Gondang Batak, Kegeniusan Lokal yang (Nyaris) Terlupakan
Kompas/Mohammad Hilmi Faiq
Komunitas Parmalim menggelar ritual Mardebata sebagai bentuk syukur
kepada Tuhan, di Porsea, Toba Samosir, Sumatera Utara, Kamis (21/10).
Dalam ritual tersebut, gondang memegang peran penting sebagai sarana
komunikasi Parmalim dengan Tuhannya
Malam kian larut. Ogung Ihutan, sang pemimpin ritual, berdiri dan
menepukkan tangan memberikan aba-aba. Parmalim di Desa Samuaran, Toba
Samosir, dimulai.Pertanda ritual suci komunitas
Alunan diatonis gondang, seni musik tradisional Batak pengiring ritual
suci, pun membahana. Puluhan tamu yang ada di sebuah rumah panggung,
tempat digelarnya ritual, terdiam takzim. Hanya suara ritmik tetabuhan
gondang ditingkahi sayatan melodik sarune yang terdengar. Tujuh alat
musik yang dimainkan tujuh pargonsi, pemain gondang, mengalun cepat
membangkitkan semangat. Terkadang terdengar menukik pelan mengharukan.
Sekitar 12 anggota keluarga tuan rumah acara berbaris menari manortor
(tortor) di hadapan pargonsi, mengikuti alunan gondang. Sejam berselang,
tempo musik kian cepat.Seorang perempuan tua, satu dari 12 orang yang
manortor, kesurupan, tiba-tiba keluar dari barisan. Ia bergerak
memutar. Tak lagi jinjit, bahkan terkadang melompat kecil. Raut
wajahnya memerah. Di tengah tarian, ia tampak menangis.
Tak beberapa lama, sejumlah anggota keluarga lainnya mendekatinya.
Berpelukan. Menangis bersama. Alunan gondang berhenti sejenak. Sang
perempuan tua yang sudah terasuki roh suci itu lalu berbicara dengan
mata terpejam. Penari lain mendengarkan tuturan itu. Itulah pesan roh
suci melalui perempuan tua itu kepada para anggota keluarga. Roh suci
yang hadir oleh alunan gondang.
Itulah puncak ritual suci Mardebata (puji syukur) warga pemeluk
Parmalim, 21 Oktober lalu. Penganut Parmalim, sebagaimana warga Batak
tradisional, meyakini, roh suci berkuasa atas hidup mereka. Untuk
berkomunikasi dengan roh suci, gondang pun dimainkan.
Raja Marnangkok Naipospos, pemimpin tertinggi Parmalim, menegaskan,
gondang merupakan sarana manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Doa
dan pengharapan disampaikan manusia saat gondang dimainkan.
Ada berbagai jenis lagu yang dimainkan dalam gondang. Tiap lagu
berbeda tujuannya. Tergantung dari niat dan tujuan sang tuan rumah atau
pemimpin adat.
Anggapan sakral masyarakat tradisional Batak atas gondang membuat
penghormatan mereka terhadap para pemusik gondang sangat tinggi, bahkan
sejajar dengan dewa. Pemain taganing disebut Batara Guru Hundul,
sedangkan pemain sarune disebut Batara Guru Manguntar.
Pengajar Etnomusikologi dari Universitas Sumatera Utara, Ben
Pasaribu, menjelaskan, gondang awalnya berfungsi sebagai alat musik
dalam ritual keagamaan, seperti yang sampai saat ini diterapkan oleh
umat Parmalim.
Hampir dalam semua kegiatan tradisional Batak, seperti pesta kelahiran,
kematian, pernikahan, hingga hari besar, gondang hadir. Selain sebagai
hiburan, gondang bermakna religius magis bagi mereka. "Belakangan saya
juga melihat perguruan tinggi mengajarkan gondang kepada mahasiswanya
sebagai wawasan musik Nusantara," kata Ben.
Komposisi unik
Menurut tradisi Batak, gondang dapat diartikan sebagai seperangkat alat
musik, ansambel musik, sekaligus komposisi lagu. Umumnya dimainkan
untuk mengiringi tari manortor.
Ada dua jenis gondang, yang terbagi berdasarkan ansambelnya, yaitu
gondang sabangunan, biasanya dimainkan di halaman rumah; dan gondang
hasapi, biasanya dimainkan dalam rumah. Nada yang dipakai dalam dua
musik gondang itu tak berbeda.
Gondang sabangunan terdiri dari sarune bolon (alat musik tiup),
taganing (5 kendang yang punya peran melodis), gordang (kendang besar
penentu ritme), 3-4 gong yang disebut ogung (pembentuk ritme konstan),
dan hesek (perkusi, biasanya kayu atau botol yang dipukul). Gondang
hasapi terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil 2 senar),
garantung (gambang kayu), sulim (suling bambu berselaput kertas getar),
sarune etek (sejenis klarinet), dan hesek.
Komposisi musik gondang tergolong unik. Meski sama-sama terbagi dalam
tangga nada sebagaimana musik umumnya, tapi disusun tidak sama persis
alurnya. Selain itu, berbeda dengan tangga nada musik Barat yang
memiliki tujuh tingkat, gondang hanya memiliki lima tingkatan nada
diatonis mayor, yaitu do, re, mi, fa, sol. Ini seperti terdengar dari
alat musik taganing dan garantung.
Keunikan nada ini, menurut Mark Kenyton, kandidat doktor dari
Universitas Washington, Amerika Serikat, yang baru-baru ini meneliti
gondang, membuat gondang memiliki nada pentatonik unik. Nada yang sulit
ditemukan di tempat lain di dunia.
Bahkan, dibandingkan dengan musik pentatonik yang hampir sejenis,
seperti gamelan Jawa dan Bali, gondang tetap berbeda karena setiap
ansambelnya tak sama. Ketukan melodi gamelan Jawa dan Bali cenderung
pakem, sedangkan gondang bervariasi, tergantung dari improvisasi dan
estetis pemain sarune dan taganing, yang kadang bermain seperti sedang
trance.
Khusus untuk taganing-disebut juga tagading atau tataganing yang
berarti lima-memiliki keunikan tersendiri. Taganing tidak hanya mampu
mengatur ritme musik, tetapi juga melodi yang mendominasi lagu. "Itu
mirip dengan hsaing waing di Burma dan entenga di Uganda," papar Ben.
Namun, pengaruh budaya baru telah mengubah banyak hal. Di sebagian
besar pertunjukan gondang semata hanya menonjolkan aspek hiburan.
Kesakralan gondang mulai luntur. Para pargonsi sendiri tak banyak yang
memahami kedalaman maknanya.
Bahkan, di banyak momen perayaan tradisional, seperti pernikahan,
kelahiran, dan kematian, sebagian masyarakat Batak tak lagi menggelar
gondang. Mereka memilih seni hiburan modern, seperti organ tunggal dan
musik Eropa.
Tonggo Raja Simangunsong, seniman gondang dari Porsea, Toba Samosir,
mengungkapkan, kini sering terjadi sebulan tanpa undangan berpentas.
Kondisi ini semestinya menjadi perhatian semua pihak. Gondang dengan
segala kesakralan dan keunikannya adalah kekayaan lokal bangsa....
Sumber:
http://tanahair.kompas.com/read/2011/04/07/13562672/Gondang.Batak.Kegeniusan.Lokal.Yang.Nyaris.Terlupak
No comments:
Post a Comment