Kosmologi Batak Untuk Bilangan Empat
(Suhi Ampang Naopat)
Oleh Maridup Hutauruk
Belum berapa lama setelah era sekarang ini bahwa komunitas
Batak, khususnya yang disebut Batak Toba masih sangat kuat menerapkan
prinsip-prinsip Dalihan Natolu. Ada unsur utama lainnya yang
diikutsertakan dalam sistim kekerabatan Dalihan Natolu sehingga bukan
hanya 3 unsur utama yang berperan dalam konsep kemasyarakan Dalihan
Natolu, tetapi belum banyak digali magnanya lebih luas dan malah
definisi Dalihan Natolu yang berusaha dimodifikasi agar konsepnya tidak
teranulir oleh komunitas dalam melaksanakan perhelatannya.
Ada dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa masyarakat Batak meletakkan
filosofi kehidupan bermasyarakatnya berdasarkan empat unsur kehidupan.
Sementara konsep Dalihan Natolu yang sudah dianut sejak manusia pertama
ada dibumi ini adalah hanya sebagai dasar dari sistim kekerabatan yang
berlaku dan pada hakekatnya hanya dalam lingkaran kekerabatan terdekat
saja (Kecil), sedangkan masyarakat Batak bukan hanya mampu hidup
dilingkungan kekerabatan terdekat saja, melainkan eksistensinya
berkembang keluar dari lingkungan kekerabatan terdekat demi berusaha
untuk mencapai Hasangapon.
Ada masa dimana Bangsa Batak tercerai berai menjadi kelompok-kelompok
kecil yang seolah secara sengaja menutup diri, terasing, terisolir dan
tragisnya disebutkan hanya mampu hidup terkungkung dalam ketertutupan
dan keterbelakangan, bahkan disebutkan sebagai Bangsa Kanibal.
Pandangan ini seolah sengaja dihembuskan oleh bangsa-bangsa lain
seperti bangsa-bangsa dari Eropah, tetapi bukan saja oleh bangsa-bangsa
dari luar Sumatera itu yang mencitrakan Bangsa Batak dengan pandangan
demikian bahkan dari alur keturunannya juga pernah mencitrakan demikian
semasa kejayaan Kerajaan-kerajaan Melayu di Abad ke-15.
Di masa yang terpecah belah demikian, maka komunitas batak memang hidup
dalam kelompok-kelompok kecil yang pada awalnya hanya berupaya untuk
membentuk pertahanan diri di lingkup kampung atau hanya beberapa
kampung kecil saja. Hal ini yang membuat konsep Kosmologi Bilangan
Empat Unsur yang disebut Suhi Ampang Naopat seolah tenggelam dibawah
pamor Dalihan Natolu yang pada dasarnya terlaksana dalam segmen-segmen
kecil hubungan kekerabatan yang berkesinambungan.
Kalau untuk perhelatan besar maka konsep Dalihan Natolu sebenarnya
kuranglah mampu untuk mengadopsi seluruh kepentingan komunitas tetapi
dengan konsep kekerabatan yang disebut Suhi Ampang Naopat hal itu dapat
dilaksanakan dengan lebih mudah.
Mensikapi kekurangan ini maka komunitas Batak terpaksa mencari kearifan
lain dengan menerapkan konsep Dalihan Natolu PLUS, yang kemudian
disebut dengan ‘Dalihan Natolu tamba ni Sihal-sihal.’ Padahal konsep
ini seolah dipaksakan dan sangat terlihat dicari-cari untuk
penyempurnaan konsep Dalihan Natolu.
Pada dasarnya Kearifan Habatakon sudah lengkap untuk mengantisipasi
kehidupan masyarakatnya sampai ke akhir jaman. Hanya saja ada diantara
kearifan itu yang sempat kehilangan makna tergilas oleh masa dan keadaan
dan sudah sangat layak untuk ditemukan dan digali kembali.
Inti utama dari pandangan kosmologis empat unsur itu terlihat dari
kegiatan yang bersifat massal dimulai dari hubungan keluarga inti,
keluarga besar, konsep pemerintahan, sistim perdagangan.
Keluarga Inti. Dalam mengawali sebuah perhelatan (pesta adat) maka
hubungan kekerabatan terkecil sudah harus berkumpul untuk
membicarakannya. Dalam pembicaraan ini dan harus hadir 4 unsur
kekeluargaan terdekat yaitu:
Suhut Sihabolonan. Yang akan melaksanakan hajatan.
Namarhahamaranggi. Kakak beradik kandung dari yang akan melaksanakan hajatan.
Saboltok. Kakak beradik dari tingkat bapak atau kakek yang akan melaksanakan hajatan.
Boru. Marga yang mengambil pihak perempuan dari yang akan melaksanakan hajatan Boru.
Dalam bentuk permusyawarahan yang terawal ini sudah terkandung prinsip
Dalihan Natolu yang terbatas pada kekerabatan yang disebut
marhula-marboru, walaupun belum sepenuhnya semua unsur Dalihan Natolu
diterapkan. Empat unsur di atas sudah sah untuk memulai sebuah
perhelatan.
Keluarga Besar. Musyawarah terkecil pada poin-1 di atas berwujud
menjadi perhelatan yang akan melibatkan hubungan kekeluargaan yang
lebih besar. Dalam hal ini sudah belaku penuh falsafah Suhi Ampang
Naopat dan Dalihan Natolu ada didalamnya.
Hula-hula. Yang melaksanakan hajatan memberitahukan (Sungkem) kepada
pihak marga dari istri yang melaksanakan sebuah perhelatan agar
mendukung pelaksanaan perhelatan yang akan dilaksanakan itu.
Dongan Tubu. Semua saudara semarga terutama yang paling dekat
hubungan kekeluarganya sudah harus diikut sertakan dalam pelaksanaan
sebuah hajatan.
Boru. Semua marga terdekat yang telah memperistri saudara perempuan dari yang melaksanakan hajatan.
Raja/Raja Huta/ Ale-ale. Menjadi satu kelompok yang diikutsertakan
dalam pelaksanaan sebuah hajatan. Raja pada jaman dahulu (Sebelum
Indonesia Merdeka) disebut juga sebagai Bius atau Raja Bius, ikut
berperan untuk memberikan masukan untuk hal-hal yang baik yang akan
dilaksanakan dalam sebuah perhelatan. Sementara Raja Huta yang hanya
ada dalam satu kampong juga diikutkan dan sekarang ini yang lazimnya
berlaku di daerah perantauan dimana masyarakatnya tidak lagi homogen
tetapi masih berhubungan erat dalam bentuk kekerabatan. Dan Ale-ale
biasanya sebagai tempat curhat untuk mendukung semangat baik secara
moral maupun material untuk mendukung pelaksanaan sebuah hajatan.
Konsep Pemerintahan Kerajaan. Batak dikenal membentuk Pemerintahan
Kerajaan baru setelah adanya perlawanan terhadap Penjajah (Belanda)
yang dikenal Rajanya bernama Sisingamangaraja-XII. Walaupun jauh
sebelumnya bahwa secara berkelompok negeri Batak sudah dipimpin oleh
Raja-raja yang umumnya bersifat lokal untuk wilayah ulayat marga-marga
atau Bius. Namun semasa Sisingamangaraja-XII, bentuk kerajaan menjadi
unik dan menjadi simbolisasi pemersatu atas raja-raja lainnya tanpa ada
otorisasi atau aneksasi terhadap kekuasaan wilayah, melainkan adanya
rasa kebersamaan dan bersatu untuk melawan agressi terhadap eksistensi
Batak sebagai sebuah Bangsa yang memuliakan adat istiadat dan
hukum-hukum yang berlaku dalam komunitas masyarakatnya.
Maka dalam menjalankan pemerintahannya, Sisingamangaraja-XII menerapkan
penguasaan 4 (empat) wilayah di Tanah Batak dan mengangkat 4 (empat)
raja di masing-masing wilayah, yang setiap wilaya itu disebut dengan
Raja Maropat dan diantara Raja Maropat ini dipilih satu perwakilannya
yang menjadi Raja Naopat sebagai wakil Sisingamangaraja-XII disetiap
wilayah.
Pembagian empat penguasaan wilayah oleh Sisingamangaraja-XII semasa pemerintahannya adalah:
Silindung.
Samosir
Humbang
Toba
Pengaruh kekuasaan pemerintahan Sisingamangaraja-XII(12) memang
terpusat di empat wilayah yang disebutkan di atas, karena ke-empat
wilayah tersebut yang secara historis menjadi wilayah yang sempat
diperebutkan sejak adanya agressi dari Paderi antara tahun 1816-1820,
yaitu sejak Sisingamangaraja-X(10), kemudian oleh Belanda yang bermula
sejak pengalihan wilayah jajahan antara Inggeris yang sebelumnya
menguasai Pulau Sumatera dan Belanda yang pada masa itu menguasai
Semenanjung melalui Traktat London 17 Maret 1824.
Sementara wilayah Tanah Batak Lainnya seperti Dairi (Pakpak),
Simalungun, Karo, tidak sempat mengalami pahitnya Perang Saudara
Paderi, kecuali oleh Belanda setelah Penjajahan Belanda menguasai
seluruh Indonesia.
Prinsip-prinsip pembentukan perwakilan kerajaan seperti yang diterapkan
oleh Sisingamangaraja-XII bukan hanya berlaku di empat wilayah yang
dikuasai oleh Sisingamangaraja-XII itu, melainkan berlaku juga pada
wilayah lainnya seperti di Simalungun, Karo.
Di Simalungun diperintah oleh empat kerajaan yang disebut Raja Merempat:
Raja Tanah Jawa
Raja Dolok Silau
Raja Pane
Raja Siantar
Di Karo juga diperintah oleh empat raja yang disebut Raja Siempat:
Raja Lingga
Raja Barus Jae
Raja Sarinemba
Raja Suka
Mengenai kepemimpinan raja-raja di Silindung, Samosir, Humbang dan Toba
dimulai semasa Sisingamangaraja-X sampai Sisingamangaraja-XII, kawasan
ini dipimpin oleh empat orang raja disetiap wilayahnya. Sebagai contoh
bahwa keempat raja di Silindung yang diangkat oleh Sisingamangaraja-X
adalah dari empat marga yang ada di Silindung yaitu:
Hutauruk. Raja Ela Muda bermarga Hutauruk.
Hutabarat. Raja Da Mulana bermarga Hutabarat.
Sitompul. Raja Bagot Sinta bermarga Sitompul
Hutapea. Raja Tua bermarga Hutapea
Setiap raja yang diangkat ini memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai
kepentingannya dalam mengayomi masyarakat Batak di setiap kawasan,
artinya bahwa setiap fungsi yang diemban oleh seorang raja dari empat
raja di wilayah silindung ini berlaku untuk seluruh wilayah Silindung
sesuai fungsinya.
Misalnya ada raja yang berfungsi sebagai Hakim dan Tabib, Pertanian dan
Dagang, Panglima Perang dan Pertahanan, Kultur Sosial dan keagamaan.
Dalam mengayomi masyarakatnya maka mereka menerapkan falsafah “Paratian
Sibola Timbangan Parninggala Sibola Tali, Tu Ginjang Sora Monggal Tu
Totu Sora Meleng” yang diartikan sebagai perilaku arif, jujur, dan
bijaksana.
Mereka berempat, raja-raja yang ada di satu wilayah itu disebut sebagai
Raja Maropat yang artinya secara bersamasama menjamin keutuhan
masyarakatnya sesuai fungsinya masing-masing. Sementara satu diantara
empat Raja Maropat dipilih sebagai perwakilan yang disebut sebagai Raja
Naopat dan secara rutin berhubungan langsung dengan Sisingamangaraja
untuk membicarakan tentang keadaan wilayahnya masing-masing. Oleh
karenanya bahwa kepemimpinan Sisingamangaraja memberlakukan 16 enam
belas Raja untuk empat wilayah yang dipimpinnya.
Lazimnya justru Sisingamangaraja yang selalu mengunjungi Raja Naopat
(perwakilan raja wilayah) di setiap wilayah. Sistim kepemimpinan ini
menunjukkan bahwa eksistensi raja-raja bukan dikuasai oleh
Sisingamangaraja secara otoriter sebagai pemilik wilayah kekuasaan,
melainkan Sisingamangaraja adalah sebagai simbol pemersatu ke empat
wilayah tersebut dalam suatu sistim pemerintahan yang demokratis. Tidak
diberlakukan sistim pajak wilayah, tetapi dalam setiap perjuangan maka
melalui perwakilannya secara sukarela akan mendukung perjuangan itu
melalui dukungan logistik.
Sistim Perdagangan. Jauh sebelum datangnya pengaruh asing yang
bertujuan untuk penguasaan wilayah seperti awal-awal kedatangan bangsa
Eropah seperti Portugis, Perancis, Inggeris, dan Belanda bahwa sistim
perdagangan untuk segala komoditi yang diperdagangkan oleh
masyarakatnya sudah diberlakukan sistim perdagangan empat tingkat.
Sistim perdagangan ini sudah berlangsung ratusan tahun bahkan Sebelum
Masehi semasa semaraknya perdagangan Emas, Kamfer, Kemenyan, Kulit Kayu
Manis, Kayu Kwalitas.
Walaupun perdagangan masa silam itu masih dalam bentuk barter tetapi
menjadi sangat efektif untuk menjaga kerahasiaan dimana sumber asal
dari komoditi yang diperdagangkan itu. Oleh karena itu selama ratusan
tahun dan bahkan ribuan tahun, kawasan Tanah Batak di pedalaman (uphill
– jauh dari pelabuhan pantai) tetap terpelihara keaslian baik dari
segi ras, kultur budaya, dan agama. Maka tidak benar bahwa komunitas
Batak disebut pedalaman sebagai komunitas tertutup (splendid isolation)
dan justru menjadi sebuah kearifan untuk menjaga kemurniannya.
Sistim Perdagangan empat tingkat yang dimaksud adalah:
Tingkatan Pertama berada di kawasan dekat dengan sumber komoditi.
Pada Perdagangan Tingkat Pertama ini hanya boleh dikunjungi oleh
komunitas dagang dari Tingkat Kedua.
Kawasan Dagang berikutnya disebut Tingkat Kedua adalah mengarah ke
pantai pelabuhan. Pada Perdagangan Tingkat kedua ini hanya boleh
dikunjungi oleh komunitas dagang dari Tingkat Ketiga.
Kawasan Dagang berikutnya lagi disebut Tingkat Ketiga adalah lebih
mengarah lagi ke arah pantai. Pada tingkat Perdagangan Ketiga ini hanya
boleh dikunjungi oleh komunitas dagang dari Tingkat ke Empat yaitu
dari komunitas dagang yang dari pantai.
Kawasan Dagang Keempat berada di Pantai Pelabugan Dagang seperti di
Pelabuhan Barus, Pelabuhan Sibolga, Pelabuhan Singkil, termasuk Asahan
dan Deli, secara langsung berhubungan dengan saudagar dari luar seperti
dari India, Persia, Cina, belakangan dari Eropah yang tergiur untuk
secara langsung masuk ke Tingkat Perdagangan Pertama. Kedatangan
bangsa-bangsa Eropah inilah yang menjadi intens memicu terjadinya
konflik dagang diantara raja-raja yang sudah termakan rayuan dan
dipengaruhi oleh bangsa Eropah untuk menguasai daerah-daerah jajahan.
Demikian pentingnya filosofi bilangan empat bagi Bangsa Batak dalam
menjalankan kehidupannya bermasyarakat sejak jaman purba, sehingga
bilangan empat hingga saat ini masih menjadi bagian dari kosmologi
Bangsa Batak yang disebut Suhi Ampang Naopat.
Kearifan Suhi Ampang Naopat terinspirasi dari salah satu benda yang
sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari Bangsa Batak yang banyak
mereka pergunakan di dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari
keperluan di rumah tangga, bertani, berdagang, dalam ritual dan
perhelatan pesta termasuk sebagai alat ukur, sehingga sampai saat ini
masih lazim dipergunakan yaitu sejenis bakul yang terbuat dari rotan
dan pada dasarnya sebagai pijakan untuk berdiri terdapat dudukan yang
berbentuk segi empat. Inspirasi dudukan yang kokoh inilah yang menjadi
sebuah kearifan kosmologi Suhi Ampang Naopat. (Mph-jun’11)
Sumber:
http://batakone.wordpress.com/2011/08/21/kosmologi-batak-untuk-bilangan-empat/
No comments:
Post a Comment