TANAH BATAK TERSEBAR DI BEBERAPA PROVINSI
Wilayah sejati Rumpun Etnis Batak sesungguhnya lebih luas
dari sebagian wilayah Tanah Batak yang saat ini termasuk dalam wilayah
Provinsi Sumatera Utara (SUMUT).
Beberapa daerah dan Sub rumpun Etnis Batak yang wilayahnya terletak di luar Provinsi Sumatera Utara saat ini adalah :
1. Gayo, Kluet, dan Alas
Berdasarkan penelitian ahli anthropolgi, ahli bahasa, dan pakar budaya
pada jaman Penjajahan Belanda yaitu Prof. Van Vollenhoven menemukan
banyak kesamaan adat istiadat asli (sebelum dipengaruhi agama yg masuk
belakangan), kesamaan budaya, kesamaan asal etnis, dan kesamaan dasar
rumpun bahasa antara Batak Karo dengan Suku Batak Gayo dan Suku Batak
Alas. Ketiga Suku ini dimasukkan Belanda ke dalam wilayah Aceh sejak
penaklukan Aceh. Ketiganya dimasukkan Belanda sebagai bagian dari
wilayah Keresidenan Aceh yang berpusat di Kutaradja (Banda Aceh,
sekarang). Dalam hal ini Belanda mengesampingkan kenyataan perbedaan
etnis, bahasa, adat istiadat, budaya dan sejarah yang ada diantara Suku
Aceh dengan Suku Batak Gayo, Batak Kluet, dan Suku Batak Alas.
Van Vollenhoven mengklasifikasikan Rumpun Adat ini sebagai Rumpun
tersendiri yang sejajar dengan Rumpun Budaya Batak yaitu Rumpun Gayo
Alas Karo.
Dikatakannya kedua rumpun ini (Rumpun Batak dan Rumpun Gayo Alas Karo)
memiliki kekerabatan dan sejarah awal yang berhubungan. Sehingga Rumpun
Induk Suku Batak terdiri dari 2 Sub Rumpun Induk yaitu : Sub Rumpun
Budaya Batak dan Sub Rumpun Budaya Gayo Alas Karo.
Masing2 sub Rumpun terdiri lagi atas beberapa Sub Suku yang sering
dikenal dengan istilah Puak. Sub Rumpun Batak Gayo Alas Karo terdiri
dari Puak-puak : Karo, Gayo, dan Alas, termasuk di dalamnya Suku Kluet
yang juga dikategorikannya sebagai bagian dari Puak Batak ini.
Sedangkan Sub Rumpun Batak terdiri dari Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun dan juga Pakpak serta Singkil.
Pakpak dan Singkil menurutnya sebetulnya lebih tepat dikategorikan
menjadi budaya peralihan yang terletak di pertengahan antara kedua
klasifikasi Sub Rumpun Batak ini.
Secara mendatail ditemukannya banyak data yang menunjukkan lebih
banyak persamaan antara ketiganya (Gayo, Alas, dan Karo). Penelitian
seorang ahli Belanda lainnya yaitu Ypes yang khusus mempelajari budaya
Batak Karo menemukan banyak data hubungan Puak ini dengan Gayo dan
Alas, serta juga dengan Pakpak dan Singkil. Jauh lebih sedikit
persamaan yang bisa ditemukan bila dibandingkan dengan rumpun Batak
lain (Toba, Simalungun, Angkola, Mandailing).
Puak Karo memiliki cukup banyak persamaan dengan Pakpak dan Singkil
dari segi Bahasa Daerah yang memiliki persamaan akar dialek, sementara
secara adat dan budaya, Batak Pakpak dan Batak Singkil lebih dekat
kepada Rumpun Batak Toba. Mungkin karena wilayah ini dalam sejarahnya
menjadi daerah kekuasaan dan sekutu Toba di bawah Dinasti
Sisingamangaradja dalam waktu yang sangat panjang.
Dalam sejarah banyak ditemukan kisah perantauan dari Karo dan Pakpak
yang kemudian menetap di Tanah Gayo dan Tanah Alas dan sebaliknya.
Banyak garis keturunan diantara ketiganya yang masih bisa ditelusuri
hingga saat ini. Bahkan dalam sejarah juga dicatat kekuasaan kerajaan
Alas dan Kerajaan Gayo sering menyerang dan menduduki wilayah Karo Atas
(Karo Gunung di Tana Karo) hingga mencapai wilayah Simalungun. Orang
Batak Gayo dan Batak Alas bahkan tercatat dalam sejarah mendirikan
Dinasti beberapa kerajaan kecil di Simalungun dan Karo Gunung.
2. Singkil
Selain Gayo dan Alas, sesungguhnya wilayah Suku Batak juga mencakup
Daerah Singkil yang saat ini juga termasuk wilayah Aceh. Budaya, adat
istiadat asli dan bahasa daerah Singkil berkerabat dekat dengan Puak
Batak Pakpak di Dairi. Begitu pula dengan marga-marga asli Singkil
merupakan varian dari marga Pakpak. Disamping etnis Batak Singkil asli
juga banyak bermukim keturunan Toba yang telah berabad-abad tinggal di
sana dan menjadi orang Singkil sepenuhnya dalam budaya dan bahasa
daerah Singkil. Kendati menjadi orang Singkil mereka masih tetap
menggunakan marga yang 100% asli Toba, seperti Sinambela, Marpaung,
Pardosi, Hutabarat, Hutajulu, Silalahi, Sihite, Situmorang, Pardede,
Bakkara, Pasaribu, Sinaga, Simangunsong, Sidabutar, Tanjung, Pane, dll.
Daerah Batak Singkil dilepaskan Belanda dari lingkungan budaya Batak
secara global dimasukkan ke dalam wilayah Aceh di masa penghujung
kekuasaan Sisingamangaradja. Pada saat itu Sisingamangaradja XII sedang
bertahan di Dairi dengan segenap kekuatan terakhirnya. Kekuatan beliau
terdiri dari Pasukan inti dari Batak Toba yang masih setia padanya
dengan tambahan pasukan dari Batak Pakpak, dan juga sekutunya Batak
Singkil yg umumnya Muslim. Disamping itu juga ada bantuan dari Batak
Gayo yang dikirim oleh Kesultanan Aceh karena mereka mengabdi kepada
Kesultanan Aceh.
Pertahanan Sang Raja Sisingamagaradja XII di Tanah Dairi Pakpak sangat
kuat sehingga sulit ditembus oleh pasukan Belanda yang menyerang dari
arah Selatan (Tanah Toba ex wilayah kekuasaan Sisingamangaradja dan
Sibolga Barus es kekuasaan Kesultanan Batak Barus) dan Timur (Tanah
Simalungun ex wilyah kekuasaan Raja-raja Simalungun dan Tanah Karo ex
kekuasaan Raja-raja Karo). Belanda kemudian meminta bantuan kepada
Gubernur Militer dan Residen Aceh untuk mengirimkan pasukan Belanda
dari Aceh untuk menjepit kekuatan Sisingamangaradja XII dari arah
Utara. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memutuskan akses wilayah Dairi
ke daerah pesisir pantai oleh Pasukan Belanda yang di datangkan dari
Aceh tersebut.
Pasukan bantuan dari daerah Aceh ini menyerang dari Utara (dari arah
Tanah Gayo dan Tanah Alas) menduduki Tanah Singkil, menghancurkan
Kerajaan Batak Singkil yang masih berkerabat darah dengan Dinasti
Sisingamangaradja. Dengan ditaklukkannya Singkil, berarti terputuslah
jalur bantuan kekuatan dari Barat yang memiliki akses ke laut.
Selanjutnya dibuat kesepakatan oleh kedua Residen untuk memberikan
wilayah Singkil kepada pasukan dari Aceh dan dimasukkan ke dalam
wilayah Keresidenan Atjeh.
Pendudukan Singkil ini sangat membantu Pasukan Belanda yang menyerang
dari Selatan (Sumut) untuk mengobrak-abrik pertahanan sang Raja yang
praktis hanya bertahan di sekitar Tanah Dairi. Selanjutnya seperti yang
sudah diketahui di penghujung perjuangan, Sang Raja akhirnya tewas
tertembus peluru musuh.
Sejak itu secara resmi terpisahlah Batak Singkil dari saudara
serumpunnya di Tanah Dairi Pakpak oleh Belanda sebagai bagian politik
devide et impera. Pemisahan ini terus berlangsung hingga saat ini
dengan ditetapkannya menjadi bagian integral dari Prov. D.I. Nanggroe
Aceh Darusssalam (NAD) sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia.
Begitulah ketiga wilayah bersuku Batak ini oleh Belanda dianeksasi dan
dimasukkan ke dalam wilayah Aceh secara sepihak. Ketiga daerah ini
tidak pernah sudi dikategorikan sebagai orang Aceh. karena memang
hampir tidak ada persamaan antara orang Aceh dengan mereka , kecuali
hanya sama-sama beragama Islam.
Saat ini Wilayah Gayo dan Wilayah Alas sedang berjuang masing-masing
secara konstitusional untuk melepaskan diri dari Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Sementara wilayah Singkil belum terdengar resonansi
perjuangannya sampai meletup menjadi upaya serupa yang sistematis.
3. Rao
Daerah Rao dalam sejarahnya dihuni oleh Etnis Batak yang berkerabat
dekat dengan Puak Batak Mandailing. Dengan kata lain bisa disebutkan
bahwa orang Rao adalah Etnis Batak dari Puak Mandailing yang wilayahnya
termasuk Provinsi Sumatera Barat. Oleh Belanda daerah ini dimasukkan
ke dalam wilayah Keresidenan Sumatera’s Westkust (Sumatera Barat) pada
saat penaklukan wilayah ini dari tangan Kaum Paderi thn 1837M. Pada
saat itu Tanah Rao yang dominant bersuku Batak adalah merupakan salah
satu pusat kekuatan kaum Paderi. Sehingga sejarah mencatat bahwa
sebagian diantara tokoh kaum Paderi sejatinya adalah dari etnis
Minangkabau bermarga Batak.
Sejak itu wilayah ini praktis menjadi bagian yang tek terpisahkan dari
Sumatera Barat hingga masa kemerdekaan saat ini. Dan seperti daerah
lainnya yang terpisah dari wilayah induknya, perasaan kebatakan mereka
pun cenderung melemah sehingga dengan tanpa rasa bersalah mereka
menyatakan diri sebagai orang Minangkabau kendati sebagian diantaranya
masih menggunakan marga Batak. Sedangkan sebagian besar diantaranya
menggunakan nama Suku (Marga di Minangkabau disebut Suku) : Mandailiang.
Tentu saja nama ini agak sukar dibantah bila dikatakan memiliki asal
dari kata Mandailing dengan aksen dialek Minangkabau.
4. Beberapa wilayah kecamatan di Rokan Hulu Riau
Beberapa wilayah di sekitar perbatasan Rokan Hulu di Provinsi Riau
dengan wilayah Padang Lawas di Sumatera Utara sejatinya adalah bersuku
Batak yang masih berkerabat dengan Puak Mandailing. Wilayah mereka juga
dimasukkan ke dalam wilayah Administrasi Keresidenan Riouw pada jaman
penjajahan Belanda setelah penaklukan kaum Paderi gelombang terkhir
yang dipimpin oleh tokohnya Tuanku Tambusei. Sesungguhnya Tuanku
Tambusei adalah putera asli daerah Rokan Hulu yang bermarga Harahap.
Sejak itu wilayah ini termasuk dalam lingkungan Budaya Melayu Riau yang
kental hingga akhirnya para penutur bahasa dan adapt istiadat Batak
terabsorbsi sepenuhnya menjadi orang Melayu dengan meninggalkan
marganya. Akan tetapi sampai saat ini masih banyak diantaranya yang
masih memiliki cerita sejarah leluhur meraka yang berasal dari Etnis
Batak. Keresidenan Riouw pada jaman Kemerdekaan RI setelah melewati
sejarah yang cukup panjang akhirnya sekarang telah menjadi Provinsi
Riau.
5. Beberapa wilayah Batak lainnya 1861-1907 M.
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah
Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara
frontal Belanda pada masa itu belum mampu karena di pihak lain dan di
dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga untuk menumpas berbagai
pemberontakan. Sementara itu pada saat yang sama, kerajaan-kerajaan
pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.
Belanda kemudian menerapkan Politik Devide et Impera dari Pantai
Timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak Raya
dipecah menjadi:
1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong
Praja, yang meliputi daerah Tapanuli Selatan (Mandailing, Padang
Lawas, Angkola, Sibolga, Pesisir Barus), Tapanuli Utara (Humbang,
Silindung, Holbung, Tarutung, Pahae, Toba, Samosir, Muara, dll) dan
Tanah Dairi, ditambah kepulauan Nias yang sama sekali bukan beretenis
Batak.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja. Yang meliputi
Pesisir Sumatera Timur Mulai dari wilayah Kesultanan Melayu Langkat,
Kesultanan Melayu Deli, sampai dengan perbatasan Riau di Selatan,
ditambah Wilayah Batak Simalungun dan Wilayah Batak Karo.
3. Daerah Batak Singkil, Gayo, dan Alas atas permintaan komandan
tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan
Aceh.
Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:
1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di Tanah Karo Dusun.
2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung ex panglima Paderi diberi pengakuan secara hukum.
6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim
didirikan dengan kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku
Kota Pinang.
7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan,
misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila, dan lain sebagainya dengan
tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak
agama, wilayah, dan kepentingan ekonomi. Kerajaan Merbau didirikan oleh
salah seorang ex Panglima Tentara Paderi pimpinan Tuanku Mansur
Marpaung yang bernama Zulkarnain Aritonang.
8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga kerajaan kecil-kecil.
9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.
Pihak Gayo, Kluet, dan Alas yang dimasukkan ke Aceh, dan orang-orang
Batak Karo, serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan
Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing
sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check
point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas
batas. Kekuatan ekonomi masyarakat Batak saat itu, praktis, sepenuhnya
dikuasai Belanda.
Sementara itu wilayah Tapanuli Selatan bersuku Batak Mandailing dan
suku Batak Angkola dan ex Kesultanan Batak Melayu Barus Hulu dan
Pesisir Barus Hilir di Tapanuli Tengah juga sudah ditaklukan lebih
dahulu oleh Belanda.
Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah dalam sejarah
perjuangannya pada masa Sisingamangaradja XII. Hingga akhirnya
penguasaan Tanah Batak Toba secara keseluruhan oleh Belanda menyebabkan
tersingkirnya Sisingamangardja XII dari ibukota kerajaannya di Bakkara
dan menyingkir ke wilayah Pakpak di tanah Dairi yang masih setia
kepadanya.
Selanjutnya wilayah Singkil pun dianeksasi oleh Belanda ke dalam
wilayah Aceh sehingga praktis sang Baginda hanya tinggal menyisakan
wilayah Pakpak Dairi sebagai pertahanan terakhir menjelang ajalnya
dalam pertempuran akhir yang menentukan.
Tanah Batak dan Etnis Batak sukar untuk Dipersatukan Kembali
Itulah sekelumit wilayah Bersuku Batak yang saat ini terpisah dalam
beberapa Provinsi yang sepertinya mustahil bisa dipersatukan kembali.
Kondisinya utama yg dihadapi Etnis Batak sejak dahulu kala adalah
adanya resistensi masing-masing Puak Batak yang teguh menentang
persatuan diantara mereka.
Juga karena dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak
mudah mengakomodasi pemisahan ataupun penyatuan wilayah berdasarkan
konsep etnis apalagi agama .... bisa dicap SARA.....
Sumber:
http://www.facebook.com/topic.php?uid=87860003317&topic=9496
"Saat ini Wilayah Gayo dan Wilayah Alas sedang berjuang masing-masing secara konstitusional untuk melepaskan diri dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara wilayah Singkil belum terdengar resonansi perjuangannya sampai meletup menjadi upaya serupa yang sistematis."
ReplyDeleteSaya ingin mengomentari kalimat di atas:
Sampai saat ini masyarakat Alas (kab. Aceh Tenggara), Gayo (Kab. Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah) dan Singkil juga (Kab. Aceh Singkil dan Kota Subussalam) masih teguh ingin membentuk Provinsi Aceh Leuser Antara berpisah dari Nangroe Aceh Darusalam. Jadi, saya ingin mengoreksi bahwa suku Singkil juga beresonansi lho. Terimakasih.
Terima kasih atas informasinya ...
ReplyDeleteWah wah... baru kali ini saya mendengar istilah "Batak Gayo" yang justru saya dapati di blog ini. Kebetulan saya putra Gayo, ayah bermarga Lingga dan ibu marga Cibero.
ReplyDeleteMohon maaf, saya sedikit keberatan dengan istilah di atas karena bahasa Gayo (termasuk adat istiadat dan marga2) berbeda dgn suku Batak, namun sangat mirif dengan suku Karo dan Pakpak. Kenyataan di lapangan membuktikan bhw sebagian orang Karo sendiri keberatan disebut sebagai orang Batak dan memiliki entitas tersendiri yang lebih dekat dgn suku Gayo dan Alas di provinsi Aceh.
Saya sendiri ingin bertanya, sejak kapan istilah "Batak Gayo" ini mulai muncul? Kalau bisa harap sertakan juga referensinya. Terimakasih. Berijin, mejuah-juah. Wassalam.
Pertanyaan itu sudah terjawab sebenarnya, karena sudah ada disinggung sumbernya di atas dari Prof. Van Vollenhoven pada zaman Belanda. Hal ini disinggung oleh Prof. Dr. B.A. Simanjuntak bahwa Belandalah yang membuat teori tentang Gayo berasal dari Batak ketika menulis kata sambutannya dalam buku "Gayo Merangkai Identitas" oleh Ketut Wiradnyana & Taufiqurraman Setiawan di mana diperkirakan bahwa penghuni Tanah Batak berasal dari Gayo.
ReplyDeleteSebagai tambahan informasi, maka dilihat lagi: http://en-gb.facebook.com/GAYOKU/posts/160472090639669?comment_id=1818716&offset=0&total_comments=24
Ketika mengetahui marganya Lingga dan ibu marga Cibero, maka hal ini tentulah mengingatkan kepada BATAK 27. Kalaupun mirip dengan Pakpak dan Karo, tetapi namanya masih BATAK 27.
Bandingkan dengan: http://alhafizniselianymailcom.blogspot.com/2012_01_01_archive.html
http://aceh.tribunnews.com/2012/05/05/pasangan-manusia-purba-memeluk-batu
http://unj-pariwisata.blogspot.com/2012/05/sistem-bahasa-suku-gayo.html
Terima kasih