Thursday, March 8, 2012

Korban Perang Padri Minta Pelurusan Sejarah


Korban Perang Padri Minta Pelurusan Sejarah 
Kamis, 16 Oktober 2008 | 20:21 WIB 

MEDAN, KAMIS - Polemik soal Perang Padri mendapat tanggapan sejarawan
sekaligus mereka yang menjadi korban. Mereka meminta pelurusan sejarah
sehingga bisa dipahami secara arif generasi berikutnya. Ada hal-hal dalam
Perang Padri yang menyimpan luka mendalam bagi korban perang . 

Hal ini disampaikan sejarawan melalui surat elektroniknya yang diterima
Kompas, Kamis (16/10) di Medan. Gerakan radikal Padri tidak bisa dipandang
sebagai suatu yang positif. Apalagi gerakan radikal Padri dipandang mampu
mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial saat itu, kata pemerhati sejarah
Basyral Hamidi Harahap. 

Basyral membantah kesimpulan tersebut. Penilaian terhadap Perang Padri
seperti itu dia anggap gegabah. Tragedi kemanusiaan yang luar biasa tidak
bisa dinafikan. Bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di
Tapanuli, kata penulis buku Greget Tuanku Rao ini. 

Menurut dia Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling
kejam dalam sejarah Indonesia abad ke-19. Mereka bukan saja berupaya
menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan
memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan
membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat. 

Dalam Perang Padri banyak sekali naskah sejarah yang hilang. Beberapa di
antaranya berhasil diselamatkan oleh Asisten Residen Mandailing Angkola
(1848-1857), Alexander Philippus Godon. Dia memperlihatkan naskah kuno
Mandailing kepada Herman Neubronner van der Tuuk ketika berkunjung ke
Panyabungan bulan Maret 1852. Buku berisi berbagai ilmu tentang pertanian,
hukum, tradisi, dan pengobatan. 

Motivasi 
Sampai sekarang, kata mantan peneliti KITLV (pusat kebudayaan Belanda) ini,
motivasi pemusnahan naskah kuno itu belum jelas. Basyral sendiri merupakan
korban Perang Padri karena nenek moyangnya tewas dalam pertempuran di Padang
Lawas, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Dia sepakat bahwa Perang
Padri merupakan perang dagang semata. Penyerbuan Padri ke Sumatera Utara
juga terjadi lantaran habisnya logistik di Sumatera Barat. 

Respons Basyral ini muncul setelah ada bedah buku berjudul Gejolak Ekonomi,
Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin. Bedah buku ini
digelar oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan
(Unimed), Selasa (14/10) lalu. Dalam diskusi itu hadir antropolog Unimed
Usman Pelly dan Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut Nur
Ahmad Fadhil Lubis. 

Kepala Pussis Unimed, Ichwan Azhari mengatakan perdebatan tentang Perang
Padri penting dikembangkan secara akademis. Diskusi ini , katanya, justru
semakin bagus untuk meletakkan wacana bahwa sejarah tidak bisa dipandang
dari satu sisi saja. Selama ini Perang Padri banyak dilihat dari satu pihak. 

Belum banyak pendapat ilmiah dari sudut pandang korban perang, katanya. 
Dalam persoalan ini, perlu muncul pandangan orang luar seperti pandangan
Dobbin tentang Perang Padri. Dikursus tentang ini tidak harus dibatasi oleh
masing-masing klaim kebenaran. 


No comments:

Post a Comment