Tuesday, May 1, 2012

MAKALAH PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP


Februari 27, 2011

MAKALAH PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

Disusun oleh:
Nama               : Bolmer Suryadi Hutasoit
NIM                  : 8111409160
Mata Kuliah   : Pendidikan Lingkungan Hidup
Dosen               : Zaenuri Mastur

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2010

KATA PENGANTAR
Dalam usaha mengembangkan potensi yang kami miliki dengan mengeluarkan ide sederhana dan mencurahkan sebuah gagasan ilmiah untuk kepentingan masyarakat. Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatnya yang selalu menaungi kami mulai dari awal membuat makalah ini sampai rampungnya.

Keterbatasan ilmu, wawasan dan pengalaman yang kami miliki tidak menjadi suatu hambatan. Timbulnya berbagai masalah yang dihadapi masyarakat mendorong kami untuk mencetuskan gagasan ini. Mengkaji lebih dalam masalah yang terjadi dengan mencari latar belakang dan mengerti makna apa yang didapat didalamnya.

Memandang kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang menimbulkan alam marah dengan berbagai kekesalannya. Banyak terjadi bencana alam yang sering kali masyarakat hanya dapat mengerutu atasnya dan tidak menyadari kesalahan apa yang telah mereka perbuat terhadap lingkungan. Pro dan kontra terjadi serta kontroversi pun semakin meningkat.

Tiada gading yang tidak retak, menyadari dalam penulisan makalah ini baik dari segi materi maupun redaksi tentu ada kekurangan kami menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi terciptanya sebuah karya yang lebih baik lagi dihari mendatang.
Kami hanya dapat berdoa dengan harapan buah pikir yang telah kami telurkan dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Semarang, 23 Mei 2010
Penulis

Bolmer Suryadi Hutasoit
NIM. 8111409160

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hasil penelitian dilapangan hampir semua kondisi hutan di Sumatera Utara gundul. Satu penyebab perubahan iklim di Sumatera Utara (Sumut) karena sekitar 891 hektar hutan di Sumut terbakar. Dari 891 Ha itu 123 hektar merupakan kawasan hutan lindung dan 764 hektar kawasan ladang dan kebun masyarakat. Perambahan hutan yang mencapai 694.295 Ha pada tahun 2007. Kebakaran hutan pada umumnya disebabkan faktor manusia sebanyak 99 persen, baik di sengaja ataupun karena kelalaian. Perambahan hutan itu terdiri atas hutan lindung, seluas 207.575 Ha, kawasan konservasi sekitar 32.500 Ha, hutan bakau 54.220 Ha dan hutan produksi 400.000 Ha.

Masalah lain yang timbul banjir besar yang menenggelamkan 15 kecamatan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut) ditengarai karena hutan di Taman Nasional Gunung Leuser yang sudah semakin gundul. Ini karena hutan sudah mengalami kegundulan di bagian hulu. Sehingga dengan curah hujan yang tinggi, di hulu tidak tertampung lagi dimana hulu dari Sungai Wampu dan Sungai Besitang. inilah yang saat ini sudah tidak dapat lagi menampung debit air dari hulu.

Hutan di Sumut rusak berat disebabkan juga karena pembalakan liar secara besar-besaran berkedok pembukaan jalan yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Bahkan kerusakan hutan tersebut sudah merambah kawasan hutan lindung Swakamarga Satwa Barumun dan Register 6, 7, dan 8, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Perambahan hutan itu pada akhirnya menyebabkan bencana banjir bandang yang terjadi di Madina, Tapsel dan Bahorok serta tanah longsor pada musim hujan dan musim kemarau dan kekeringan berkepanjangan.

BAB II
TELAAH PUSTAKA
A.     Landasan Teori
Sumatera Utara adalah sebuah provinsi yang terletak di Pulau bagian utara Sumatera, Indonesia. Provinsi ini dihuni oleh banyak suku bangsa dari Melayu Tua dan Melayu Muda. Penduduk asli provinsi ini terdiri dari Suku Melayu, Suku Batak, Suku Nias, dan Suku Aceh. Daerah pesisir Sumatera Utara, yaitu timur dan barat pada umumnya didiami oleh Suku Melayu dan Suku Mandailing yang hampir seluruhnya beragama Islam. Sementara di daerah pegunungan banyak terdapat Suku Batak yang sebagian besarnya beragama Kristen. Selain itu juga ada Suku Nias di kepulauan sebelah barat. Kaum pendatang yang turut menjadi penduduk provinsi ini didominasi oleh Suku Jawa. Suku lainnya adalah Suku Tionghoa dan beberapa minoritas lain.

Sumatera Utara merupakan provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2002, jumlah penduduk Sumatera Utara adalah seramai 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 165 jiwa per km², sedangkan kadar peningkatan pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun.

Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Sejak dibukanya perkebunan tembakau di Sumatera Timur, pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak mendatangkan kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan. Pendatang tersebut kebanyakan berasal dari etnis Jawa dan Tionghoa.

Sumatera Utara kaya akan sumber daya alam berupa gas alam di daerah Tandam, Binjai dan minyak bumi di Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat yang telah dieksplorasi sejak zaman Hindia Belanda.
Selain itu di Kuala Tanjung, Kabupaten Asahan juga terdapat PT Inalum yang bergerak di bidang penambangan bijih dan peleburan aluminium yang merupakan satu-satunya di Asia Tenggara.

Sungai-sungai yang berhulu di pegunungan sekitar Danau Toba juga merupakan sumber daya alam yang cukup berpotensi untuk dieksploitasi menjadi sumber daya pembangkit listrik tenaga air. PLTA Asahan yang merupakan PLTA terbesar di Sumatra terdapat di Kabupaten Toba Samosir.

Selain itu, di kawasan pegunungan terdapat banyak sekali titik-titik panas geotermal yang sangat berpotensi dikembangkan sebagai sumber energi panas maupun uap yang selanjutnya dapat ditransformasikan menjadi energi listrik.

Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° – 4° Lintang Utara dan 98° – 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km². Pesisir Timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.

Pada daerah tengah provinsi terdapat Pegunungan Bukit Barisan, di pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantong-kantong konsentrasi penduduk. Tetapi jumlah hunian penduduk paling padat berada di daerah Timur provinsi ini. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli.

Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka). Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli.

Kepulauan Batu terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala, Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan Batu terletak di tenggara kepulauan Nias. Pulau-pulau lain di Sumatera Utara: Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia, Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga. Di Sumatera Utara saat ini terdapat dua taman nasional, yakni Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Batang Gadis. Menurut Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor 44 Tahun 2005, luas hutan di Sumatera Utara saat ini 3.742.120 hektar (ha). Yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam seluas 477.070 ha, Hutan Lindung 1.297.330 ha, Hutan Produksi Terbatas 879.270 ha, Hutan Produksi Tetap 1.035.690 ha dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 52.760 ha.

Namun angka ini sifatnya secara de jure saja. Sebab secara de facto, hutan yang ada tidak seluas itu lagi. Terjadi banyak kerusakan akibat perambahan dan pembalakan liar. Sejauh ini, sudah 206.000 ha lebih hutan di Sumut telah mengalami perubahan fungsi. Telah berubah menjadi lahan perkebunan, transmigrasi. Dari luas tersebut, sebanyak 163.000 ha untuk areal perkebunan dan 42.900 ha untuk areal transmigrasi.

BAB III
PEMBAHASAN
Perambahan hutan yang telah terjadi dan menelan banyak korban Serta menghasilkan banyak kerugian meski dibiayai melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun tidak memiliki pelepasan kawasan terlebih dulu. Sehingga melanggar Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Ini masih ditambah dengan adanya konversi lahan seluas 8.000 hektare di kawasan hutan produksi sejak tahun 2004. Pemkab memberikan izin kepada perkebunan sawit di Kecamatan Siais, Angkola Selatan untuk membuka kawasan hutan, di mana 3.300 hektar tegakan kayu dirambah karena perusahaan tidak memiliki izin pemanfaatan hasil hutan kayu (IPK).

IPK tersebut seharusnya diterbitkan oleh pemerintah dan dinas kehutanan. Kasus ini pernah bergulir di Polda Sumut tetapi hingga saat ini tidak jelas pengusutannya, diduga melibatkan orang-orang penting di Pemkab Tapsel dan sejumlah oknum penegak hukum yang ikut terlibat.
Untuk Kabupaten Madina, kerusakan hutan terjadi akibat konversi lahan gambut di Pantai Barat, yang diambil alih oleh perusahaan perkebunan PT Madina Agrolestari seluas 6.500 hektare. Tanpa memiliki izin pemanfaatan kayu dan izin HGU tetapi perusahaan sudah ditanami sawit usia dua tahun.

Kerusakan hutan yang diduga akibat pembalakan liar itu, karena diterbitkannya izin oleh masing-masing bupati, dalam bentuk izin pemafaatan kayu masyarakat (IPKM). Tapi itu hanya kedok saja, karena kayu yang diambil ternyata kayu dalam hutan negara. Hasil razia polisi hutan dan aparat kepolisian, ditemukan surat IPKM yang dipegang pengusaha berbeda dengan kayu yang dibawa. Kayu hutan seperti kayu kapur dan kayu lain yang diamankan petugas, hanya ada di dalam hutan negara.

Sementara itu, pembalakan liar juga menjadi penyebab utama banyak bencana yang terjadi dimana salah satunya dan yang terbesar banjir bandang yang melanda Dusun Rangsang Bosi, Desa Buntu Nauli, dan Desa Sabulan, Kecamatan Sitio-tio, Kabupaten Samosir. Struktur tanah menjadi rusak karena tidak adanya tanaman yang tumbuh untuk memperlambat laju air yang mengalir sehingga tidak mampu menahan air dan bencana yang tidak terduga pun datang.

Hal lain yang menjadi permasalahan, sebagian besar kondisi hutan di Samosir telah rusak parah karena banyaknya kegiatan yang merusak ekosistem seperti pembalakan liar, pertambangan, dan pemanfaatan hutan menjadi industri. Hampir 70 persen hutan di Samosir sudah rusak.

Namun, Kepala Polres Samosir Ajun Komisaris Besar Polisi Aiman Syafruddin menyatakan pihaknya belum menemukan indikasi adanya praktik pembalakan liar dalam musibah banjir bandang tersebut. Berdasarkan informasi yang didapat, musibah banjir bandang itu disebabkan adanya luapan air dari Sungai Lotung setelah menerima curah hujan tinggi. Selain itu, pihaknya juga tidak menemukan adanya potongan-potongan dalam banjir bandang tersebut yang dapat diduga sebagai hasil praktik pembalakan liar.

PENUTUP
Dibelahan bumi manapun para aktivis Lingkungan Hidup kini merapatkan barisan untuk melestarikan alam& lingkungan karena melihat kondisi alam saat ini seakan tak bersahabat lagi, Berbagai bencana alam datang silih berganti tak kenal waktu.
Memelihara kelestarian alam dan menata lingkungan hidup  fisik atau Non fisik ,mengarahkan pemuda-pemudi yang kreatif untuk lebih berkarya nyata dan berbakti -bukti untuk kepentingan pembangunan Nasional .

Melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indonesia. Mengangkat masalah kondisi Hutan, jadi jelas kondisi hutan di Sumut harus secepatnya dilestarikan, karena bila hutan gundul jelas Bencana akan datang.
Segera mensosialisaikan untuk masyarakat sadar lingkungan, “karena kerusakan lingkungan baik di darat dan dilaut jelas adalah ulah tangan manusia “, maka sebagai manusia tetap berkarya nyata untuk memelihara kelestarian alam dan  lingkungan hidup Indonesia.

Namun telah menjadi komitmen dan konsekwensi kita untuk melakukan penghijauan kembali. Selain mensosialisasikan makna hutan yang merupakan jantung dan paru-paru dunia harus juga mempersiapkan tindak lanjut dengan melakukan penghijauan kembali hutan-hutan yang telah gundul dam kritis dampak dari penebangan liar dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Di Sumatera Utara akan direalisasikan penanaman pohon Hutan Tanaman Masyarakat (HTM) diatas lahan seluas 30 ribu hektar. Lahan hutan yang yang menjadi sasaran bidikan penanaman antara lain kawasan hutan Kabupaten Langkat seluas 3.085 hektar, Simalungun 11. 760 hektar, Madina 9.815, Padang Lawas seluas 6.065 hektar, Asahan 1.540 hektar, demikian dikatakan Ketua DPP Assosiasi Hutan Tanaman Rakyat Mandiri Indonesia (AHTRMI) Basyaruddin Siregar, SP di Medan.

Mengambil beberapa kebijakan yakni peningkatan pengawasan yang ketat terhadap pemanfaatan sumber daya alam serta pengelolaan lingkungan hidup, pengembangan program kali bersih (surat pernyataan kali bersih/superkasih) dan sungai sehat, langit biru, kota hijau (adipura) dan sebagainya. Urusan lingkungan hidup bukan hanya tugas pemerintah tapi kewajiban bagi semua manusia yang membutuhkan oksigen.


Untuk memperbaiki kondisi itu, maka penyelenggaraan pembangunan kehutanan di seluruh Kabupaten/Kota Sumatera Utara tidak boleh terlepas dari kebijakan Propinsi Sumut. Kemudian kebijakan Propinsi Sumut itu juga harus bersinergi dengan kebijakan pembangunan kehutanan secara nasional, agar visi sumber daya hutan yang lestari untuk kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pengelolaan yang partisipatif, terpadu, transparan dan bertanggungjawab, bisa terwujud.
Berdasarkan fungsinya dari 3,7 juta hektar hutan Sumatera Utara itu fungsi hutan dalam kawasan lindung seluas 1.774.400 hektar dan fungsi hutan dalam kawasan budidaya seluas 1.967.720 hektar.

Secara nasional kebijakan pembangunan bidang kehutanan telah dituangkan dalam lima kebijakan prioritas bidang kehutanan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.SK 456/Menhut-VII/2004 tanggal 29 November 2004 yaitu pemberantasan pencurian kayu di hutan Negara dan perdagangan kayu illegal, revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta pemantapan kawasan hutan.

Khusus sektor kehutanan kebijakan itu katanya harus dipercepat untuk meningkatkan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, pengurangan dan pengentasan kemiskinan. Selain itu, potensi sumber daya hutan sangat menjanjikan kemakmuran tapi kontradiktif dengan kondisi masyarat. Hal ini dapat diatasi dengan membangun hutan tanaman baru dengan pola 60 persen hutan tanaman rakyat  dan 40 persen Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman.

Mendukung kebijakan pembangunan kehutanan nasional itu dengan sasaran antara lain, terselesaikannya tata batas kawasan hutan baik luar maupun batas fungsi berkurangnya jumlah konflik pemanfaatan lahan kawasan hutan, menurunnya perambahan dan kebakaran hutan, bertambahnya luas hutan rakyat dan hutan tanaman unggulan untuk kesejahteraan, serta terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber:

No comments:

Post a Comment