Paham Harmoni Ketigaan dan Gondang Sabangunan
Tulisan ini pernah dimuat di Harian SIB Online pada tahun
2000 penulisnya adalah Amanta Norton G Manullang, dituliskan kembali
pada blog Habinsaran semata-mata untuk bertujuan untuk menambah pehaman
kita pada Paham Harmoni Ketigaan dan Gondang Sabagunan semoga berguna ,
Paham harmoni ketigaan yang penulis maksudkan ialah pemahaman masyarakat
Batak Toba mengenai bilangan tiga. Bilangan tiga mengambil peranan
sentral dalam pandangan hidup kebatakan, karena menyangkut keyakinan
dan kepercayaan mereka. (Rudolf Pasaribu, 1988; 122; bdk. Basyral
Hamidy Harahap dan Hotman M Siahaan, 1987 : 64-66). Paham harmoni
ketigaan demikian juga terkait erat dengan penyajian musik tradisional
Batak Toba, gondang sabangunan. Namun sebelum paham ketigaan dalam
masyarakat Batak Toba dipaparkan, penulis akan lebih dahulu menguraikan
pemahanan dan keyakinan masyarakat Batak Toba mengenai makna bilangan
ganjil dan bilangan genap. Dalam hal ini bilangan ganjillah yang lebih
disukai oleh orang Batak Toba, karena bilangan tersebut melambangkan
kehidupan dan kerap diasosiasikan dengan hal-hal yang tidak kelihatan
(na so niida). Maka tidaklah mengherankan bahwa bilangan ganjil
mempengaruhi kehidupan harian dan budaya kebatakan.
Untuk mengerti bilangan ganjil sebagai bilangan yang paling disukai
oleh masyarakat Batak Toba dalam hidup harian dan budayanya, bilangan
genap juga mesti diketahui. Alasannya ialah masyarakat Batak Toba telah
mengamati bahwa dalam diri semua makhluk hidup pada umumnya dan
manusia dan hewan pada khususnya ditemukan bilangan genap. Manusia
mempunyai dua tangan, dua telinga, dua mata, dua kaki, dua lobang
hidung dan seterusnya. Hewan-hewan pun mempunyai organ-organ tubuh yang
berjumlah genap. Lagi, semua makhluk hidup yang memakai bilangan genap
tersebut hidupnya susah, sakit, menderita dan mati. Oleh karena itu,
mereka menarik kesimpulan bahwa bilangan genap berarti selalu
terasosiasi dengan penderitaan dan kematian. Maka, sedapat mungkin
masyarakat Batak Toba dalam praktek hidup hariannya, atau dalam adat
dan budayanya berusaha menghindari bilangan genap.
Namun demikian tidak semua jenis bilangan ganjil menjadi bilangan na
marhadohoan (yang punya makna khusus) dalam hidup orang Batak Toba.
Hanya bilangan-bilangan tertentu saja yang mempunyai makna simbolik dan
sering dipakai. Bilangan-bilangan tersebut ialah bilangan tiga, lima,
dan tujuh. Pemakaian bilangan ganjil ini tampak juga pada jumlah tangga
rumah, jumlah warna, jumlah dunia (banua), aturan-aturan ni panortoran
dan lain-lain.
Bilangan tiga mempunyai arti yang sangat khusus bagi orang Batak Toba.
Itulah sebabnya bilangan ini mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir
masyarakat Batak Toba. Hal ini dapat diamati dalam mite kosmologi,
antropogoni, kosmogoni dan etika hidup Batak Toba. Paham ketigaan juga
tampak dalam upacara gondang sabangunan, sistem kemasyarakat Dalihan Na
Tolu dan Debata Na Tolu. Untuk memahami bilangan tiga dalam fenomena
ketigaan tersebut konsep yang tidak boleh tidak harus ada ialah konsep
totalitas dan representasi (Ph. L. Tobing, 1965; 20-22).
Fenomena Ketigaan Dalam Masyarakat Batak Toba
Bilangan tiga seperti telah dikatakan di atas mempunyai makna yang
sangat penting dan khusus bagi masyarakat Batak Toba bahari.
Implikasinya pun mempengaruhi kehidupan dan cara berpikir orang Batak
Toba seperti keyakinan tentang Debata Na Tolu (Debata Batara Guru,
Debata Balasori, Debata Mangalabulan), Banua Na Tolu (Banua Ginjang,
Banua Tonga, dan Banua Toru) dan Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu
dan Boru). Dalam paham kebangsaan, fenomena ketigaan juga ditemukan
yakni Bangso Batak, Adat Batak (Patik dohot Uhum) dan Habatahon. Hal
yang sama terdapat pada adat tarombo yang terdiri dari tiga bagian,
yakni : Adat Pusaka Arta atau Barang, Adat Patik dan Adat Uhum. Simbol
bendera Batak juga berwarna tiga yaitu : warna hitam di bagian depan,
warna putih di sebelah kanan dan warna merah di sebelah kiri. Adat Batak
Toba juga mengenal hadebataon (keilahian), hajolmaon (kemanusiaan) dan
habatahon (kebatakan) (Raja Patik Tampubolon, 2002; 111-112).
Sedemikian melekatnya paham harmoni ketigaan dengan hidup orang Batak
Toba hingga paham tersebut juga dikenakan pada eksistensi manusia. Agar
manusia dapat hidup, dalam dirinya harus ada tiga unsur yakni hosa
(nyawa), mudar (darah), dan sibuk (daging). Sementara untuk dapat
bertahan hidup di bumi kepada manusia juga diberikan kekuatan oleh
Mulajadi Na Bolon, yakni tondi (roh), saudara (kemuliaan) dan sahala
(wibawa). Dengan demikian fenomena ketigaan merasuki seluruh sendi
kehidupan masyarakat Batak Toba, baik hidup sekular maupun hidup
religiusnya.
Fenomena ketigaan di atas menurut pandangan orang Batak Toba mesti
dipahami baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif (“isi” yang
hendak dikomunikasikan kuantitas bilangan itu). Pemahaman semacam ini
biasanya bersifat totalistis, bukan parsialistis. Pemahaman ini tampak
dengan jelas melalui ungkapan “Sitolu sada ihot songon pat ni
langgatan….Ndang boi hurang sian tolu, jala dang boi lobi sian tolu,
ingkon pas do sitolu sada songon pat ni langgatan” (triade seikatan
seperti kaki altar…tidak boleh kurang dari tiga, dan tidak boleh lebih
dari tiga. Jumlahnya harus tiga seikat laksana kaki altar (Ibid).
Sitolu sada ihot berarti bahwa yang satu tidak bisa terlepas dari yang
lain. Meskipun ketiga tiang langgatan berbeda dan berdiri sendiri,
namun ketiganya merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Hal
ini terjadi karena cara berpikir orang-orang Batak Toba bahari-sama
seperti bangsa-bangsa sederhana yang lain-bersifat sintetis, bukan
analitis. Konsekuensi cara berpikir sintetis ialah bahwa segala hal;
kosmos, komunitas, individu, dan lain-lain dialami sebagai totalitas.
Eliminasi terhadap salah satu dari ketigaan berarti annihilasi
ketiganya.
Oleh karena itu, adanya yang satu terjadi karena adanya yang lain, dan
masing-masing mewujudkan diri ke dalam satu kesatuan yang utuh. Adaan
yang satu mengandaikan adaan yang lain. Debata Batara Guru tidak dapat
berdiri sendiri tanpa Debata Balasori dan Mangalabulan. Meskipun
Hula-hula mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, tetapi kedudukan
tersebut harus didukung oleh Dongan Tubu dan Boru. Demikian juga
ketigaan yang lain. Totalitas ketiganya merupakan keseimbangan yang
bersifat mutlak. Harmoni dan kesatuan dalam keterpisahan dan
keberbedaan, entah itu dalam konteks mikrokosmos atau makrokosmos,
tercapai apabila keseimbangan ketiga unsurnya terjamin. Artinya, sesuai
dengan pandangan Ph L Tobing, keterpisahan dan keberbedaannya hanya
dapat dipahami sejauh berkaitan dengan mentalitas sintetis yang
tercermin di dalam keyakinan totalitas ketiga unsur yang berbeda.
Debata na tolu dan gondang sabangunan
Mulajadi Na Bolon ialah pencipta segala yang ada. Dia digelari sebagai
“Allah yang tidak berawal, yang datang dari yang tak berawal, yang tidak
berakhir”. Dialah awal dan yang menciptakan dan menjadikan langit dan
tanah, air dan segala isinya. Menurut mite penciptaan, Dialah yang
menciptakan alam semesta termasuk Debata Na Tolu dan manusia. Debata Na
Tolu diciptakan oleh-Nya melalui Manukmanuk Hulambujati dari tiga butir
telur raksasa. Ketiga makhluk itu dinamai oleh Mulajadi Na Bolon
sebagai “manusia”, meskipun dalam diri mereka ada keilahian. Mereka
bukanlah manusia biasa. Karena keilahian itu juga mereka disebut Debata
Na Tolu yakni Debata Batara Guru, Debata Balasori dan Debata
Mangalabulan.
Totalitas Debata Na Tolu ialah Debata Mulajadi Na Bolon. Pada-Nya
harmoni Debata Na Tolu, penguasa Banua Na Tolu, mewujud. Dengan kata
lain, Debata Na Tolu menjadi representasi Mulajadi Na Bolon di Banua Na
Tolu. Totalitas tersebut tercermin dalam ungkapan Batak Toba; Debata Na
Tolu, sitolu suhu sitolu harajaon (Ilah yang tiga, yang tiga jenis
tiga kerajaan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Debata Na Tolu merupakan penguasa
yang menciptakan dan mengatur ketertiban makrokosmos (Banua Na tolu).
Ketertiban itu termanifestasi secara nyata dalam diri manusia sebagai
mikrokosmos (Dalihan Na Tolu). Oleh karena itu, memanggil dan memuja
Debata Na Tolu dalam setiap upacara adat atau upacara religius-magis
identik dengan memanggil dan memuja Debata Mulajadi Na Bolon itu
sendiri.
Struktur umum penyajian gondang sabangunan terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama ialah apa yang disebut gondang mula-mula, bagian kedua
ialah gondang pinta parsaoran dan bagian terakhir yaitu gondang
panutup. Korelasi gondang sabangunan dengan Debata Na Tolu secara jelas
dapat dipahami melalui bagian gondang pembukaan, karena di dalamnya
dikisahkan korelasi antara manusia dengan Mulajadi Na Bolon atau Debata
Na Tolu. Jenis lagu gondang yang secara khusus diperuntukkan bagi
Debata Na Tolu ialah Gondang mula-mula dan gondang somba-somba.
Gondang somba-somba dimaksudkan sebagai sembah sujud kepada Mulajadi Na
Bolon atau Debata Na Tolu yang telah menciptakan dan memelihara hidup
manusia. Sikap menyembah tersebut secara etis hendak mengungkapkan
bahwa Yang Ilahi, Sang Penyelenggara hidup manusia itu pantas
disembah-sujudi. Tujuan gondang ini ialah agar upacara pesta atau
upacara gondang yang hendak dilaksanakan kiranya direstui oleh Debata
Na Tolu, sehingga suhut yang mengadakan pesta memperoleh pasu-pasu
yakni anak na marsangap dohot boru na martua. Maka, melalui gondang
sabangunan ditampilkan totalitas Debata Na Tolu yang mengayomi Banua Na
Tolu dan termanifestasikan secara representatif dalam diri Dalihan Na
Tolu.
Banua Na Tolu dan gondang sabangunan
Dalam mitologi penciptaan dunia kebatakan terbagi atas tiga bagian,
yakni dunia atas (Banua Ginjang), dunia tengah (Banua Tonga) dan dunia
bawah (Banua Toru). Banua Na Tolu dalam pandangan orang Batak Toba tidak
dalam arti spasial-temporal, melainkan ruang kosmik yang dialami
sebagai totalitas Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru. Banua Tonga
memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan dan harmoni
eksistensi Banua Na Tolu (Paul B Pedersen, 1975; 19-20). Banua Ginjang
adalah banua yang pertama kali diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai
tempat kediaman Debata Na Tolu, para parhalado-Nya (pelayan-Nya) dan
para sombaon. Banua Tonga ialah bagian dari totalitas kosmos yang
berfungsi mengatur kerjasama antara Banua Ginjang dan Banua Toru. Bila
kerja sama ketiganya tercipta dengan baik maka harmoni dalam jagad raya
akan tercipta. Banua Tonga diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon sebagai
tempat kediaman manusia dan segala makhluk hidup untuk beraktivitas (A.
B. Sinaga, 1981; 11). Banua Toru adalah tempat tinggal begu dan
orang-orang yang telah meninggal dunia. Banua Na Tolu dihuni oleh
masing-masing Debata Na Tolu; Debata Bataraguru mengayomi Banua Ginjang,
Debata Balasori mengayomi Banua Tonga dan Debata Balabulan mengayomi
Banua Toru. Untuk menjaga relasi yang harmonis dengan penghuni Banua Na
Tolu, masyarakat Batak Toba bahari kerap mengadakan ritual dengan
menyertakan gondang sabangunan. Alat musik tradisionil itu membantu
komunikasi manusia dengan penghuni Banua Na Tolu. Selain itu, gondang
sabangunan pun tetap terkait secara tidak langsung dengan Banua Na Tolu
melalui wujud simboliknya.
Dalihan Na tolu dan gondang sabangunan
Dalihan Na Tolu merupakan landasan dan dasar kehidupan masyarakat Batak
Toba. Istilah Dalihan Na Tolu yang terdiri dari Hula-hula, Dongan Tubu
dan Boru menyatakan unitas dan totalitas hubungan kekerabatan dalam
masyarakat Batak Toba. Unsur unitas dan totalitas menjadi ciri khas yang
menonjol karena Dalihan Na Tolu tidak dapat dipandang atau dipahami
secara parsial. Ketiganya harus utuh dan harmonis sehingga hidup
sejahtera dalam kekerabatan masyarakat Batak Toba terwujud.
Pemahaman atas Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep unitas,
totalitas dan representasi sebagaimana telah diuraikan di atas. Sudah
sejak jaman dahulu hingga sekarang orang Batak Toba menyakini bahwa
Dalihan Na Tolu bertautan erat dengan Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu
dan Banua Na Tolu. Apabila Dalihan Na Tolu dilepaskan dari Mulajadi Na
Bolon, Debata Na Tolu dan Banua Na Tolu maka Dalihan Na Tolu tidak
mempunyai makna dan nilai apa pun. Ketidakbernilaian ini terjadi karena
Dalihan Na Tolu merupakan wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon secara
konkrit-nyata dalam kehidupan manusia di Banua Tonga (Dj Gultom
Radjamarpodang, 1992;55). Dalihan Na Tolu merupakan representasi dari
Debata Na Tolu yang berkuasa atas Banua Na Tolu. Hal ini tampak melalui
kehadiran debata Batara Guru dalam diri Hula-hula, Balasori dalam diri
Dongan Tubu dan Balabulan dalam diri Boru. Dalam Debata Na Tolu, kuasa
kemisterian, kuasa kesucian, dan kuasa kekuatan dari Mulajadi Na Bolon
termanifestasikan. Ketiga kuasa ini secara sempurna menata
kesejahteraan kehidupan manusia di bumi (Raja Patik Tampubolon,
2002;54-55). Melalui Dalihan Na Tolu, Mulajadi Na Bolon dan Debata Na
Tolu berkarya di Banua Tonga.
Karena Dalihan Na Tolu merupakan refleksi kuasa Debata Na Tolu-dengan
demikian juga menjadi wujud pancaran kuasa Mulajadi Na Bolon-maka
segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan orang Batak Toba akan
terlaksana dengan baik apabila upacara atau kegiatan adat itu sesuai
dengan prinsip Dalihan Na Tolu (Ibid). Dalam konteks ini segala
aktivitas seremonial baik yang bersifat religius maupun non religius
yang disertai dengan musik gondang sabangunan juga akan membawa
pasu-pasu bagi suhut apabila pelaksanaannya sesuai dengan prinsip
Dalihan Na Tolu. Bentuk pelaksanaan itu tampak pada saat adanya
kesepahaman, kebulatan pendapat dan relasi yang harmonis di antara
Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru untuk margondang.
Aspek lain yang mempertautkan gondang sabangunan dengan Dalihan Na Tolu
ialah bahwa perangkat alat-alat musik gondang sabangunan itu sendiri
merupakan simbolisasi dari Dalihan Na Tolu. Taganing melambangkan
Dongan Tubu, ogung melambangkan Boru dan sarune melambangkan Hula-hula.
Selain itu, pada Dalihan Na Tolu perlu juga ditambah satu unsur lagi,
yakni sihal-sihal, dan itu dihubungkan dengan hesek sebagai simbolisasi
Dongan Huta. Jadi, perangkat alat musik gondang sabangunan sarat
dengan makna simbolik. Gondang Sabangunan mempunyai kaitan dengan
keyakinan orang Batak Toba akan Debata Na Tolu dan konsep kekerabatan
Dalihan Na Tolu. Sesuai dengan paham ketigaan dalam teogoni Batak Toba,
alat musik gondang sabangunan dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu
: sarune, ogung dan taganing.
Dalam permainan gondang sabangunan, taganing-lah yang pertama berbunyi
lalu diikuti secara berurutan oleh ogung oloan dan ogung ihutan. Ogung
panggora juga langsung mengikuti sebagai pengatur derap ritme dan
kemudian disusul oleh ogung doal serta hesek untuk meramaikan suasana.
Ketika semua alat musik telah berbunyi dengan baik dan pas pada posisi
masing-masing sesuai aturannya ditiuplah sarune.
Pada gondang dalihan na tolu, suhut dan kerabatnya meminta gondang
struktur tiga serangkai, yakni gondang mula-mula, gondang pasu-pasuan
atau pinta parsaoran dan gondang hasahatan/sitiotio kepada pargonsi
agar hasuhutan dan kaum kerabatnya manortor. Dalam acara manortor,
Hula-hula memberi pasu-pasu kepada Boru-nya dengan menumpangkan tangan
di atas kepala pihak Boru, sedangkan Boru menerima pasu-pasu itu dengan
cara maniuk (menyentuh dengan tangan terbungkus ulos) dagu dari
Hula-hula-nya. Tujuan gondang kekerabatan atau gondang dalihan na tolu
ialah untuk mengekspresikan solidaritas kekerabatan dan mempererat
hubungan kekeluargaan. (Penulis adalah peminat budaya Batak Toba,
redaktur majalah “Menjemaat”, Medan/z2)
Sumber:
http://habinsaran.wordpress.com/2007/11/13/paham-harmoni-ketigaan-dan-gondang-sabangunan/
No comments:
Post a Comment