Friday, March 23, 2012

Kosmologi Batak Untuk Bilangan Empat (Suhi Ampang Naopat)

Kosmologi Batak Untuk Bilangan Empat
(Suhi Ampang Naopat)

Oleh Maridup Hutauruk

Belum berapa lama setelah era sekarang ini bahwa komunitas Batak, khususnya yang disebut Batak Toba masih sangat kuat menerapkan prinsip-prinsip Dalihan Natolu. Ada unsur utama lainnya yang diikutsertakan dalam sistim kekerabatan Dalihan Natolu sehingga bukan hanya 3 unsur utama yang berperan dalam konsep kemasyarakan Dalihan Natolu, tetapi belum banyak digali magnanya lebih luas dan malah definisi Dalihan Natolu yang berusaha dimodifikasi agar konsepnya tidak teranulir oleh komunitas dalam melaksanakan perhelatannya.

Ada dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa masyarakat Batak meletakkan filosofi kehidupan bermasyarakatnya berdasarkan empat unsur kehidupan. Sementara konsep Dalihan Natolu yang sudah dianut sejak manusia pertama ada dibumi ini adalah hanya sebagai dasar dari sistim kekerabatan yang berlaku dan pada hakekatnya hanya dalam lingkaran kekerabatan terdekat saja (Kecil), sedangkan masyarakat Batak bukan hanya mampu hidup dilingkungan kekerabatan terdekat saja, melainkan eksistensinya berkembang keluar dari lingkungan kekerabatan terdekat demi berusaha untuk mencapai Hasangapon.
Ada masa dimana Bangsa Batak tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil yang seolah secara sengaja menutup diri, terasing, terisolir dan tragisnya disebutkan hanya mampu hidup terkungkung dalam ketertutupan dan keterbelakangan, bahkan disebutkan sebagai Bangsa Kanibal.
Pandangan ini seolah sengaja dihembuskan oleh bangsa-bangsa lain seperti bangsa-bangsa dari Eropah, tetapi bukan saja oleh bangsa-bangsa dari luar Sumatera itu yang mencitrakan Bangsa Batak dengan pandangan demikian bahkan dari alur keturunannya juga pernah mencitrakan demikian semasa kejayaan Kerajaan-kerajaan Melayu di Abad ke-15.
Di masa yang terpecah belah demikian, maka komunitas batak memang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang pada awalnya hanya berupaya untuk membentuk pertahanan diri di lingkup kampung atau hanya beberapa kampung kecil saja. Hal ini yang membuat konsep Kosmologi Bilangan Empat Unsur yang disebut Suhi Ampang Naopat seolah tenggelam dibawah pamor Dalihan Natolu yang pada dasarnya terlaksana dalam segmen-segmen kecil hubungan kekerabatan yang berkesinambungan.
Kalau untuk perhelatan besar maka konsep Dalihan Natolu sebenarnya kuranglah mampu untuk mengadopsi seluruh kepentingan komunitas tetapi dengan konsep kekerabatan yang disebut Suhi Ampang Naopat hal itu dapat dilaksanakan dengan lebih mudah.
Mensikapi kekurangan ini maka komunitas Batak terpaksa mencari kearifan lain dengan menerapkan konsep Dalihan Natolu PLUS, yang kemudian disebut dengan ‘Dalihan Natolu tamba ni Sihal-sihal.’ Padahal konsep ini seolah dipaksakan dan sangat terlihat dicari-cari untuk penyempurnaan konsep Dalihan Natolu.
Pada dasarnya Kearifan Habatakon sudah lengkap untuk mengantisipasi kehidupan masyarakatnya sampai ke akhir jaman. Hanya saja ada diantara kearifan itu yang sempat kehilangan makna tergilas oleh masa dan keadaan dan sudah sangat layak untuk ditemukan dan digali kembali.
Inti utama dari pandangan kosmologis empat unsur itu terlihat dari kegiatan yang bersifat massal dimulai dari hubungan keluarga inti, keluarga besar, konsep pemerintahan, sistim perdagangan.
Keluarga Inti. Dalam mengawali sebuah perhelatan (pesta adat) maka hubungan kekerabatan terkecil sudah harus berkumpul untuk membicarakannya. Dalam pembicaraan ini dan harus hadir 4 unsur kekeluargaan terdekat yaitu:
Suhut Sihabolonan. Yang akan melaksanakan hajatan.
Namarhahamaranggi. Kakak beradik kandung dari yang akan melaksanakan hajatan.
Saboltok. Kakak beradik dari tingkat bapak atau kakek yang akan melaksanakan hajatan.
Boru. Marga yang mengambil pihak perempuan dari yang akan melaksanakan hajatan Boru.
Dalam bentuk permusyawarahan yang terawal ini sudah terkandung prinsip Dalihan Natolu yang terbatas pada kekerabatan yang disebut marhula-marboru, walaupun belum sepenuhnya semua unsur Dalihan Natolu diterapkan. Empat unsur di atas sudah sah untuk memulai sebuah perhelatan.
Keluarga Besar. Musyawarah terkecil pada poin-1 di atas berwujud menjadi perhelatan yang akan melibatkan hubungan kekeluargaan yang lebih besar. Dalam hal ini sudah belaku penuh falsafah Suhi Ampang Naopat dan Dalihan Natolu ada didalamnya.
Hula-hula. Yang melaksanakan hajatan memberitahukan (Sungkem) kepada pihak marga dari istri yang melaksanakan sebuah perhelatan agar mendukung pelaksanaan perhelatan yang akan dilaksanakan itu.
Dongan Tubu. Semua saudara semarga terutama yang paling dekat hubungan kekeluarganya sudah harus diikut sertakan dalam pelaksanaan sebuah hajatan.
Boru. Semua marga terdekat yang telah memperistri saudara perempuan dari yang melaksanakan hajatan.
Raja/Raja Huta/ Ale-ale. Menjadi satu kelompok yang diikutsertakan dalam pelaksanaan sebuah hajatan. Raja pada jaman dahulu (Sebelum Indonesia Merdeka) disebut juga sebagai Bius atau Raja Bius, ikut berperan untuk memberikan masukan untuk hal-hal yang baik yang akan dilaksanakan dalam sebuah perhelatan. Sementara Raja Huta yang hanya ada dalam satu kampong juga diikutkan dan sekarang ini yang lazimnya berlaku di daerah perantauan dimana masyarakatnya tidak lagi homogen tetapi masih berhubungan erat dalam bentuk kekerabatan. Dan Ale-ale biasanya sebagai tempat curhat untuk mendukung semangat baik secara moral maupun material untuk mendukung pelaksanaan sebuah hajatan.
Konsep Pemerintahan Kerajaan. Batak dikenal membentuk Pemerintahan Kerajaan baru setelah adanya perlawanan terhadap Penjajah (Belanda) yang dikenal Rajanya bernama Sisingamangaraja-XII. Walaupun jauh sebelumnya bahwa secara berkelompok negeri Batak sudah dipimpin oleh Raja-raja yang umumnya bersifat lokal untuk wilayah ulayat marga-marga atau Bius. Namun semasa Sisingamangaraja-XII, bentuk kerajaan menjadi unik dan menjadi simbolisasi pemersatu atas raja-raja lainnya tanpa ada otorisasi atau aneksasi terhadap kekuasaan wilayah, melainkan adanya rasa kebersamaan dan bersatu untuk melawan agressi terhadap eksistensi Batak sebagai sebuah Bangsa yang memuliakan adat istiadat dan hukum-hukum yang berlaku dalam komunitas masyarakatnya.
Maka dalam menjalankan pemerintahannya, Sisingamangaraja-XII menerapkan penguasaan 4 (empat) wilayah di Tanah Batak dan mengangkat 4 (empat) raja di masing-masing wilayah, yang setiap wilaya itu disebut dengan Raja Maropat dan diantara Raja Maropat ini dipilih satu perwakilannya yang menjadi Raja Naopat sebagai wakil Sisingamangaraja-XII disetiap wilayah.
Pembagian empat penguasaan wilayah oleh Sisingamangaraja-XII semasa pemerintahannya adalah:
Silindung.
Samosir
Humbang
Toba
Pengaruh kekuasaan pemerintahan Sisingamangaraja-XII(12) memang terpusat di empat wilayah yang disebutkan di atas, karena ke-empat wilayah tersebut yang secara historis menjadi wilayah yang sempat diperebutkan sejak adanya agressi dari Paderi antara tahun 1816-1820, yaitu sejak Sisingamangaraja-X(10), kemudian oleh Belanda yang bermula sejak pengalihan wilayah jajahan antara Inggeris yang sebelumnya menguasai Pulau Sumatera dan Belanda yang pada masa itu menguasai Semenanjung melalui Traktat London 17 Maret 1824.
Sementara wilayah Tanah Batak Lainnya seperti Dairi (Pakpak), Simalungun, Karo, tidak sempat mengalami pahitnya Perang Saudara Paderi, kecuali oleh Belanda setelah Penjajahan Belanda menguasai seluruh Indonesia.
Prinsip-prinsip pembentukan perwakilan kerajaan seperti yang diterapkan oleh Sisingamangaraja-XII bukan hanya berlaku di empat wilayah yang dikuasai oleh Sisingamangaraja-XII itu, melainkan berlaku juga pada wilayah lainnya seperti di Simalungun, Karo.
Di Simalungun diperintah oleh empat kerajaan yang disebut Raja Merempat:
Raja Tanah Jawa
Raja Dolok Silau
Raja Pane
Raja Siantar
Di Karo juga diperintah oleh empat raja yang disebut Raja Siempat:
Raja Lingga
Raja Barus Jae
Raja Sarinemba
Raja Suka
Mengenai kepemimpinan raja-raja di Silindung, Samosir, Humbang dan Toba dimulai semasa Sisingamangaraja-X sampai Sisingamangaraja-XII, kawasan ini dipimpin oleh empat orang raja disetiap wilayahnya. Sebagai contoh bahwa keempat raja di Silindung yang diangkat oleh Sisingamangaraja-X adalah dari empat marga yang ada di Silindung yaitu:
Hutauruk. Raja Ela Muda bermarga Hutauruk.
Hutabarat. Raja Da Mulana bermarga Hutabarat.
Sitompul. Raja Bagot Sinta bermarga Sitompul
Hutapea. Raja Tua bermarga Hutapea
Setiap raja yang diangkat ini memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai kepentingannya dalam mengayomi masyarakat Batak di setiap kawasan, artinya bahwa setiap fungsi yang diemban oleh seorang raja dari empat raja di wilayah silindung ini berlaku untuk seluruh wilayah Silindung sesuai fungsinya.
Misalnya ada raja yang berfungsi sebagai Hakim dan Tabib, Pertanian dan Dagang, Panglima Perang dan Pertahanan, Kultur Sosial dan keagamaan. Dalam mengayomi masyarakatnya maka mereka menerapkan falsafah “Paratian Sibola Timbangan Parninggala Sibola Tali, Tu Ginjang Sora Monggal Tu Totu Sora Meleng” yang diartikan sebagai perilaku arif, jujur, dan bijaksana.
Mereka berempat, raja-raja yang ada di satu wilayah itu disebut sebagai Raja Maropat yang artinya secara bersamasama menjamin keutuhan masyarakatnya sesuai fungsinya masing-masing. Sementara satu diantara empat Raja Maropat dipilih sebagai perwakilan yang disebut sebagai Raja Naopat dan secara rutin berhubungan langsung dengan Sisingamangaraja untuk membicarakan tentang keadaan wilayahnya masing-masing. Oleh karenanya bahwa kepemimpinan Sisingamangaraja memberlakukan 16 enam belas Raja untuk empat wilayah yang dipimpinnya.
Lazimnya justru Sisingamangaraja yang selalu mengunjungi Raja Naopat (perwakilan raja wilayah) di setiap wilayah. Sistim kepemimpinan ini menunjukkan bahwa eksistensi raja-raja bukan dikuasai oleh Sisingamangaraja secara otoriter sebagai pemilik wilayah kekuasaan, melainkan Sisingamangaraja adalah sebagai simbol pemersatu ke empat wilayah tersebut dalam suatu sistim pemerintahan yang demokratis. Tidak diberlakukan sistim pajak wilayah, tetapi dalam setiap perjuangan maka melalui perwakilannya secara sukarela akan mendukung perjuangan itu melalui dukungan logistik.
Sistim Perdagangan. Jauh sebelum datangnya pengaruh asing yang bertujuan untuk penguasaan wilayah seperti awal-awal kedatangan bangsa Eropah seperti Portugis, Perancis, Inggeris, dan Belanda bahwa sistim perdagangan untuk segala komoditi yang diperdagangkan oleh masyarakatnya sudah diberlakukan sistim perdagangan empat tingkat. Sistim perdagangan ini sudah berlangsung ratusan tahun bahkan Sebelum Masehi semasa semaraknya perdagangan Emas, Kamfer, Kemenyan, Kulit Kayu Manis, Kayu Kwalitas.
Walaupun perdagangan masa silam itu masih dalam bentuk barter tetapi menjadi sangat efektif untuk menjaga kerahasiaan dimana sumber asal dari komoditi yang diperdagangkan itu. Oleh karena itu selama ratusan tahun dan bahkan ribuan tahun, kawasan Tanah Batak di pedalaman (uphill – jauh dari pelabuhan pantai) tetap terpelihara keaslian baik dari segi ras, kultur budaya, dan agama. Maka tidak benar bahwa komunitas Batak disebut pedalaman sebagai komunitas tertutup (splendid isolation) dan justru menjadi sebuah kearifan untuk menjaga kemurniannya.
Sistim Perdagangan empat tingkat yang dimaksud adalah:
Tingkatan Pertama berada di kawasan dekat dengan sumber komoditi. Pada Perdagangan Tingkat Pertama ini hanya boleh dikunjungi oleh komunitas dagang dari Tingkat Kedua.
Kawasan Dagang berikutnya disebut Tingkat Kedua adalah mengarah ke pantai pelabuhan. Pada Perdagangan Tingkat kedua ini hanya boleh dikunjungi oleh komunitas dagang dari Tingkat Ketiga.
Kawasan Dagang berikutnya lagi disebut Tingkat Ketiga adalah lebih mengarah lagi ke arah pantai. Pada tingkat Perdagangan Ketiga ini hanya boleh dikunjungi oleh komunitas dagang dari Tingkat ke Empat yaitu dari komunitas dagang yang dari pantai.
Kawasan Dagang Keempat berada di Pantai Pelabugan Dagang seperti di Pelabuhan Barus, Pelabuhan Sibolga, Pelabuhan Singkil, termasuk Asahan dan Deli, secara langsung berhubungan dengan saudagar dari luar seperti dari India, Persia, Cina, belakangan dari Eropah yang tergiur untuk secara langsung masuk ke Tingkat Perdagangan Pertama. Kedatangan bangsa-bangsa Eropah inilah yang menjadi intens memicu terjadinya konflik dagang diantara raja-raja yang sudah termakan rayuan dan dipengaruhi oleh bangsa Eropah untuk menguasai daerah-daerah jajahan.
Demikian pentingnya filosofi bilangan empat bagi Bangsa Batak dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat sejak jaman purba, sehingga bilangan empat hingga saat ini masih menjadi bagian dari kosmologi Bangsa Batak yang disebut Suhi Ampang Naopat.
Kearifan Suhi Ampang Naopat terinspirasi dari salah satu benda yang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari Bangsa Batak yang banyak mereka pergunakan di dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keperluan di rumah tangga, bertani, berdagang, dalam ritual dan perhelatan pesta termasuk sebagai alat ukur, sehingga sampai saat ini masih lazim dipergunakan yaitu sejenis bakul yang terbuat dari rotan dan pada dasarnya sebagai pijakan untuk berdiri terdapat dudukan yang berbentuk segi empat. Inspirasi dudukan yang kokoh inilah yang menjadi sebuah kearifan kosmologi Suhi Ampang Naopat. (Mph-jun’11)
Sumber:
http://batakone.wordpress.com/2011/08/21/kosmologi-batak-untuk-bilangan-empat/

No comments:

Post a Comment