiden, menguraikan aspek sosial serta instrument musik pads suku Nias. Tunggul P.Siagian (1966) mencatat seorang penulis “halak kita”, Mangaraja
Salomo Pasaribu, yang mencurahkan perhatiannya untuk menulis musik Batak Toba. Kontribusinya berjudul “Taringot tu Gondang Batak”: terbitan Manullang-Sibolga di tahun 1925.
Sebenarnya, kehadiran publikasi-publikasi tentang musik yang sudah saya sebut di atas walaupun tidak tertumpu hanya pada kebudayaan musik Batak Toba merupakan suatu era diawalinya perhatian sarjana ilmu sosial terhadap kebudayaan musik masyarakat di Sumatra Utara. Namun kelanjutannya
terasa terputus. Kurun waktu 1940-an sampai pada penghujung 1960-an merupakan tahun-tahun minus perhatian. Hal ini menyebabkan sulitnya ditemukan publikasi atau tulisan tentang musik Batakn Toba. Kekosongan itu kemudian diisi oleh kemunculan tulisan Mangaraja Asal Siahaan, berjudul Gondang dohot Tortor Batak terbitan Sjarif Saama, Memasuki dekade 1970 keadaan ini baru berubah saat sejumlah tulisan tentang musik suku-suku di Sumatra Utara diterbitkan.
Satu hal yang penting bahwa cakupan pembahasan tulisan-tulisan dekade 70-an itu sudah bervariasi. Ada tulisah yang mendeskripsikan instrumen musik, mengulas fungsi dan konteks sosial, menganalisa dan mencari pola struktur musik, menginterpretasikan sistem dan teori musik dan bahkan ada yang membicarakan masalah nilai estetika. Ada pula tulisan yang menyertakan rekaman-rekaman musik
lapangannya. Sederetan nama yang memberikan kontribusinya pada masa tahun 70-an ini antara lain, Lothar Schreiner, Liberty Manik, Dada Meuraxa, Lynette M.Moore, Arlin D. Jansen, Margaret Kartomi, David Goldsworthy, Reiner Carte dan M. Hutasoit.
Kembali pada masalah utama yaitu penulisan tentang musik Gondang Sabangunan Batak Toba, Lothar Schreiner di tahun 1970 mengawali era ini dengan mempublikasikan tulisannya berjudul Gondang-Musik als Uberlieferungsgesta lt alt-volkischer lebensordnung dalam Bijdragen van hetkon. Institut veer teal, land en Volkelkunde (126). Tulisan ini membahas secara ekstensif peranan sosial
musik Gondang Sabangunan serta membicarakan repertoarnya. Schreiner juga membicarakan bagaimana tanggapan para missionaris yang bertugas pada masa itu terhadap pertunjukan- pertunjukan musik Gondang Batak ditinjau dari perspektif agama Kristen.
Berbeda dari yang lainnya, Dada Meuraxa (1973) hadir dengan tulisannya Sejarah Kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara, terbitan Sastrawam Medan, menguraikan secara umum tentang instrument dan fungsinya dalam ensambel musik Gondang Batak. Sementara itu M. Hutasoit (1976) menyumbang satu tulisannya berjudul Gondang dohot Tortor. Batak, yang walaupun sederhana namun
memberikan cukup banyak informasi mengenai musik gondang, judul-judul gondang dan gerakan-gerakan tortor.
Pada dekade 80-an beberapa tulisan ilmiah tentang musik Gondang Sabangunan melengkapi koleksi yang sudah ada. Pembahasan tulisan-tulisan tersebut menyoroti aspek-aspek sosial dan religinya, dan aspek teori musiknya. Di awali oleh Artur Simon yang pada tahun 1982 menulis sebuah artikel berjudul “Altreligiose und soziale Zeremonien der Batak” dalam Zeitschrift fur Etnologie. Dan pada tahun 1984, ia kembali menyumbangkan satu artikel yang berjudul “Functional Changes in Batak Traditional Music and Its Role in Modern Indonesian Society” di dalam Journal of the Society for Asian Music. Dia mengulas, dari hasil pengamatannya, tentang perubahan-perubahan fungsi musik dan pergeseran nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat Batak. Aksentuasinya tentang “terobosan” musik tiup (brass band) yang menekan posisi Gondang Sabangunan dalam mengisi upacara-upacara adat di kalangan masyarakat Batak Toba yang nota bene berdomisili di kota, adalah point penting tulisan itu. Di tahun yang sama dia mempublikasikan dua buah piringan hitam berisikan musik Gondang Sabangunan dan transkripsi musiknya, dengan lebel “Gondang Toba: Instrumental Music of the Toba Batak” yang diproduksi oleh Museum fur Vulkerkunde,
Berlin, German.
Selanjutnya, di dalam buku Culture and Societies of North Sumatra yang diedit oleh Rainer Carle (1987), Simon mengkontribusikan satu tulisan lagi berjudul “Social and Religious Function of Batak Ceremonial Music”. Ulasannya berkisar pada fungsi sosial dan religi musil-musik Batak dalam konteks upacara yang menghadirkan musik. Sebenarnya, kehadiran publikasi-publikasi tentang musik yang sudah saya sebut di atas walaupun tidak tertumpu hanya pada kebudayaan musik Batak Toba merupakan suatu era diawalinya perhatian sarjana ilmu sosial terhadap kebudayaan musik masyarakat di Sumatra Utara. Namun kelanjutannya
terasa terputus.
Satu hal yang penting bahwa cakupan pembahasan tulisan-tulisan dekade 70-an itu sudah bervariasi. Ada tulisah yang mendeskripsikan instrumen musik, mengulas fungsi dan konteks sosial, menganalisa dan mencari pola struktur musik, menginterpretasikan sistem dan teori musik dan bahkan ada yang membicarakan masalah nilai estetika. Ada pula tulisan yang menyertakan rekaman-rekaman musik
lapangannya. Sederetan nama yang memberikan kontribusinya pada masa tahun 70-an ini antara lain, Lothar Schreiner, Liberty Manik, Dada Meuraxa, Lynette M.Moore, Arlin D. Jansen, Margaret Kartomi, David Goldsworthy, Reiner Carte dan M. Hutasoit.
Kembali pada masalah utama yaitu penulisan tentang musik Gondang Sabangunan Batak Toba, LotharmSchreiner di tahun 1970 mengawali era ini dengan mempublikasikan tulisannya berjudul Gondang-Musik als Uberlieferungsgesta lt alt-volkischer lebensordnung dalam Bijdragen van hetkon. Institut veer teal, land en Volkelkunde (126). Tulisan ini membahas secara ekstensif peranan sosial
musik Gondang Sabangunan serta membicarakan repertoarnya. Schreiner juga membicarakan bagaimana tanggapan para missionaris yang bertugas pada masa era Kristenisasi di Tanah Batak, terhadap pertunjukan- pertunjukan musik Gondang Batak ditinjau. dari perspektif agama Kristen.
Berbeda dari yang lainnya, Dada Meuraxa (1973) hadir dengan tulisannya Sejarah Kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara, terbitan Sastrawam Medan, menguraikan secara umum tentang instrument dan fungsinya dalam ensambel musik Gondang Batak. Sementara itu M. Hutasoit (1976) menyumbang satu tulisannya berjudul Gondang dohot Tortor. Batak, yang walaupun sederhana namun
memberikan cukup banyak informasi mengenai musik gondang, judul-judul gondang dan gerakan-gerakan tortor.
Pada dekade 80-an beberapa tulisan ilmiah tentang musik Gondang Sabangunan melengkapi koleksi yang sudah ada. Pembahasan tulisan-tulisan tersebut menyoroti aspek-aspek sosial dan religinya, dan aspek teori musiknya. Di awali oleh Artur Simon yang pada tahun 1982 menulis sebuah artikel berjudul “Altreligiose und soziale Zeremonien der Batak” dalam Zeitschrift fur Etnologie. Dan pada tahun 1984, ia kembali menyumbangkan satu artikel yang berjudul “Functional Changes in Batak Traditional Music and Its Role in Modern Indonesian Society” di dalam Journal of the Society for Asian Music. Dia mengulas, dari hasil pengamatannya, tentang perubahan-perubahan fungsi musik dan pergeseran nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat Batak. Aksentuasinya tentang “terobosan” musik tiup (brass band) yang menekan posisi Gondang Sabangunan dalam mengisi upacara-upacara adat di kalangan masyarakat Batak Toba yang nota bene berdomisili di kota, adalah point penting tulisan itu. Di tahun yang sama dia mempublikasikan dua buah piringan hitam berisikan musik Gondang Sabangunan dan transkripsi musiknya, dengan lebel “Gondang Toba: Instrumental Music of the Toba Batak” yang diproduksi oleh Museum fur Vulkerkunde, Berlin, German. Selanjutnya, di dalam buku Culture and Societies of North Sumatra yang diedit oleh Rainer Carle (1987), Simon mengkontribusikan satu tulisan lagi berjudul “Social and Religious Function of Batak Ceremonial Music”. Ulasannya berkisar pada fungsi sosial dan religi musil-musik Batak dalam konteks upacara
yang menghadirkan musik.
Tulisan yang pertama menganalisa perbedaan teks yang digunakan waktu “mangido gondang” (meminta pargonsi memainkan gondang) saat penyajian Gondang Sabangunan dalam suatu upacara oleh tiga penganut agama–Katolik,
Protestan dan Parmalim. Tulisan kedua mencoba menginterpretasikan teori ligan musik gondang Batak Toba. Teori yang dimaksudkan di sini adalah teori praktis, yaitu terminologi atau istilah yang digunakan para “pargonsi” (pemusik) saat berbagi pengetahuan dengan pargonsi lainnya atau saat membicarakan dan mengajarkan musik. gondang kepada orang lain.
Sumber Kaskus.us
http://sirajasonang.wordpress.com/2008/02/23/literatur-dan-dokumentasi-musik-gondang-sabangunan/
No comments:
Post a Comment